Langit semakin kelabu, awan hitam menggantung rendah di atas Kota Danau Hitam. Angin dingin yang menusuk tulang berhembus kencang, membawa aroma lembab dari danau yang menjadi pusat kota itu.
Suasana hiruk pikuk masih terasa di dalamnya, meski beberapa penduduk tampak bergegas menutup kios-kios mereka sebelum hujan deras turun. Setelah perjalanan yang melelahkan, Du Shen akhirnya tiba di gerbang kota yang megah. Pintu gerbang besar dari kayu ek yang kokoh menjulang tinggi, dihiasi ukiran naga dan singa yang melambangkan kejayaan tiga klan aristokrat yang menguasai kota tersebut. Namun, alih-alih terkesan, Du Shen hanya meliriknya dengan acuh. “Berhenti di situ!” seru seorang penjaga gerbang, menghentikan langkahnya. Pria itu bertubuh besar dengan wajah kasar yang dihiasi janggut tebal. Du Shen mendongak sedikit, mengangkat caping bambu yang menutupi sebagian wajahnya. “Ada apa?” tanyanya singkat, suaranya datar tanpa emosi. “Dari mana asalmu?” tanya penjaga itu dengan nada yang tak bersahabat. “Dari desa kecil di timur,” jawab Du Shen, suaranya tetap tenang meskipun tatapannya mulai tajam. Penjaga itu tersenyum miring. “Orang asing harus membayar satu koin emas untuk masuk ke Kota Danau Hitam. Ini aturan baru,” ujarnya, nada suaranya penuh kelicikan. Du Shen memiringkan kepalanya sedikit. “Satu koin emas? Bukankah sebelumnya hanya satu koin perak?” tanyanya dingin. Penjaga itu terkekeh, matanya menyipit penuh tipu muslihat. “Kau pikir aku bercanda? Jika kau tak punya satu koin emas, enyahlah dari sini!” katanya sambil melambaikan tangan, menyuruh Du Shen pergi seperti mengusir anjing liar. Du Shen tetap tenang, meskipun dalam hatinya ia sudah muak dengan ulah para penjaga semacam ini. Senyum tipis tersungging di bibirnya. “Baiklah, aku akan bayar...” ucapnya, seolah menyerah. Ia merogoh saku jubahnya perlahan, menarik perhatian si penjaga yang kini menunggu dengan penuh harap. Namun, yang terjadi selanjutnya membuat penjaga itu berteriak marah. Du Shen bersin dengan keras, air liurnya tak sengaja—atau sengaja—terciprat mengenai wajah penjaga tersebut. “Sialan kau! Apa-apaan ini?!” teriak si penjaga sambil mengusap wajahnya yang basah oleh air liur Du Shen. “M-maaf,” ucap Du Shen dengan nada polos yang hampir terdengar mengejek. “Cuacanya dingin, aku tak bisa menahannya.” Penjaga itu menatap Du Shen dengan wajah kesal. “Dasar bocah kurang ajar! Kau pikir ini lucu? Cepat bayar satu koin emas,” Du Shen buru-buru berkata, penuh kepura-puraan. "Tapi aku baru ingat kalau aku tak punya uang." ujar Du Shen dengan tampang polis yang dibuat-buatnya. Si penjaga mendengus lagi, tangannya terkepal erat, "Kalau begitu bermimpilah untuk masuk kota." ucapnya dengan wajah mencemooh. "Pergi sana, atau aku akan men—" Kata-katanya terhenti. Penjaga itu dengan sengaja menyentuh wajahnya yang tiba-tiba terasa panas dan gatal luar biasa. Ia menggaruk-garuk wajahnya dengan panik, tapi semakin digaruk, rasa gatalnya semakin parah. Tak butuh waktu lama, wajahnya mulai membengkak. “Apa ini?! Apa yang terjadi dengan wajahku?!” teriaknya histeris, menarik perhatian penjaga lain yang berdiri tak jauh darinya. “Eh, apa yang kau lakukan? Kenapa wajahmu jadi seperti itu?” tanya penjaga kedua, mendekat dengan ekspresi khawatir. Du Shen hanya mengamati dengan tenang, senyum tipisnya diam-diam makin lebar. Melihat kelengahan penjaga itu, ia melangkah perlahan