Du Shen duduk tenang di bangkunya, hanya sesekali meneguk gelas minuman yang tersaji di depannya.
Matanya tidak menunjukkan emosi apapun saat ia melirik ke arah Murong Chen. Sikapnya yang santai itu justru mempertegas aura dingin yang mengelilinginya. "Aku di sini hanya untuk makan," ujarnya singkat. Suaranya tenang, hampir tak beremosi, namun setiap kata mengandung ketegasan. "Aku tak punya urusan dengan kalian." Hao Yexin yang duduk di depannya segera menangkap nada netral itu. Dia mendengus, mencoba mengalihkan perhatian Murong Chen. "Apa kalian dengar itu, Murong Chen? Kami tidak ada urusan dengan kalian. Jadi lebih baik kau pergi saja!" katanya, suaranya sedikit bergetar meski ia mencoba terdengar percaya diri. Murong Chen tertawa pelan, tawa yang penuh ejekan. Matanya menyipit, memandang Hao Yexin dan Du Shen seperti dua semut kecil di hadapannya. "Kalian dengar itu?" tanyanya kepada anak buahnya, suaranya meninggi. "Dua orang rendahan ini berani mengusirku, Tuan Muda Murong Chen? Bahkan jika ayah gadis itu seorang pedagang kaya, dia tak akan sanggup melindungi mereka dari keluargaku!" Hao Yexin berdiri, menatap Murong Chen dengan marah. "Jaga mulutmu, Murong Chen!" teriaknya. "Jika bukan karena keluargaku bekerja sama dengan keluargamu, aku tak akan pernah sudi memandang wajah menjijikkanmu!" Ucapan itu seperti bara yang dilemparkan ke dalam api. Murong Chen melangkah maju dengan mata membara. Ia mengangkat tangannya, bersiap menampar Hao Yexin. Tapi gerakan itu terhenti seketika. Tangan Murong Chen tertahan di udara. Sebuah tangan kokoh menggenggam pergelangan tangannya dengan erat. Itu adalah tangan Du Shen. Wajah pemuda berpakaian lusuh itu tetap datar, tetapi matanya memancarkan ketajaman seperti pedang yang siap menebas kapan saja. "Jangan ganggu orang lain, apalagi berani memukul wanita," kata Du Shen, suaranya rendah namun tegas. Murong Chen menarik tangannya, mencoba melepaskan diri, tetapi genggaman Du Shen terasa seperti jerat baja yang tak bisa digoyahkan. "Apa kau tahu siapa aku?" gertak Murong Chen. "Berani menyentuhku, kau pasti ingin mati!" Du Shen mendekatkan wajahnya, tatapannya dingin menusuk. "Yang aku tahu, kau terlalu banyak bicara," balasnya. "Orang-orang mungkin akan lari terbirit-birit, bukan karena takut padamu, tapi karena tak tahan melihat wajah jelekmu." Ucapan itu membuat seluruh toko hening. Para pengunjung memandang dengan tak percaya. Tak ada yang pernah berani menghina Murong Chen seperti itu, apalagi seorang pemuda lusuh yang tampaknya berasal dari kalangan rendah. Hao Yexin menatap Du Shen dengan campuran rasa kaget dan kekaguman. Ia tak pernah menduga seseorang yang baru ditemuinya akan berani menantang Murong Chen secara terang-terangan. Murong Chen menggeram. Wajahnya memerah karena amarah. "Kau benar-benar mencari mati!" bentaknya. Ia melambaikan tangannya, memberi isyarat kepada tiga anak buahnya. "Tangkap dia! Buat dia menyesal karena telah menghinaku, Tuan Muda dari Keluarga Murong!" Ketiga pria bertubuh kekar yang membawa pedang di pinggangnya segera maju. Salah satu dari mereka, pria berbadan paling besar, mendekati Du Shen dengan tinju terangkat. "Hmp, beraninya kau menghina Tuan Muda kami! Kau akan menyesal telah dilahikan ke dunia ini!" katanya. Tinju itu melesat cepat, membidik wajah Du Shen. Tapi Du Shen bergerak