Lusia. Gadis berparas cantik dengan rambut panjang yang terurai berantakan. Gadis itu berlari tanpa alas kaki yang mengakibatkan telapak kakinya terasa perih.
Lusia sudah berlari sangat jauh. Telapak kakinya bahkan tak ayal ada yang lecet dan berdarah. Tapi yang Lusia tau, ia harus tetap berlari sejauh mungkin. Ia harus menghindari keluarganya sendiri. Ralat.
Lusia kabur dari rumahnya, ia meninggalkan rumah dengan orang tua yang sudah membesarkannya sejak tujuh belas tahun yang lalu.
Lusia bukan anak kandung, ia adalah anak angkat yang di perlakukan dengan tidak manusiawi. Bertahun tahun menahan perlakuan tidak menyenangkan dari kedua orang tua angkatnya. Malam ini, Lusia sudah tidak tahan lagi saat Bronk. Ayah angkatnya menggerayangi tubuhnya dan hendak melecehkannya.
Saat Lusia berteriak meminta pertolongan, yang terjadi adalah kebalikannya. Korban di jadikan kambing hitam. Ibu tirinya mengira Lusia – lah yang sudah menggoda ayah angkatnya. Dan bersikap tak tau diri.
Lusia di gerek ke lumbung dan di siksa, tapi meskipun sudah ketangkap basah. Bronk tidak berhenti dalam usahanya untuk melecehkan Lusia, ia menyelinap masuk dan hendak melecehkan Lusia lagi. Tapi beruntung. Karena Lusia adalah gadis yang belajar dari pengalaman.
Berada di lumbung gelap, membuat Lusia harus berjaga – jaga. Ia menajamkan mata dan pendengarannya jauh dari biasanya. Dan begitu Bronk menyelinap masuk, Lusia langsung menerjangnya. Mereka saling serang dan terkam. Tapi Lusia menang, karena ia telah memukul kepala Bronk dengan batu bata yang ia temukan di bawah tumpukan jerami.
Bronk terkapar di tanah dingin malam ini, dan Lusia tidak tau apakah ayah angkatnya itu masih hidup ataukan sudah mati.
Dan itulah, kisah singkat kenapa Lusia berlari tak tentu arah di tengah malam seperti ini.
Lusia tidak bisa berteriak meminta tolong, karena pada dasarnya ia adalah pelaku yang sedang melarikan diri.
Brugh! Berlari tanpa melihat ke depan. Lusia menabrak tubuh yang jauh lebih besar darinya hingga tubuhnya terpental di aspal.
“Aw!” teriak Lusia kesakitan, tanganya tertindih tubuhnya sendiri.
Buru – buru orang yang di tabrak Lusia itu mendekati Lusia.
“Anda tidak apa apa Nona?”
Lusia mendongakan kepalanya, ia kini bersitatap dengan laki – laki tegap. Lusia kira usianya lebih tua darinya. Apalagi dengan kumis dan brewok di wajahnya.
“Apa ada yang sakit?” tanya laki – laki itu lagi, sembari mengulurkan tanganya.
Lusia menggelengkan kepala, “Tidak, tidak apa apa.” Lusia menolak uluran tangan laki – laki itu dan hendak bangkit untuk pergi. Ia takut kalau Yensen, Kakak angkatnya, sudah mengetahui kondisi Bronk dan sedang mengejarnya.
Laki – laki itu mengamati cara Lusia bangkit yang terlihat sangat kesakitan.
“Aw... “ Lusia sekarang bahkan tidak bisa bangkit, apa lagi berlari. Kakinya terkilir. Dan rasanya sangat sakit... sekali.
Laki – laki itu kembali mendekati Lusia, ia kembali mengulurkan tanganya untuk membantu Lusia.
“Tenanglah Nona, saya bukan orang jahat.” Laki – laki itu tersenyum ramah sembari mengulurkan tangannya, “Saya sedang dalam perjalanan untuk ke Bar di ujung gang sana.”
Laki – laki itu menunjuk ke arah gang yang cukup lebar, “Di sana ada Bar, saya pemiliknya. Kalau Nona menerima bantuan dan permintan maaf saya, saya akan bawa Nona ke sana dan mengobati luka Nona.... “
Lusia nampak ragu untuk menerima uluran tangan itu, tapi ia tak bisa melarikan diri dengan kaki terkilir dan rasa sakit yang luar biasa seperti ini.
“Apa- apa saya...” Lusia ragu untuk melanjutkan pertanyaanya.
“Hem?”
“Apa saya bisa bersembunyi di sana, sebentar saja.... “ Lusia menatap laki – laki di hadapanya dengan tatapan memelas. Baru kali ini ia meminta bantuan pada orang asing. Tapi, wajah laki – laki ini tidak terlihat mengerikan apalagi untuk di tuduh menjadi orang jahat.
Dan laki - laki itu mengangguk, mengiyakan.
“Baiklah, kalau anda memang sedang butuh tempat berembunyi Nona.” Ucap laki – laki itu, tak keberatan dan menyanggupi.
Ia kembali mengulurkan tanganya, “Mari... “
Dan kali ini Lusia menerima uluran tangan itu. ia di tarik dan di papah menuju gang itu. Dan memang tak bohong, di gang itu ada bangunan tua yang di jadikan bar dengan lampu kelap kelip di jendela luarnya.
