Di sebuah hutan lebat di tepian timur Benua Yin, seorang pemuda berdiri di bawah naungan pohon yang rimbun. Suara gemerisik air sungai mengalir lembut di sampingnya, namun suasana hatinya tak selaras dengan kedamaian di sekitarnya.
Wajahnya keras, matanya tajam memandang ke depan, penuh dengan tekad yang tak tergoyahkan. Pemuda itu adalah Du Shen, yang kini telah tumbuh dewasa. Bertahun-tahun berlalu sejak peristiwa tragis yang merenggut semua yang ia cintai. Kini ia telah dewasa, dari seorang anak berusia sepuluh tahun, tumbuh lebih tinggi, berotot dan semakin tampan. Dia yang dulu jelas tak dapat dibandingkan dengan dirinya sekarang. Dulu ia sering sekali merengek setelah merasakan betapa pedih dan kerasnya ajaran dari gurunya. "Tunggu saja," gumam Du Shen dengan suara dingin, seraya menggenggam erat gagang pedang yang terselip di pinggangnya. "Mereka akan merasakan kepedihan yang telah lama mengakar di hatiku. Gigi dibalas gigi, mata dibalas mata." Ia berdiri, mengusap noda di celananya, lalu berjalan ke sebuah tempat di tengah hutan. Sebuah gundukan tanah berdiri di hadapannya, diapit oleh makam lainnya yang tampak lebih baru. Du Shen berlutut di depan dua makam tersebut. Matanya menatap tajam nisan sederhana yang tertulis dengan ukiran tangan. Di salah satu nisan tertulis: Du Liong. Sementara nisan lainnya berbunyi: Bai Shen, Sang Dewa Racun. "Ayah, guru..." bisik Du Shen dengan nada penuh penghormatan. "Terima kasih atas segalanya. Aku tidak akan pernah melupakan jasa dan kebaikan kalian." Ia menyentuh tanah di depan kedua makam tersebut, menunduk dengan wajah penuh rasa syukur dan dendam yang bercampur aduk. "Dulu aku hanyalah bocah lemah yang hanya bisa menangis di balik pohon, menyaksikan ayahku disiksa hingga tewas. Namun, sekarang berbeda. Guru telah membentukku menjadi orang yang bahkan iblis pun akan takut melihatku." Du Shen menghela napas panjang, memejamkan matanya sejenak untuk menenangkan pikirannya yang bergejolak. Ia teringat bagaimana kerasnya latihan yang ia jalani bersama gurunya, kakek Bai, seorang alkemis racun legendaris yang menguasai seni racun dan bela diri. Du Shen kembali mengingat hari-hari dimana ia dengan keras dilatih oleh kakek Bai. Senyum getir tersungging di sudut bibirnya. "Ayo, Du Shen! Racun ini tidak akan membunuhmu, tapi rasa sakitnya akan membuatmu ingin mati!" kakek Bai melemparkan sebuah botol kecil ke arah Du Shen muda, sambil tertawa aneh. Du Shen menjerit ketika cairan itu mengenai kulitnya. Sensasi terbakar menjalar ke seluruh tubuhnya, membuatnya menggeliat kesakitan. "Aku... tidak! Sakit!" ujar Du Shen muda dengan air mata mengalir. "Kau tidak punya pilihan!" bentak kakek Bai, menatapnya tajam. "Jika kau ingin balas dendam, kau harus melawan keras rasa sakit itu. Dunia tidak peduli seberapa menderitanya dirimu. Kau harus melampaui batasmu!" Du Shen menggertakkan giginya, menahan rasa sakit yang luar biasa. Dalam hatinya, ia berteriak penuh kebencian, mengingat para bandit yang telah menghancurkan hidupnya. Ia terus bertahan, meskipun tubuhnya terasa seperti akan hancur. Du Shen tersenyum pahit mengingat masa-masa itu. "Guru, aku bahkan sering berpikir kau lebih kejam daripada para bandit itu," gumamnya. "Tapi aku