Di sebuah hutan lebat di tepian timur Benua Yin, seorang pemuda berdiri di bawah naungan pohon yang rimbun. Suara gemerisik air sungai mengalir lembut di sampingnya, namun suasana hatinya tak selaras dengan kedamaian di sekitarnya.
Wajahnya keras, matanya tajam memandang ke depan, penuh dengan tekad yang tak tergoyahkan. Pemuda itu adalah Du Shen, yang kini telah tumbuh dewasa. Bertahun-tahun berlalu sejak peristiwa tragis yang merenggut semua yang ia cintai. Kini ia telah dewasa, dari seorang anak berusia sepuluh tahun, tumbuh lebih tinggi, berotot dan semakin tampan. Dia yang dulu jelas tak dapat dibandingkan dengan dirinya sekarang. Dulu ia sering sekali merengek setelah merasakan betapa pedih dan kerasnya ajaran dari gurunya. "Tunggu saja," gumam Du Shen dengan suara dingin, seraya menggenggam erat gagang pedang yang terselip di pinggangnya. "Mereka akan merasakan kepedihan yang telah lama mengakar di hatiku. Gigi dibalas gigi, mata dibalas mata." Ia berdiri, mengusap noda di celananya, lalu berjalan ke sebuah tempat di tengah hutan. Sebuah gundukan tanah berdiri di hadapannya, diapit oleh makam lainnya yang tampak lebih baru. Du Shen berlutut di depan dua makam tersebut. Matanya menatap tajam nisan sederhana yang tertulis dengan ukiran tangan. Di salah satu nisan tertulis: Du Liong. Sementara nisan lainnya berbunyi: Bai Shen, Sang Dewa Racun. "Ayah, guru..." bisik Du Shen dengan nada penuh penghormatan. "Terima kasih atas segalanya. Aku tidak akan pernah melupakan jasa dan kebaikan kalian." Ia menyentuh tanah di depan kedua makam tersebut, menunduk dengan wajah penuh rasa syukur dan dendam yang bercampur aduk. "Dulu aku hanyalah bocah lemah yang hanya bisa menangis di balik pohon, menyaksikan ayahku disiksa hingga tewas. Namun, sekarang berbeda. Guru telah membentukku menjadi orang yang bahkan iblis pun akan takut melihatku." Du Shen menghela napas panjang, memejamkan matanya sejenak untuk menenangkan pikirannya yang bergejolak. Ia teringat bagaimana kerasnya latihan yang ia jalani bersama gurunya, kakek Bai, seorang alkemis racun legendaris yang menguasai seni racun dan bela diri. Du Shen kembali mengingat hari-hari dimana ia dengan keras dilatih oleh kakek Bai. Senyum getir tersungging di sudut bibirnya. "Ayo, Du Shen! Racun ini tidak akan membunuhmu, tapi rasa sakitnya akan membuatmu ingin mati!" kakek Bai melemparkan sebuah botol kecil ke arah Du Shen muda, sambil tertawa aneh. Du Shen menjerit ketika cairan itu mengenai kulitnya. Sensasi terbakar menjalar ke seluruh tubuhnya, membuatnya menggeliat kesakitan. "Aku... tidak! Sakit!" ujar Du Shen muda dengan air mata mengalir. "Kau tidak punya pilihan!" bentak Jiang Fei, menatapnya tajam. "Jika kau ingin balas dendam, kau harus melawan keras rasa sakit itu. Dunia tidak peduli seberapa menderitanya dirimu. Kau harus melampaui batasmu!" Du Shen menggertakkan giginya, menahan rasa sakit yang luar biasa. Dalam hatinya, ia berteriak penuh kebencian, mengingat para bandit yang telah menghancurkan hidupnya. Ia terus bertahan, meskipun tubuhnya terasa seperti akan hancur. Du Shen tersenyum pahit mengingat masa-masa itu. "Guru, aku bahkan sering berpikir kau lebih kejam daripada para bandit itu," gumamnya. "Tapi aku tahu, semua itu kau lakukan agar aku bisa tetap berdiri