melewati gerbang tanpa seorang pun menyadarinya. Penjaga yang masih sibuk menggaruk wajah dan temannya yang panik tak menyadari bahwa pemuda misterius itu telah menghilang di antara kerumunan penduduk kota. *** Kota Danau Hitam berdiri megah dengan hiruk-pikuk aktivitas yang tak pernah padam walaupun cuaca terlihat mendung. Jalan-jalan kota itu dipenuhi kios-kios yang menjual berbagai barang: kain sutra lembut dengan pola-pola eksotis, rempah-rempah yang harum menguar, hingga deretan senjata berkilauan yang memikat mata para pakar bela diri. Di tengah keramaian itulah seorang pria bernama Du Shen melangkah pelan. Sosoknya tak terlalu mencolok di antara lautan manusia, dengan pakaian hijau gelap sederhana dan tas selempang lusuh yang menggantung di bahunya. Ia tak berbicara dengan siapa pun, hanya berjalan menuju sebuah kios kecil di sudut jalan. Kios itu sederhana, tapi dipenuhi aroma kuat alkohol bercampur masakan pedas. Tanpa bicara, Du Shen masuk, mencari tempat duduk di sudut ruangan yang sepi. Ia meletakkan tasnya di atas meja kayu usang, baru saja hendak mengendurkan otot-otot tubuhnya setelah perjalanan panjang. Namun, sesuatu yang tak biasa terjadi. Seorang gadis muncul entah dari mana, duduk di hadapannya tanpa izin. Rambutnya hitam legam dengan untaian perhiasan kecil di sela-sela ikatannya. Pakaiannya elegan, seperti seorang bangsawan. Meski penampilannya memikat, wajahnya menyiratkan kegelisahan yang dalam. "Diamlah. Anggap saja aku tak ada," bisik gadis itu, suaranya penuh desakan. Ia menunduk, menutupi sebagian wajahnya dengan lengan baju panjang yang dihiasi bordir keemasan. Du Shen menatapnya sebentar, lalu mengalihkan pandangan. Ia tak mengatakan apa pun, memilih mengikuti ucapan gadis itu. Pemahamannya tentang lagak hidup membuatnya peka terhadap situasi seperti ini—seseorang yang mencoba melarikan diri dari sesuatu. Hening sejenak, hingga suasana pecah oleh suara pintu toko yang berderit keras. Sekelompok pria bersenjata ringan masuk dengan langkah penuh percaya diri. Mata mereka tajam menyapu setiap sudut ruangan, seperti serigala yang mencium bau mangsa. Du Shen melirik tanpa menggerakkan kepala, menyadari gadis itu semakin meringkuk di tempat duduknya. Ia bisa merasakan ketegangan yang memancar dari tubuh gadis itu. Salah satu pria dalam kelompok itu berbicara kepada seorang pemuda yang tampaknya pemimpin mereka. "Tuan Muda, bukankah itu Putri Keluarga Hao, Hao Yexin?" ujarnya seraya menunjuk ke arah meja Du Shen. Pemuda yang dipanggil "Tuan Muda" menoleh. Senyumnya terbit—samar, angkuh, dan penuh maksud yang tak menyenangkan. Matanya menyipit saat memandangi gadis itu. "Pergilah. Pergilah. Jangan ke sini," gumam gadis itu dengan suara nyaris tak terdengar. Meski lirih, Du Shen mendengarnya dengan jelas. Du Shen diam. Tangannya yang semula santai di atas meja kini bergerak pelan, menggenggam gagang benda tajam kecil yang tersembunyi di balik jubahnya. Ia tak suka terlibat urusan orang lain, tapi untuk berjaga-jaga jika sesuatu terjadi padanya. Namun, Gadis itu jelas dalam bahaya, dan kelompok yang baru masuk tak tampak seperti orang yang tahu kapan harus berhenti. Pemuda sombong itu melangkah maju, mengabaikan tatapan penuh waspada dari para pelanggan lain di toko. "Hao Yexin, apa kau benar-benar berpikir bisa bersembunyi dariku lagi? Sudah kubilang, kau milikku," ucapnya sambil menyeringai. Hao Yexin mengangkat