Tangan Lusia bergetar, meski udara di dalam bar cenderung hangat. Lusia bergetar bukan karena kedinginan. Gadis mungil itu masih ketakutan, dan bergetar karenanya.
Laki – laki yang menolong Lusia dan membawanya ke dalam bar tengah pergi ke dapur. bar ini benar benar baru di buka dan belum ada orang yang berdatangan. Ini menguntungkan bagi Lusia. Tapi ia tak bisa berhenti was – was.
Dengan tangan yang bergetar, Lusia berusaha meminum susu hangat. Ia meminumnya seteguk demi seteguk. Dan tak terasa setengah gelas susu sudah masuk ke perut Lusia.
“Apa kamu lapar?” tanya laki – laki itu, ia keluar dari bangsal yang ia jadikan dapur dan membawa nampan dengan setangkup roti dan beberapa makanan lainnya.
Lusia sudah tidak peduli lagi dengan rasa malu, ia mengangguk cepat begitu di tanya apakah dia lapar. Dan laki – laki itu tersenyum melihat respon Lusia.
“Aku membuatkan roti panggang, dengan sosis dan saus.” Tambahnya, ia duduk di kursi yang bersebrangan dengan Lusia dan mereka hanya di pishakan oleh meja bar.
Laki – laki itu mendorong nampan ke arah Lusia, dan Lusia terlihat sangat kelaparan. Itu sangat jelas dengan cara Lusia melihat setangkup roti itu dengan liur yang hendak menetes.
“Makanlah, tak perlu sungkan.” Ucapnya, laki – laki itu duduk dan mengamati cara Lusia makan. Ada senyuman puas di bibirnya ketika Lusia sudah menghabiskan setengah roti kurang dari satu menit.
“Namaku Brent.” Ucapnya memperkenalkan diri.
Lusia hampir tersedak roti, ia segera menghentikan kunyahannya dan menyalami Brent, “Lusia. Panggil saja Lucy atau apapun....” Lusia berbicara terbata bata karena mulutnya masih penuh dengan roti, bahkan saus menempel di bibir Lusia.
Brent tersenyum tipis, “Nama yang cantik,” puji Brent. Lusia mengangguk dan berterima kasih. Lusia dengan lahap menghabiskan roti itu, perut yang tadinya meronta ronta kini sudah menyang terisi makanan.
“Terima kasih Brent, atas pertolongan dan juga makananya.” Lusia takt au harus berterima kasih dengan apa. Tapi yang jelas, Brent adalah orang paling baik yang Lusia temui seumur hidupnya.
“Sama – sama, aku hanya membantu.” Ucap Brent dengan entengnya, ia kemudian mengisi gelas Lusia dengan susu lagi. “Ngomong – ngomong Lusia, kenapa kamu berlari tengah malam begini?”
Lusia menundukan kepalanya, akan sulit menceritakan tentang ini pada Brent, tapi karena hati kecil Lusia mengatakan kalau Brent adalah orang baik, Lusia tak punya alasan lain untuk menutupi dari Brent.
“Aku kabur dari rumah.” aku Lusia.
Gerakan tangan Brent yang sedang mengisi gelas dengan susu terhenti.
Brent dengan tampangnya yang terkejut, menatap Lusia.
“Sungguh, aku baru saja kabur dari rumah setelah memukul Ayah tiriku dengan batu bata..... “ aku Lusia.
Ketakutan yang menyergap, membuat Lusia menahan air mata. ia takut di penjara, tapi Lusia juga tak ingin kembali ke neraka yang di namakan keluarga.
Tanpa sadar, Lusia sudah menangis dan ketakutan. Tanpa sadar, tangan Brent terulur dan mengusap pundak Lusia.
“Tenanglah Lusia, aku percaya, gadis sebaik kamu punya alasan melakukan hal seperti itu....” Brent berusaha menenangkan Lusia.
Lusia mengangguk, ia mengusap air matanya, “Dia- dia hendak melecehkanku.... “ dan setelahnya, tangis Lusia benar – benar pecah.
Brent tak terkejut dengan pengakuan Lusia barusan, “Kenapa keluargamau sangat jahat?”