tahu, semua itu kau lakukan agar aku bisa tetap berdiri di sini hari ini." Ia kembali menatap makam gurunya. "Terima kasih telah mengajarkan banyakhal padaku, guru. Aku akan membawa nama besarmu, guru, dan menjadikannya simbol ketakutan. Dunia akan mengenalku sebagai mala petaka yang menumpas kejahatan." Ia berdiri, menatap makam itu untuk terakhir kalinya sebelum berbalik. Matanya menatap dingin ke depan, ketika hal-hal yang dia benci melintasi pikirannya. Namun, pikirannya kembali dipenuhi oleh sosok ibunya, Mei Hua. Sosok wanita yang tak tergantikan, sosok dengan penuh kasih sayang yang tak pernah meminta balasa apapun dari Du Shen. Senyum lembut ibunya kembali terngiang di benak Du Shen, membuatnya bergetar karena rindu akan aksih sayangnya. "Guru pernah mengatakan bahwa tak ada wanita di antara tumpukan korban para bandit waktu itu," gumamnya pelan. "Jika ibu tidak di sana, lalu... kemana dia pergi? Apakah dia masih hidup?" Rasa penasaran dan kebencian bercampur dalam pikirannya. Ia mengepalkan tangan, menguatkan tekadnya. "Jika ibu masih hidup, aku akan menemukannya. Tapi pertama-tama..." Ia menatap ke kejauhan, ke arah hutan yang tampak semakin gelap di bawah sinar senja. "Aku akan memburu mereka. Para bandit itu harus membayar nyawa ayahku dengan darah mereka." *** Matahari mulai tenggelam di ufuk barat ketika Du Shen melangkah keluar dari hutan. Langkahnya mantap, membawa beban masa lalu yang ia ubah menjadi alasan perubahan besar dalam dirinya. Ia mengenakan jubah hitam sederhana, dengan pedang di pinggangnya dan sebuah tas selempang menggantung di balik punggungnya. Di luar hutan, sebuah jalan setapak membentang menuju desa kecil. Du Shen berhenti sejenak, mengamati pemandangan tersebut. "Delapan tahun berlalu," gumamnya. "Apakah dunia ini telah berubah, atau hanya aku saja yang berubah?" Ia melangkah menuju desa Yaocun yang tak berubah dari sisa-sisa kebakaran, tempat kelahiran yang menyimpan banyak kenangan, namun tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki dari arah yang berlawanan. Seorang pria berotot dengan wajah penuh bekas luka muncul dari balik tikungan, diikuti oleh dua pria lain yang terlihat seperti anak buahnya. "Heh, lihat siapa yang keluar dari hutan," ujar pria itu dengan nada mengejek. "Seorang bocah kecil yang tersesat?" Du Shen tidak menjawab, hanya menatap mereka dengan dingin. Melihat orang-orang beringas seperti itu, sesuatu tampak berkobar dalam dirinya. "Apa kau tidak mendengar kami bicara, hah?" bentak pria itu, berjalan mendekat. "Serahkan semua yang kau punya, atau—" Belum sempat pria itu menyelesaikan kalimatnya, Du Shen bergerak. Dalam satu gerakan cepat, ia melesat ke arah pria itu dan menebaskan pedangnya. Sebuah luka kecil muncul di lengan pria itu, dan ia terhuyung mundur sambil mengerang. "Apa yang kau lakukan, bocah sialan?!" teriaknya. Du Shen tersenyum tipis. "Luka kecil itu? Jangan khawatir, kau akan segera tahu apa yang ada di baliknya." Pria itu menatap lengan yang terluka, wajahnya berubah pucat ketika ia melihat kulitnya mulai menghitam. Tubuhnya gemetar, dan dalam hitungan detik, ia terjatuh ke tanah, menggeliat kesakitan. "K-kau... apa yang kau lakukan padaku?!" jeritnya. "Aku baru saja memberimu sedikit