Langit semakin kelabu, awan hitam menggantung rendah di atas Kota Danau Hitam. Angin dingin yang menusuk tulang berhembus kencang, membawa aroma lembab dari danau yang menjadi pusat kota itu.
Suasana hiruk pikuk masih terasa di dalamnya, meski beberapa penduduk tampak bergegas menutup kios-kios mereka sebelum hujan deras turun. Setelah perjalanan yang melelahkan, Du Shen akhirnya tiba di gerbang kota yang megah. Pintu gerbang besar dari kayu ek yang kokoh menjulang tinggi, dihiasi ukiran naga dan singa yang melambangkan kejayaan tiga klan aristokrat yang menguasai kota tersebut. Namun, alih-alih terkesan, Du Shen hanya meliriknya dengan acuh. “Berhenti di situ!” seru seorang penjaga gerbang, menghentikan langkahnya. Pria itu bertubuh besar dengan wajah kasar yang dihiasi janggut tebal. Du Shen mendongak sedikit, mengangkat caping bambu yang menutupi sebagian wajahnya. “Ada apa?” tanyanya singkat, suaranya datar tanpa emosi. “Dari mana asalmu?” tanya penjaga itu dengan nada yang tak bersahabat. “Dari desa kecil di timur,” jawab Du Shen, suaranya tetap tenang meskipun tatapannya mulai tajam. Penjaga itu tersenyum miring. “Orang asing harus membayar satu koin emas untuk masuk ke Kota Danau Hitam. Ini aturan baru,” ujarnya, nada suaranya penuh kelicikan. Du Shen memiringkan kepalanya sedikit. “Satu koin emas? Bukankah sebelumnya hanya satu koin perak?” tanyanya dingin. Penjaga itu terkekeh, matanya menyipit penuh tipu muslihat. “Kau pikir aku bercanda? Jika kau tak punya satu koin emas, enyahlah dari sini!” katanya sambil melambaikan tangan, menyuruh Du Shen pergi seperti mengusir anjing liar. Du Shen tetap tenang, meskipun dalam hatinya ia sudah muak dengan ulah para penjaga semacam ini. Senyum tipis tersungging di bibirnya. “Baiklah, aku akan bayar...” ucapnya, seolah menyerah. Ia merogoh saku jubahnya perlahan, menarik perhatian si penjaga yang kini menunggu dengan penuh harap. Namun, yang terjadi selanjutnya membuat penjaga itu berteriak marah. Du Shen bersin dengan keras, air liurnya tak sengaja—atau sengaja—terciprat mengenai wajah penjaga tersebut. “Sialan kau! Apa-apaan ini?!” teriak si penjaga sambil mengusap wajahnya yang basah oleh air liur Du Shen. “M-maaf,” ucap Du Shen dengan nada polos yang hampir terdengar mengejek. “Cuacanya dingin, aku tak bisa menahannya.” Penjaga itu menatap Du Shen dengan wajah kesal. “Dasar bocah kurang ajar! Kau pikir ini lucu? Cepat bayar satu koin emas,” Du Shen buru-buru berkata, penuh kepura-puraan. "Tapi aku baru ingat kalau aku tak punya uang." ujar Du Shen dengan tampang polis yang dibuat-buatnya. Si penjaga mendengus lagi, tangannya terkepal erat, "Kalau begitu bermimpilah untuk masuk kota." ucapnya dengan wajah mencemooh. "Pergi sana, atau aku akan men—" Kata-katanya terhenti. Penjaga itu dengan sengaja menyentuh wajahnya yang tiba-tiba terasa panas dan gatal luar biasa. Ia menggaruk-garuk wajahnya dengan panik, tapi semakin digaruk, rasa gatalnya semakin parah. Tak butuh waktu lama, wajahnya mulai membengkak. “Apa ini?! Apa yang terjadi dengan wajahku?!” teriaknya histeris, menarik perhatian penjaga lain yang berdiri tak jauh darinya. “Eh, apa yang kau lakukan? Kenapa wajahmu jadi seperti itu?” tanya penjaga kedua, mendekat dengan ekspresi khawatir. Du Shen hanya mengamati dengan tenang, senyum tipisnya diam-diam makin lebar. Melihat kelengahan penjaga itu, ia melangkah perlahan melewati gerbang tanpa seorang pun menyadarinya. Penjaga yang masih sibuk menggaruk