Dengan langkah yang terasa berat, Zhao Lao akhirnya memberanikan diri untuk melangkah maju. Wajahnya yang sebelumnya dipenuhi dengan ketegangan kini dipulas dengan ekspresi ragu dan penuh kehati-hatian. Ia sedikit menunduk hormat, lalu mengepalkan kedua tangannya di depan dada sebagai bentuk penghormatan para kultivator."Mohon maafkan tindakan menyinggung kami sebelumnya, Tuan," ucap Zhao Lao, nadanya jauh lebih sopan dan merendah dibandingkan sikapnya beberapa saat lalu. "Kami sungguh tidak tahu dengan siapa kami berhadapan. Jika diperkenankan… bolehkah kami tahu siapa Anda sebenarnya?"Suasana mendadak hening, seolah alam pun menahan napas. Angin yang tadi berhembus lembut kini terasa dingin menusuk kulit, membawa ketegangan yang tak terlihat namun jelas terasa.Du Shen hanya menatapnya diam. Pandangannya dingin, seolah tak terusik sedikit pun oleh perubahan sikap pria tua itu. Namun ada seulas senyum getir yang perlahan mengembang di sudut bibirnya—senyum yang cukup mengintimidasi
Setelah penjelasan panjang lebar dari Zhao Lao mengenai Hutan Kabut Ilusi dan Wilayah Dewa Leluhur, Du Shen hanya mengangguk tenang. Pandangannya dingin namun dalam, seakan memikirkan seribu langkah ke depan. Dengan gerakan pelan, ia memberi isyarat pada Zhao Lao dan muridnya untuk pergi."Terima kasih atas informasinya. Sekarang, kalian boleh pergi," ucapnya singkat.Zhao Lao langsung membungkuk sopan, kemudian menarik lengan muridnya. Namun Han Jue justru mematung, matanya masih menatap lekat ke arah Du Shen—walau tidak berani menatap langsung tepat ke mata pemuda itu. Pupil matanya bergetar halus, seolah dipenuhi keraguan.Sebelumnya, ia begitu yakin bahwa pria ini hanyalah kultivator muda biasa yang tak mengerti betapa luasnya dunia ini. Namun setelah mendengar gurunya yang begitu menghormati Du Shen dan melihat bagaimana makhluk buas itu tunduk padanya, benaknya mulai kacau. Ada sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar kekuatan—sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan, seperti aura
Dengan gerakan tenang, Du Shen menggigit ibu jarinya, meneteskan setitik darah segar. Darah itu tidak jatuh ke tanah, melainkan melayang di udara, berpendar dengan cahaya merah tua yang samar dan dikelilingi aura Qi tipis yang berputar perlahan.Rubah itu, yang seolah memahami apa yang Du Shen lakukan, juga menggigit jarinya. Setetes darah kemerahan muncul dan ikut melayang di udara, menyatu dengan tetesan darah Du Shen.Begitu kedua darah itu bertemu, keduanya bergetar, lalu perlahan menyatu membentuk satu gumpalan merah yang bersinar lembut, dikelilingi pusaran energi spiritual yang memancar tenang. Dalam sekejap, gumpalan itu terbelah menjadi dua cahaya kecil yang masing-masing melesat masuk ke dalam tubuh Du Shen dan tubuh rubah ekor sembilan itu.Seketika itu, sebuah koneksi halus namun kuat terjalin di antara mereka. Aura mereka saling menyatu, dan jiwa mereka beresonansi seolah dapat saling memahami satu sama lain.Ritual itu dikenal sebagai Ikatan Jiwa—ikatan sakral yang hanya