Lusia menggelengkan kepalanya, “Aku tidak tau. Aku hanyalah anak angkat di keluarga itu, aku sudah sering mendapatkan perlakuan buruk sejak kecil.”
Brent menarik bibirnya dengan kecut, “Nampaknya mereka bahkan mengadopsi tanpa memberikan kasih sayang.” Celetuk Brent.
“Aku takut, sangat ketakutan..... “
Lusia memeluk dirinya sendiri, ia tak tau tempat untuk bersembunyi. Gadis kecil itu sedang mencari tempat berlindung di dunia yang luas tanpa adanya tujuan.
“Lusia, tempat ini sangat berbahaya.”
“Aku tidak tau.”
Brent menarik diri dari Lusia, ia duduk dan menadahkan tangan untuk menangkup dagunya. Mereka saling bertatapan.
Lusia mengedipkan matanya, ia tak pernah berinteraksi dengan orang asing sebelumnya. Entah kenapa, jantung Lusia berdetak lebih cepat. Aneh.
“Kamu tau, melihat dari latar belakangmu dan juga cara keluargamu memperlakukan kamu serta ayah tirimu yang bajingan itu.... “ Brent berhenti berbicara. Ia membuat kontak mata dengan Lusia. Untuk waktu yang cukup lama.
Lusia meneguk ludahnya, ketika Brent tersenyum tipis. Kemudian, setelah cukup lama terdiam. Brent kembali berbicara.
“Meskipun kamu menghilang, sepertinya keluargamu itu takan repot – repot mencarimu.”
Brent mengedipkan sebelah matanya, memberikan kode yang tak Lusia mengerti.
Kening Lusia bertaut, ia dengan jelas melihat senyuman Brent berubah menjadi seringai yang mengerikan untuk Lusia lihat.
Dan ini sudah sangat terlambat bagi Lusia untuk lari, matanya terpejam pelan dan sepenunya, Lusia tak sadarkan diri.
***
Lusia merasakan kakinya tak bisa di gerakan, kaki yang semua terkilir itu kini terikat akan sesuatu. Tapi Lusia tidak bisa membuka mata. Matanya di tutup oleh kain hitam. Lusia berusaha meronta untuk melepaskan ikatan tangan dan kakinya.
Usaha Lusia sia – sia. Ia tak bisa melepaskan simpul pengikatnya.
Dan sayup – sayup, Lusia mendengar langkah seseorang. Ah tidak. Dua orang. Karena Lusia mendengar mereka bercapak – cakap.
Dengan cepat, Lusia berhenti meronta. Ia berpura pura masih tak sadarkan diri.
“Dia kabur dari rumahnya,” ucap sebuah suara yang Lusia kenali sebagai suara Brent.
“Aku yakin, ini akan sangat mudah untuk menghilangkan jejaknya. Orang – orang takan mencium jejaknya.” Jelas Brent dengan nada bangga akan keahliannya menculik dan menyembunyikan Lusia.
Lusia menggigit lidahnya, ia tak menyangka jatuh ke tangan orang jahat yang berpura – pura menjadi orang baik.
“Apa dia cantik?” tanya suara lain yang tak Lusia kenali.
“Sangat cantik,” sahut Brent dengan cepat, ia tak perlu lagi meragukan kecantikan Lusia. Bahkan meskipun baru ia temui pertama kali.
“Apa yang kamu berikan padanya?” tanya si suara asing itu.
Brent mendecakan lidahnya dengan kesal, “Aku tidak akan membuatnya mati. Barang dagangku harus dalam keadaan baik bukan?”
Barang dagang? Lusia merinding dengan perumpamaan yang Brent tujuka untuknya. Barang dagang? Lusia tak hanya jatuh ke tangan orang jahat, tapi bisa saja lebih dari itu.
Lusia jatuh ke kelompok perdagangan manusia.
Apa mereka akan membunuhku? Seruan panik Lusia di dalam hati.
Tapi Lusia masih berpura – pura tak bergerak, sementara telinganya ia pasang dengan lamat lamat.
“Aku senang kamu memperhatikan barang tranksaksi kita.” Ucap laki laki asing yang belum Lusia ketahui rupanya.
Brent semakin senang.
“Berapa yang kamu tawarkan untuknya?”