wajah dan temannya yang panik tak menyadari bahwa pemuda misterius itu telah menghilang di antara kerumunan penduduk kota. *** Kota Danau Hitam berdiri megah dengan hiruk-pikuk aktivitas yang tak pernah padam walaupun cuaca terlihat mendung. Jalan-jalan kota itu dipenuhi kios-kios yang menjual berbagai barang: kain sutra lembut dengan pola-pola eksotis, rempah-rempah yang harum menguar, hingga deretan senjata berkilauan yang memikat mata para pakar bela diri. Di tengah keramaian itulah seorang pria bernama Du Shen melangkah pelan. Sosoknya tak terlalu mencolok di antara lautan manusia, dengan pakaian hijau gelap sederhana dan tas selempang lusuh yang menggantung di bahunya. Ia tak berbicara dengan siapa pun, hanya berjalan menuju sebuah kios kecil di sudut jalan. Kios itu sederhana, tapi dipenuhi aroma kuat alkohol bercampur masakan pedas. Tanpa bicara, Du Shen masuk, mencari tempat duduk di sudut ruangan yang sepi. Ia meletakkan tasnya di atas meja kayu usang, baru saja hendak mengendurkan otot-otot tubuhnya setelah perjalanan panjang. Namun, sesuatu yang tak biasa terjadi. Seorang gadis muncul entah dari mana, duduk di hadapannya tanpa izin. Rambutnya hitam legam dengan untaian perhiasan kecil di sela-sela ikatannya. Pakaiannya elegan, seperti seorang bangsawan. Meski penampilannya memikat, wajahnya menyiratkan kegelisahan yang dalam. "Diamlah. Anggap saja aku tak ada," bisik gadis itu, suaranya penuh desakan. Ia menunduk, menutupi sebagian wajahnya dengan lengan baju panjang yang dihiasi bordir keemasan. Du Shen menatapnya sebentar, lalu mengalihkan pandangan. Ia tak mengatakan apa pun, memilih mengikuti ucapan gadis itu. Pemahamannya tentang lagak hidup membuatnya peka terhadap situasi seperti ini—seseorang yang mencoba melarikan diri dari sesuatu. Hening sejenak, hingga suasana pecah oleh suara pintu toko yang berderit keras. Sekelompok pria bersenjata ringan masuk dengan langkah penuh percaya diri. Mata mereka tajam menyapu setiap sudut ruangan, seperti serigala yang mencium bau mangsa. Du Shen melirik tanpa menggerakkan kepala, menyadari gadis itu semakin meringkuk di tempat duduknya. Ia bisa merasakan ketegangan yang memancar dari tubuh gadis itu. Salah satu pria dalam kelompok itu berbicara kepada seorang pemuda yang tampaknya pemimpin mereka. "Tuan Muda, bukankah itu Putri Keluarga Hao, Hao Yexin?" ujarnya seraya menunjuk ke arah meja Du Shen. Pemuda yang dipanggil "Tuan Muda" menoleh. Senyumnya terbit—samar, angkuh, dan penuh maksud yang tak menyenangkan. Matanya menyipit saat memandangi gadis itu. "Pergilah. Pergilah. Jangan ke sini," gumam gadis itu dengan suara nyaris tak terdengar. Meski lirih, Du Shen mendengarnya dengan jelas. Du Shen diam. Tangannya yang semula santai di atas meja kini bergerak pelan, menggenggam gagang benda tajam kecil yang tersembunyi di balik jubahnya. Ia tak suka terlibat urusan orang lain, tapi untuk berjaga-jaga jika sesuatu terjadi padanya. Namun, Gadis itu jelas dalam bahaya, dan kelompok yang baru masuk tak tampak seperti orang yang tahu kapan harus berhenti. Pemuda sombong itu melangkah maju, mengabaikan tatapan penuh waspada dari para pelanggan lain di toko. "Hao Yexin, apa kau benar-benar berpikir bisa bersembunyi dariku lagi? Sudah kubilang, kau milikku," ucapnya sambil menyeringai. Hao Yexin mengangkat wajahnya sedikit, memperlihatkan sorot mata tajam yang tak lagi menyiratkan ketakutan. "Jaga ucapanmu Murong Chen. Jangan senaknya mendekatiku," ucapnya