barang yang kupunya," jawab Du Shen dengan tenang. "Jangan khawatir, aku masih menyimpan banyak barang lain." Melihat bos mereka terkapar, dua pria lainnya mundur dengan ketakutan. "T-tolong! Kami hanya pengikut! Jangan bunuh kami!" salah satu dari mereka memohon. Du Shen menatap mereka dengan dingin. "Apa kau berasal dari kelompok bandit Kapak Merah?" tanyanya. Mendengar ucapan itu pria yang satunya mendadak diam, tubuhnya seakan terpaku di kedalam tanah. "Kenapa kalian diam saja? Apa kalian ingin merasakan nasib yang sama sepertinya?" ujar Du Shen sambil menunjuk pria berotot yang tengah terkapar dengan ujung pedangnya. "T-tidak, tuan... k-kami tidak tau? K-kami tidak mengenal bandit Kapak Merah." ucapnya terbata-bata. Du Shen menyarungkan pedangnya, membuat orang-orang itu merasa sedikit lega, butiran keringat masih mengalir di dahi mereka. Nyatanya Du Shen tak berniat mengampuni mereka, ia justru meraih leher salah satu pria dan mencekiknya tinggi-tinggi. "Kau tau kan, apa akibatnya jika bohong?" ujar Du Shen, menatap tajam pria yang dicekiknya. Pria itu masih meronta-ronta, menahan rasa sakit di lehernya dan ia merasa sulit untuk bernafas. Matanya tak sengaja bertemu dengan tatapan dingin itu, sejenak pria itu langsung ketakutan, rasanya bagaikan berada di bawah kaki binatang buas. "A-aku akan mengatangnya, t-tolong lepas-kan." ucap pria itu akhirnya. Du Shen diam sejenak sebelum melempar pria itu ke tanah. "Katakan!" ucapnya tegas. "B-baik... bandit Kapak Merah yang anda maksud, sudah lama pergi dari wilayah ini..." ucapnya dalam jeda sejenak, "M-mereka pergi entah kemana setelah menghancurkan desa Yaocun... Saya sudah mengatakan semuanya yang saya tahu, tolong lepaskan kami." Du Shen mengerutkan kening, masih dengan tatapan tajamnya yang menusuk. Dia dapat merasakan bahwa pria itu tak berbohong sedikitpun, tapi tetap saja ia kurang puas dengan jawaban itu. Du Shen buru-buru meredakan amarahnya, menghela nafas panjang dan kembali menatap pria itu. "Bawa temanmu dan jangan pernah kembai ke tempat ini." katanya sembari melempar sebotol ramuan kecil pada salah satu dari orang-orang itu. Tanpa pikir panjang, kedua pria itu berlari meninggalkan tempat itu dengan menggendong bosnya yang terlihat sekarat. "Kemana aku harus mencari bandit-bandit sialan itu lagi? Mereka sangat merepotkan," gumamnya. Dengan tekad yang membara, Du Shen melangkah ke dalam dunia yang penuh bahaya, membawa kebencian dan kekuatan yang telah ia pendam selama bertahun-tahun. Perjalanan balas dendamnya baru saja dimulai.Langit semakin kelabu, awan hitam menggantung rendah di atas Kota Danau Hitam. Angin dingin yang menusuk tulang berhembus kencang, membawa aroma lembab dari danau yang menjadi pusat kota itu. Suasana hiruk pikuk masih terasa di dalamnya, meski beberapa penduduk tampak bergegas menutup kios-kios mereka sebelum hujan deras turun.Setelah perjalanan yang melelahkan, Du Shen akhirnya tiba di gerbang kota yang megah. Pintu gerbang besar dari kayu ek yang kokoh menjulang tinggi, dihiasi ukiran naga dan singa yang melambangkan kejayaan tiga klan aristokrat yang menguasai kota tersebut. Namun, alih-alih terkesan, Du Shen hanya meliriknya dengan acuh.“Berhenti di situ!” seru seorang penjaga gerbang, menghentikan langkahnya. Pria itu bertubuh besar dengan wajah kasar yang dihiasi janggut tebal.Du Shen mendongak sedikit, mengangkat caping bambu yang menutupi sebagian wajahnya. “Ada apa?” tanyanya singkat, suaranya datar tanpa emosi.“Dari mana asalmu?” tanya penjaga itu dengan nada yang tak b