lebih cepat. Dengan satu langkah ringan ke samping, ia menghindari serangan itu. Sebelum pria itu sempat bereaksi, Du Shen mengayunkan tangannya, menghantam wajah pria itu dengan keras. Benturan itu cukup kuat untuk membuat pria besar itu terjungkal ke belakang, menghantam deretan meja berderet rapi di belakangnya hingga menjadi berantakan. Dua anak buah Murong Chen lainnya maju bersamaan, wajah mereka dipenuhi amarah. Salah satu dari mereka mencabut pedangnya, mengayunkannya ke arah Du Shen. Namun, Du Shen seperti bayangan yang tak bisa disentuh. Setiap serangan mereka meleset, bahkan sebelum pedang itu mendekat, Du Shen sudah berada di posisi lain. Gerakannya begitu cepat dan gesit, membuat dua pria itu terlihat seperti badut yang sedang berusaha mengejar bayangan. Dalam beberapa detik, salah satu pria itu terpukul mundur dengan satu serangan ke dada, membuatnya terhempas ke lantai. Pria terakhir mencoba menusuk Du Shen dengan pedangnya, tetapi Du Shen hanya menangkap bilah pedang itu dengan dua jarinya. Mata pria itu membelalak. "Mus...mustahil!" serunya. Du Shen tersenyum tipis. Dengan satu gerakan, ia memutar pedang itu, membuat pria itu terlempar ke belakang, menabrak meja hingga pingsan. Du Shen masih berdiri dengan tenang, seperti gunung yang tak tergoyahkan. Tiga anak buah Murong Chen yang sebelumnya tampak penuh percaya diri kini terkapar di lantai, mengerang kesakitan. Hao Yexin menatap pemandangan itu dengan mata membulat, sulit percaya bahwa pria yang tampak seperti pengembara lusuh mampu melumpuhkan tiga orang bertubuh kekar hanya dalam hitungan detik. "Kau..." gumamnya pelan, tetapi ia tidak melanjutkan kata-katanya. Sementara itu, Murong Chen berdiri terpaku di tempatnya. Matanya melebar, tidak percaya pada apa yang baru saja terjadi di depan matanya. "Apa-apaan ini?! Kalian bahkan tidak bisa mengalahkan satu pengemis sialan?!" bentaknya dengan suara penuh kemarahan. Ia menendang salah satu anak buahnya yang terkapar, melampiaskan rasa frustrasinya. Du Shen mendesah pelan, tampak bosan dengan situasi ini. Ia menatap Murong Chen dengan dingin, matanya seperti belati yang menusuk langsung ke jantung lawan. "Kalau kau punya nyali, hadapi aku sendiri. Jangan hanya berkoar dan menyuruh orang lain berkelahi untukmu." Perkataan itu menusuk harga diri Murong Chen. Rahangnya mengeras, dan wajahnya memerah karena marah. "Kau berani meremehkanku?! Kau tidak tahu dengan siapa kau berurusan, bocah!" Murong Chen menghunus pedangnya, sebuah senjata bermata dua yang tampak berkilau di bawah cahaya redup. Ia melangkah maju dengan senyum licik, tetapi senyum itu tidak mampu menyembunyikan ketidakpastian yang mulai menggerogoti hatinya. Du Shen tidak bergerak, hanya berdiri di tempatnya dengan tangan tetap tergulung di depan dada. Tatapannya tetap tenang, tetapi ada aura dingin yang menyelimuti tubuhnya, membuat suasana di dalam toko semakin mencekam. Murong Chen menyerang dengan gerakan cepat, mengayunkan pedangnya ke arah kepala Du Shen. "Rasakan ini, dasar pengemis tak tahu diri!" Namun, sebelum pedang itu sempat mendekati Du Shen, gerakan Murong Chen terhenti tiba-tiba. Sebuah tangan mencengkeram pergelangan tangannya dengan kekuatan luar biasa, menghentikan serangan itu di udara. Du Shen tidak hanya menahan pedang itu, tetapi juga memelintir lengan Murong Chen