tegas, meski suaranya gemetar. Pemuda itu tertawa kecil, tetapi langkahnya terhenti. Tatapannya tertuju pada Du Shen yang kini duduk dengan tenang, menyilangkan kedua tangannya di dada. "Siapa pria ini? Hao Yexin, jangan bilang kau tengah berkencan dengan pria lusuh ini?" tanya Murong Chen dengan tatapan mencurigakan, matanya menyipit penuh penghinaan. Ia jelas meremehkan penampilan Du Shen yang tampak sederhana, hampir seperti pengembara biasa.Du Shen duduk tenang di bangkunya, hanya sesekali meneguk gelas minuman yang tersaji di depannya. Matanya tidak menunjukkan emosi apapun saat ia melirik ke arah Murong Chen. Sikapnya yang santai itu justru mempertegas aura dingin yang mengelilinginya."Aku di sini hanya untuk makan," ujarnya singkat. Suaranya tenang, hampir tak beremosi, namun setiap kata mengandung ketegasan. "Aku tak punya urusan dengan kalian."Hao Yexin yang duduk di depannya segera menangkap nada netral itu. Dia mendengus, mencoba mengalihkan perhatian Murong Chen. "Apa kalian dengar itu, Murong Chen? Kami tidak ada urusan dengan kalian. Jadi lebih baik kau pergi saja!" katanya, suaranya sedikit bergetar meski ia mencoba terdengar percaya diri.Murong Chen tertawa pelan, tawa yang penuh ejekan. Matanya menyipit, memandang Hao Yexin dan Du Shen seperti dua semut kecil di hadapannya. "Kalian dengar itu?" tanyanya kepada anak buahnya, suaranya meninggi. "Dua orang rendahan ini berani mengusirku, Tuan Muda Murong Ch
Dengan satu gerakan, Du Shen mendorong Murong Chen ke belakang. Pemuda itu terhuyung dan jatuh terduduk di lantai, wajahnya memerah karena malu dan marah. Hao Yexin tersenyum tipis melihat kekalahan Murong Chen. "Sepertinya kau harus berpikir dua kali sebelum mengganggu orang lain, Murong Chen," katanya dengan nada mengejek. Murong Chen menatapnya dengan penuh kebencian. "Ini belum selesai, Hao Yexin! Kau pikir kau bisa sembunyi selamanya?! Aku akan memastikan kau menyesal telah mempermalukanku hari ini!" Setelah melontarkan ancaman itu, Murong Chen berdiri dan meninggalkan toko bersama anak buahnya yang masih mengerang kesakitan. Hening kembali menyelimuti toko setelah Murong Chen pergi. Walau begitu para pengunjung toko yang sebelumnya terdiam kini mulai berbisik-bisik. Mereka takjub melihat bagaimana seorang pemuda sederhana dan terlihat lusuh itu bisa mengalahkan tiga orang tanpa banyak usaha. Terlebih mereka adalah bagian dari Keluarga Murong di kota Danau Hitam ini. M
Hao Yexin menyeka butiran air matanya, setelah mempertimbangkan ucapan Du Shen, ia mulai sadar bahwa menangis tak akan menyelesaikan masalah. "Kau benar, tak ada gunanya meratapi dengan kesedihan.""Aku minta maaf karena menunjukkan tingkah memalukanku." lanjutnya sebelum berdiri perlahan.Hao Yexin melangkahkan kakinya keluar dari toko. Namun, kali ini sorot matanya sedikit lebih tajam dan bertekad."Aku bisa mempertimbangkan tawaranmu tadi. Tapi, ada syaratnya," ujar Du Shen, langsung menghentikan langkah Hao Yexin yang hendakk pergi.Gadis itu menoleh kembali dengan tatapan penuh akan tanda tanya. Walaupun masih ada jejak kesedihan dalam raut wajahnya, ia berusaha tetap tegar."Syarat?" gumamnya pelan, menatap ke lantai kayu di bawah kakinya sebelum kembali menatap Du Shen."Aku rasa tak ada gunanya mempertimbangkan ucapanku tadi. Aku hanya mengatakannya tanpa pikir panjang... kau bisa melupakannya." balas Hao Yexin akhirnya setelah memikirkan kembali beberapa hal.Du Shen menghela