Du Shen duduk tenang di bangkunya, hanya sesekali meneguk gelas minuman yang tersaji di depannya. Matanya tidak menunjukkan emosi apapun saat ia melirik ke arah Murong Chen. Sikapnya yang santai itu justru mempertegas aura dingin yang mengelilinginya."Aku di sini hanya untuk makan," ujarnya singkat. Suaranya tenang, hampir tak beremosi, namun setiap kata mengandung ketegasan. "Aku tak punya urusan dengan kalian."Hao Yexin yang duduk di depannya segera menangkap nada netral itu. Dia mendengus, mencoba mengalihkan perhatian Murong Chen. "Apa kalian dengar itu, Murong Chen? Kami tidak ada urusan dengan kalian. Jadi lebih baik kau pergi saja!" katanya, suaranya sedikit bergetar meski ia mencoba terdengar percaya diri.Murong Chen tertawa pelan, tawa yang penuh ejekan. Matanya menyipit, memandang Hao Yexin dan Du Shen seperti dua semut kecil di hadapannya. "Kalian dengar itu?" tanyanya kepada anak buahnya, suaranya meninggi. "Dua orang rendahan ini berani mengusirku, Tuan Muda Murong Ch
Dengan satu gerakan, Du Shen mendorong Murong Chen ke belakang. Pemuda itu terhuyung dan jatuh terduduk di lantai, wajahnya memerah karena malu dan marah. Hao Yexin tersenyum tipis melihat kekalahan Murong Chen. "Sepertinya kau harus berpikir dua kali sebelum mengganggu orang lain, Murong Chen," katanya dengan nada mengejek. Murong Chen menatapnya dengan penuh kebencian. "Ini belum selesai, Hao Yexin! Kau pikir kau bisa sembunyi selamanya?! Aku akan memastikan kau menyesal telah mempermalukanku hari ini!" Setelah melontarkan ancaman itu, Murong Chen berdiri dan meninggalkan toko bersama anak buahnya yang masih mengerang kesakitan. Hening kembali menyelimuti toko setelah Murong Chen pergi. Walau begitu para pengunjung toko yang sebelumnya terdiam kini mulai berbisik-bisik. Mereka takjub melihat bagaimana seorang pemuda sederhana dan terlihat lusuh itu bisa mengalahkan tiga orang tanpa banyak usaha. Terlebih mereka adalah bagian dari Keluarga Murong di kota Danau Hitam ini. M
Hao Yexin menyeka butiran air matanya, setelah mempertimbangkan ucapan Du Shen, ia mulai sadar bahwa menangis tak akan menyelesaikan masalah. "Kau benar, tak ada gunanya meratapi dengan kesedihan.""Aku minta maaf karena menunjukkan tingkah memalukanku." lanjutnya sebelum berdiri perlahan.Hao Yexin melangkahkan kakinya keluar dari toko. Namun, kali ini sorot matanya sedikit lebih tajam dan bertekad."Aku bisa mempertimbangkan tawaranmu tadi. Tapi, ada syaratnya," ujar Du Shen, langsung menghentikan langkah Hao Yexin yang hendakk pergi.Gadis itu menoleh kembali dengan tatapan penuh akan tanda tanya. Walaupun masih ada jejak kesedihan dalam raut wajahnya, ia berusaha tetap tegar."Syarat?" gumamnya pelan, menatap ke lantai kayu di bawah kakinya sebelum kembali menatap Du Shen."Aku rasa tak ada gunanya mempertimbangkan ucapanku tadi. Aku hanya mengatakannya tanpa pikir panjang... kau bisa melupakannya." balas Hao Yexin akhirnya setelah memikirkan kembali beberapa hal.Du Shen menghela