dengan gerakan cepat. Pedang di tangan Murong Chen terlepas, jatuh ke lantai dengan bunyi nyaring. "Aaaargh! Lepaskan aku, kau bajingan!" Murong Chen berteriak kesakitan, tetapi tidak mampu melawan kekuatan Du Shen. Du Shen menatapnya dengan tatapan penuh penghinaan. "Kau terlalu lemah untuk bermain-main dengan senjata. Pergilah sebelum kupatahkan kedua kakimu."Dengan satu gerakan, Du Shen mendorong Murong Chen ke belakang. Pemuda itu terhuyung dan jatuh terduduk di lantai, wajahnya memerah karena malu dan marah. Hao Yexin tersenyum tipis melihat kekalahan Murong Chen. "Sepertinya kau harus berpikir dua kali sebelum mengganggu orang lain, Murong Chen," katanya dengan nada mengejek. Murong Chen menatapnya dengan penuh kebencian. "Ini belum selesai, Hao Yexin! Kau pikir kau bisa sembunyi selamanya?! Aku akan memastikan kau menyesal telah mempermalukanku hari ini!" Setelah melontarkan ancaman itu, Murong Chen berdiri dan meninggalkan toko bersama anak buahnya yang masih mengerang kesakitan. Hening kembali menyelimuti toko setelah Murong Chen pergi. Walau begitu para pengunjung toko yang sebelumnya terdiam kini mulai berbisik-bisik. Mereka takjub melihat bagaimana seorang pemuda sederhana dan terlihat lusuh itu bisa mengalahkan tiga orang tanpa banyak usaha. Terlebih mereka adalah bagian dari Keluarga Murong di kota Danau Hitam ini. M
Hao Yexin menyeka butiran air matanya, setelah mempertimbangkan ucapan Du Shen, ia mulai sadar bahwa menangis tak akan menyelesaikan masalah. "Kau benar, tak ada gunanya meratapi dengan kesedihan.""Aku minta maaf karena menunjukkan tingkah memalukanku." lanjutnya sebelum berdiri perlahan.Hao Yexin melangkahkan kakinya keluar dari toko. Namun, kali ini sorot matanya sedikit lebih tajam dan bertekad."Aku bisa mempertimbangkan tawaranmu tadi. Tapi, ada syaratnya," ujar Du Shen, langsung menghentikan langkah Hao Yexin yang hendakk pergi.Gadis itu menoleh kembali dengan tatapan penuh akan tanda tanya. Walaupun masih ada jejak kesedihan dalam raut wajahnya, ia berusaha tetap tegar."Syarat?" gumamnya pelan, menatap ke lantai kayu di bawah kakinya sebelum kembali menatap Du Shen."Aku rasa tak ada gunanya mempertimbangkan ucapanku tadi. Aku hanya mengatakannya tanpa pikir panjang... kau bisa melupakannya." balas Hao Yexin akhirnya setelah memikirkan kembali beberapa hal.Du Shen menghela
Tetua Zhang yang masih mempertahankan senyum tipisnya menatap gadis muda itu seakan peluang besar telah terbuka. "Kau harus menikah dengan Tuan Muda Murong Chen. Dengan begitu mereka akan membantu menghubungi Tabib Surgawi dengan koneksi mereka di Sekte Azure Dragon." Seketika Hao Yexin kembali membeku, kali ini pikirannya mengembara kemana-mana. Ia tak menyangka bahwa syarat yanng dikatakan Tetua Zhang adalah hal buruk yang tak pernah ia bayangkan.'J-jadi ini tujuan Tetua Zhang? Bagaimana bisa, dia memanfaatkan keadaan ini dan menyeretku demi keuntungannya.' batin Hao Yexin.Wajahnya tampak memerah menahan kemarahan yang seketika tumbuh dalam hatinya. Ia melirik pria tua itu dengan tatapan benci dan kesal.Namun, matanya yang kembali melirik Kepala keluarga terbaring di atas ranjang, membuat pendirian Hao Yexin mulai goyah. Butiran air di pelupuk matanya semkin tak tertahankan, perlahan tumpah membasahi pipinya yang mulus."Kau harus memutuskan, Tuan Putri. Jika tidak, keselamatan
