Du Shen, seorang anak muda berusia sepuluh tahun, terlahir di sebuah tempat yang disebut desa Yaocun, desa terpencil di bagian timur Benua Yin.
Desa yang dihuni oleh kebanyakan petani dan pengrajin, tempat yang begitu tenang, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota besar. Du Shen adalah anak yang penuh semangat dan cerdas, meskipun usianya masih muda. Ia tinggal bersama kedua orang tuanya, Du Liong dan Mei Hua, di sebuah rumah kayu sederhana. Kehidupan mereka dipenuhi dengan rutinitas sehari-hari yang damai—berkebun, memelihara ternak, dan sesekali berburu di hutan untuk mencari bahan makanan. Suatu pagi yang cerah, Du Shen pergi ke hutan untuk mengambil kayu bakar atas perintah ibunya. Langkahnya ringan, disertai rasa bahagia karena hari itu cuaca begitu cerah nan indah. Pikirannya melayang, membayangkan sore nanti ia bisa duduk bersama orang tuanya di teras rumah sambil menikmati makanan ringan buatan ibunya dan menikmati secangkir teh hangat. Namun, kebahagiaan itu segera berubah menjadi mimpi buruk, situasi yang tak pernah Du Shen bayangkan seumur hidupnya. Saat Du Shen tiba di tepi hutan, suara angin mendadak terasa berbeda. Ada rasa gelisah yang merayapi dirinya. Ia menoleh ke arah desa Yaocun yang terlihat dari kejauhan. Di sana, ia melihat asap tebal membubung tinggi ke langit. Hatinya berdebar kencang. Ia segera menjatuhkan kayu bakar yang baru saja dipotong dan berlari secepat mungkin. Semakin dekat dengan desa, perasaan khawatir berubah menjadi ketakutan. Du Shen melihat sesuatu yang tak bisa ia percayai. Desa yang selama ini damai dan tenang, kini dilalap api. Rumah-rumah yang sebelumnya berdiri kokoh, kini hancur menjadi abu. Asap hitam pekat menggelayuti langit, dan suara ledakan api terdengar menggema di telinganya. "Ayah! Ibu!" Du Shen berteriak sekuat tenaga. Ia berlari menuju rumahnya, namun hatinya sudah dipenuhi oleh firasat buruk. Sesampainya di rumah, ia mendapati rumahnya hanya tinggal puing-puing hitam gosong. Bara api masih berkobar di beberapa tempat, namun tak ada tanda kehidupan. Du Shen merosot ke tanah, tubuhnya lemas. Ia memanggil nama kedua orang tuanya lagi, namun tak ada jawaban. Ia berlari ke setiap sudut desa, mencoba mencari mereka, berharap bisa menemukan satu jejak yang menunjukkan bahwa mereka masih hidup. Namun, usahanya sia-sia. Desa itu kosong. Tidak ada siapapun. Air mata Du Shen mulai mengalir, namun ia mencoba menepisnya. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa kedua orang tuanya masih selamat. 'Mungkin mereka sedang bersembunyi di suatu tempat,' batinnya. "Aku harus mencari lagi. Ayah, ibu, dimana kalian?" panggilnya dengan nada khawatir dan gelisah. Dengan langkah yang gemetaran, Du Shen berkeliaran di sekitar desa Yaocun yang dilalap api. Ia telah berjalan beberapa waktu, tapi tak satupun penduduk terlihat di matanya. Namun, kenyataan itu terlalu berat untuk diterima. Di tengah hancurnya desa dan kehancuran hatinya, Du Shen mendengar suara jeritan yang berasal dari hutan di belakang desa. Suara itu mengerikan, penuh dengan rasa sakit dan ketakutan. Du Shen bergegas menuju hutan, jantungnya berdegup kencang. Berharap tak terjadi sesuatu yang buruk pada orang tuanya dan penduduk desa. Dengan langkah ragu Du Shen tiba, ia mengintip dari