Tetua Zhang yang masih mempertahankan senyum tipisnya menatap gadis muda itu seakan peluang besar telah terbuka. "Kau harus menikah dengan Tuan Muda Murong Chen. Dengan begitu mereka akan membantu menghubungi Tabib Surgawi dengan koneksi mereka di Sekte Azure Dragon." Seketika Hao Yexin kembali membeku, kali ini pikirannya mengembara kemana-mana. Ia tak menyangka bahwa syarat yanng dikatakan Tetua Zhang adalah hal buruk yang tak pernah ia bayangkan.'J-jadi ini tujuan Tetua Zhang? Bagaimana bisa, dia memanfaatkan keadaan ini dan menyeretku demi keuntungannya.' batin Hao Yexin.Wajahnya tampak memerah menahan kemarahan yang seketika tumbuh dalam hatinya. Ia melirik pria tua itu dengan tatapan benci dan kesal.Namun, matanya yang kembali melirik Kepala keluarga terbaring di atas ranjang, membuat pendirian Hao Yexin mulai goyah. Butiran air di pelupuk matanya semkin tak tertahankan, perlahan tumpah membasahi pipinya yang mulus."Kau harus memutuskan, Tuan Putri. Jika tidak, keselamatan
Du Shen malah tersenyum sederhana, ia mengangguk sesaat, namun gelak tawa cekikikan terdengar dari arah samping mereka.Tetua Zhang dan Tabib Liu tampak menahan perut mereka yang sakit karena tawa."Anda dengar, Tabib Liu? Pemuda ini benar-benar menganggap dirinya sebagai tabib." ujar Tetua Zhang menahan tawanya.Sedangkan Tabib Liu mengusap butiran air mata yang keluar setelah tawa terbahak-bahak. "Aku sendiri yang telah berlatih teknik pengobatan selama puluhan tahun, mengaku tak mampu menyembuhkan penyakit Kepala keluarga Hao." ucapnya dalam jeda, "namun, kau yang tak lebih dari setengah umurku, tiba-tiba datang dan mengaku sebagai tabib." lanjutnya."Benar, apa yang bisa dilakukan pemuda lusuh sepertimu?" sambung Tetua Zhang kali ini dengan tatapan serius, ucapannya penuh penghinaan.Du Shen menatap kedua pria paruh baya itu dengan tatapan dingin dan seringai tipis."Kepala keluarga Hao tak menderita penyakit, melainkan menderita karena racun." ujar Du Shen membuat Tetua Zhang dan
Menghina gurunya berarti orang itu siap untuk mati. Namun, Du Shen menahan gejolak emosinya yang tumbuh seketika, mencoba untuk tetap tenang dan fokus pada penyembuhan Kepala keluarga Hao.Tabib Liu dan Tetua Zhang masih tertawa penuh penghinaan, tapi mereka tak tahu bahwa nama mereka telah masuk ke dalam daftar hitam di lubuk hati Du Shen.Mengabaikan cemohan mereka, Du Shen kembali membuka tutup botol kecil di tangannya. Tampak asap kehijauan yang samar keluar, memberikan sensasi dingin dan mematikan dari racun itu."T-tunggu." potong Hao Yexin dengan tatapan ragu. "Apakah ini akan baik-baik saja?" tanyanya kehawatir.Bagaimanapun jika Du Shen gagal dalam mengobati ayahnya, maka semua akan menjadi lebih buruk dari apa yang dia harapkan. Saat ini ia hanya bisa pasrah dan membiarkan Du Shen memenuhi harapannya.Segera cairan dalam botol itu di tuangkan ke dalam mulut Hao Jifeng, Du Shen menutup hidungnya agar racun itu tertelan sepenuhnya.Tak berselang lama, Kepala keluatga Hao menun