Du Shen, seorang pemuda berusia sepuluh tahun, terlahir di sebuah tempat yang disebut desa Yaocun, desa terpencil di bagian timur Benua Yin. Desa yang dihuni oleh kebanyakan petani dan pengrajin, tempat yang begitu tenang, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota besar. Du Shen adalah anak yang penuh semangat dan cerdas, meskipun usianya masih muda. Ia tinggal bersama kedua orang tuanya, Du Liong dan Mei Hua, di sebuah rumah kayu sederhana. Kehidupan mereka dipenuhi dengan rutinitas sehari-hari yang damai—berkebun, memelihara ternak, dan sesekali berburu di hutan untuk mencari bahan makanan.Suatu pagi yang cerah, Du Shen pergi ke hutan untuk mengambil kayu bakar atas perintah ibunya. Langkahnya ringan, disertai rasa bahagia karena hari itu cuaca begitu cerah nan indah. Pikirannya melayang, membayangkan sore nanti ia bisa duduk bersama orang tuanya di teras rumah sambil menikmati makanan ringan buatan ibunya dan menikmati secangkir teh hangat. Namun, kebahagiaan itu segera berubah men
Di sebuah hutan lebat di tepian timur Benua Yin, seorang pemuda berdiri di bawah naungan pohon yang rimbun. Suara gemerisik air sungai mengalir lembut di sampingnya, namun suasana hatinya tak selaras dengan kedamaian di sekitarnya. Wajahnya keras, matanya tajam memandang ke depan, penuh dengan tekad yang tak tergoyahkan. Pemuda itu adalah Du Shen, yang kini telah tumbuh dewasa. Bertahun-tahun berlalu sejak peristiwa tragis yang merenggut semua yang ia cintai. Kini ia telah dewasa, dari seorang anak berusia sepuluh tahun, tumbuh lebih tinggi, berotot dan semakin tampan. Dia yang dulu jelas tak dapat dibandingkan dengan dirinya sekarang. Dulu ia sering sekali merengek setelah merasakan betapa pedih dan kerasnya ajaran dari gurunya. "Tunggu saja," gumam Du Shen dengan suara dingin, seraya menggenggam erat gagang pedang yang terselip di pinggangnya. "Mereka akan merasakan kepedihan yang telah lama mengakar di hatiku. Gigi dibalas gigi, mata dibalas mata." Ia berdiri, mengusap nod
Langit semakin kelabu, awan hitam menggantung rendah di atas Kota Danau Hitam. Angin dingin yang menusuk tulang berhembus kencang, membawa aroma lembab dari danau yang menjadi pusat kota itu. Suasana hiruk pikuk masih terasa di dalamnya, meski beberapa penduduk tampak bergegas menutup kios-kios mereka sebelum hujan deras turun.Setelah perjalanan yang melelahkan, Du Shen akhirnya tiba di gerbang kota yang megah. Pintu gerbang besar dari kayu ek yang kokoh menjulang tinggi, dihiasi ukiran naga dan singa yang melambangkan kejayaan tiga klan aristokrat yang menguasai kota tersebut. Namun, alih-alih terkesan, Du Shen hanya meliriknya dengan acuh.“Berhenti di situ!” seru seorang penjaga gerbang, menghentikan langkahnya. Pria itu bertubuh besar dengan wajah kasar yang dihiasi janggut tebal.Du Shen mendongak sedikit, mengangkat caping bambu yang menutupi sebagian wajahnya. “Ada apa?” tanyanya singkat, suaranya datar tanpa emosi.“Dari mana asalmu?” tanya penjaga itu dengan nada yang tak b