Tiga hari kemudian.Langit di atas hutqn Kabut Ilusi tampak kelabu, diselimuti awan tipis yang berputar lembut seperti pusaran tak kasat mata. Hutan lebat di depan gerbang raksasa itu kini dipenuhi oleh beberapa kubu manusia. Yang beberapa hari lalu hanya mencapai ribuan orang, kini menjadi belasan ribu kultivator dari segala penjuru benua—mengenakan jubah khas sekte masing-masing sebagai lambang kehormatan, dan setiap orang tampak memancarkan aura kuat yang saling bertabrakan di udara seperti badai yang tertahan.Walaupun orang-orang dari tiga sekte besar tampak terlihat tenang di permukaan, namun semua itu hanyalah awal dari persaingan yang sebenarnya setelah memasuki Wilayah Dewa Leluhur.Di antara kerumunan, sekelompok murid muda dari Sekte Pedang Bulan berkumpul, duduk di atas batu besar sambil memperhatikan gerbang batu kuno yang berdiri gagah menempel dengan dinding tebing tinggi yang curam."Hei, menurutmu... harta karun seperti apa yang bisa kita temukan di dalam?" tanya sal
Du Shen, seorang anak muda berusia sepuluh tahun, terlahir di sebuah tempat yang disebut desa Yaocun, desa terpencil di bagian timur Benua Yin. Desa yang dihuni oleh kebanyakan petani dan pengrajin, tempat yang begitu tenang, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota besar. Du Shen adalah anak yang penuh semangat dan cerdas, meskipun usianya masih muda. Ia tinggal bersama kedua orang tuanya, Du Liong dan Mei Hua, di sebuah rumah kayu sederhana. Kehidupan mereka dipenuhi dengan rutinitas sehari-hari yang damai—berkebun, memelihara ternak, dan sesekali berburu di hutan untuk mencari bahan makanan. Suatu pagi yang cerah, Du Shen pergi ke hutan untuk mengambil kayu bakar atas perintah ibunya. Langkahnya ringan, disertai rasa bahagia karena hari itu cuaca begitu cerah nan indah. Pikirannya melayang, membayangkan sore nanti ia bisa duduk bersama orang tuanya di teras rumah sambil menikmati makanan ringan buatan ibunya dan menikmati secangkir teh hangat. Namun, kebahagiaan itu segera
Di sebuah hutan lebat di tepian timur Benua Yin, seorang pemuda berdiri di bawah naungan pohon yang rimbun. Suara gemerisik air sungai mengalir lembut di sampingnya, namun suasana hatinya tak selaras dengan kedamaian di sekitarnya. Wajahnya keras, matanya tajam memandang ke depan, penuh dengan tekad yang tak tergoyahkan. Pemuda itu adalah Du Shen, yang kini telah tumbuh dewasa. Bertahun-tahun berlalu sejak peristiwa tragis yang merenggut semua yang ia cintai. Kini ia telah dewasa, dari seorang anak berusia sepuluh tahun, tumbuh lebih tinggi, berotot dan semakin tampan. Dia yang dulu jelas tak dapat dibandingkan dengan dirinya sekarang. Dulu ia sering sekali merengek setelah merasakan betapa pedih dan kerasnya ajaran dari gurunya. "Tunggu saja," gumam Du Shen dengan suara dingin, seraya menggenggam erat gagang pedang yang terselip di pinggangnya. "Mereka akan merasakan kepedihan yang telah lama mengakar di hatiku. Gigi dibalas gigi, mata dibalas mata." Ia berdiri, mengusa
Langit semakin kelabu, awan hitam menggantung rendah di atas Kota Danau Hitam. Angin dingin yang menusuk tulang berhembus kencang, membawa aroma lembab dari danau yang menjadi pusat kota itu. Suasana hiruk pikuk masih terasa di dalamnya, meski beberapa penduduk tampak bergegas menutup kios-kios mereka sebelum hujan deras turun.Setelah perjalanan yang melelahkan, Du Shen akhirnya tiba di gerbang kota yang megah. Pintu gerbang besar dari kayu ek yang kokoh menjulang tinggi, dihiasi ukiran naga dan singa yang melambangkan kejayaan tiga klan aristokrat yang menguasai kota tersebut. Namun, alih-alih terkesan, Du Shen hanya meliriknya dengan acuh.“Berhenti di situ!” seru seorang penjaga gerbang, menghentikan langkahnya. Pria itu bertubuh besar dengan wajah kasar yang dihiasi janggut tebal.Du Shen mendongak sedikit, mengangkat caping bambu yang menutupi sebagian wajahnya. “Ada apa?” tanyanya singkat, suaranya datar tanpa emosi.“Dari mana asalmu?” tanya penjaga itu dengan nada yang tak b
