“Aku ingin mati saja....” rintih Lusia dengan suara lirih yang hampir tak terdengar di ruangan luas ini.
Dan Lusia melirik pria itu, ia sudah berada di ambang pintu, hendak meninggalkan kamar ini.
Dia tidak tidur di sini. Batin Lusia, entah kenapa Lusia sedikit merasa lega.
Dan suara debuman pintu yang sangat keras membuat Lusia bernafas lega.
Lusia terus meratapi nasib buruknya. Hingga kayu – kayu di pendiangan itu terbakar sepenuhnya dan cahaya di kamar itu meredup. Waktu yang cukup lama. Barulah, rasa sakit dan rasa lelah yang Lusia rasakan, menuntun gadis malang itu untuk terpejam di mimpinya.
@@@
Aaron masih terpejam. Meski sudah banyak cara ia lakukan untuk bisa tertidur, nyatanya Aaron masih tak bisa. Ia sudah mandi dan berganti pakaian. Ada rasa asing yang mengusik dan terus mengganggu Aaron.
Hingga Aaron bangkit dari ranjang, Aaron memilih untuk tidak beristirahat sepenuhnya. Ia menatap ke arah jendela yang gordenya di sibakan. Cahaya Fajar sudah terlihat. Semburat keemasan yang sangat pekat itu sudah muncul meski belum memanipulasi cakrawala.
Bahkan meski sudah semalaman Aaron memikirkannya, ia masih tak mengerti, apa yang menghantuinya semalaman ini.
Jerit tangis wanita semalam itu? Batin Aaron menduga – duga.
Tidak mungkin.
@@@
Lusia membuka matanya, hal yang pertaa kali ia rasakan adalah rasa sakit. rasa sakit luar biasa di antara kakinya. Perih tak tertahankan.
“Sakit.... “ rintih Lusia, ia berusaha bangkit. Hal mengejutkan yang Lusia baru sadari.
Tangan dan kakinya bisa di gerakan.
Aku tidak di ikat lagi.
Sorak Lusia di dalam hati. Namun ia melirik ke arah pintu kokoh di sebrang sana. Pintu yang sangat kokoh dan mustahil kalau tidak di kunci.
Ada harapan untuk pergi dari lubang neraka ini. Lusia berusaha menyemangati dirinya sendiri.
Lusia bangkit dengan susah payah. Ia harus mencengkeram erat sisi ranjang saat berusaha berjalan, meski pelan. Lusia mencari ruangan untuk membersihkan diri. Tapi tubuhnya sangat lemas untuk di ajak bekerja sama. Semalam, seluruh tenaganya seperti di sedot habis – habisan.
“Lusia... “ bisiknya memanggil namanya sendiri.
“Jangan seperti ini,” tenggorokan Lusia seperti di cekik dengan rasa muak. Ia tak bisa bangkit. Tubuhnya begitu lemas dan Lusia ingin mati saja.
Pada akhirnya, Lusia hanya bisa terkulai di lantai marmer. Ia tak bisa merangkak pergi. Mata Lusia mengamati ruangan yang kini sangat terang karena pencahayaan sinar matahari. Ia tak menyadari lampu kristal di atasnya semalam.
“Lampunya bagus... “ ucap Lusia dengan lirih, Lusia kemudian tersenyum heran.
“Bisa – bisanya aku memuji rumah laki – laki itu.” ketusnya, ia kemudian menatap ke tubuhnya sendiri. Benar – benar kacau.
Lusia pada akhirnya memejamkan matanya, sesaat setelahnya, suara pintu terbuka. Tanda kalau ia kedatangan seseorang. Tapi Lusia tak memperdulikan itu. ia tak peduli bagaimana orang itu melihat keadaanya yang mengenaskan, terkulai di lantai dengan kondisi yang sama mengenaskannya.
Dan suara langkah kaki yang mendekat, dapat Lusia dengar dengan sangat jelas.
“Apa yang sedang kamu lakukan dengan tertidur di lantai seperti ini?”
Lusia memejamkan matanya, ia tak perlu melihat siapa yang tengah berbicara dengan nada marah padanya itu.
Lusia memilih bungkam.
Aaron mendengus kesal, ia tak bisa menahan diri ketika di abaikan dengan terang – terangan seperti ini.
Aaron menedang tangan Lusia.
Tapi Lusia tetap tak berkutik. Lusia malah semakin berniat bungkam dan mengabaikan Aaron. Namun Lusia penasaran, semarah apa Aaron sekarang ini.