Tabib Liu tersenyum sinis mengira tindakannya akan berhasil. Tapi, sebuah aliran Qi kehijauan melenghentikan jarum itu di tengah udara, membuat pandangan semua orang teralihkan."Kau lihat itu, Nona Hao? Tabib bodoh ini mencoba membunuh ayahmu dengan trik kecil." ujar Du Shen tertawa getir sembari meraih jarum itu yang mengambang di udara.Mata Hao Yexin membulat tak percaya, ia menatap tajam Tabib Liu dengan tatapan penuh amarah. "Beraninya kau, tabib penipu ingin membunuh ayahku!" tegasnya, suaranya terdengar tajam.Hao Yexin meraih pedang di samping dinding ruangan, menghunusnya sebelum menebas ke arah Tabib Liu berdiri.Walaupun Hao Yexin bukanlah seniman bela diri ahli, namun gerakannya cukup cepat di mata orang biasa."Berhenti!" seru Tetua Zhang, menahan tebasan pedang itu dengan telapak tangannya yang diselimuti energi Qi."Apa kau sadar dengan tindakanmu, Tuan Putri! Bagaimana bisa kau mengancungkan pedang ke a
Dalam putaran waktu yang terasa singkat, fajar perlahan menyingsing, sinar mentari mulai menerobos celah-celah bangunan di kota Danau Hitam, menciptakan cahaya keemasan yang menyelimuti kota itu.Du Shen menghela napas pelan, matanya menatap kosong ke arah langit-langit. Semalaman penuh ia berkultivasi, tetapi hasilnya jauh dari harapannya. Energi dalam tubuhnya tetap stagnan, seolah ada dinding tak kasatmata yang menghalanginya untuk berkembang lebih jauh."Huh... aku perlu mencari solusi secepat mungkin," gumamnya, nada suaranya penuh ketidaksabaran.Tatapannya berubah tajam ketika mengingat satu hal. Hari ini, Paviliun Alkemis mengadakan pelelangan. Mungkin di sana, ia bisa menemukan sesuatu yang dapat membantunya menembus kebuntuan kultivasinya.Setelah membenahi pakaiannya, Du Shen segera meninggalkan kediamannya. Saat ia melangkah ke halaman utama, beberapa sosok sudah tampak menunggunya di sana. Kepala klan Hao, Hao Jifeng, berdiri tegap dengan senyum tipis di wajahnya. Di sam
Tanpa pikir panjang, Tetua Qin melambaikan tangannya, memberi isyarat kepada para pelayan untuk segera membawa Murong Chen dan Xiao Mei keluar dari ruangan. Dua pemuda itu masih berusaha membantah, namun para pelayan bergerak cepat, menggiring mereka keluar tanpa banyak perlawanan."Kalian tak perlu membuang waktuku lagi dengan ocehan tak berguna," suara Tetua Qin terdengar tegas, wajahnya menampakkan ketidaksabaran yang jelas.Murong Chen mendengus kesal, sementara Xiao Mei menggertakkan giginya dengan tatapan penuh kebencian ke arah Du Shen. "Kau akan menyesalinya," gumamnya lirih sebelum akhirnya dipaksa keluar.Setelah ruangan kembali sunyi, Tetua Qin menarik napas panjang, merasakan kelegaan yang amat sangat. 'Walaupun mereka berasal dari keluarga terpandang di kota ini, mengabaikan keduanya lebih baik daripada kehilangan pemuda berbakat seperti ini,' pikirnya dengan mata berbinar.Begitu suasana menjadi lebih tenang, ia kembali menatap Du Shen, kali ini dengan tatapan lebih ra
"Khmm!" Tetua Qin terbatuk pelan, suaranya terdengar sedikit serak. Ia berusaha menenangkan diri, mencoba menyembunyikan keterkejutan yang masih bergemuruh dalam dadanya. Namun, tak peduli seberapa keras ia berusaha, matanya tak bisa menyembunyikan kilatan kagum yang masih tersisa.Sebelumnya, ia mengira dirinya telah melihat segalanya dalam dunia Artefak. Namun, pemuda yang tampak biasa-biasa saja di hadapannya ini telah membuktikan bahwa ia salah besar.Dengan langkah ringan namun penuh