wajahnya sedikit, memperlihatkan sorot mata tajam yang tak lagi menyiratkan ketakutan. "Jaga ucapanmu Murong Chen. Jangan senaknya mendekatiku," ucapnya tegas, meski suaranya gemetar. Pemuda itu tertawa kecil, tetapi langkahnya terhenti. Tatapannya tertuju pada Du Shen yang kini duduk dengan tenang, menyilangkan kedua tangannya di dada. "Siapa pria ini? Hao Yexin, jangan bilang kau tengah berkencan dengan pria lusuh ini?" tanya Murong Chen dengan tatapan mencurigakan, matanya menyipit penuh penghinaan. Ia jelas meremehkan penampilan Du Shen yang tampak sederhana, hampir seperti pengembara biasa.Du Shen duduk tenang di bangkunya, hanya sesekali meneguk gelas minuman yang tersaji di depannya. Matanya tidak menunjukkan emosi apapun saat ia melirik ke arah Murong Chen. Sikapnya yang santai itu justru mempertegas aura dingin yang mengelilinginya."Aku di sini hanya untuk makan," ujarnya singkat. Suaranya tenang, hampir tak beremosi, namun setiap kata mengandung ketegasan. "Aku tak punya urusan dengan kalian."Hao Yexin yang duduk di depannya segera menangkap nada netral itu. Dia mendengus, mencoba mengalihkan perhatian Murong Chen. "Apa kalian dengar itu, Murong Chen? Kami tidak ada urusan dengan kalian. Jadi lebih baik kau pergi saja!" katanya, suaranya sedikit bergetar meski ia mencoba terdengar percaya diri.Murong Chen tertawa pelan, tawa yang penuh ejekan. Matanya menyipit, memandang Hao Yexin dan Du Shen seperti dua semut kecil di hadapannya. "Kalian dengar itu?" tanyanya kepada anak buahnya, suaranya meninggi. "Dua orang rendahan ini berani mengusirku, Tuan Muda Murong Ch
Dengan satu gerakan, Du Shen mendorong Murong Chen ke belakang. Pemuda itu terhuyung dan jatuh terduduk di lantai, wajahnya memerah karena malu dan marah. Hao Yexin tersenyum tipis melihat kekalahan Murong Chen. "Sepertinya kau harus berpikir dua kali sebelum mengganggu orang lain, Murong Chen," katanya dengan nada mengejek. Murong Chen menatapnya dengan penuh kebencian. "Ini belum selesai, Hao Yexin! Kau pikir kau bisa sembunyi selamanya?! Aku akan memastikan kau menyesal telah mempermalukanku hari ini!" Setelah melontarkan ancaman itu, Murong Chen berdiri dan meninggalkan toko bersama anak buahnya yang masih mengerang kesakitan. Hening kembali menyelimuti toko setelah Murong Chen pergi. Walau begitu para pengunjung toko yang sebelumnya terdiam kini mulai berbisik-bisik. Mereka takjub melihat bagaimana seorang pemuda sederhana dan terlihat lusuh itu bisa mengalahkan tiga orang tanpa banyak usaha. Terlebih mereka adalah bagian dari Keluarga Murong di kota Danau Hitam ini. M
Hao Yexin menyeka butiran air matanya, setelah mempertimbangkan ucapan Du Shen, ia mulai sadar bahwa menangis tak akan menyelesaikan masalah. "Kau benar, tak ada gunanya meratapi dengan kesedihan.""Aku minta maaf karena menunjukkan tingkah memalukanku." lanjutnya sebelum berdiri perlahan.Hao Yexin melangkahkan kakinya keluar dari toko. Namun, kali ini sorot matanya sedikit lebih tajam dan bertekad."Aku bisa mempertimbangkan tawaranmu tadi. Tapi, ada syaratnya," ujar Du Shen, langsung menghentikan langkah Hao Yexin yang hendakk pergi.Gadis itu menoleh kembali dengan tatapan penuh akan tanda tanya. Walaupun masih ada jejak kesedihan dalam raut wajahnya, ia berusaha tetap tegar."Syarat?" gumamnya pelan, menatap ke lantai kayu di bawah kakinya sebelum kembali menatap Du Shen."Aku rasa tak ada gunanya mempertimbangkan ucapanku tadi. Aku hanya mengatakannya tanpa pikir panjang... kau bisa melupakannya." balas Hao Yexin akhirnya setelah memikirkan kembali beberapa hal.Du Shen menghela