Du Shen duduk tenang di bangkunya, hanya sesekali meneguk gelas minuman yang tersaji di depannya. Matanya tidak menunjukkan emosi apapun saat ia melirik ke arah Murong Chen. Sikapnya yang santai itu justru mempertegas aura dingin yang mengelilinginya."Aku di sini hanya untuk makan," ujarnya singkat. Suaranya tenang, hampir tak beremosi, namun setiap kata mengandung ketegasan. "Aku tak punya urusan dengan kalian."Hao Yexin yang duduk di depannya segera menangkap nada netral itu. Dia mendengus, mencoba mengalihkan perhatian Murong Chen. "Apa kalian dengar itu, Murong Chen? Kami tidak ada urusan dengan kalian. Jadi lebih baik kau pergi saja!" katanya, suaranya sedikit bergetar meski ia mencoba terdengar percaya diri.Murong Chen tertawa pelan, tawa yang penuh ejekan. Matanya menyipit, memandang Hao Yexin dan Du Shen seperti dua semut kecil di hadapannya. "Kalian dengar itu?" tanyanya kepada anak buahnya, suaranya meninggi. "Dua orang rendahan ini berani mengusirku, Tuan Muda Murong Ch
Tiga hari kemudian.Langit di atas hutqn Kabut Ilusi tampak kelabu, diselimuti awan tipis yang berputar lembut seperti pusaran tak kasat mata. Hutan lebat di depan gerbang raksasa itu kini dipenuhi oleh beberapa kubu manusia. Yang beberapa hari lalu hanya mencapai ribuan orang, kini menjadi belasan ribu kultivator dari segala penjuru benua—mengenakan jubah khas sekte masing-masing sebagai lambang kehormatan, dan setiap orang tampak memancarkan aura kuat yang saling bertabrakan di udara seperti badai yang tertahan.Walaupun orang-orang dari tiga sekte besar tampak terlihat tenang di permukaan, namun semua itu hanyalah awal dari persaingan yang sebenarnya setelah memasuki Wilayah Dewa Leluhur.Di antara kerumunan, sekelompok murid muda dari Sekte Pedang Bulan berkumpul, duduk di atas batu besar sambil memperhatikan gerbang batu kuno yang berdiri gagah menempel dengan dinding tebing tinggi yang curam."Hei, menurutmu... harta karun seperti apa yang bisa kita temukan di dalam?" tanya sal
Dengan gerakan tenang, Du Shen menggigit ibu jarinya, meneteskan setitik darah segar. Darah itu tidak jatuh ke tanah, melainkan melayang di udara, berpendar dengan cahaya merah tua yang samar dan dikelilingi aura Qi tipis yang berputar perlahan.Rubah itu, yang seolah memahami apa yang Du Shen lakukan, juga menggigit jarinya. Setetes darah kemerahan muncul dan ikut melayang di udara, menyatu dengan tetesan darah Du Shen.Begitu kedua darah itu bertemu, keduanya bergetar, lalu perlahan menyatu membentuk satu gumpalan merah yang bersinar lembut, dikelilingi pusaran energi spiritual yang memancar tenang. Dalam sekejap, gumpalan itu terbelah menjadi dua cahaya kecil yang masing-masing melesat masuk ke dalam tubuh Du Shen dan tubuh rubah ekor sembilan itu.Seketika itu, sebuah koneksi halus namun kuat terjalin di antara mereka. Aura mereka saling menyatu, dan jiwa mereka beresonansi seolah dapat saling memahami satu sama lain.Ritual itu dikenal sebagai Ikatan Jiwa—ikatan sakral yang hanya