Brent mematung, nampak sedang menimang nimang harga yang layak untuk gadis berparas Ayu seperti Lusia ini.
“Sulit, sangat sulit.... “ gumam Brent dengan bimbang, “Aku baru saja menemukan barang bagus dan kalian adalah pelanggan setiaku.”
Lusia menelan ludahnya dengan kelu, baru kali ini ia mendengarkan tawar menawar. Lusia biasa mendengar para Ibu yang saling tawar menawar barang di pasar. Sekarang, Lusia mendengarkan transaksi tawar menawar untuk membelinya.
“Dia gadis yang cantik, Tuan – mu itu pasti akan sangat menyukainya.” Brent dengan sangat percaya diri, menambah nilai tambah Lusia.
“Itu sedikit mustahil, Tuan – ku adalah orang yang sangat pemilih.” Sangkalnya.
“Yah memang,” Brent menyetujui. Kliennya ini memang sangat sulit untuk di mengerti.
Jadi, bukan dia bossnya? Batin Lusia semakin gentar, saat mendengar Tuan di sebut sebut.
“Tapi meski begitu, aku sangat yakin dengan barang dagang saat ini. Aku berikan dua puluh juga dollar.”
Brent tau, lawan bicaranya itu hampir saja menjatuhkan bola matanya saat mendengar tawaran Brent yang tak masuk akal itu. Lusia bahkan hendak memekik karena tak menyangka dirinya di jual dengan harga sebesar itu. Lusia bukannya bangga, tapi ia tak pernah melihat uang lebih dari dua puluh lima dollar.
“Kamu terlalu percaya diri dengan tawaranmu.”
“Aku penjual, aku akan mencari keuntungan paling tinggi. Kalau Tuan – mu itu tidak puas dengan barang dagangku kali ini, kembalikan saja barang dagangku padaku. Aku akan dengan senang hati menerimanya.”
Selesai dengan ucapannya, Brent di hadiahi tatapan memusuhi dari lawan bicaranya itu.
“Jaga omonganmu, Tuanku tidak menyukai barang bekas, termasuk yang sudah di sentuh orang lain.”
Brent tau lawan bicaranya tengah terbakar emosi, ia mengangkat tanganya ke udara, “Sabar... sabar. Kita bisa selesaikan tranksaksi ini dengan tenang, karena aku hanya becanda.”
“Dan itu tidak lucu.”
Brent menaikan alisnya, “Tentu saja. Melihat dari bagaimana reaksimu barusan, candaanku jauh dari kata lucu.” Ucap Brent mengakui.
Brent beralih, ia melirik ke arah lusis yang terbaring di atas dipan dan tak bergerak. Brent mengikatnya dengan sangat kencang. Dan Brent sangat yakin, simpul ikatan itu akan meninggalkan jejak kemerahan begitu di lepaskan.
“Dua puluh juta dollar, dan tidak ada tawaran lain. Atau Tuanmu tidak akan mendapatkan apa apa dariku.”
Brent tersenyum berseri – seri sembari menghadap lawan bicaranya. Senyum yang ia jadikan penutup tranksaksi.
Brent melangkah pergi, meninggalkan lawan bicaranya itu. Ketika tawaran sudah di tutup. Brent takan membuka tawaran lagi. Dan ia takan perlu repot – repot untuk mencari pelanggan lain.
Hening. Tak ada tawaran atau kesepakatan. Tapi Brent masih berjalan tenang. Di langkah ketujuhnya. Brent bisa tersenyum puas.
“Baiklah. Dan kamu bisa mengecek rekeningmu sekarang juga.”
Brent langsung berbalik dan memasang senyum paling bersahabat yang bisa ia tunjukan.
“Hah tentu saja, mana mungkin Tuan Aaron takan pernah kehabisan uang.” Ucap Brent.
Ia kemudian meregangkan jari jemarinya, “Akan aku siapkan barangnya. Sekarang juga.”