Tetua Zhang yang masih mempertahankan senyum tipisnya menatap gadis muda itu seakan peluang besar telah terbuka. "Kau harus menikah dengan Tuan Muda Murong Chen. Dengan begitu mereka akan membantu menghubungi Tabib Surgawi dengan koneksi mereka di Sekte Azure Dragon." Seketika Hao Yexin kembali membeku, kali ini pikirannya mengembara kemana-mana. Ia tak menyangka bahwa syarat yanng dikatakan Tetua Zhang adalah hal buruk yang tak pernah ia bayangkan.'J-jadi ini tujuan Tetua Zhang? Bagaimana bisa, dia memanfaatkan keadaan ini dan menyeretku demi keuntungannya.' batin Hao Yexin.Wajahnya tampak memerah menahan kemarahan yang seketika tumbuh dalam hatinya. Ia melirik pria tua itu dengan tatapan benci dan kesal.Namun, matanya yang kembali melirik Kepala keluarga terbaring di atas ranjang, membuat pendirian Hao Yexin mulai goyah. Butiran air di pelupuk matanya semkin tak tertahankan, perlahan tumpah membasahi pipinya yang mulus."Kau harus memutuskan, Tuan Putri. Jika tidak, keselamatan
Du Shen, seorang pemuda berusia sepuluh tahun, terlahir di sebuah tempat yang disebut desa Yaocun, desa terpencil di bagian timur Benua Yin. Desa yang dihuni oleh kebanyakan petani dan pengrajin, tempat yang begitu tenang, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota besar. Du Shen adalah anak yang penuh semangat dan cerdas, meskipun usianya masih muda. Ia tinggal bersama kedua orang tuanya, Du Liong dan Mei Hua, di sebuah rumah kayu sederhana. Kehidupan mereka dipenuhi dengan rutinitas sehari-hari yang damai—berkebun, memelihara ternak, dan sesekali berburu di hutan untuk mencari bahan makanan.Suatu pagi yang cerah, Du Shen pergi ke hutan untuk mengambil kayu bakar atas perintah ibunya. Langkahnya ringan, disertai rasa bahagia karena hari itu cuaca begitu cerah nan indah. Pikirannya melayang, membayangkan sore nanti ia bisa duduk bersama orang tuanya di teras rumah sambil menikmati makanan ringan buatan ibunya dan menikmati secangkir teh hangat. Namun, kebahagiaan itu segera berubah men
Di sebuah hutan lebat di tepian timur Benua Yin, seorang pemuda berdiri di bawah naungan pohon yang rimbun. Suara gemerisik air sungai mengalir lembut di sampingnya, namun suasana hatinya tak selaras dengan kedamaian di sekitarnya. Wajahnya keras, matanya tajam memandang ke depan, penuh dengan tekad yang tak tergoyahkan. Pemuda itu adalah Du Shen, yang kini telah tumbuh dewasa. Bertahun-tahun berlalu sejak peristiwa tragis yang merenggut semua yang ia cintai. Kini ia telah dewasa, dari seorang anak berusia sepuluh tahun, tumbuh lebih tinggi, berotot dan semakin tampan. Dia yang dulu jelas tak dapat dibandingkan dengan dirinya sekarang. Dulu ia sering sekali merengek setelah merasakan betapa pedih dan kerasnya ajaran dari gurunya. "Tunggu saja," gumam Du Shen dengan suara dingin, seraya menggenggam erat gagang pedang yang terselip di pinggangnya. "Mereka akan merasakan kepedihan yang telah lama mengakar di hatiku. Gigi dibalas gigi, mata dibalas mata." Ia berdiri, mengusap nod