di sini hari ini." Ia kembali menatap makam gurunya. "Terima kasih telah mengajarkan banyakhal padaku, guru. Aku akan membawa nama besarmu, guru, dan menjadikannya simbol ketakutan. Dunia akan mengenalku sebagai mala petaka yang menumpas kejahatan." Ia berdiri, menatap makam itu untuk terakhir kalinya sebelum berbalik. Matanya menatap dingin ke depan, ketika hal-hal yang dia benci melintasi pikirannya. Namun, pikirannya kembali dipenuhi oleh sosok ibunya, Mei Hua. Sosok wanita yang tak tergantikan, sosok dengan penuh kasih sayang yang tak pernah meminta balasa apapun dari Du Shen. Senyum lembut ibunya kembali terngiang di benak Du Shen, membuatnya bergetar karena rindu akan aksih sayangnya. "Guru pernah mengatakan bahwa tak ada wanita di antara tumpukan korban para bandit waktu itu," gumamnya pelan. "Jika ibu tidak di sana, lalu... kemana dia pergi? Apakah dia masih hidup?" Rasa penasaran dan kebencian bercampur dalam pikirannya. Ia mengepalkan tangan, menguatkan tekadnya. "Jika ibu masih hidup, aku akan menemukannya. Tapi pertama-tama..." Ia menatap ke kejauhan, ke arah hutan yang tampak semakin gelap di bawah sinar senja. "Aku akan memburu mereka. Para bandit itu harus membayar nyawa ayahku dengan darah mereka." *** Matahari mulai tenggelam di ufuk barat ketika Du Shen melangkah keluar dari hutan. Langkahnya mantap, membawa beban masa lalu yang ia ubah menjadi alasan perubahan besar dalam dirinya. Ia mengenakan jubah hitam sederhana, dengan pedang di pinggangnya dan sebuah tas selempang menggantung di balik punggungnya. Di luar hutan, sebuah jalan setapak membentang menuju desa kecil. Du Shen berhenti sejenak, mengamati pemandangan tersebut. "Delapan tahun berlalu," gumamnya. "Apakah dunia ini telah berubah, atau hanya aku saja yang berubah?" Ia melangkah menuju desa Yaocun yang tak berubah dari sisa-sisa kebakaran, tempat kelahiran yang menyimpan banyak kenangan, namun tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki dari arah yang berlawanan. Seorang pria berotot dengan wajah penuh bekas luka muncul dari balik tikungan, diikuti oleh dua pria lain yang terlihat seperti anak buahnya. "Heh, lihat siapa yang keluar dari hutan," ujar pria itu dengan nada mengejek. "Seorang bocah kecil yang tersesat?" Du Shen tidak menjawab, hanya menatap mereka dengan dingin. Melihat orang-orang beringas seperti itu, sesuatu tampak berkobar dalam dirinya. "Apa kau tidak mendengar kami bicara, hah?" bentak pria itu, berjalan mendekat. "Serahkan semua yang kau punya, atau—" Belum sempat pria itu menyelesaikan kalimatnya, Du Shen bergerak. Dalam satu gerakan cepat, ia melesat ke arah pria itu dan menebaskan pedangnya. Sebuah luka kecil muncul di lengan pria itu, dan ia terhuyung mundur sambil mengerang. "Apa yang kau lakukan, bocah sialan?!" teriaknya. Du Shen tersenyum tipis. "Luka kecil itu? Jangan khawatir, kau akan segera tahu apa yang ada di baliknya." Pria itu menatap lengan yang terluka, wajahnya berubah pucat ketika ia melihat kulitnya mulai menghitam. Tubuhnya gemetar, dan dalam hitungan detik, ia terjatuh ke tanah, menggeliat kesakitan. "K-kau... apa yang kau lakukan padaku?!" jeritnya. "Aku baru saja memberimu sedikit barang yang kupunya," jawab Du Shen dengan tenang. "Jangan khawatir, aku masih menyimpan banyak barang