***
Tubuh Lusia di angkat, dan entah di bawa kemana. Lusia tak mengetahuinya. Yang Lusia lakukan hanyalah bernagas setenang dan sepelan mungkin agar orang – orang mengira kalau Lusia masih tak sadarkan diri. Tak begitu lama, Lusia mendengar banyak suara. Suara deret pintu yang di buka. Suara angin. Dan Lusia memang merasakan terpaan angin di rambutnya. Dan setelah itu, Lusia di masukan ke dalam mobil. Lusia yakin benar karena bunyi debuman pintu saat di tutup benar benar keras. Dan setelah itu, dengan mata yang masih tertutup. Lusia mendengar deru mesin dan mobil mulai berjalan. Luisa tak tau ia akan di
Suara pria itu sangat dingin, peringatan yang ia berikan pada Lusia sarat dengan ancaman di saat yang bersamaan. Tanpa Lusia sadari, ia berhenti mencoba melepaskan diri. Berada di bawah tatapan itu, membuat Lusia merasa terintimidasi dan terancam. Entah terancam karena apa. Melihat Lusia yang berhenti mencoba meloloskan diri, laki laki itu kini menyilangkan tanganya di depan dada. Ia secara terang terangan tengah mengamati tubuh Lusia, dan juga wajahnya. Di hujani tatapan seperti sekarang ini, membuat Lusia merasa di lecehkan. “Apa yang kamu inginkan?!” teriak Lusia, ia beringsut menjau
“Aku ingin mati saja....” rintih Lusia dengan suara lirih yang hampir tak terdengar di ruangan luas ini. Dan Lusia melirik pria itu, ia sudah berada di ambang pintu, hendak meninggalkan kamar ini. Dia tidak tidur di sini. Batin Lusia, entah kenapa Lusia sedikit merasa lega. Dan suara debuman pintu yang sangat keras membuat Lusia bernafas lega. Lusia terus meratapi nasib buruknya. Hingga kayu – kayu di pendiangan itu terbakar sepenuhnya dan cahaya di kamar itu meredup. Waktu yang cukup lama. Barulah, rasa sakit dan rasa lelah yang Lusia rasakan, menuntun gadis malang itu u
“Lain kali, berjalanlah yang cepat.” Aaron mulai mengomel saat Lusia sudah berada di depan pintu kamar mandi. Aku sudah berjalan sangat cepat sampai melampaui batas kemampuanku. Batin Lusia membela diri. Tapi yang Lusia lakukan malah sebaliknya, ia memberikan tatapan penuh peperangan pada Aaron dari balik pintu. “Kamar ini yang terlalu luas.” Bantah Lusia. Dan ia menutup pintu, tepat di depan wajah Aaron. Lusia tak akan lupa, ekspresi keterkejutan Aaron saat mendengar ja
Begitu Lusia keluar dari kamar mandi, ia sudah mengenakan jubah kamar mandi yang kebesaran. Baru saja ia melangkah mendekati ranjang, Lusia sudah di kejutkan dengan keberadaan orang asing lain. Seorang perempuan yang sudah berumur, mengenakan pakaian biasa dan menunduk pelan saat melihat Lusia. “Anda sudah selesai?” tanya wanita itu. Lusia tak urung menjawab, ia masih larut dalam keterkejutannya. Sampai akhirnya ia tersadar, Lusia hanya mengangguk pelan. Wanita itu menatap Lusia dengan p
Tapi sebelum Emma keluar, Emma menatap Lusia penuh kekhawatiran. “Ingat ucapan saya baik – baik, patuhlah pada Tuan Aaron.” Setelah mengatakan itu, Emma benar – benar keluar dan tak lagi muncul. Sedangkan Lusia masih berdiri tanpa pilihan. Ia belum bisa mengambil keputusan. Harga dirinya yang sangat tinggi, meski kesuciannya sudah terampas menolak untuk patuh terhadap Aaron. “Dia akan bosan dalam beberapa bulan... “ bisik Lusia dengan mata terpejam. Lusia berusaha me
“Emma? Bolehkan aku bertanya?” Lusia nampak ragu – ragu menayakan isi pikirannya. Namun Emma mengangguk, “Silahkan, asalkan saya bisa menjawab. Akan saya jawab.” Ucap Emma menyanggupi. Lusia meneguk ludahnya, “Kalau bukan kamu yang mepeepaskan ikatan di kakiku, lantas siapa?” “Saya tidak tau Nona.” Jawaban Emma justru membuat wajah Lusia memucat. Lantas? Siapa? Apakah mungkin kalau itu adalah Aaron? “Kalau tidak ada lagi yang ingin anda tanyak