Setelah penjelasan panjang lebar dari Zhao Lao mengenai Hutan Kabut Ilusi dan Wilayah Dewa Leluhur, Du Shen hanya mengangguk tenang. Pandangannya dingin namun dalam, seakan memikirkan seribu langkah ke depan. Dengan gerakan pelan, ia memberi isyarat pada Zhao Lao dan muridnya untuk pergi."Terima kasih atas informasinya. Sekarang, kalian boleh pergi," ucapnya singkat.Zhao Lao langsung membungkuk sopan, kemudian menarik lengan muridnya. Namun Han Jue justru mematung, matanya masih menatap lekat ke arah Du Shen—walau tidak berani menatap langsung tepat ke mata pemuda itu. Pupil matanya bergetar halus, seolah dipenuhi keraguan.Sebelumnya, ia begitu yakin bahwa pria ini hanyalah kultivator muda biasa yang tak mengerti betapa luasnya dunia ini. Namun setelah mendengar gurunya yang begitu menghormati Du Shen dan melihat bagaimana makhluk buas itu tunduk padanya, benaknya mulai kacau. Ada sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar kekuatan—sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan, seperti aura
Dengan langkah yang terasa berat, Zhao Lao akhirnya memberanikan diri untuk melangkah maju. Wajahnya yang sebelumnya dipenuhi dengan ketegangan kini dipulas dengan ekspresi ragu dan penuh kehati-hatian. Ia sedikit menunduk hormat, lalu mengepalkan kedua tangannya di depan dada sebagai bentuk penghormatan para kultivator."Mohon maafkan tindakan menyinggung kami sebelumnya, Tuan," ucap Zhao Lao, nadanya jauh lebih sopan dan merendah dibandingkan sikapnya beberapa saat lalu. "Kami sungguh tidak tahu dengan siapa kami berhadapan. Jika diperkenankan… bolehkah kami tahu siapa Anda sebenarnya?"Suasana mendadak hening, seolah alam pun menahan napas. Angin yang tadi berhembus lembut kini terasa dingin menusuk kulit, membawa ketegangan yang tak terlihat namun jelas terasa.Du Shen hanya menatapnya diam. Pandangannya dingin, seolah tak terusik sedikit pun oleh perubahan sikap pria tua itu. Namun ada seulas senyum getir yang perlahan mengembang di sudut bibirnya—senyum yang cukup mengintimidasi
Di sisi lain, Du Shen mengangkat kepalanya perlahan, menatap Han Jue dan Zhao Lao secara bergantian. Matanya tenang, tapi menyimpan kedalaman yang tak terjangkau."Beraninya kau menghindar dan meremehkan kekuatanku… mati saja kau!" teriak Han Jue, amarah semakin membara di matanya.Teriakannya menggema, membuyarkan lamunan Zhao Lao yang sedari tadi terus mengamati situasi dengan penuh keraguan. Ia sudah bisa melihat ke mana arah pertarungan ini akan berakhir—dan ia tidak menginginkan hal itu terjadu sama sekali.Han Jue bukan murid biasa. Ia adalah anak didik kebanggaannya, salah satu jenius muda di Sekte Azure Dragon, dikenal luas karena kekuatan serta potensinya yang luar biasa. Namun, pemuda yang berdiri di hadapan mereka ini—bukanlah seseorang yang bisa di hadapi oleh muridnya.Zhao Lao menggertakkan giginya. Ia tak boleh membiarkan muridnya terseret lebih jauh dalam konfrontasi ini. Aura yang terpancar dari Du Shen tak berkurang sedikit pun, malah semakin tajam seperti pedang yan
Lusinan bilah pedang Qi melesat dari segala arah, mengoyak udara dengan suara siulan tajam. Setiap bilah memancar dalam cahaya merah muda yang menyilaukan, melesat ke arah Du Shen bagaikan hujan kematian yang tak terelakkan.Namun Du Shen segera bergerak dengan lincah, kecepatannya luar biasa hingga mustahil untuk lihat oleh mata biasa. Dalam sekejap, Du Shen membelokkan tubuhnya ke kiri, lalu memutar ke belakang dengan kecepatan yang mengejutkan. Tubuhnya seakan lentur bagai aliran air, melayang di udara dan berputar seperti dedaunan yang menari dihembus angin.Beberapa bilah pedang Qi nyaris menyentuh jubahnya, bahkan sehelai rambutnya pun hampir tertebas, namun tak satu pun dari serangan itu berhasil menyentuhnya. Setiap langkahnya seolah sudah diperhitungkan dengan presisi mutlak, membuatnya tampak seperti bayangan yang menari di antara bilah-bilah mematikan.Han Jue membelalak, nafasnya terasa sedikit tercekat.'Bagaimana bisa?' pikirnya, matanya melebar tak percaya. Ia tahu bet