Tetua Zhang yang masih mempertahankan senyum tipisnya menatap gadis muda itu seakan peluang besar telah terbuka. "Kau harus menikah dengan Tuan Muda Murong Chen. Dengan begitu mereka akan membantu menghubungi Tabib Surgawi dengan koneksi mereka di Sekte Azure Dragon." Seketika Hao Yexin kembali membeku, kali ini pikirannya mengembara kemana-mana. Ia tak menyangka bahwa syarat yanng dikatakan Tetua Zhang adalah hal buruk yang tak pernah ia bayangkan.'J-jadi ini tujuan Tetua Zhang? Bagaimana bisa, dia memanfaatkan keadaan ini dan menyeretku demi keuntungannya.' batin Hao Yexin.Wajahnya tampak memerah menahan kemarahan yang seketika tumbuh dalam hatinya. Ia melirik pria tua itu dengan tatapan benci dan kesal.Namun, matanya yang kembali melirik Kepala keluarga terbaring di atas ranjang, membuat pendirian Hao Yexin mulai goyah. Butiran air di pelupuk matanya semkin tak tertahankan, perlahan tumpah membasahi pipinya yang mulus."Kau harus memutuskan, Tuan Putri. Jika tidak, keselamatan
Du Shen malah tersenyum sederhana, ia mengangguk sesaat, namun gelak tawa cekikikan terdengar dari arah samping mereka.Tetua Zhang dan Tabib Liu tampak menahan perut mereka yang sakit karena tawa."Anda dengar, Tabib Liu? Pemuda ini benar-benar menganggap dirinya sebagai tabib." ujar Tetua Zhang menahan tawanya.Sedangkan Tabib Liu mengusap butiran air mata yang keluar setelah tawa terbahak-bahak. "Aku sendiri yang telah berlatih teknik pengobatan selama puluhan tahun, mengaku tak mampu menyembuhkan penyakit Kepala keluarga Hao." ucapnya dalam jeda, "namun, kau yang tak lebih dari setengah umurku, tiba-tiba datang dan mengaku sebagai tabib." lanjutnya."Benar, apa yang bisa dilakukan pemuda lusuh sepertimu?" sambung Tetua Zhang kali ini dengan tatapan serius, ucapannya penuh penghinaan.Du Shen menatap kedua pria paruh baya itu dengan tatapan dingin dan seringai tipis."Kepala keluarga Hao tak menderita penyakit, melainkan menderita karena racun." ujar Du Shen membuat Tetua Zhang dan
Menghina gurunya berarti orang itu siap untuk mati. Namun, Du Shen menahan gejolak emosinya yang tumbuh seketika, mencoba untuk tetap tenang dan fokus pada penyembuhan Kepala keluarga Hao.Tabib Liu dan Tetua Zhang masih tertawa penuh penghinaan, tapi mereka tak tahu bahwa nama mereka telah masuk ke dalam daftar hitam di lubuk hati Du Shen.Mengabaikan cemohan mereka, Du Shen kembali membuka tutup botol kecil di tangannya. Tampak asap kehijauan yang samar keluar, memberikan sensasi dingin dan mematikan dari racun itu."T-tunggu." potong Hao Yexin dengan tatapan ragu. "Apakah ini akan baik-baik saja?" tanyanya kehawatir.Bagaimanapun jika Du Shen gagal dalam mengobati ayahnya, maka semua akan menjadi lebih buruk dari apa yang dia harapkan. Saat ini ia hanya bisa pasrah dan membiarkan Du Shen memenuhi harapannya.Segera cairan dalam botol itu di tuangkan ke dalam mulut Hao Jifeng, Du Shen menutup hidungnya agar racun itu tertelan sepenuhnya.Tak berselang lama, Kepala keluatga Hao menun
Tabib Liu tersenyum sinis mengira tindakannya akan berhasil. Tapi, sebuah aliran Qi kehijauan melenghentikan jarum itu di tengah udara, membuat pandangan semua orang teralihkan."Kau lihat itu, Nona Hao? Tabib bodoh ini mencoba membunuh ayahmu dengan trik kecil." ujar Du Shen tertawa getir sembari meraih jarum itu yang mengambang di udara.Mata Hao Yexin membulat tak percaya, ia menatap tajam Tabib Liu dengan tatapan penuh amarah. "Beraninya kau, tabib penipu ingin membunuh ayahku!" tegasnya, suaranya terdengar tajam.Hao Yexin meraih pedang di samping dinding ruangan, menghunusnya sebelum menebas ke arah Tabib Liu berdiri.Walaupun Hao Yexin bukanlah seniman bela diri ahli, namun gerakannya cukup cepat di mata orang biasa."Berhenti!" seru Tetua Zhang, menahan tebasan pedang itu dengan telapak tangannya yang diselimuti energi Qi."Apa kau sadar dengan tindakanmu, Tuan Putri! Bagaimana bisa kau mengancungkan pedang ke a