Aaron mendekat ke lemari pakaianya yang super besar. Bahkan Lusia baru menyadari, kalau kamar Aaron ini sangatlah luas. Semua barang – barang yang berada di sini, seperti di desain dengan ukuran besar agar ruangan ini tak nampak kosong. Aaron mengancingkan kemejanya, perlahan dan akhirnya selesai. Lusia yang sejak tadi memilih menatap keluar jendela mendengar Aaron memanggilnya. “Hei!” seru Aaron. Lusia langsung refleks dan menengok ke arah Aaron, sembari menahan nafas. “Aku mau memaka
Setelah sampai di kamar, rupanya Lusia masih tertidur dengan pulas. Kini ia tak lagi bermimpi buruk, Aaron sangat yakin itu. Karena ia bisa mendengar dengkuran lembut Lusia. Meski begitu, badai di luaran sana masih bergejolak. Aaron memutuskan untuk menikmati kopi yang sudah ia buat. Memandang ke luar dan jendela yang sesekali bergetar, suara hujan yang seperti hendak menerobos masuk. Tapi Aaron masih terdiam membatu. Selang cukup lama, kopi pun telah habis. Aaron beringsut menuju ranjang. Ia menarik selimut dengan hati – hati dan memandang Lusia untuk sesaat. “Kamu menggemaskan juga rupanya.... “ gumam Aaron lirih, ia mengusap kening Lusia dan sengatan kecil menghentikannya. Tangan Aaron mengambang di udara. Ia tak tau apa yang tengah ia lakukan sekarang.&nb
Lusia tertunduk karena menghindari kontak mata dengan Aaron. Sebenarnya, jauh di dasar hati sana, Aaron sangat tersentuh. Ia tau, betapa gemetarnya mata Lusia saat ia berbicara tentang ibunya. Kemarahan terpendam Aaron pada nasibnya, tak seharusnya ia lampiaskan pada Lusia yang tidak tau apa – apa. Aku benci diriku ketika aku marah, karena aku kehilangan kendali. Batin Aaron. Ia menyesap rasa masam di dalam mulutnya, mengulum bibir dan tak lagi menatap Lusia karena wanita itu tetap tertunduk sembari menghadap ke arah lain. “Lucu.... “ celetuk Aaron, ia belum menanggapi permintaan maaf Lusia. Sedangkan Lusia yang mendengar ucapan barusan, malah tak mengerti.&nb
Lusia berjalan di samping Aaron, ia masih mencoba untuk mengimbangi kecepatan langkah pria itu. Namun tidak bisa, nafas Lusia malah tersengal – sengal. Dan akhirnya, Lusia tidak tahan lagi. Ia membungkuk sembari memegang lututnya. “Ber--- ah---- “ Lusia menarik nafas panjang dan Aaron sudah berbalik badan, “Berhen... ti!” rengak Lusia. Aaron yang melihat betapa kesulitannya Lusia dalam mengambil nafas hanya bisa menyilangkan tangan sembari memberikan pandangan meremehkan, “Apa kamu selemah itu?” ejek Aaron. Lusia melirik tajam, “Tidak. Aku tidak lemah, hanya saja berjalan kaki bagi kamu, sama dengan berlari untukku.... &l
Lusia makan dengan lahap, begitu pula dengan Emma. Dan yang mengejutkan, Aaron adalah orang yang hampir menghabiskan makanan siang itu. Setelah selesai makan, Lusia bergerak cepat mengambil semua piring kotor dan bergegas mencucinya. Sebenarnya, Lusia masih ingin menemani Emma tapi karena Aaron ada di sini, Lusia jadi ingin segera pergi. Ia malah jadi melupakan niatan awalnya untuk meminta maaf pada Aaron. Gemericik air terdengar jelas, karena bangunan ini di design tanpa adanya sekat kecuali untuk kamar dan kamar mandinya. Jadi, dari sudut manapun, suara air, televisi, tidak bisa di redam. Begitu juga dengan pandangan. Aaron bisa melihat dengan jelas gerakan tangan Lusia yang mengusapkan sabun. “Kamu harus istirahat Emma,” tutur Aaron
“Kamu makan siang barusan?” tanya Emma dengan nada yang lebih bersahabat. Dalam situasi seperti ini, Emma bukan lagi seorang yang melayani tuannya, ia akan menjadi orang terdekat Aaron. Aaron mengangguk, ia tak terlalu senang dengan topik pembicaraan ini. Dan Emma melihat dengan jelas ekspresi Aaron yang tak berminat itu. “Hanya duduk di depan meja makan tanpa menyentuh makanan,” jelas Aaron. Ia tak berselera makan sama sekali. Dan saat Aaron memikirkan makanan, ia teringat pada Emma dan tanpa sadar sudah sampai di depan bangunan tempat Emma beristirahat. Dan saat Aaron menemukan Emma, ia juga melihat Lusia yang tengah berdiri memunggunginya, dengan tangan yang bergerak lincah dan sibuk, suara pisau yang beradu.