lain." Melihat bos mereka terkapar, dua pria lainnya mundur dengan ketakutan. "T-tolong! Kami hanya pengikut! Jangan bunuh kami!" salah satu dari mereka memohon. Du Shen menatap mereka dengan dingin. "Apa kau berasal dari kelompok bandit Kapak Merah?" tanyanya. Mendengar ucapan itu pria yang satunya mendadak diam, tubuhnya seakan terpaku di kedalam tanah. "Kenapa kalian diam saja? Apa kalian ingin merasakan nasib yang sama sepertinya?" ujar Du Shen sambil menunjuk pria berotot yang tengah terkapar dengan ujung pedangnya. "T-tidak, tuan... k-kami tidak tau? K-kami tidak mengenal bandit Kapak Merah." ucapnya terbata-bata. Du Shen menyarungkan pedangnya, membuat orang-orang itu merasa sedikit lega, butiran keringat masih mengalir di dahi mereka. Nyatanya Du Shen tak berniat mengampuni mereka, ia justru meraih leher salah satu pria dan mencekiknya tinggi-tinggi. "Kau tau kan, apa akibatnya jika bohong?" ujar Du Shen, menatap tajam pria yang dicekiknya. Pria itu masih meronta-ronta, menahan rasa sakit di lehernya dan ia merasa sulit untuk bernafas. Matanya tak sengaja bertemu dengan tatapan dingin itu, sejenak pria itu langsung ketakutan, rasanya bagaikan berada di bawah kaki binatang buas. "A-aku akan mengatangnya, t-tolong lepas-kan." ucap pria itu akhirnya. Du Shen diam sejenak sebelum melempar pria itu ke tanah. "Katakan!" ucapnya tegas. "B-baik... bandit Kapak Merah yang anda maksud, sudah lama pergi dari wilayah ini..." ucapnya dalam jeda sejenak, "M-mereka pergi entah kemana setelah menghancurkan desa Yaocun... Saya sudah mengatakan semuanya yang saya tahu, tolong lepaskan kami." Du Shen mengerutkan kening, masih dengan tatapan tajamnya yang menusuk. Dia dapat merasakan bahwa pria itu tak berbohong sedikitpun, tapi tetap saja ia kurang puas dengan jawaban itu. Du Shen buru-buru meredakan amarahnya, menghela nafas panjang dan kembali menatap pria itu. "Bawa temanmu dan jangan pernah kembai ke tempat ini." katanya sembari melempar sebotol ramuan kecil pada salah satu dari orang-orang itu. Tanpa pikir panjang, kedua pria itu berlari meninggalkan tempat itu dengan menggendong bosnya yang terlihat sekarat. "Kemana aku harus mencari bandit-bandit sialan itu lagi? Mereka sangat merepotkan," gumamnya. Dengan tekad yang membara, Du Shen melangkah ke dalam dunia yang penuh bahaya, membawa kebencian dan kekuatan yang telah ia pendam selama bertahun-tahun. Perjalanan balas dendamnya baru saja dimulai.Langit semakin kelabu, awan hitam menggantung rendah di atas Kota Danau Hitam. Angin dingin yang menusuk tulang berhembus kencang, membawa aroma lembab dari danau yang menjadi pusat kota itu. Suasana hiruk pikuk masih terasa di dalamnya, meski beberapa penduduk tampak bergegas menutup kios-kios mereka sebelum hujan deras turun.Setelah perjalanan yang melelahkan, Du Shen akhirnya tiba di gerbang kota yang megah. Pintu gerbang besar dari kayu ek yang kokoh menjulang tinggi, dihiasi ukiran naga dan singa yang melambangkan kejayaan tiga klan aristokrat yang menguasai kota tersebut. Namun, alih-alih terkesan, Du Shen hanya meliriknya dengan acuh.“Berhenti di situ!” seru seorang penjaga gerbang, menghentikan langkahnya. Pria itu bertubuh besar dengan wajah kasar yang dihiasi janggut tebal.Du Shen mendongak sedikit, mengangkat caping bambu yang menutupi sebagian wajahnya. “Ada apa?” tanyanya singkat, suaranya datar tanpa emosi.“Dari mana asalmu?” tanya penjaga itu dengan nada yang tak b