penghormatan, Tetua Qin merapatkan kedua genggaman tangannya di depan dada, lalu sedikit menundukkan kepalanya."Orang tua ini harus meminta maaf atas kebodohannya..." ucapnya penuh penghormatan. Kata-katanya bagaikan petir yang menyambar di tengah ruangan itu.Orang-orang yang menyaksikan langsung membelalakkan mata mereka, tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar.Tetua Qin… seorang tokoh terhormat dari Paviliun Seribu Harta… meminta maaf dan menunduk hormat?Kepala para pelayan dan or
"Biarkan aku melihatnya! Biarkan aku melihatnya!" seru Tetua Qin dengan nada penuh semangat, matanya berbinar seperti seorang sarjana yang baru saja menemukan gulungan kitab kuno yang hilang selama berabad-abad.Langkahnya maju dengan penuh antusiasme, seakan tidak sabar untuk merasakan sendiri energi dari belati yang baru saja diukir dengan inskripsi misterius oleh Du Shen.Namun, di tengah kegembiraannya, ekspresi gugup mulai muncul di wajah beberapa orang yang menyaksikan, terutama Xiao Mei dan Murong Chen. Mereka tidak menyangka bahwa Tetua Qin, seorang ahli Artefak yang selama ini dikenal penuh kehati-hatian, tiba-tiba menunjukkan minat yang begitu besar."Tetua Qin, sebaiknya Anda jangan terlalu mudah percaya pada pemuda ini. Bisa saja ini adalah jebakan yang dia rancang untuk menipu kita semua," ujar Murong Chen, segera melangkah maju untuk menghalangi niat Tetua Qin."Benar!" sambung Xiao Mei dengan suara sedikit gemetar, meskipu
Du Shen lalu mengeluarkan sebuah pena logam sederhana dari sakunya dan meletakkan sebotol kecil berisi darah binatang buas di atas meja kayu. Setelah itu, ia menaruh belati perak yang sebelumnya yang dia digunakan untuk memotong Belati Iblis Bulan.Tindakan itu langsung menarik perhatian semua orang, tetapi sebelum ada yang sempat mengutarakan pendapatnya, suara penuh sindiran terdengar dari arah sampingnya."Apa lagi yang kau coba lakukan?" Xiao Mei mencibir dengan nada penuh ejekan. "Mencoba menipu mata kami dengan trik licikmu lagi?"Ekspresinya berubah semakin jelek, matanya memancarkan ketidaksenangan yang nyata.Sejak awal, ia berharap bisa mempermalukan Du Shen dan membuktikan bahwa pemuda itu hanyalah seorang penipu. Namun, kenyataannya justru sebaliknya. Setiap kata dan tindakan Du Shen selalu membuatnya terkejut dan semakin frustrasi.Melihat pemuda itu dengan santai mengeluarkan alat-alat seperti ingin membuktikan sesuatu, Xiao Mei merasa tak bisa hanya berdiam diri dan mem
"Bagaimana bisa…?" gumam Hong Xie. Suaranya terdengar lirih, nyaris tak terdengar. Matanya masih terpaku pada sisa-sisa Belati Iblis Bulan yang kini tergeletak tak berarti di atas lantai, terpotong menjadi dua bagian yang tak lagi memiliki daya tarik apa pun.'Apakah… belati itu memang Artefak cacat?' pikirnya dengan keraguan yang kini mulai menyelimuti benaknya.Beberapa saat lalu, ia adalah salah satu orang yang paling marah saat Du Shen terang-terangan menghina mahakarya pemimpin Paviliun mereka. Namun kini, dengan bukti yang begitu jelas di depan mata, pendiriannya mulai goyah.Sementara itu, Murong Chen dan Xiao Mei masih berdiri kaku, mata mereka membelalak dalam ketidakpercayaan. Apa yang mereka lihat barusan benar-benar di luar dugaan.Artefak tingkat tiga… hasil mahakarya seorang ahli terkemuka di Kota Danau Hitam… Hancur dalam satu tebasan oleh belati biasa.Itu tidak masuk akal. Tak mungkin benda sekuat itu bisa dihancurkan semudah membelah tahu dengan pisau dapur!Namun,