balik pepohonan. Apa yang ia saksikan membuat seluruh tubuhnya membeku. Sekelompok bandit berkuda tengah bersenang-senang di sekitar tumpukan tubuh warga desa Yaocun yang tak berdaya. Tawa mereka terdengar mengerikan, semakin memekakkan telinga Du Shen. Suara jeritan memecah keheningan. Du Shen bisa mendengar dengan jelas, suara ayahnya, Du Liong, yang terdengar tercekik oleh penderitaan. "Ayah!" Du Shen berteriak—dalam hati. "Tidak, ini tidak mungkin!" Matanya yang besar terbeliak. Dalam kebisuan hutan, ia menyaksikan ayahnya dipukuli tanpa ampun oleh para bandit. Mereka tidak hanya menyiksanya, tetapi juga mempermainkan nyawanya dengan sangat kejam. Du Shen merasa tubuhnya gemetar hebat, seolah otot-ototnya tak mampu lagi menahan rasa sakit emosional yang mendera batinnya. "Tidak! Tidak!" Du Shen hampir berteriak, namun tubuhnya seolah tak bisa digerakkan, mulutnya seakan disumbat. Ia hanya bisa diam, mematung, menyaksikan sosok ayahnya yang tercinta diperlakukan seperti itu. Air mata mengalir deras, namun ia tetap tidak bisa berbuat apa-apa... "Ugh!" rintih Du Liong, "t-tolong... ampuni kami." katanya lirih, rasa sakit yang luar biasa menyengat seluruh tubuhnya. "Hah? Orang ini cukup tahan pukul. Tapi, ini jadi semakin menyenangkan!" seru seorang bandit di hadapan Du Liong. Tangan bandit itu terkepal erat, dilapisi sebuah rantai besi yang membuat pukulannya semakin mengerikan. "Rasakan ini! Lagi! Lagi! Lagi!" serunya sambil melancarkan pukulan bertubi-tibi ke sekujur tubuh pria paruh baya itu. Jeritan keras memekik di dalam hutan, cukup menghibur bagi komplotan para bandit Kapak Merah. Dengan setiap jeritan ayahnya yang menggemuruh di telinga, tubuh Du Shen semakin lemah. Hatinya penuh dengan kebencian yang mendera. Tiba-tiba, tubuh ayahnya terjatuh, tak bernyawa lagi. Du Shen melihat dengan jelas, menyadari betapa kejamnya dunia ini, dan betapa lemahnya dirinya. Ia ingin berlari, berteriak, melawan para bandit itu. Namun, tubuhnya tetap tidak bisa bergerak. Seakan-akan, dunia ini menjadi sangat sempit, penuh dengan kegelapan yang menenggelamkan dirinya. 'Kenapa aku tidak bisa berbuat apa-apa?' ucapnya dalam hati, air matanya terus mengalir. 'Kenapa aku tidak bisa menyelamatkan mereka?' Dengan satu jeritan dalam hati, Du Shen berlutut di balik pohon, tubuhnya rapuh, tergeletak di tanah. Kebencian yang mendalam mulai tumbuh dalam dirinya. Ia tidak tahu bagaimana, tetapi ia berjanji dalam hati—suatu saat, ia akan membalas perbuatan para bandit itu. Dengan kekuatan yang lebih besar, ia akan membuat mereka merasakan penderitaan yang lebih buruk dari yang ia rasakan saat ini. "Aku akan membunuh kalian semua!" gumam Du Shen dengan penuh kebencian. "Aku akan membuat kalian merasakan apa yang aku rasakan. Aku akan membalas kalian seribu kali lebih menyakitkan!" Ketika kebencian itu merasuk ke dalam jiwanya, tubuh Du Shen akhirnya tidak bisa lagi menahan beban mental dan fisiknya. Ia jatuh pingsan di tempat, tubuhnya terkulai lemah, sementara dunia sekitarnya tetap dalam kesunyian yang menyakitkan. *** Beberapa waktu berlalu, Du Shen perlahan membuka matanya. Sensasi yang dirasakannya begitu asing. Ia berada di sebuah ruangan yang gelap dan kasar. Tak ada suara, hanya ketenangan yang menekan. Tiba-tiba, sosok tua muncul