Tubuh Lusia di angkat, dan entah di bawa kemana. Lusia tak mengetahuinya. Yang Lusia lakukan hanyalah bernagas setenang dan sepelan mungkin agar orang – orang mengira kalau Lusia masih tak sadarkan diri.
Tak begitu lama, Lusia mendengar banyak suara. Suara deret pintu yang di buka. Suara angin. Dan Lusia memang merasakan terpaan angin di rambutnya. Dan setelah itu, Lusia di masukan ke dalam mobil. Lusia yakin benar karena bunyi debuman pintu saat di tutup benar benar keras.
Dan setelah itu, dengan mata yang masih tertutup. Lusia mendengar deru mesin dan mobil mulai berjalan.
Luisa tak tau ia akan di bawa kemana. Tapi itu adalah sebuah perjalanan panjang. Lusia tak tau berapa kali mobil yang di tumpakinya itu mengambil jalan lurus yang sangat panjang dan berbelok.
Perjalanan lama dan panjang yang sangat membosankan, serta rasa lelah yang baru Lusia sadari. Pelarianya yang membuat Lusia terjebak ke situasi yang sangat rumit. Perang batin dan juga fisik yang Lusia hadapi benar - benar melelahkan.
Hingga di satu titik, Lusia benar benar tertidur. ia tak lagi berpura pura pingsan.
***
Sorot cahaya bulan menerobos jendela kaca yang tirainya di sibakan begitu saja meski sudah malam. Lusia melihatnya, ia benar benar bisa melihat sekarang. Penutup matanya sudah di buang. Dan Lusia dapat melihat ruangan yang tak pernah ia lihat sebelumnya.
Ruangan dengan rak rak besar di setiap sisi dindingnya. Ranjang yang super besar dengan pendiangan yang masih menyala dan aroma kayu terbakar yang bisa Lusia cium. Dan Lusia melirik tubuhnya sendiri. Ia sudah berganti baju. Dengan gaun tidur super tipis dari sutera yang sangat mewah namun tak pantas untuk di kenakan. Kenapa begitu? Karena gaun yang Lusia kenakan sangatlah terbuka.
Yang membuat Lusia semakin terkejut lagi adalah, ia tak mengganti pakaiannya sendiri. Ada orang yang sudah menggantikan pakaian untuknya.
Lusia yang di serang keterkejutan itu, hendak segera bangkit. Tapi ia gagal. Meskipun pakaiannya sudah di ganti, orang yang sudah membelinya rupanya tak melupakan ikatan di tangan dan kaki Lusia, malah membiarkannya. Lusia bahkan merasa kalau ikatanya makin kencang.
“Ah...” erang Lusia, saat ia barusah melepaskan simpul ikatan di tanganya.
“Kenapa aku justru tertidur di kondisi berbahaya seperti barusan.... “
Lusia memarahai dirinya sendiri, andai ia tak tertidur, di perjalanan tadi ia bisa memanfaatkan keadaan untuk kabur. Tapi sialnya, rasa lelah karena berlari sangat jauh malah membuat Lusia tertidur dan bahkan sampai tak menyadari saat ada tangan asing yang menggantikan baju untuknya.
Saat Lusia tengah sibuk, berusaha melepaskan ikatan di tangan dan kakinya. Pintu ruangan itu di buka dari luar. Memunculkan sosok laki – laki dengan tatapan dingin dan angkuh yang baru Lusia temui.
Dengan langkah yang tenang, ia berjalan, mendekati ranjang di mana Lusia berada di atasnya. Mereka saling bertatapan dengan Lusia yang secara terang – terangan, memperlihatkan kalau ia hendak melepaskan diri.
Dan saat jaraknya dari ranjang sudah sangat dekat, laki – laki itu berhenti. Ia berdiri mematung dan menatap Lusia dengan tajam.
“Kamu tau usaha untuk melepaskan diri yang tengah kamu lakukan sekarang ini adalah hal yang sia – sia?”
Suara pria itu sangat dingin, peringatan yang ia berikan pada Lusia sarat dengan ancaman di saat yang bersamaan. Tanpa Lusia sadari, ia berhenti mencoba melepaskan diri.
Berada di bawah tatapan itu, membuat Lusia merasa terintimidasi dan terancam. Entah terancam karena apa.
Melihat Lusia yang berhenti mencoba meloloskan diri, laki laki itu kini menyilangkan tanganya di depan dada.
Ia secara terang terangan tengah mengamati tubuh Lusia, dan juga wajahnya. Di hujani tatapan seperti sekarang ini, membuat Lusia merasa di lecehkan.
“Apa yang kamu inginkan?!” teriak Lusia, ia beringsut menjauh, alarm di otaknya memerintahkan Lusia untuk berbuat demikian.
“Kamu.” Jawabnya dengan tenang.
Lusia menatap tajam, “Lepaskan aku!” teriak Lusia lagi.
“Tidak.” Jawabnya, “Aku sudah membelimu. Dan aku menginginkan kamu.”