Xiao Mei menyilangkan tangan di depan dada, sudut bibirnya terangkat dalam senyum sinis. Matanya dipenuhi penghinaan saat menatap Du Shen.'Huh~ Orang ini? Mari lihat kebodohan apa lagi yang akan kau lakukan,' pikirnya, menikmati pertunjukan yang menurutnya hanya akan berakhir dengan Du Shen mempermlaukan dirinya sendiri.Di tengah suasana yang agak tegang itu, Du Shen dengan tenang mengulurkan tangannya dan meraih kembali Belati Iblis Bulan yang masih dipegang oleh Hong Xie.Cahaya temaram dari kristal di dinding-dinding kayu memantul pada bilah perak belati itu, menciptakan kilauan cahaya yang memancarkan aura tajam dan ganas.Tanpa ragu, Du Shen mengayunkan belati itu beberapa kali di udara.Gerakannya halus, tetapi penuh perhitungan. Setiap ayunan menciptakan suara desiran kecil, seolah bilah belati itu sedang membelah udara dengan kekuatan tersembunyi.Mata semua orang tertuju padanya. Namun, sebelum ada yang bisa mengerti maksud tindakannya, suara cemoohan terdengar."Apa yang c
Di tengah suasana tegangan yang menggelayuti ruangan itu, tiba-tiba suara serak nan berat bergema dari arah samping."Ada apa ini?" suara itu langsung memecah keheningan.Perlahan, seorang pria paruh baya berjalan dengan langkah anggun dan penuh wibawa mendekat ke arah mereka. Setiap gerakannya menunjukkan otoritas yang sulit dibantah, seakan hanya dengan kehadirannya saja, seluruh ruangan harus tunduk dan patuh.Tatapan tajamnya menyapu seluruh orang yang berkumpul di tempat itu.Mata beberapa pelayan dan orang-orang di dalam ruangan Paviliun Seribu Harta segera melebar dalam ketegangan. Sosok ini bukan orang biasa yang dapat diremehkan begitu saja.Dia adalah Tetua Qin Cong, wakil pemimpin Paviliun Seribu Harta.Begitu melihat pria itu muncul, Xiao Mei buru-buru melangkah maju, tak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas ini."T-Tetua Qin, anda akhirnya datang!" serunya dengan nada penuh hormat, bahkan mendahului para pelayan yang seharusnya menyambut pria itu lebih dulu.Qin Cong meng
Hong Xie mengangguk, meski ada sedikit keraguan di matanya. Dari interaksi yang berlangsung di depannya, ia mulai memahami beberapa hal. Tatapan matanya sesekali melirik ke arah Hao Yexin, yang gerak-geriknya tampak agak kaku, seolah menahan sesuatu dalam dirinya.Namun, sebagai pelayan yang terlatih, ia tetap mempertahankan ekspresi ramahnya. Dengan nada sopan, ia berkata,"Baiklah, Tuan. Saya akan menyiapkan Belati Iblis Bulan ini untuk Anda, dan untuk pembayarannya bisa—"Ucapan Hong Xie mendadak terhenti. Sebuah lambaian tangan yang tegas menghentikannya sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya.Du Shen. Pemuda itu berdiri tegak dengan ekspresi tidak senang. Tatapan tajamnya menusuk langsung ke arah pelayan tersebut, seakan menelanjangi setiap pikiran yang tersembunyi.Hong Xie merasakan dadanya sedikit bergetar. Ia menelan ludah, lalu menundukkan kepala dengan gugup. Ada sesuatu dalam tatapan pemuda itu yang berbeda—sebuah tekanan tak kasatmata yang membuatnya merasa kecil."A-