di sampingnya. Seorang pria berjenggot putih lebat dengan mata yang tampak penuh kebijaksanaan. Dia tersenyum lemah, namun ada sesuatu yang dalam dari tatapannya. "Bangunlah, nak. Kau tak bisa terus-terusan tidur," kata sosok tua itu dengan suara yang dalam namun penuh kasih. Du Shen menatap sosok itu dengan bingung. "Siapa... siapa kau?" tanyanya, suara seraknya nyaris tak terdengar. "Aku hanya kakek tua yang tak sengaja menemukan berlian di tumpukan kerikil," jawab sosok itu, senyum lemah lembut tetap terukir di wajahnya. Du Shen menatap sosok itu, dan dalam hatinya yang hancur, ia merasakan bahwa sosok tua itu tak berbahaya sedikitpun, walaupun ia merasa agak sedikit bingung dengan ucapannya. "Dimana... aku, kek?" tanya Du Shen setelah mencoba untuk duduk. Si kakek tua yang tampak lemah itu tersenyum lagi, wajahnya yang keriput menunjukkan belas kasih yang dalam. "Ini tempat tinggalku," balasnya. Tiba-tiba, Du Shen teringat akan kejadiian terakhir yang menyulut kebenciannya. Wajah Du Shen mengeras seketika, jauh dalam hatinya ia mengutuk dengan benci atas perlakukan para badit itu pada keluarganya. Sosok kakek tua yang duduk tak jauh darinya memperhatikan perubahan ekspresi Du Shen. "Siapa namamu, nak?" tanya sang kakek. Du Shen buru-buru menenangkan diri, lalu menoleh ke arah lelaki tua itu. "Saya Du... Du Shen, kek." ucapnya. "Aku mengerti perasaanmu, nak. Jangan biarkan kebencian menguasai dirimu, kau harus mengendalikannya sebaik mungkin... Karena jika itu terjadi, kau tak hanya akan kehilangan sesuatu yang berharga, tetapi juga segala hal yang kau miliki... termasuk hidupmu." ucap sang kakek menenangkan Du Shen. Anak muda itu sendiri merasa terkejut, ia tak pernah mengira jikalau kakek tua itu mengetahui perasaan yang tumbuh jauh di dalam lubuk hatinya. "T-tapi, kek. Apa yang harus kulakukan, mereka semua, para bandit itu telah merenggut nyawa orang tuaku! Aku jelas tidak bisa mengampuni mereka!" ujar Du Shen, terlihat jelas amarah di wajahnya. "Nak, tak ada yang melarangmu untuk balas dendam. Tapi, kau haru tahu, kebencian hanya akan menghambat jalanmu sendiri." ucapnya, "kalau kau mau, jadilah muridku. Aku melihat potensi besar dalam dirimu, dan sepertinya kita memang telah ditakdirkan bertemu." senyum sang kakek. Du Shen menatap dengan mata bulatnya, ia perlahan mengerti ucapan kakek tua itu dan perlahan melangkah bangun dari tempat tidur yang terbuat dari tumpukan jerami. "Mulai saat ini, aku, Du Shen. Akan menjadi muridmu, kek. Aku bersedia melakukan apapun asal aku bisa menjadi kuat dan membalaskan dendam itu." seru Du Shen sambil berlutut di atas tanah gua. "Ya, begitulah seharusnya, muridku." balas sang kakek dengan senyum hangat.Di sebuah hutan lebat di tepian timur Benua Yin, seorang pemuda berdiri di bawah naungan pohon yang rimbun. Suara gemerisik air sungai mengalir lembut di sampingnya, namun suasana hatinya tak selaras dengan kedamaian di sekitarnya. Wajahnya keras, matanya tajam memandang ke depan, penuh dengan tekad yang tak tergoyahkan. Pemuda itu adalah Du Shen, yang kini telah tumbuh dewasa. Bertahun-tahun berlalu sejak peristiwa tragis yang merenggut semua yang ia cintai. Kini ia telah dewasa, dari seorang anak berusia sepuluh tahun, tumbuh lebih tinggi, berotot dan semakin tampan. Dia yang dulu jelas tak dapat dibandingkan dengan dirinya sekarang. Dulu ia sering sekali merengek setelah merasakan betapa pedih dan kerasnya ajaran dari gurunya. "Tunggu saja," gumam Du Shen dengan suara dingin, seraya menggenggam erat gagang pedang yang terselip di pinggangnya. "Mereka akan merasakan kepedihan yang telah lama mengakar di hatiku. Gigi dibalas gigi, mata dibalas mata." Ia berdiri, mengusa