Du Shen duduk tenang di bangkunya, hanya sesekali meneguk gelas minuman yang tersaji di depannya. Matanya tidak menunjukkan emosi apapun saat ia melirik ke arah Murong Chen. Sikapnya yang santai itu justru mempertegas aura dingin yang mengelilinginya."Aku di sini hanya untuk makan," ujarnya singkat. Suaranya tenang, hampir tak beremosi, namun setiap kata mengandung ketegasan. "Aku tak punya urusan dengan kalian."Hao Yexin yang duduk di depannya segera menangkap nada netral itu. Dia mendengus, mencoba mengalihkan perhatian Murong Chen. "Apa kalian dengar itu, Murong Chen? Kami tidak ada urusan dengan kalian. Jadi lebih baik kau pergi saja!" katanya, suaranya sedikit bergetar meski ia mencoba terdengar percaya diri.Murong Chen tertawa pelan, tawa yang penuh ejekan. Matanya menyipit, memandang Hao Yexin dan Du Shen seperti dua semut kecil di hadapannya. "Kalian dengar itu?" tanyanya kepada anak buahnya, suaranya meninggi. "Dua orang rendahan ini berani mengusirku, Tuan Muda Murong Ch
Dengan satu gerakan, Du Shen mendorong Murong Chen ke belakang. Pemuda itu terhuyung dan jatuh terduduk di lantai, wajahnya memerah karena malu dan marah. Hao Yexin tersenyum tipis melihat kekalahan Murong Chen. "Sepertinya kau harus berpikir dua kali sebelum mengganggu orang lain, Murong Chen," katanya dengan nada mengejek. Murong Chen menatapnya dengan penuh kebencian. "Ini belum selesai, Hao Yexin! Kau pikir kau bisa sembunyi selamanya?! Aku akan memastikan kau menyesal telah mempermalukanku hari ini!" Setelah melontarkan ancaman itu, Murong Chen berdiri dan meninggalkan toko bersama anak buahnya yang masih mengerang kesakitan. Hening kembali menyelimuti toko setelah Murong Chen pergi. Walau begitu para pengunjung toko yang sebelumnya terdiam kini mulai berbisik-bisik. Mereka takjub melihat bagaimana seorang pemuda sederhana dan terlihat lusuh itu bisa mengalahkan tiga orang tanpa banyak usaha. Terlebih mereka adalah bagian dari Keluarga Murong di kota Danau Hitam ini. M
Hao Yexin menyeka butiran air matanya, setelah mempertimbangkan ucapan Du Shen, ia mulai sadar bahwa menangis tak akan menyelesaikan masalah. "Kau benar, tak ada gunanya meratapi dengan kesedihan.""Aku minta maaf karena menunjukkan tingkah memalukanku." lanjutnya sebelum berdiri perlahan.Hao Yexin melangkahkan kakinya keluar dari toko. Namun, kali ini sorot matanya sedikit lebih tajam dan bertekad."Aku bisa mempertimbangkan tawaranmu tadi. Tapi, ada syaratnya," ujar Du Shen, langsung menghentikan langkah Hao Yexin yang hendakk pergi.Gadis itu menoleh kembali dengan tatapan penuh akan tanda tanya. Walaupun masih ada jejak kesedihan dalam raut wajahnya, ia berusaha tetap tegar."Syarat?" gumamnya pelan, menatap ke lantai kayu di bawah kakinya sebelum kembali menatap Du Shen."Aku rasa tak ada gunanya mempertimbangkan ucapanku tadi. Aku hanya mengatakannya tanpa pikir panjang... kau bisa melupakannya." balas Hao Yexin akhirnya setelah memikirkan kembali beberapa hal.Du Shen menghela