Tetua Zhang yang masih mempertahankan senyum tipisnya menatap gadis muda itu seakan peluang besar telah terbuka. "Kau harus menikah dengan Tuan Muda Murong Chen. Dengan begitu mereka akan membantu menghubungi Tabib Surgawi dengan koneksi mereka di Sekte Azure Dragon." Seketika Hao Yexin kembali membeku, kali ini pikirannya mengembara kemana-mana. Ia tak menyangka bahwa syarat yanng dikatakan Tetua Zhang adalah hal buruk yang tak pernah ia bayangkan.'J-jadi ini tujuan Tetua Zhang? Bagaimana bisa, dia memanfaatkan keadaan ini dan menyeretku demi keuntungannya.' batin Hao Yexin.Wajahnya tampak memerah menahan kemarahan yang seketika tumbuh dalam hatinya. Ia melirik pria tua itu dengan tatapan benci dan kesal.Namun, matanya yang kembali melirik Kepala keluarga terbaring di atas ranjang, membuat pendirian Hao Yexin mulai goyah. Butiran air di pelupuk matanya semkin tak tertahankan, perlahan tumpah membasahi pipinya yang mulus."Kau harus memutuskan, Tuan Putri. Jika tidak, keselamatan
Hao Yexin menyeka butiran air matanya, setelah mempertimbangkan ucapan Du Shen, ia mulai sadar bahwa menangis tak akan menyelesaikan masalah. "Kau benar, tak ada gunanya meratapi dengan kesedihan.""Aku minta maaf karena menunjukkan tingkah memalukanku." lanjutnya sebelum berdiri perlahan.Hao Yexin melangkahkan kakinya keluar dari toko. Namun, kali ini sorot matanya sedikit lebih tajam dan bertekad."Aku bisa mempertimbangkan tawaranmu tadi. Tapi, ada syaratnya," ujar Du Shen, langsung menghentikan langkah Hao Yexin yang hendakk pergi.Gadis itu menoleh kembali dengan tatapan penuh akan tanda tanya. Walaupun masih ada jejak kesedihan dalam raut wajahnya, ia berusaha tetap tegar."Syarat?" gumamnya pelan, menatap ke lantai kayu di bawah kakinya sebelum kembali menatap Du Shen."Aku rasa tak ada gunanya mempertimbangkan ucapanku tadi. Aku hanya mengatakannya tanpa pikir panjang... kau bisa melupakannya." balas Hao Yexin akhirnya setelah memikirkan kembali beberapa hal.Du Shen menghela
Dengan satu gerakan, Du Shen mendorong Murong Chen ke belakang. Pemuda itu terhuyung dan jatuh terduduk di lantai, wajahnya memerah karena malu dan marah. Hao Yexin tersenyum tipis melihat kekalahan Murong Chen. "Sepertinya kau harus berpikir dua kali sebelum mengganggu orang lain, Murong Chen," katanya dengan nada mengejek. Murong Chen menatapnya dengan penuh kebencian. "Ini belum selesai, Hao Yexin! Kau pikir kau bisa sembunyi selamanya?! Aku akan memastikan kau menyesal telah mempermalukanku hari ini!" Setelah melontarkan ancaman itu, Murong Chen berdiri dan meninggalkan toko bersama anak buahnya yang masih mengerang kesakitan. Hening kembali menyelimuti toko setelah Murong Chen pergi. Walau begitu para pengunjung toko yang sebelumnya terdiam kini mulai berbisik-bisik. Mereka takjub melihat bagaimana seorang pemuda sederhana dan terlihat lusuh itu bisa mengalahkan tiga orang tanpa banyak usaha. Terlebih mereka adalah bagian dari Keluarga Murong di kota Danau Hitam ini. M
Du Shen duduk tenang di bangkunya, hanya sesekali meneguk gelas minuman yang tersaji di depannya. Matanya tidak menunjukkan emosi apapun saat ia melirik ke arah Murong Chen. Sikapnya yang santai itu justru mempertegas aura dingin yang mengelilinginya."Aku di sini hanya untuk makan," ujarnya singkat. Suaranya tenang, hampir tak beremosi, namun setiap kata mengandung ketegasan. "Aku tak punya urusan dengan kalian."Hao Yexin yang duduk di depannya segera menangkap nada netral itu. Dia mendengus, mencoba mengalihkan perhatian Murong Chen. "Apa kalian dengar itu, Murong Chen? Kami tidak ada urusan dengan kalian. Jadi lebih baik kau pergi saja!" katanya, suaranya sedikit bergetar meski ia mencoba terdengar percaya diri.Murong Chen tertawa pelan, tawa yang penuh ejekan. Matanya menyipit, memandang Hao Yexin dan Du Shen seperti dua semut kecil di hadapannya. "Kalian dengar itu?" tanyanya kepada anak buahnya, suaranya meninggi. "Dua orang rendahan ini berani mengusirku, Tuan Muda Murong Ch