Langit semakin kelabu, awan hitam menggantung rendah di atas Kota Danau Hitam. Angin dingin yang menusuk tulang berhembus kencang, membawa aroma lembab dari danau yang menjadi pusat kota itu. Suasana hiruk pikuk masih terasa di dalamnya, meski beberapa penduduk tampak bergegas menutup kios-kios mereka sebelum hujan deras turun.Setelah perjalanan yang melelahkan, Du Shen akhirnya tiba di gerbang kota yang megah. Pintu gerbang besar dari kayu ek yang kokoh menjulang tinggi, dihiasi ukiran naga dan singa yang melambangkan kejayaan tiga klan aristokrat yang menguasai kota tersebut. Namun, alih-alih terkesan, Du Shen hanya meliriknya dengan acuh.“Berhenti di situ!” seru seorang penjaga gerbang, menghentikan langkahnya. Pria itu bertubuh besar dengan wajah kasar yang dihiasi janggut tebal.Du Shen mendongak sedikit, mengangkat caping bambu yang menutupi sebagian wajahnya. “Ada apa?” tanyanya singkat, suaranya datar tanpa emosi.“Dari mana asalmu?” tanya penjaga itu dengan nada yang tak b
Du Shen duduk tenang di bangkunya, hanya sesekali meneguk gelas minuman yang tersaji di depannya. Matanya tidak menunjukkan emosi apapun saat ia melirik ke arah Murong Chen. Sikapnya yang santai itu justru mempertegas aura dingin yang mengelilinginya."Aku di sini hanya untuk makan," ujarnya singkat. Suaranya tenang, hampir tak beremosi, namun setiap kata mengandung ketegasan. "Aku tak punya urusan dengan kalian."Hao Yexin yang duduk di depannya segera menangkap nada netral itu. Dia mendengus, mencoba mengalihkan perhatian Murong Chen. "Apa kalian dengar itu, Murong Chen? Kami tidak ada urusan dengan kalian. Jadi lebih baik kau pergi saja!" katanya, suaranya sedikit bergetar meski ia mencoba terdengar percaya diri.Murong Chen tertawa pelan, tawa yang penuh ejekan. Matanya menyipit, memandang Hao Yexin dan Du Shen seperti dua semut kecil di hadapannya. "Kalian dengar itu?" tanyanya kepada anak buahnya, suaranya meninggi. "Dua orang rendahan ini berani mengusirku, Tuan Muda Murong Ch
Dengan satu gerakan, Du Shen mendorong Murong Chen ke belakang. Pemuda itu terhuyung dan jatuh terduduk di lantai, wajahnya memerah karena malu dan marah. Hao Yexin tersenyum tipis melihat kekalahan Murong Chen. "Sepertinya kau harus berpikir dua kali sebelum mengganggu orang lain, Murong Chen," katanya dengan nada mengejek. Murong Chen menatapnya dengan penuh kebencian. "Ini belum selesai, Hao Yexin! Kau pikir kau bisa sembunyi selamanya?! Aku akan memastikan kau menyesal telah mempermalukanku hari ini!" Setelah melontarkan ancaman itu, Murong Chen berdiri dan meninggalkan toko bersama anak buahnya yang masih mengerang kesakitan. Hening kembali menyelimuti toko setelah Murong Chen pergi. Walau begitu para pengunjung toko yang sebelumnya terdiam kini mulai berbisik-bisik. Mereka takjub melihat bagaimana seorang pemuda sederhana dan terlihat lusuh itu bisa mengalahkan tiga orang tanpa banyak usaha. Terlebih mereka adalah bagian dari Keluarga Murong di kota Danau Hitam ini. M