Suara pria itu sangat dingin, peringatan yang ia berikan pada Lusia sarat dengan ancaman di saat yang bersamaan. Tanpa Lusia sadari, ia berhenti mencoba melepaskan diri. Berada di bawah tatapan itu, membuat Lusia merasa terintimidasi dan terancam. Entah terancam karena apa. Melihat Lusia yang berhenti mencoba meloloskan diri, laki laki itu kini menyilangkan tanganya di depan dada. Ia secara terang terangan tengah mengamati tubuh Lusia, dan juga wajahnya. Di hujani tatapan seperti sekarang ini, membuat Lusia merasa di lecehkan. “Apa yang kamu inginkan?!” teriak Lusia, ia beringsut menjau
“Aku ingin mati saja....” rintih Lusia dengan suara lirih yang hampir tak terdengar di ruangan luas ini. Dan Lusia melirik pria itu, ia sudah berada di ambang pintu, hendak meninggalkan kamar ini. Dia tidak tidur di sini. Batin Lusia, entah kenapa Lusia sedikit merasa lega. Dan suara debuman pintu yang sangat keras membuat Lusia bernafas lega. Lusia terus meratapi nasib buruknya. Hingga kayu – kayu di pendiangan itu terbakar sepenuhnya dan cahaya di kamar itu meredup. Waktu yang cukup lama. Barulah, rasa sakit dan rasa lelah yang Lusia rasakan, menuntun gadis malang itu u
“Lain kali, berjalanlah yang cepat.” Aaron mulai mengomel saat Lusia sudah berada di depan pintu kamar mandi. Aku sudah berjalan sangat cepat sampai melampaui batas kemampuanku. Batin Lusia membela diri. Tapi yang Lusia lakukan malah sebaliknya, ia memberikan tatapan penuh peperangan pada Aaron dari balik pintu. “Kamar ini yang terlalu luas.” Bantah Lusia. Dan ia menutup pintu, tepat di depan wajah Aaron. Lusia tak akan lupa, ekspresi keterkejutan Aaron saat mendengar ja
Begitu Lusia keluar dari kamar mandi, ia sudah mengenakan jubah kamar mandi yang kebesaran. Baru saja ia melangkah mendekati ranjang, Lusia sudah di kejutkan dengan keberadaan orang asing lain. Seorang perempuan yang sudah berumur, mengenakan pakaian biasa dan menunduk pelan saat melihat Lusia. “Anda sudah selesai?” tanya wanita itu. Lusia tak urung menjawab, ia masih larut dalam keterkejutannya. Sampai akhirnya ia tersadar, Lusia hanya mengangguk pelan. Wanita itu menatap Lusia dengan p
Tapi sebelum Emma keluar, Emma menatap Lusia penuh kekhawatiran. “Ingat ucapan saya baik – baik, patuhlah pada Tuan Aaron.” Setelah mengatakan itu, Emma benar – benar keluar dan tak lagi muncul. Sedangkan Lusia masih berdiri tanpa pilihan. Ia belum bisa mengambil keputusan. Harga dirinya yang sangat tinggi, meski kesuciannya sudah terampas menolak untuk patuh terhadap Aaron. “Dia akan bosan dalam beberapa bulan... “ bisik Lusia dengan mata terpejam. Lusia berusaha me
“Emma? Bolehkan aku bertanya?” Lusia nampak ragu – ragu menayakan isi pikirannya. Namun Emma mengangguk, “Silahkan, asalkan saya bisa menjawab. Akan saya jawab.” Ucap Emma menyanggupi. Lusia meneguk ludahnya, “Kalau bukan kamu yang mepeepaskan ikatan di kakiku, lantas siapa?” “Saya tidak tau Nona.” Jawaban Emma justru membuat wajah Lusia memucat. Lantas? Siapa? Apakah mungkin kalau itu adalah Aaron? “Kalau tidak ada lagi yang ingin anda tanyak
Aaron mendekat ke lemari pakaianya yang super besar. Bahkan Lusia baru menyadari, kalau kamar Aaron ini sangatlah luas. Semua barang – barang yang berada di sini, seperti di desain dengan ukuran besar agar ruangan ini tak nampak kosong. Aaron mengancingkan kemejanya, perlahan dan akhirnya selesai. Lusia yang sejak tadi memilih menatap keluar jendela mendengar Aaron memanggilnya. “Hei!” seru Aaron. Lusia langsung refleks dan menengok ke arah Aaron, sembari menahan nafas. “Aku mau memaka
“Mau tidak mau, kamu harus menerima tawaran itu. Karena setelah kamu keluar dari sini, musuh – musuhku akan melihatmu dan menjadikanmu objek.” Gerakan meronta Lusia terhenti, apa lagi kali ini? Bahkan, kalau Lusia berhasil keluar dari sini? Ia akan masuk ke dalam kumpulan penjahat lainnya? Begitu maksud Aaron? Lusia mengatupkan bibirnya dengan sangat rapat. Aaron sangat konsisten dengan wajah tanpa ekspresi – nya. “Dan asalkan kamu tau, meskipun mereka mengira kamu sasaran empuk sekalipun. Aku tidak akan kehilangan apa – apa seandainya mereka membunuhmu.”