Begitu Lusia keluar dari kamar mandi, ia sudah mengenakan jubah kamar mandi yang kebesaran. Baru saja ia melangkah mendekati ranjang, Lusia sudah di kejutkan dengan keberadaan orang asing lain.
Seorang perempuan yang sudah berumur, mengenakan pakaian biasa dan menunduk pelan saat melihat Lusia.
“Anda sudah selesai?” tanya wanita itu.
Lusia tak urung menjawab, ia masih larut dalam keterkejutannya. Sampai akhirnya ia tersadar, Lusia hanya mengangguk pelan.
Wanita itu menatap Lusia dengan pandangan teduh namun wajah yang minim ekspresi.
“Nama saya Emma, saya yang akan mengurus keperluan anda selama ada di sini.” Tuturnya, perkenalan yang sangat singkat dan jelas.
“Say- saya Lusia.” Lusia ikut memperkenalkan diri, dan Emma mengangguk paham.
Emma dengan sigap, mendekat ke arah Lusia dan mengamati tubuh Lusia. Seakan tak terkejut saat Emma melihat banyak sekali ruam merah yang ada di leher Lusia. Bukan tanpa alasan.
Tuan menjadi seperti binatang buas dalam semalam. Batin Emma.
Emma menatap Lusia sekejap, ia melirik ke arah gaun yang ia bawa dan terlihat tidak cocok.
“Akan saya siapkan pakaian untuk anda. Anda bisa memilihnya begitu selesai.”
Lusia hanya mengangguk menurut, ia masih tak bisa membaca situasi. Pada akhirnya, Lusia membiarkan Emma yang membantunya. Meliht cara Emma mencari pakaian untuk Lusia kenakan.
“Anda lebih suka mengenakan celana longgar atau rok?” tanya Emma di sela – sela pencariannya.
“Rok, aku suka menggunakan rok.” Jelas Lusia.
Dan Emma kembali mencari rok di dalam lemari besar, bahkan sampai di titik di mana Emma tertelan lemari besar itu.
Saat Emma sudah menemukan pakaian ganti untuk Lusia, ia memberikan pilihan. Semua pakaian yang di berikan Emma untuk Lusia terlihat sangat cantik. Sangat modis dan jauh berbeda dengan pakaian yang Lusia kenakan sehari hari.
Lusia akhirnya menggunakan kaos lengan panjang dengan model turtle neck berwarna cokelat, untuk menutupi lehernya. Dan Lusia menggunakan rok hitam dengan motif bunga.
Setelahnya, Emma membantu Lusia untuk menata rambut panjangnya. Lusia hanya diam menurut saat Emma menata rambutnya dengan sangat telaten.
“Apa ada bagian tubuh anda yang sakit?” tanya Emma secara tiba – tiba.
Iya, ada. Rasanya Lusia ingin menjawab demikian, tapi ia terllau malu untuk memberitahu bagian mana dari tubuhnya yang kesakitan itu.
Emma menangkap ekspresi Lusia dari cermin. Ekspresi Lusia yang nampak ragu – ragu itu.
“Anda tidak perlu merasa malu untuk menceritakannya pada saya, sudah jad kewajiban saya untuk merawat anda selagi Tuan memerintahkan demikian.”
“Tuan?”
Emma mengangguk, “Iya. Tuan saya, laki – laki yang beberapa saat lalu keluar dari kamar ini dan memerintahkan saya untuk melayani anda.”
Lusia mengatupkan bibirnya rapat rapat, “Emma... “
Lusia memanggil nama Emma dengan bibir bergetar, “Aku takut....” ringik Lusia.
Emma tak terpengaruh, ia sangat pandai dalam memasang tampang datar dan dingin.
“Anda tidak perlu takut, tempat ini adalah tempt yang aman.” Ucap Emma.
Lusia menggeleng cepat, bukan itu yang Lusia takutkan.
Karena bagi Lusia, tempat ini adalah tempat yang berbahaya. Bukan sebaliknya.
“Aku ingin keluar.” Lusia sangat ingin pergi dari tempat ini, Lusia berharap Emma tau bagamana cara keluar dari tempat ini dan mau memberitahunya. Namun Emma hanya diam saja. Bibirnya terkatup rapat.