Hao Yexin menyeka butiran air matanya, setelah mempertimbangkan ucapan Du Shen, ia mulai sadar bahwa menangis tak akan menyelesaikan masalah. "Kau benar, tak ada gunanya meratapi dengan kesedihan.""Aku minta maaf karena menunjukkan tingkah memalukanku." lanjutnya sebelum berdiri perlahan.Hao Yexin melangkahkan kakinya keluar dari toko. Namun, kali ini sorot matanya sedikit lebih tajam dan bertekad."Aku bisa mempertimbangkan tawaranmu tadi. Tapi, ada syaratnya," ujar Du Shen, langsung menghentikan langkah Hao Yexin yang hendakk pergi.Gadis itu menoleh kembali dengan tatapan penuh akan tanda tanya. Walaupun masih ada jejak kesedihan dalam raut wajahnya, ia berusaha tetap tegar."Syarat?" gumamnya pelan, menatap ke lantai kayu di bawah kakinya sebelum kembali menatap Du Shen."Aku rasa tak ada gunanya mempertimbangkan ucapanku tadi. Aku hanya mengatakannya tanpa pikir panjang... kau bisa melupakannya." balas Hao Yexin akhirnya setelah memikirkan kembali beberapa hal.Du Shen menghela
Tetua Zhang yang masih mempertahankan senyum tipisnya menatap gadis muda itu seakan peluang besar telah terbuka. "Kau harus menikah dengan Tuan Muda Murong Chen. Dengan begitu mereka akan membantu menghubungi Tabib Surgawi dengan koneksi mereka di Sekte Azure Dragon." Seketika Hao Yexin kembali membeku, kali ini pikirannya mengembara kemana-mana. Ia tak menyangka bahwa syarat yanng dikatakan Tetua Zhang adalah hal buruk yang tak pernah ia bayangkan.'J-jadi ini tujuan Tetua Zhang? Bagaimana bisa, dia memanfaatkan keadaan ini dan menyeretku demi keuntungannya.' batin Hao Yexin.Wajahnya tampak memerah menahan kemarahan yang seketika tumbuh dalam hatinya. Ia melirik pria tua itu dengan tatapan benci dan kesal.Namun, matanya yang kembali melirik Kepala keluarga terbaring di atas ranjang, membuat pendirian Hao Yexin mulai goyah. Butiran air di pelupuk matanya semkin tak tertahankan, perlahan tumpah membasahi pipinya yang mulus."Kau harus memutuskan, Tuan Putri. Jika tidak, keselamatan
Du Shen malah tersenyum sederhana, ia mengangguk sesaat, namun gelak tawa cekikikan terdengar dari arah samping mereka.Tetua Zhang dan Tabib Liu tampak menahan perut mereka yang sakit karena tawa."Anda dengar, Tabib Liu? Pemuda ini benar-benar menganggap dirinya sebagai tabib." ujar Tetua Zhang menahan tawanya.Sedangkan Tabib Liu mengusap butiran air mata yang keluar setelah tawa terbahak-bahak. "Aku sendiri yang telah berlatih teknik pengobatan selama puluhan tahun, mengaku tak mampu menyembuhkan penyakit Kepala keluarga Hao." ucapnya dalam jeda, "namun, kau yang tak lebih dari setengah umurku, tiba-tiba datang dan mengaku sebagai tabib." lanjutnya."Benar, apa yang bisa dilakukan pemuda lusuh sepertimu?" sambung Tetua Zhang kali ini dengan tatapan serius, ucapannya penuh penghinaan.Du Shen menatap kedua pria paruh baya itu dengan tatapan dingin dan seringai tipis."Kepala keluarga Hao tak menderita penyakit, melainkan menderita karena racun." ujar Du Shen membuat Tetua Zhang dan