Di kediaman keluarga Murong, suasana tegang menyelimuti ruang utama. Murong Chen, seorang pemuda dengan aura angkuh, duduk di atas kursi kayu berukir di samping meja bundar kecil. Matanya yang tajam memancarkan kemarahan, sementara urat-urat di pelipisnya tampak menonjol. Wajahnya kini terlihat mengeras, menyiratkan kekecewaan dan rasa frustrasi yang memuncak."Tabib bodoh! Bagaimana bisa kau gagal membuat Kepala Keluarga Hao sekarat, kau benar-benar merusak segalanya!" suaranya menggema tajam di ruangan itu, membuat seorang pria paruh baya yang berlutut di hadapannya gemetar ketakutan.Tabib Liu membungkukkan tubuhnya lebih dalam, keningnya menghantam lantai dengan bunyi pelan namun terdengar jelas. "T-tuan Muda! Mohon ampuni saya! Saya telah melakukan semua yang diperintahkan. Namun, jika bukan karena pemuda itu, rencana ini pasti sudah berhasil," katanya dengan nada penuh permohonan.Murong Chen menggeram, tangannya yang memegang cangkir teh bergetar hebat hingga cangkir itu retak
Dengan gerakan tenang, Du Shen menggigit ibu jarinya, meneteskan setitik darah segar. Darah itu tidak jatuh ke tanah, melainkan melayang di udara, berpendar dengan cahaya merah tua yang samar dan dikelilingi aura Qi tipis yang berputar perlahan.Rubah itu, yang seolah memahami apa yang Du Shen lakukan, juga menggigit jarinya. Setetes darah kemerahan muncul dan ikut melayang di udara, menyatu dengan tetesan darah Du Shen.Begitu kedua darah itu bertemu, keduanya bergetar, lalu perlahan menyatu membentuk satu gumpalan merah yang bersinar lembut, dikelilingi pusaran energi spiritual yang memancar tenang. Dalam sekejap, gumpalan itu terbelah menjadi dua cahaya kecil yang masing-masing melesat masuk ke dalam tubuh Du Shen dan tubuh rubah ekor sembilan itu.Seketika itu, sebuah koneksi halus namun kuat terjalin di antara mereka. Aura mereka saling menyatu, dan jiwa mereka beresonansi seolah dapat saling memahami satu sama lain.Ritual itu dikenal sebagai Ikatan Jiwa—ikatan sakral yang hanya
Setelah penjelasan panjang lebar dari Zhao Lao mengenai Hutan Kabut Ilusi dan Wilayah Dewa Leluhur, Du Shen hanya mengangguk tenang. Pandangannya dingin namun dalam, seakan memikirkan seribu langkah ke depan. Dengan gerakan pelan, ia memberi isyarat pada Zhao Lao dan muridnya untuk pergi."Terima kasih atas informasinya. Sekarang, kalian boleh pergi," ucapnya singkat.Zhao Lao langsung membungkuk sopan, kemudian menarik lengan muridnya. Namun Han Jue justru mematung, matanya masih menatap lekat ke arah Du Shen—walau tidak berani menatap langsung tepat ke mata pemuda itu. Pupil matanya bergetar halus, seolah dipenuhi keraguan.Sebelumnya, ia begitu yakin bahwa pria ini hanyalah kultivator muda biasa yang tak mengerti betapa luasnya dunia ini. Namun setelah mendengar gurunya yang begitu menghormati Du Shen dan melihat bagaimana makhluk buas itu tunduk padanya, benaknya mulai kacau. Ada sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar kekuatan—sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan, seperti aura