Tetua Zhang yang masih mempertahankan senyum tipisnya menatap gadis muda itu seakan peluang besar telah terbuka. "Kau harus menikah dengan Tuan Muda Murong Chen. Dengan begitu mereka akan membantu menghubungi Tabib Surgawi dengan koneksi mereka di Sekte Azure Dragon." Seketika Hao Yexin kembali membeku, kali ini pikirannya mengembara kemana-mana. Ia tak menyangka bahwa syarat yanng dikatakan Tetua Zhang adalah hal buruk yang tak pernah ia bayangkan.'J-jadi ini tujuan Tetua Zhang? Bagaimana bisa, dia memanfaatkan keadaan ini dan menyeretku demi keuntungannya.' batin Hao Yexin.Wajahnya tampak memerah menahan kemarahan yang seketika tumbuh dalam hatinya. Ia melirik pria tua itu dengan tatapan benci dan kesal.Namun, matanya yang kembali melirik Kepala keluarga terbaring di atas ranjang, membuat pendirian Hao Yexin mulai goyah. Butiran air di pelupuk matanya semkin tak tertahankan, perlahan tumpah membasahi pipinya yang mulus."Kau harus memutuskan, Tuan Putri. Jika tidak, keselamatan
Du Shen, seorang pemuda berusia sepuluh tahun, terlahir di sebuah tempat yang disebut desa Yaocun, desa terpencil di bagian timur Benua Yin. Desa yang dihuni oleh kebanyakan petani dan pengrajin, tempat yang begitu tenang, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota besar. Du Shen adalah anak yang penuh semangat dan cerdas, meskipun usianya masih muda. Ia tinggal bersama kedua orang tuanya, Du Liong dan Mei Hua, di sebuah rumah kayu sederhana. Kehidupan mereka dipenuhi dengan rutinitas sehari-hari yang damai—berkebun, memelihara ternak, dan sesekali berburu di hutan untuk mencari bahan makanan.Suatu pagi yang cerah, Du Shen pergi ke hutan untuk mengambil kayu bakar atas perintah ibunya. Langkahnya ringan, disertai rasa bahagia karena hari itu cuaca begitu cerah nan indah. Pikirannya melayang, membayangkan sore nanti ia bisa duduk bersama orang tuanya di teras rumah sambil menikmati makanan ringan buatan ibunya dan menikmati secangkir teh hangat. Namun, kebahagiaan itu segera berubah men
Tetua Zhang yang masih mempertahankan senyum tipisnya menatap gadis muda itu seakan peluang besar telah terbuka. "Kau harus menikah dengan Tuan Muda Murong Chen. Dengan begitu mereka akan membantu menghubungi Tabib Surgawi dengan koneksi mereka di Sekte Azure Dragon." Seketika Hao Yexin kembali membeku, kali ini pikirannya mengembara kemana-mana. Ia tak menyangka bahwa syarat yanng dikatakan Tetua Zhang adalah hal buruk yang tak pernah ia bayangkan.'J-jadi ini tujuan Tetua Zhang? Bagaimana bisa, dia memanfaatkan keadaan ini dan menyeretku demi keuntungannya.' batin Hao Yexin.Wajahnya tampak memerah menahan kemarahan yang seketika tumbuh dalam hatinya. Ia melirik pria tua itu dengan tatapan benci dan kesal.Namun, matanya yang kembali melirik Kepala keluarga terbaring di atas ranjang, membuat pendirian Hao Yexin mulai goyah. Butiran air di pelupuk matanya semkin tak tertahankan, perlahan tumpah membasahi pipinya yang mulus."Kau harus memutuskan, Tuan Putri. Jika tidak, keselamatan