Aaron merasa kesal, jelas – jelas ia melihat mata Lusia sedikit terbuka barusan, dan bilik mata itu melirik ke arahnya sebelum kemudian Lusia pura – pura terpejam lagi.
Aaron menendang lengan Lusia lagi, meski tidak keras, Aaron hanya mengganggu Lusia sampai gadis itu berhenti berpura – pura.
Namun tendangan demi tendangan Aaron tetap di abaikan oleh Lusia hingga membuat Aaron merasa kesal.
“Hei bangun... “ seru Aaron dengan kesal, “Bangun atau aku akan menjatuhkan kamu dari sini ke lantai bawah.”
Nyatanya, ancaman Aaron berhasil. Lusia perlahan membuka matanya, meski ia tak berbicara sedikitpun.
“Bangun.” Perintah Aaron.
Lusia tak menjawab, ia hanya menggunakan matanya untuk mengamati Aaron.
Pria itu sudah berpakaian sangat rapih. Bukan setelah kerja yang Lusia duga. Aaron justru mengenakan celana panjang berbahan katun yang nyaman di pakai. Serta kaos berwarna hitam yang senada dengan celana yang ia kenakan.
“Apa mulutmu menjadi bisu?”
Aaron menunduk, membuat Lusia di hantam rasa ketakutan. Wajah mereka sangat dekat.
“Bangun.” Perintah Aaron dengan nada penuh ancaman, perintah terakhir sebelum kesabarannya musnah.
Lusia menggeleng pelan, ia tak bisa bangkit.
Aaron melihat ekspresi Lusia yang sangat jujur.
Apa aku terlalu memaksanya semalam? Aaron bertanya – tanya, sekelibat ingatan muncul di otak Aaron, saat Lusia merintih dengan sangat saat Aaron tengah menyatukan diri.
Aaron menggelengkan kepala, menghempaskan pikirannya.
Aku tak peduli.
Tangan Aaron, dengan sigap meraih bahu Lusia, dan seperti mengangkat kertas. Aaron dengan mudahnya mengangkat tubuh Lusia dan membantunya berjalan. Meski mendapatkan bantuan dari Aaron, Lusia tetap diam saja.
“Harus aku bawa kemana tubuh rongsokanmu ini?” tanya Aaron dengan nada kasar.
Lusia menunjuk pintu berwarna putih yang tertutup, pintu yang ia yakini sebagai kamar mandi.
“Oke.” Dan Aaron mulai berjalan sembari membantu Lusia berjalan.
Lusia melangkahkan kakinya dengan susah payah, dan saat ia berjalan, Lusia merasakan cairan yang mengalir di antara kedua kakinya. Lusia memejamkan matanya.
Rupanya, semalam bukan mimpi. Tapi mimpi yang sangat buruk.
Melihat Lusia yang memejamkan mata secara tiba – tiba, Aaron tak mengerti apa yang sedang di pikirkan gadis itu.
Aaron mengantarkan Lusia ke kamar mandi, meski Lusia berjalan sangat lambat, Aaron tak mengomel sampai di depan pintu.
“Lain kali, berjalanlah yang cepat.” Aaron mulai mengomel saat Lusia sudah berada di depan pintu kamar mandi.
Aku sudah berjalan sangat cepat sampai melampaui batas kemampuanku. Batin Lusia membela diri.
Tapi yang Lusia lakukan malah sebaliknya, ia memberikan tatapan penuh peperangan pada Aaron dari balik pintu.
“Kamar ini yang terlalu luas.” Bantah Lusia. Dan ia menutup pintu, tepat di depan wajah Aaron.
Lusia tak akan lupa, ekspresi keterkejutan Aaron saat mendengar jawabannya.