Tangan Lusia bergetar, meski udara di dalam bar cenderung hangat. Lusia bergetar bukan karena kedinginan. Gadis mungil itu masih ketakutan, dan bergetar karenanya. Laki – laki yang menolong Lusia dan membawanya ke dalam bar tengah pergi ke dapur. bar ini benar benar baru di buka dan belum ada orang yang berdatangan. Ini menguntungkan bagi Lusia. Tapi ia tak bisa berhenti was – was. Dengan tangan yang bergetar, Lusia berusaha meminum susu hangat. Ia meminumnya seteguk demi seteguk. Dan tak terasa setengah gelas susu sudah masuk ke perut Lusia. “Apa kamu lapar?” tanya laki – la
Tubuh Lusia di angkat, dan entah di bawa kemana. Lusia tak mengetahuinya. Yang Lusia lakukan hanyalah bernagas setenang dan sepelan mungkin agar orang – orang mengira kalau Lusia masih tak sadarkan diri. Tak begitu lama, Lusia mendengar banyak suara. Suara deret pintu yang di buka. Suara angin. Dan Lusia memang merasakan terpaan angin di rambutnya. Dan setelah itu, Lusia di masukan ke dalam mobil. Lusia yakin benar karena bunyi debuman pintu saat di tutup benar benar keras. Dan setelah itu, dengan mata yang masih tertutup. Lusia mendengar deru mesin dan mobil mulai berjalan. Luisa tak tau ia akan di
Suara pria itu sangat dingin, peringatan yang ia berikan pada Lusia sarat dengan ancaman di saat yang bersamaan. Tanpa Lusia sadari, ia berhenti mencoba melepaskan diri. Berada di bawah tatapan itu, membuat Lusia merasa terintimidasi dan terancam. Entah terancam karena apa. Melihat Lusia yang berhenti mencoba meloloskan diri, laki laki itu kini menyilangkan tanganya di depan dada. Ia secara terang terangan tengah mengamati tubuh Lusia, dan juga wajahnya. Di hujani tatapan seperti sekarang ini, membuat Lusia merasa di lecehkan. “Apa yang kamu inginkan?!” teriak Lusia, ia beringsut menjau
“Aku ingin mati saja....” rintih Lusia dengan suara lirih yang hampir tak terdengar di ruangan luas ini. Dan Lusia melirik pria itu, ia sudah berada di ambang pintu, hendak meninggalkan kamar ini. Dia tidak tidur di sini. Batin Lusia, entah kenapa Lusia sedikit merasa lega. Dan suara debuman pintu yang sangat keras membuat Lusia bernafas lega. Lusia terus meratapi nasib buruknya. Hingga kayu – kayu di pendiangan itu terbakar sepenuhnya dan cahaya di kamar itu meredup. Waktu yang cukup lama. Barulah, rasa sakit dan rasa lelah yang Lusia rasakan, menuntun gadis malang itu u
“Lain kali, berjalanlah yang cepat.” Aaron mulai mengomel saat Lusia sudah berada di depan pintu kamar mandi. Aku sudah berjalan sangat cepat sampai melampaui batas kemampuanku. Batin Lusia membela diri. Tapi yang Lusia lakukan malah sebaliknya, ia memberikan tatapan penuh peperangan pada Aaron dari balik pintu. “Kamar ini yang terlalu luas.” Bantah Lusia. Dan ia menutup pintu, tepat di depan wajah Aaron. Lusia tak akan lupa, ekspresi keterkejutan Aaron saat mendengar ja
Begitu Lusia keluar dari kamar mandi, ia sudah mengenakan jubah kamar mandi yang kebesaran. Baru saja ia melangkah mendekati ranjang, Lusia sudah di kejutkan dengan keberadaan orang asing lain. Seorang perempuan yang sudah berumur, mengenakan pakaian biasa dan menunduk pelan saat melihat Lusia. “Anda sudah selesai?” tanya wanita itu. Lusia tak urung menjawab, ia masih larut dalam keterkejutannya. Sampai akhirnya ia tersadar, Lusia hanya mengangguk pelan. Wanita itu menatap Lusia dengan p
Tapi sebelum Emma keluar, Emma menatap Lusia penuh kekhawatiran. “Ingat ucapan saya baik – baik, patuhlah pada Tuan Aaron.” Setelah mengatakan itu, Emma benar – benar keluar dan tak lagi muncul. Sedangkan Lusia masih berdiri tanpa pilihan. Ia belum bisa mengambil keputusan. Harga dirinya yang sangat tinggi, meski kesuciannya sudah terampas menolak untuk patuh terhadap Aaron. “Dia akan bosan dalam beberapa bulan... “ bisik Lusia dengan mata terpejam. Lusia berusaha me
“Emma? Bolehkan aku bertanya?” Lusia nampak ragu – ragu menayakan isi pikirannya. Namun Emma mengangguk, “Silahkan, asalkan saya bisa menjawab. Akan saya jawab.” Ucap Emma menyanggupi. Lusia meneguk ludahnya, “Kalau bukan kamu yang mepeepaskan ikatan di kakiku, lantas siapa?” “Saya tidak tau Nona.” Jawaban Emma justru membuat wajah Lusia memucat. Lantas? Siapa? Apakah mungkin kalau itu adalah Aaron? “Kalau tidak ada lagi yang ingin anda tanyak