Menghina gurunya berarti orang itu siap untuk mati. Namun, Du Shen menahan gejolak emosinya yang tumbuh seketika, mencoba untuk tetap tenang dan fokus pada penyembuhan Kepala keluarga Hao.Tabib Liu dan Tetua Zhang masih tertawa penuh penghinaan, tapi mereka tak tahu bahwa nama mereka telah masuk ke dalam daftar hitam di lubuk hati Du Shen.Mengabaikan cemohan mereka, Du Shen kembali membuka tutup botol kecil di tangannya. Tampak asap kehijauan yang samar keluar, memberikan sensasi dingin dan mematikan dari racun itu."T-tunggu." potong Hao Yexin dengan tatapan ragu. "Apakah ini akan baik-baik saja?" tanyanya kehawatir.Bagaimanapun jika Du Shen gagal dalam mengobati ayahnya, maka semua akan menjadi lebih buruk dari apa yang dia harapkan. Saat ini ia hanya bisa pasrah dan membiarkan Du Shen memenuhi harapannya.Segera cairan dalam botol itu di tuangkan ke dalam mulut Hao Jifeng, Du Shen menutup hidungnya agar racun itu tertelan sepenuhnya.Tak berselang lama, Kepala keluatga Hao menun
Dengan gerakan tenang, Du Shen menggigit ibu jarinya, meneteskan setitik darah segar. Darah itu tidak jatuh ke tanah, melainkan melayang di udara, berpendar dengan cahaya merah tua yang samar dan dikelilingi aura Qi tipis yang berputar perlahan.Rubah itu, yang seolah memahami apa yang Du Shen lakukan, juga menggigit jarinya. Setetes darah kemerahan muncul dan ikut melayang di udara, menyatu dengan tetesan darah Du Shen.Begitu kedua darah itu bertemu, keduanya bergetar, lalu perlahan menyatu membentuk satu gumpalan merah yang bersinar lembut, dikelilingi pusaran energi spiritual yang memancar tenang. Dalam sekejap, gumpalan itu terbelah menjadi dua cahaya kecil yang masing-masing melesat masuk ke dalam tubuh Du Shen dan tubuh rubah ekor sembilan itu.Seketika itu, sebuah koneksi halus namun kuat terjalin di antara mereka. Aura mereka saling menyatu, dan jiwa mereka beresonansi seolah dapat saling memahami satu sama lain.Ritual itu dikenal sebagai Ikatan Jiwa—ikatan sakral yang hanya
Setelah penjelasan panjang lebar dari Zhao Lao mengenai Hutan Kabut Ilusi dan Wilayah Dewa Leluhur, Du Shen hanya mengangguk tenang. Pandangannya dingin namun dalam, seakan memikirkan seribu langkah ke depan. Dengan gerakan pelan, ia memberi isyarat pada Zhao Lao dan muridnya untuk pergi."Terima kasih atas informasinya. Sekarang, kalian boleh pergi," ucapnya singkat.Zhao Lao langsung membungkuk sopan, kemudian menarik lengan muridnya. Namun Han Jue justru mematung, matanya masih menatap lekat ke arah Du Shen—walau tidak berani menatap langsung tepat ke mata pemuda itu. Pupil matanya bergetar halus, seolah dipenuhi keraguan.Sebelumnya, ia begitu yakin bahwa pria ini hanyalah kultivator muda biasa yang tak mengerti betapa luasnya dunia ini. Namun setelah mendengar gurunya yang begitu menghormati Du Shen dan melihat bagaimana makhluk buas itu tunduk padanya, benaknya mulai kacau. Ada sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar kekuatan—sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan, seperti aura