Langit semakin kelabu, awan hitam menggantung rendah di atas Kota Danau Hitam. Angin dingin yang menusuk tulang berhembus kencang, membawa aroma lembab dari danau yang menjadi pusat kota itu. Suasana hiruk pikuk masih terasa di dalamnya, meski beberapa penduduk tampak bergegas menutup kios-kios mereka sebelum hujan deras turun.Setelah perjalanan yang melelahkan, Du Shen akhirnya tiba di gerbang kota yang megah. Pintu gerbang besar dari kayu ek yang kokoh menjulang tinggi, dihiasi ukiran naga dan singa yang melambangkan kejayaan tiga klan aristokrat yang menguasai kota tersebut. Namun, alih-alih terkesan, Du Shen hanya meliriknya dengan acuh.“Berhenti di situ!” seru seorang penjaga gerbang, menghentikan langkahnya. Pria itu bertubuh besar dengan wajah kasar yang dihiasi janggut tebal.Du Shen mendongak sedikit, mengangkat caping bambu yang menutupi sebagian wajahnya. “Ada apa?” tanyanya singkat, suaranya datar tanpa emosi.“Dari mana asalmu?” tanya penjaga itu dengan nada yang tak b
Di sebuah hutan lebat di tepian timur Benua Yin, seorang pemuda berdiri di bawah naungan pohon yang rimbun. Suara gemerisik air sungai mengalir lembut di sampingnya, namun suasana hatinya tak selaras dengan kedamaian di sekitarnya. Wajahnya keras, matanya tajam memandang ke depan, penuh dengan tekad yang tak tergoyahkan. Pemuda itu adalah Du Shen, yang kini telah tumbuh dewasa. Bertahun-tahun berlalu sejak peristiwa tragis yang merenggut semua yang ia cintai. Kini ia telah dewasa, dari seorang anak berusia sepuluh tahun, tumbuh lebih tinggi, berotot dan semakin tampan. Dia yang dulu jelas tak dapat dibandingkan dengan dirinya sekarang. Dulu ia sering sekali merengek setelah merasakan betapa pedih dan kerasnya ajaran dari gurunya. "Tunggu saja," gumam Du Shen dengan suara dingin, seraya menggenggam erat gagang pedang yang terselip di pinggangnya. "Mereka akan merasakan kepedihan yang telah lama mengakar di hatiku. Gigi dibalas gigi, mata dibalas mata." Ia berdiri, mengusap nod
Du Shen, seorang pemuda berusia sepuluh tahun, terlahir di sebuah tempat yang disebut desa Yaocun, desa terpencil di bagian timur Benua Yin. Desa yang dihuni oleh kebanyakan petani dan pengrajin, tempat yang begitu tenang, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota besar. Du Shen adalah anak yang penuh semangat dan cerdas, meskipun usianya masih muda. Ia tinggal bersama kedua orang tuanya, Du Liong dan Mei Hua, di sebuah rumah kayu sederhana. Kehidupan mereka dipenuhi dengan rutinitas sehari-hari yang damai—berkebun, memelihara ternak, dan sesekali berburu di hutan untuk mencari bahan makanan.Suatu pagi yang cerah, Du Shen pergi ke hutan untuk mengambil kayu bakar atas perintah ibunya. Langkahnya ringan, disertai rasa bahagia karena hari itu cuaca begitu cerah nan indah. Pikirannya melayang, membayangkan sore nanti ia bisa duduk bersama orang tuanya di teras rumah sambil menikmati makanan ringan buatan ibunya dan menikmati secangkir teh hangat. Namun, kebahagiaan itu segera berubah men