Begitu sampai di dapur, kesibukan terlihat sangat jelas. Semua pelayan mondar – mandir sibuk mencari, menata, memasak dan membawakan sesuatu. Dapur bising dengan bunyi kompor dan sutil yang bergesekan dengan wajan, bunyi percikan minyak goreng dan harumnya makanan. Eliona yang bertugas menggantikan Emma selagi ia belum pulih sepenuhnya, terlihat sangat cakap dalam mengatur kinerja orang – orang. Ia memerintah untuk membuatkan sesuatu, memastikan hidangan dan masih banyak lagi. Dan brak! Seseorang memecahkan piring, dan semua orang menatap cemas, karena pecahan piring itu berhasil melukai si kaki pelayan itu. “Ayo cepat bereskan, bereskan kekacauan ini.... “ gumam dua orang yang mencoba membantu yang terluka.&n
“Nona melamun?” tanya Eliona, ia tengah memegang panci berisi adonan tepung yang siap di uleni untuk di panggang kemudian. Lusia yang sadar namanya di panggil segera mengangguk, “Akan aku ambilkan, sebentar.... “ ucap Lusia. Eliona mengernyitkan keningnya, sekarang ia melihat Lusia yang berjalan menuju lemari pendingin dan mengambil beberapa butir telur dan berjalan mendekatinya, tangan Lusia mengulurkan telur itu pada Eliona. “Ini... “ ucap Lusia, ia kembali duduk dan melamun lagi. Eliona tersenyum kecut, “Tidak ada yang meminta anda untuk mengambilkan telur Nona.... “ Kali ini
Pagi ini, bukannya membaik, keadaan Emma malah makin buruk. Ia muntah cukup banyak dan membuat perutnya sakit. Usia Emma memang tak lagi muda, tapi Emma jarang terkena sakit sampai membuatnya harus beristirahat cukup lama. Aaron ingat, terakhir kali Emma sakit dan harus mengambil cuti lama yaitu saat Emma terserang flu kuning. “Silahkan Tuan,” Eliona mempersilahkan Aaron untuk menikmati sarapanya setelah ia selesai menuangkan jus peach ke gelas Aaron. Aaron melihat segala menu yang ada di hadapannya dan mendapati satu hal, ia sendirian. “Kenapa hanya ada satu piring?” tanya Aaron pada Eliona. Eliona tak tau harus merespon apa, tapi Aaron s
Eliona menggantikan tugas Emma sebagai kepala pelayan, ia yang memang di kenal paling terampil dari pelayan – pelayan yang lain, kini tengah sibuk memberikan perintah pada teman – temannya. Piring – piring mahal di keluarkan, selama bekerja di sini, Eliona menyadari kalau satu peralatan makan saja harganya sangat mahal. Pantaslah kalau Emma selalu memerintah pelayan untuk berhati – hati saat menghidangkan makanan dan mencuci peralatan makan. Lampu sudah di nyalakan, meski bangunan terlihat sangat kuno, tapi bagian dalam bangunan sudah di rombak menjadi semodern mungkin. Tidak ada lampu minyak seperti yang di pikirkan orang – orang. Yang ada, adalah lampu kristal su