Tetua Zhang yang masih mempertahankan senyum tipisnya menatap gadis muda itu seakan peluang besar telah terbuka. "Kau harus menikah dengan Tuan Muda Murong Chen. Dengan begitu mereka akan membantu menghubungi Tabib Surgawi dengan koneksi mereka di Sekte Azure Dragon." Seketika Hao Yexin kembali membeku, kali ini pikirannya mengembara kemana-mana. Ia tak menyangka bahwa syarat yanng dikatakan Tetua Zhang adalah hal buruk yang tak pernah ia bayangkan.'J-jadi ini tujuan Tetua Zhang? Bagaimana bisa, dia memanfaatkan keadaan ini dan menyeretku demi keuntungannya.' batin Hao Yexin.Wajahnya tampak memerah menahan kemarahan yang seketika tumbuh dalam hatinya. Ia melirik pria tua itu dengan tatapan benci dan kesal.Namun, matanya yang kembali melirik Kepala keluarga terbaring di atas ranjang, membuat pendirian Hao Yexin mulai goyah. Butiran air di pelupuk matanya semkin tak tertahankan, perlahan tumpah membasahi pipinya yang mulus."Kau harus memutuskan, Tuan Putri. Jika tidak, keselamatan
Hao Yexin menyeka butiran air matanya, setelah mempertimbangkan ucapan Du Shen, ia mulai sadar bahwa menangis tak akan menyelesaikan masalah. "Kau benar, tak ada gunanya meratapi dengan kesedihan.""Aku minta maaf karena menunjukkan tingkah memalukanku." lanjutnya sebelum berdiri perlahan.Hao Yexin melangkahkan kakinya keluar dari toko. Namun, kali ini sorot matanya sedikit lebih tajam dan bertekad."Aku bisa mempertimbangkan tawaranmu tadi. Tapi, ada syaratnya," ujar Du Shen, langsung menghentikan langkah Hao Yexin yang hendakk pergi.Gadis itu menoleh kembali dengan tatapan penuh akan tanda tanya. Walaupun masih ada jejak kesedihan dalam raut wajahnya, ia berusaha tetap tegar."Syarat?" gumamnya pelan, menatap ke lantai kayu di bawah kakinya sebelum kembali menatap Du Shen."Aku rasa tak ada gunanya mempertimbangkan ucapanku tadi. Aku hanya mengatakannya tanpa pikir panjang... kau bisa melupakannya." balas Hao Yexin akhirnya setelah memikirkan kembali beberapa hal.Du Shen menghela
Dengan satu gerakan, Du Shen mendorong Murong Chen ke belakang. Pemuda itu terhuyung dan jatuh terduduk di lantai, wajahnya memerah karena malu dan marah. Hao Yexin tersenyum tipis melihat kekalahan Murong Chen. "Sepertinya kau harus berpikir dua kali sebelum mengganggu orang lain, Murong Chen," katanya dengan nada mengejek. Murong Chen menatapnya dengan penuh kebencian. "Ini belum selesai, Hao Yexin! Kau pikir kau bisa sembunyi selamanya?! Aku akan memastikan kau menyesal telah mempermalukanku hari ini!" Setelah melontarkan ancaman itu, Murong Chen berdiri dan meninggalkan toko bersama anak buahnya yang masih mengerang kesakitan. Hening kembali menyelimuti toko setelah Murong Chen pergi. Walau begitu para pengunjung toko yang sebelumnya terdiam kini mulai berbisik-bisik. Mereka takjub melihat bagaimana seorang pemuda sederhana dan terlihat lusuh itu bisa mengalahkan tiga orang tanpa banyak usaha. Terlebih mereka adalah bagian dari Keluarga Murong di kota Danau Hitam ini. M
Du Shen duduk tenang di bangkunya, hanya sesekali meneguk gelas minuman yang tersaji di depannya. Matanya tidak menunjukkan emosi apapun saat ia melirik ke arah Murong Chen. Sikapnya yang santai itu justru mempertegas aura dingin yang mengelilinginya."Aku di sini hanya untuk makan," ujarnya singkat. Suaranya tenang, hampir tak beremosi, namun setiap kata mengandung ketegasan. "Aku tak punya urusan dengan kalian."Hao Yexin yang duduk di depannya segera menangkap nada netral itu. Dia mendengus, mencoba mengalihkan perhatian Murong Chen. "Apa kalian dengar itu, Murong Chen? Kami tidak ada urusan dengan kalian. Jadi lebih baik kau pergi saja!" katanya, suaranya sedikit bergetar meski ia mencoba terdengar percaya diri.Murong Chen tertawa pelan, tawa yang penuh ejekan. Matanya menyipit, memandang Hao Yexin dan Du Shen seperti dua semut kecil di hadapannya. "Kalian dengar itu?" tanyanya kepada anak buahnya, suaranya meninggi. "Dua orang rendahan ini berani mengusirku, Tuan Muda Murong Ch