Dengan langkah yang terasa berat, Zhao Lao akhirnya memberanikan diri untuk melangkah maju. Wajahnya yang sebelumnya dipenuhi dengan ketegangan kini dipulas dengan ekspresi ragu dan penuh kehati-hatian. Ia sedikit menunduk hormat, lalu mengepalkan kedua tangannya di depan dada sebagai bentuk penghormatan para kultivator."Mohon maafkan tindakan menyinggung kami sebelumnya, Tuan," ucap Zhao Lao, nadanya jauh lebih sopan dan merendah dibandingkan sikapnya beberapa saat lalu. "Kami sungguh tidak tahu dengan siapa kami berhadapan. Jika diperkenankan… bolehkah kami tahu siapa Anda sebenarnya?"Suasana mendadak hening, seolah alam pun menahan napas. Angin yang tadi berhembus lembut kini terasa dingin menusuk kulit, membawa ketegangan yang tak terlihat namun jelas terasa.Du Shen hanya menatapnya diam. Pandangannya dingin, seolah tak terusik sedikit pun oleh perubahan sikap pria tua itu. Namun ada seulas senyum getir yang perlahan mengembang di sudut bibirnya—senyum yang cukup mengintimidasi
Di sisi lain, Du Shen mengangkat kepalanya perlahan, menatap Han Jue dan Zhao Lao secara bergantian. Matanya tenang, tapi menyimpan kedalaman yang tak terjangkau."Beraninya kau menghindar dan meremehkan kekuatanku… mati saja kau!" teriak Han Jue, amarah semakin membara di matanya.Teriakannya menggema, membuyarkan lamunan Zhao Lao yang sedari tadi terus mengamati situasi dengan penuh keraguan. Ia sudah bisa melihat ke mana arah pertarungan ini akan berakhir—dan ia tidak menginginkan hal itu terjadu sama sekali.Han Jue bukan murid biasa. Ia adalah anak didik kebanggaannya, salah satu jenius muda di Sekte Azure Dragon, dikenal luas karena kekuatan serta potensinya yang luar biasa. Namun, pemuda yang berdiri di hadapan mereka ini—bukanlah seseorang yang bisa di hadapi oleh muridnya.Zhao Lao menggertakkan giginya. Ia tak boleh membiarkan muridnya terseret lebih jauh dalam konfrontasi ini. Aura yang terpancar dari Du Shen tak berkurang sedikit pun, malah semakin tajam seperti pedang yan
Lusinan bilah pedang Qi melesat dari segala arah, mengoyak udara dengan suara siulan tajam. Setiap bilah memancar dalam cahaya merah muda yang menyilaukan, melesat ke arah Du Shen bagaikan hujan kematian yang tak terelakkan.Namun Du Shen segera bergerak dengan lincah, kecepatannya luar biasa hingga mustahil untuk lihat oleh mata biasa. Dalam sekejap, Du Shen membelokkan tubuhnya ke kiri, lalu memutar ke belakang dengan kecepatan yang mengejutkan. Tubuhnya seakan lentur bagai aliran air, melayang di udara dan berputar seperti dedaunan yang menari dihembus angin.Beberapa bilah pedang Qi nyaris menyentuh jubahnya, bahkan sehelai rambutnya pun hampir tertebas, namun tak satu pun dari serangan itu berhasil menyentuhnya. Setiap langkahnya seolah sudah diperhitungkan dengan presisi mutlak, membuatnya tampak seperti bayangan yang menari di antara bilah-bilah mematikan.Han Jue membelalak, nafasnya terasa sedikit tercekat.'Bagaimana bisa?' pikirnya, matanya melebar tak percaya. Ia tahu bet
"Kalau iya, memangnya kenapa?" sahut Du Shen, nadanya datar namun menusuk, diselimuti aura dingin dan keangkuhan layaknya anak muda dari kalangan terhormat yang terbiasa berada di atas angin.Seketika udara di sekeliling terasa berat. Kalimat itu, yang terucap dengan begitu ringan, seolah menampar harga diri mereka. Pria tua yang berdiri tegak di balik jubah biru tuanya tampak terdiam beberapa detik. Wajah keriputnya semula tenang, namun kini perlahan mengeras, menampakkan sorot mata gelap penuh tekanan. Ada kilatan kemarahan yang tak bisa ditutupi, meski ia mencoba mempertahankan sikap berwibawa dan bijaknya."Kalau begitu... serahkan saja rubah itu. Kami akan mengurus sisanya," ucapnya pelan namun tajam, seolah kata-katanya adalah perintah yang tak bisa dibantah.Mendengarnya Du Shen hanya mendengus pelan, sudut bibirnya terangkat tipis dalam senyum sinis. Ia melirik sekilas ke arah rubah ekor sembilan yang masih tergeletak di atas tanah, tubuhnya gemetar menahan rasa sakit dari lu