Dengan langkah yang terasa berat, Zhao Lao akhirnya memberanikan diri untuk melangkah maju. Wajahnya yang sebelumnya dipenuhi dengan ketegangan kini dipulas dengan ekspresi ragu dan penuh kehati-hatian. Ia sedikit menunduk hormat, lalu mengepalkan kedua tangannya di depan dada sebagai bentuk penghormatan para kultivator."Mohon maafkan tindakan menyinggung kami sebelumnya, Tuan," ucap Zhao Lao, nadanya jauh lebih sopan dan merendah dibandingkan sikapnya beberapa saat lalu. "Kami sungguh tidak tahu dengan siapa kami berhadapan. Jika diperkenankan… bolehkah kami tahu siapa Anda sebenarnya?"Suasana mendadak hening, seolah alam pun menahan napas. Angin yang tadi berhembus lembut kini terasa dingin menusuk kulit, membawa ketegangan yang tak terlihat namun jelas terasa.Du Shen hanya menatapnya diam. Pandangannya dingin, seolah tak terusik sedikit pun oleh perubahan sikap pria tua itu. Namun ada seulas senyum getir yang perlahan mengembang di sudut bibirnya—senyum yang cukup mengintimidasi
Di sisi lain, Du Shen mengangkat kepalanya perlahan, menatap Han Jue dan Zhao Lao secara bergantian. Matanya tenang, tapi menyimpan kedalaman yang tak terjangkau."Beraninya kau menghindar dan meremehkan kekuatanku… mati saja kau!" teriak Han Jue, amarah semakin membara di matanya.Teriakannya menggema, membuyarkan lamunan Zhao Lao yang sedari tadi terus mengamati situasi dengan penuh keraguan. Ia sudah bisa melihat ke mana arah pertarungan ini akan berakhir—dan ia tidak menginginkan hal itu terjadu sama sekali.Han Jue bukan murid biasa. Ia adalah anak didik kebanggaannya, salah satu jenius muda di Sekte Azure Dragon, dikenal luas karena kekuatan serta potensinya yang luar biasa. Namun, pemuda yang berdiri di hadapan mereka ini—bukanlah seseorang yang bisa di hadapi oleh muridnya.Zhao Lao menggertakkan giginya. Ia tak boleh membiarkan muridnya terseret lebih jauh dalam konfrontasi ini. Aura yang terpancar dari Du Shen tak berkurang sedikit pun, malah semakin tajam seperti pedang yan
Lusinan bilah pedang Qi melesat dari segala arah, mengoyak udara dengan suara siulan tajam. Setiap bilah memancar dalam cahaya merah muda yang menyilaukan, melesat ke arah Du Shen bagaikan hujan kematian yang tak terelakkan.Namun Du Shen segera bergerak dengan lincah, kecepatannya luar biasa hingga mustahil untuk lihat oleh mata biasa. Dalam sekejap, Du Shen membelokkan tubuhnya ke kiri, lalu memutar ke belakang dengan kecepatan yang mengejutkan. Tubuhnya seakan lentur bagai aliran air, melayang di udara dan berputar seperti dedaunan yang menari dihembus angin.Beberapa bilah pedang Qi nyaris menyentuh jubahnya, bahkan sehelai rambutnya pun hampir tertebas, namun tak satu pun dari serangan itu berhasil menyentuhnya. Setiap langkahnya seolah sudah diperhitungkan dengan presisi mutlak, membuatnya tampak seperti bayangan yang menari di antara bilah-bilah mematikan.Han Jue membelalak, nafasnya terasa sedikit tercekat.'Bagaimana bisa?' pikirnya, matanya melebar tak percaya. Ia tahu bet
"Kalau iya, memangnya kenapa?" sahut Du Shen, nadanya datar namun menusuk, diselimuti aura dingin dan keangkuhan layaknya anak muda dari kalangan terhormat yang terbiasa berada di atas angin.Seketika udara di sekeliling terasa berat. Kalimat itu, yang terucap dengan begitu ringan, seolah menampar harga diri mereka. Pria tua yang berdiri tegak di balik jubah biru tuanya tampak terdiam beberapa detik. Wajah keriputnya semula tenang, namun kini perlahan mengeras, menampakkan sorot mata gelap penuh tekanan. Ada kilatan kemarahan yang tak bisa ditutupi, meski ia mencoba mempertahankan sikap berwibawa dan bijaknya."Kalau begitu... serahkan saja rubah itu. Kami akan mengurus sisanya," ucapnya pelan namun tajam, seolah kata-katanya adalah perintah yang tak bisa dibantah.Mendengarnya Du Shen hanya mendengus pelan, sudut bibirnya terangkat tipis dalam senyum sinis. Ia melirik sekilas ke arah rubah ekor sembilan yang masih tergeletak di atas tanah, tubuhnya gemetar menahan rasa sakit dari lu