Langit semakin kelabu, awan hitam menggantung rendah di atas Kota Danau Hitam. Angin dingin yang menusuk tulang berhembus kencang, membawa aroma lembab dari danau yang menjadi pusat kota itu. Suasana hiruk pikuk masih terasa di dalamnya, meski beberapa penduduk tampak bergegas menutup kios-kios mereka sebelum hujan deras turun.Setelah perjalanan yang melelahkan, Du Shen akhirnya tiba di gerbang kota yang megah. Pintu gerbang besar dari kayu ek yang kokoh menjulang tinggi, dihiasi ukiran naga dan singa yang melambangkan kejayaan tiga klan aristokrat yang menguasai kota tersebut. Namun, alih-alih terkesan, Du Shen hanya meliriknya dengan acuh.“Berhenti di situ!” seru seorang penjaga gerbang, menghentikan langkahnya. Pria itu bertubuh besar dengan wajah kasar yang dihiasi janggut tebal.Du Shen mendongak sedikit, mengangkat caping bambu yang menutupi sebagian wajahnya. “Ada apa?” tanyanya singkat, suaranya datar tanpa emosi.“Dari mana asalmu?” tanya penjaga itu dengan nada yang tak b
Di sebuah hutan lebat di tepian timur Benua Yin, seorang pemuda berdiri di bawah naungan pohon yang rimbun. Suara gemerisik air sungai mengalir lembut di sampingnya, namun suasana hatinya tak selaras dengan kedamaian di sekitarnya. Wajahnya keras, matanya tajam memandang ke depan, penuh dengan tekad yang tak tergoyahkan. Pemuda itu adalah Du Shen, yang kini telah tumbuh dewasa. Bertahun-tahun berlalu sejak peristiwa tragis yang merenggut semua yang ia cintai. Kini ia telah dewasa, dari seorang anak berusia sepuluh tahun, tumbuh lebih tinggi, berotot dan semakin tampan. Dia yang dulu jelas tak dapat dibandingkan dengan dirinya sekarang. Dulu ia sering sekali merengek setelah merasakan betapa pedih dan kerasnya ajaran dari gurunya. "Tunggu saja," gumam Du Shen dengan suara dingin, seraya menggenggam erat gagang pedang yang terselip di pinggangnya. "Mereka akan merasakan kepedihan yang telah lama mengakar di hatiku. Gigi dibalas gigi, mata dibalas mata." Ia berdiri, mengusap nod
Du Shen, seorang pemuda berusia sepuluh tahun, terlahir di sebuah tempat yang disebut desa Yaocun, desa terpencil di bagian timur Benua Yin. Desa yang dihuni oleh kebanyakan petani dan pengrajin, tempat yang begitu tenang, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota besar. Du Shen adalah anak yang penuh semangat dan cerdas, meskipun usianya masih muda. Ia tinggal bersama kedua orang tuanya, Du Liong dan Mei Hua, di sebuah rumah kayu sederhana. Kehidupan mereka dipenuhi dengan rutinitas sehari-hari yang damai—berkebun, memelihara ternak, dan sesekali berburu di hutan untuk mencari bahan makanan.Suatu pagi yang cerah, Du Shen pergi ke hutan untuk mengambil kayu bakar atas perintah ibunya. Langkahnya ringan, disertai rasa bahagia karena hari itu cuaca begitu cerah nan indah. Pikirannya melayang, membayangkan sore nanti ia bisa duduk bersama orang tuanya di teras rumah sambil menikmati makanan ringan buatan ibunya dan menikmati secangkir teh hangat. Namun, kebahagiaan itu segera berubah men