Rubah ekor sembilan. Salah satu binatang buas langka yang tercatat dalam sejarah Benua Yin. Keberadaannya begitu jarang hingga sebagian orang menganggapnya hanya dongeng. Namun kenyataan di depan mata Du Shen berkata lain.Du Shen berdiri terpaku di antara rimbun hutan berkabut, menatap tubuh makhluk itu yang kini tergeletak lemah di atas tanah yang becek oleh darah. Cahaya keemasan yang samar masih memancar dari tubuh binatang itu, rubah ini telah mencapai tingkat kultivasi ranah Golden Core—sebuah pencapaian langka bahkan di antara makhluk-makhluk buas lainnya di dunia ini. Inti roh dan darah rubah ini, jika dimurnikan, bisa menjadi bahan utama dalam pembuatan pil tingkat tinggi atau Artefak tingkat tinggi yang berkualitas.Tak heran jika banyak orang-orang ataupun kultivator ingin memburunya.Tubuh rubah itu tampak compang-camping. Bekas tebasan dan tusukan tampak melekat di seluruh tubuhnya, dengan darah yang terus mengalir tak terkendali. Beberapa jarum perak setipis bulu masih
Di bawah cahaya bulan purnama yang menggantung tinggi di langit malam, sinarnya yang pucat menembus celah dedaunan lebat hutan. Cahaya itu memantul lembut di permukaan kabut tipis yang menggantung rendah, menciptakan ilusi seperti dunia mimpi. Suasana tampak tenang di permukaan, namun Du Shen merasakan kejagalan yang tak bisa dijelaskan.Ia berdiri tegak di atas sebuah batu datar, jubahnya berkibar lembut tertiup angin malam. Matanya menyipit, menatap ke arah barat, tempat hawa yang tidak biasa mulai merambat perlahan. Hidungnya mengendus samar, mendeteksi bau logam tipis bercampur dengan aroma tanah basah."Kabut ini tidak biasa," gumamnya dalam hati. "Seolah-olah mengandung Qi yang terdistorsi… presepsiku bahkan tak bisa menembus lebih dari beberapa kilometer. Sesuatu… atau mungkin seseorang… telah mengacaukan medan spiritual tempat ini."Beberapa detik berlalu. Kemudian, tanah tiba-tiba bergetar, ranting-ranting dan dedaunan kering juga tampak berderak. Suara langkah besar yang me
Di dunia ini, kekuatan sejati tidak lahir semata dari tenaga murni, teknik kultivasi kuno, atau tubuh yang diperkuat ribuan kali lipat. Semua itu hanyalah fondasi awal—batu pijakan kasar di jalan panjang menuju pemahaman yang sebenarnya.Di atas semua bentuk kekuatan itu... terdapat sesuatu yang tak terlihat, tak tersentuh, namun mengatur segala hal. Ada yang menyebutnya esensi alam, ada pula yang memanggilnya napas dunia. Tapi, mereka yang telah menyelami kedalaman dunia kultivasi dan membelah batas pikiran menyebutnya dengan satu nama, yaitu: "Hukum".Hukum adalah kebenaran murni, bagaikan benang halus yang menenun keberadaan seluruh alam semesta ini. Tanpa hukum, dunia dan seisinya tak akan pernah berjalan, dan hukum itu sendiri diciptakan untuk mengatur seluruh kehidupan agar berjalan pada tempatnya.Di dunia ini terdapat bergagai jenis hukum, seperti hukum Api yang membakar tanpa ampun, bukan karena suhu, tapi karena ia memahami kehendak akan kehancuran. Begitu pula hukum-hukum l