"Kalau iya, memangnya kenapa?" sahut Du Shen, nadanya datar namun menusuk, diselimuti aura dingin dan keangkuhan layaknya anak muda dari kalangan terhormat yang terbiasa berada di atas angin.Seketika udara di sekeliling terasa berat. Kalimat itu, yang terucap dengan begitu ringan, seolah menampar harga diri mereka. Pria tua yang berdiri tegak di balik jubah biru tuanya tampak terdiam beberapa detik. Wajah keriputnya semula tenang, namun kini perlahan mengeras, menampakkan sorot mata gelap penuh tekanan. Ada kilatan kemarahan yang tak bisa ditutupi, meski ia mencoba mempertahankan sikap berwibawa dan bijaknya."Kalau begitu... serahkan saja rubah itu. Kami akan mengurus sisanya," ucapnya pelan namun tajam, seolah kata-katanya adalah perintah yang tak bisa dibantah.Mendengarnya Du Shen hanya mendengus pelan, sudut bibirnya terangkat tipis dalam senyum sinis. Ia melirik sekilas ke arah rubah ekor sembilan yang masih tergeletak di atas tanah, tubuhnya gemetar menahan rasa sakit dari lu
Rubah ekor sembilan. Salah satu binatang buas langka yang tercatat dalam sejarah Benua Yin. Keberadaannya begitu jarang hingga sebagian orang menganggapnya hanya dongeng. Namun kenyataan di depan mata Du Shen berkata lain.Du Shen berdiri terpaku di antara rimbun hutan berkabut, menatap tubuh makhluk itu yang kini tergeletak lemah di atas tanah yang becek oleh darah. Cahaya keemasan yang samar masih memancar dari tubuh binatang itu, rubah ini telah mencapai tingkat kultivasi ranah Golden Core—sebuah pencapaian langka bahkan di antara makhluk-makhluk buas lainnya di dunia ini. Inti roh dan darah rubah ini, jika dimurnikan, bisa menjadi bahan utama dalam pembuatan pil tingkat tinggi atau Artefak tingkat tinggi yang berkualitas.Tak heran jika banyak orang-orang ataupun kultivator ingin memburunya.Tubuh rubah itu tampak compang-camping. Bekas tebasan dan tusukan tampak melekat di seluruh tubuhnya, dengan darah yang terus mengalir tak terkendali. Beberapa jarum perak setipis bulu masih
Di bawah cahaya bulan purnama yang menggantung tinggi di langit malam, sinarnya yang pucat menembus celah dedaunan lebat hutan. Cahaya itu memantul lembut di permukaan kabut tipis yang menggantung rendah, menciptakan ilusi seperti dunia mimpi. Suasana tampak tenang di permukaan, namun Du Shen merasakan kejagalan yang tak bisa dijelaskan.Ia berdiri tegak di atas sebuah batu datar, jubahnya berkibar lembut tertiup angin malam. Matanya menyipit, menatap ke arah barat, tempat hawa yang tidak biasa mulai merambat perlahan. Hidungnya mengendus samar, mendeteksi bau logam tipis bercampur dengan aroma tanah basah."Kabut ini tidak biasa," gumamnya dalam hati. "Seolah-olah mengandung Qi yang terdistorsi… presepsiku bahkan tak bisa menembus lebih dari beberapa kilometer. Sesuatu… atau mungkin seseorang… telah mengacaukan medan spiritual tempat ini."Beberapa detik berlalu. Kemudian, tanah tiba-tiba bergetar, ranting-ranting dan dedaunan kering juga tampak berderak. Suara langkah besar yang me