Rubah ekor sembilan. Salah satu binatang buas langka yang tercatat dalam sejarah Benua Yin. Keberadaannya begitu jarang hingga sebagian orang menganggapnya hanya dongeng. Namun kenyataan di depan mata Du Shen berkata lain.Du Shen berdiri terpaku di antara rimbun hutan berkabut, menatap tubuh makhluk itu yang kini tergeletak lemah di atas tanah yang becek oleh darah. Cahaya keemasan yang samar masih memancar dari tubuh binatang itu, rubah ini telah mencapai tingkat kultivasi ranah Golden Core—sebuah pencapaian langka bahkan di antara makhluk-makhluk buas lainnya di dunia ini. Inti roh dan darah rubah ini, jika dimurnikan, bisa menjadi bahan utama dalam pembuatan pil tingkat tinggi atau Artefak tingkat tinggi yang berkualitas.Tak heran jika banyak orang-orang ataupun kultivator ingin memburunya.Tubuh rubah itu tampak compang-camping. Bekas tebasan dan tusukan tampak melekat di seluruh tubuhnya, dengan darah yang terus mengalir tak terkendali. Beberapa jarum perak setipis bulu masih
Di bawah cahaya bulan purnama yang menggantung tinggi di langit malam, sinarnya yang pucat menembus celah dedaunan lebat hutan. Cahaya itu memantul lembut di permukaan kabut tipis yang menggantung rendah, menciptakan ilusi seperti dunia mimpi. Suasana tampak tenang di permukaan, namun Du Shen merasakan kejagalan yang tak bisa dijelaskan.Ia berdiri tegak di atas sebuah batu datar, jubahnya berkibar lembut tertiup angin malam. Matanya menyipit, menatap ke arah barat, tempat hawa yang tidak biasa mulai merambat perlahan. Hidungnya mengendus samar, mendeteksi bau logam tipis bercampur dengan aroma tanah basah."Kabut ini tidak biasa," gumamnya dalam hati. "Seolah-olah mengandung Qi yang terdistorsi… presepsiku bahkan tak bisa menembus lebih dari beberapa kilometer. Sesuatu… atau mungkin seseorang… telah mengacaukan medan spiritual tempat ini."Beberapa detik berlalu. Kemudian, tanah tiba-tiba bergetar, ranting-ranting dan dedaunan kering juga tampak berderak. Suara langkah besar yang me
Di dunia ini, kekuatan sejati tidak lahir semata dari tenaga murni, teknik kultivasi kuno, atau tubuh yang diperkuat ribuan kali lipat. Semua itu hanyalah fondasi awal—batu pijakan kasar di jalan panjang menuju pemahaman yang sebenarnya.Di atas semua bentuk kekuatan itu... terdapat sesuatu yang tak terlihat, tak tersentuh, namun mengatur segala hal. Ada yang menyebutnya esensi alam, ada pula yang memanggilnya napas dunia. Tapi, mereka yang telah menyelami kedalaman dunia kultivasi dan membelah batas pikiran menyebutnya dengan satu nama, yaitu: "Hukum".Hukum adalah kebenaran murni, bagaikan benang halus yang menenun keberadaan seluruh alam semesta ini. Tanpa hukum, dunia dan seisinya tak akan pernah berjalan, dan hukum itu sendiri diciptakan untuk mengatur seluruh kehidupan agar berjalan pada tempatnya.Di dunia ini terdapat bergagai jenis hukum, seperti hukum Api yang membakar tanpa ampun, bukan karena suhu, tapi karena ia memahami kehendak akan kehancuran. Begitu pula hukum-hukum l