Emma tetap melakukan pekerjaanya, ia mengeringkan rambut Lusia dan begitu selesai, Emma menata rambut Lusia, menguncir ke belakang dengan sedikit kepangan rambut yang membuat Lusia terlihat rapi dan cantik.
“Anda bisa keluar dari tempat ini.” Emma akhirnya buka suara.
Lusia menatap Emma dari cermin, mencoba memastikan kalau yang Emma katakan bukanlah sebuah kebohongan.
“Hanya ada dua cara.” Tutur Emma dengan sangat serius, “Pertama anda akan di keluarkan saat Tuan sudah merasa bosan, atau dengan cara kedua, Anda terpaksa di keluarkan.”
“Terpaksa? Di keluarkan?”
Emma mengangguk, “Dan anda mungkin tidak ingin keluar dengan cara yang kedua.”
Mata Emma berkilat penuh misteri. Dan itu membuat Lusia menerka – nerka, membayangkan banyak hal buruk.
“Anda hanya perlu menunggu beberapa bulan, sampai Tuan Aaron merasa bosan dengan anda dan mencari pengganti anda.”
Aaron. Namanya Aaron. Lusia baru mengetahui namanya sekarang ini.
“Dan anda harus berbuat baik. Menurutlah selagi amarah Tuan Aaron masih di kendalikan.”
Entah kenapa, ucapan terakhir Emma sarat dengan peringatan keras yang tak boleh Lusia tentang.
Bagaimana? Bagaiaman kalau Lusia tidak sengaja membuat Aaron marah? Apa Lusia akan bebas?
Lusia hanya bisa meneguk ludahnya dengan kelu. Ia sekarang harus bertahan hidup.
Emma menaruh sisir yang sejak tadi di pegangnya.
“Silahkan anda turun, karena Tuan Aaron meminta anda untuk turun setelah berganti pakaian.”
Emma menunduk dan mengundurkan diri. Lusia sendiri masih terperangah dan belum bisa mengambil keputusan.
Tapi sebelum Emma keluar, Emma menatap Lusia penuh kekhawatiran.
“Ingat ucapan saya baik – baik, patuhlah pada Tuan Aaron.”
Setelah mengatakan itu, Emma benar – benar keluar dan tak lagi muncul.
Sedangkan Lusia masih berdiri tanpa pilihan. Ia belum bisa mengambil keputusan. Harga dirinya yang sangat tinggi, meski kesuciannya sudah terampas menolak untuk patuh terhadap Aaron.
“Dia akan bosan dalam beberapa bulan... “ bisik Lusia dengan mata terpejam.
Lusia berusaha meyakinkan dirinya, kalau ini adalah keputusan yang benar.
Menarik nafas dalam dalam, Lusia tengah mempersiapkan diri untuk keluar.
“Berusaha patuh Lusia. Kamu terbiasa seperti itu dulu. “
Dan Lusia mendekati pintu, membukanya meski belum siap menghadapi apa yang akan terjadi di luar sana.