“Lain kali, berjalanlah yang cepat.” Aaron mulai mengomel saat Lusia sudah berada di depan pintu kamar mandi. Aku sudah berjalan sangat cepat sampai melampaui batas kemampuanku. Batin Lusia membela diri. Tapi yang Lusia lakukan malah sebaliknya, ia memberikan tatapan penuh peperangan pada Aaron dari balik pintu. “Kamar ini yang terlalu luas.” Bantah Lusia. Dan ia menutup pintu, tepat di depan wajah Aaron. Lusia tak akan lupa, ekspresi keterkejutan Aaron saat mendengar ja
Begitu Lusia keluar dari kamar mandi, ia sudah mengenakan jubah kamar mandi yang kebesaran. Baru saja ia melangkah mendekati ranjang, Lusia sudah di kejutkan dengan keberadaan orang asing lain. Seorang perempuan yang sudah berumur, mengenakan pakaian biasa dan menunduk pelan saat melihat Lusia. “Anda sudah selesai?” tanya wanita itu. Lusia tak urung menjawab, ia masih larut dalam keterkejutannya. Sampai akhirnya ia tersadar, Lusia hanya mengangguk pelan. Wanita itu menatap Lusia dengan p
Tapi sebelum Emma keluar, Emma menatap Lusia penuh kekhawatiran. “Ingat ucapan saya baik – baik, patuhlah pada Tuan Aaron.” Setelah mengatakan itu, Emma benar – benar keluar dan tak lagi muncul. Sedangkan Lusia masih berdiri tanpa pilihan. Ia belum bisa mengambil keputusan. Harga dirinya yang sangat tinggi, meski kesuciannya sudah terampas menolak untuk patuh terhadap Aaron. “Dia akan bosan dalam beberapa bulan... “ bisik Lusia dengan mata terpejam. Lusia berusaha me
“Emma? Bolehkan aku bertanya?” Lusia nampak ragu – ragu menayakan isi pikirannya. Namun Emma mengangguk, “Silahkan, asalkan saya bisa menjawab. Akan saya jawab.” Ucap Emma menyanggupi. Lusia meneguk ludahnya, “Kalau bukan kamu yang mepeepaskan ikatan di kakiku, lantas siapa?” “Saya tidak tau Nona.” Jawaban Emma justru membuat wajah Lusia memucat. Lantas? Siapa? Apakah mungkin kalau itu adalah Aaron? “Kalau tidak ada lagi yang ingin anda tanyak
Aaron mendekat ke lemari pakaianya yang super besar. Bahkan Lusia baru menyadari, kalau kamar Aaron ini sangatlah luas. Semua barang – barang yang berada di sini, seperti di desain dengan ukuran besar agar ruangan ini tak nampak kosong. Aaron mengancingkan kemejanya, perlahan dan akhirnya selesai. Lusia yang sejak tadi memilih menatap keluar jendela mendengar Aaron memanggilnya. “Hei!” seru Aaron. Lusia langsung refleks dan menengok ke arah Aaron, sembari menahan nafas. “Aku mau memaka
“Mau tidak mau, kamu harus menerima tawaran itu. Karena setelah kamu keluar dari sini, musuh – musuhku akan melihatmu dan menjadikanmu objek.” Gerakan meronta Lusia terhenti, apa lagi kali ini? Bahkan, kalau Lusia berhasil keluar dari sini? Ia akan masuk ke dalam kumpulan penjahat lainnya? Begitu maksud Aaron? Lusia mengatupkan bibirnya dengan sangat rapat. Aaron sangat konsisten dengan wajah tanpa ekspresi – nya. “Dan asalkan kamu tau, meskipun mereka mengira kamu sasaran empuk sekalipun. Aku tidak akan kehilangan apa – apa seandainya mereka membunuhmu.”
“Lantas, pekerjaan apa yang membuat Tuan Aaron harus mendapatkan banyak musuh, Emma?” “Itu penjelasan yang berada di luar kewenangan saya. Kalau Nona ingin tau jawabanya, silahkan Nona bertanya pada Tuan Aaron secara langsung.” Mustahil. Bantah Lusia di dalam hati. Meski suara Emma terdengar sangat tenang, suara itu justru berbanding terbalik dengan ekspresi yang Emma tunjukan. Ekspresi tak suka yang di campur tatapan tajam pada Lusia, Lusia yang tak menyangka akan mendapatkan reaksi seperti itu. Lusia membungkam mulutnya, mungkin kali ini ia sudah melewati batas hanya demi mendapatkan secuil informasi.&nbs
Aaron tak perlu berkata banyak, ia harus segera membawa Lusia ke rumahnya untuk memeriksa keadaanya. Sebelum meninggalkan Leon, Aaron memberikan pesan terakhirnya. “Anda sebaiknya jangan ikut campur terhadap hubungan saya. Karena saya hanya memperbolehkan anda masuk ke dalam hubungan bisni tapi anda menolaknya.” Aaron menyelesaikan ucapannya, dan petir kembali menyambar menjadi backsound yang mengerikan. Aaron berjalan meninggalkan Leon dan masuk ke dalam mobilnya sendiri. Sedangkan Leon masih tak bisa mengambil tindakan. Wanita itu... dia siapa? Leon masih bertanya &ndas