@@@
Tapi sebelum Emma keluar, Emma menatap Lusia penuh kekhawatiran. “Ingat ucapan saya baik – baik, patuhlah pada Tuan Aaron.” Setelah mengatakan itu, Emma benar – benar keluar dan tak lagi muncul. Sedangkan Lusia masih berdiri tanpa pilihan. Ia belum bisa mengambil keputusan. Harga dirinya yang sangat tinggi, meski kesuciannya sudah terampas menolak untuk patuh terhadap Aaron. “Dia akan bosan dalam beberapa bulan... “ bisik Lusia dengan mata terpejam. Lusia berusaha me
“Emma? Bolehkan aku bertanya?” Lusia nampak ragu – ragu menayakan isi pikirannya. Namun Emma mengangguk, “Silahkan, asalkan saya bisa menjawab. Akan saya jawab.” Ucap Emma menyanggupi. Lusia meneguk ludahnya, “Kalau bukan kamu yang mepeepaskan ikatan di kakiku, lantas siapa?” “Saya tidak tau Nona.” Jawaban Emma justru membuat wajah Lusia memucat. Lantas? Siapa? Apakah mungkin kalau itu adalah Aaron? “Kalau tidak ada lagi yang ingin anda tanyak
Aaron mendekat ke lemari pakaianya yang super besar. Bahkan Lusia baru menyadari, kalau kamar Aaron ini sangatlah luas. Semua barang – barang yang berada di sini, seperti di desain dengan ukuran besar agar ruangan ini tak nampak kosong. Aaron mengancingkan kemejanya, perlahan dan akhirnya selesai. Lusia yang sejak tadi memilih menatap keluar jendela mendengar Aaron memanggilnya. “Hei!” seru Aaron. Lusia langsung refleks dan menengok ke arah Aaron, sembari menahan nafas. “Aku mau memaka
“Mau tidak mau, kamu harus menerima tawaran itu. Karena setelah kamu keluar dari sini, musuh – musuhku akan melihatmu dan menjadikanmu objek.” Gerakan meronta Lusia terhenti, apa lagi kali ini? Bahkan, kalau Lusia berhasil keluar dari sini? Ia akan masuk ke dalam kumpulan penjahat lainnya? Begitu maksud Aaron? Lusia mengatupkan bibirnya dengan sangat rapat. Aaron sangat konsisten dengan wajah tanpa ekspresi – nya. “Dan asalkan kamu tau, meskipun mereka mengira kamu sasaran empuk sekalipun. Aku tidak akan kehilangan apa – apa seandainya mereka membunuhmu.”
“Lantas, pekerjaan apa yang membuat Tuan Aaron harus mendapatkan banyak musuh, Emma?” “Itu penjelasan yang berada di luar kewenangan saya. Kalau Nona ingin tau jawabanya, silahkan Nona bertanya pada Tuan Aaron secara langsung.” Mustahil. Bantah Lusia di dalam hati. Meski suara Emma terdengar sangat tenang, suara itu justru berbanding terbalik dengan ekspresi yang Emma tunjukan. Ekspresi tak suka yang di campur tatapan tajam pada Lusia, Lusia yang tak menyangka akan mendapatkan reaksi seperti itu. Lusia membungkam mulutnya, mungkin kali ini ia sudah melewati batas hanya demi mendapatkan secuil informasi.&nbs
Aaron tak perlu berkata banyak, ia harus segera membawa Lusia ke rumahnya untuk memeriksa keadaanya. Sebelum meninggalkan Leon, Aaron memberikan pesan terakhirnya. “Anda sebaiknya jangan ikut campur terhadap hubungan saya. Karena saya hanya memperbolehkan anda masuk ke dalam hubungan bisni tapi anda menolaknya.” Aaron menyelesaikan ucapannya, dan petir kembali menyambar menjadi backsound yang mengerikan. Aaron berjalan meninggalkan Leon dan masuk ke dalam mobilnya sendiri. Sedangkan Leon masih tak bisa mengambil tindakan. Wanita itu... dia siapa? Leon masih bertanya &ndas
“Ibu salah tentang satu hal.” Ucap Leon dengan suara lemah lembut, “Aku sangat tertarik dengan seorang perempuan.” Ucap Leon dengan nada misterius yang berhasil memancing rasa penasaran ibunya. Glak! Sura cangkir yang di taruh dengan terburu – buru. “Kamu? Tengah menyukai perempuan?” tanya Ibu Leon, mencoba untuk mengkonfirmasi, karena ini adalah kali pertama Leon membicarakan masalah perempuan. Leon menggeleng pelan, “Tidak. Aku hanya tertarik, karena dia secantik Ibu..... “ ucap Leon dengan keseriusan. Namun Ibu Leon mendecakan lidahnya, l
Emma masuk ke dalam kamar yang berantakan, tentu bukan bagian kamar yang lain. Tak lain tak bukan adalah ranjang. Selimut dan seprai berada di posisi jungkir balik dan tidak bisa di katakan baik. Begitu melihat Lusia yang sangat kacau, Emma segera bergerak lebih cepat. “Nona.... “ seru Emma dengan sangat khawatir. Ia melihat bercak – da – rah di lantai dan segera melihat kondisi Lusia. “Apa ada yang terluka?” tanya Emma sungguh – sungguh. Jemari Lusia menunjuk ke arah infus yang teronggok di lantai karena di tarik paksa oleh Aaron. Emma menutup mulutnya karena terkejut.