Hao Yexin menyeka butiran air matanya, setelah mempertimbangkan ucapan Du Shen, ia mulai sadar bahwa menangis tak akan menyelesaikan masalah. "Kau benar, tak ada gunanya meratapi dengan kesedihan.""Aku minta maaf karena menunjukkan tingkah memalukanku." lanjutnya sebelum berdiri perlahan.Hao Yexin melangkahkan kakinya keluar dari toko. Namun, kali ini sorot matanya sedikit lebih tajam dan bertekad."Aku bisa mempertimbangkan tawaranmu tadi. Tapi, ada syaratnya," ujar Du Shen, langsung menghentikan langkah Hao Yexin yang hendakk pergi.Gadis itu menoleh kembali dengan tatapan penuh akan tanda tanya. Walaupun masih ada jejak kesedihan dalam raut wajahnya, ia berusaha tetap tegar."Syarat?" gumamnya pelan, menatap ke lantai kayu di bawah kakinya sebelum kembali menatap Du Shen."Aku rasa tak ada gunanya mempertimbangkan ucapanku tadi. Aku hanya mengatakannya tanpa pikir panjang... kau bisa melupakannya." balas Hao Yexin akhirnya setelah memikirkan kembali beberapa hal.Du Shen menghela
Dengan satu gerakan, Du Shen mendorong Murong Chen ke belakang. Pemuda itu terhuyung dan jatuh terduduk di lantai, wajahnya memerah karena malu dan marah. Hao Yexin tersenyum tipis melihat kekalahan Murong Chen. "Sepertinya kau harus berpikir dua kali sebelum mengganggu orang lain, Murong Chen," katanya dengan nada mengejek. Murong Chen menatapnya dengan penuh kebencian. "Ini belum selesai, Hao Yexin! Kau pikir kau bisa sembunyi selamanya?! Aku akan memastikan kau menyesal telah mempermalukanku hari ini!" Setelah melontarkan ancaman itu, Murong Chen berdiri dan meninggalkan toko bersama anak buahnya yang masih mengerang kesakitan. Hening kembali menyelimuti toko setelah Murong Chen pergi. Walau begitu para pengunjung toko yang sebelumnya terdiam kini mulai berbisik-bisik. Mereka takjub melihat bagaimana seorang pemuda sederhana dan terlihat lusuh itu bisa mengalahkan tiga orang tanpa banyak usaha. Terlebih mereka adalah bagian dari Keluarga Murong di kota Danau Hitam ini. M
Du Shen duduk tenang di bangkunya, hanya sesekali meneguk gelas minuman yang tersaji di depannya. Matanya tidak menunjukkan emosi apapun saat ia melirik ke arah Murong Chen. Sikapnya yang santai itu justru mempertegas aura dingin yang mengelilinginya."Aku di sini hanya untuk makan," ujarnya singkat. Suaranya tenang, hampir tak beremosi, namun setiap kata mengandung ketegasan. "Aku tak punya urusan dengan kalian."Hao Yexin yang duduk di depannya segera menangkap nada netral itu. Dia mendengus, mencoba mengalihkan perhatian Murong Chen. "Apa kalian dengar itu, Murong Chen? Kami tidak ada urusan dengan kalian. Jadi lebih baik kau pergi saja!" katanya, suaranya sedikit bergetar meski ia mencoba terdengar percaya diri.Murong Chen tertawa pelan, tawa yang penuh ejekan. Matanya menyipit, memandang Hao Yexin dan Du Shen seperti dua semut kecil di hadapannya. "Kalian dengar itu?" tanyanya kepada anak buahnya, suaranya meninggi. "Dua orang rendahan ini berani mengusirku, Tuan Muda Murong Ch
Langit semakin kelabu, awan hitam menggantung rendah di atas Kota Danau Hitam. Angin dingin yang menusuk tulang berhembus kencang, membawa aroma lembab dari danau yang menjadi pusat kota itu. Suasana hiruk pikuk masih terasa di dalamnya, meski beberapa penduduk tampak bergegas menutup kios-kios mereka sebelum hujan deras turun.Setelah perjalanan yang melelahkan, Du Shen akhirnya tiba di gerbang kota yang megah. Pintu gerbang besar dari kayu ek yang kokoh menjulang tinggi, dihiasi ukiran naga dan singa yang melambangkan kejayaan tiga klan aristokrat yang menguasai kota tersebut. Namun, alih-alih terkesan, Du Shen hanya meliriknya dengan acuh.“Berhenti di situ!” seru seorang penjaga gerbang, menghentikan langkahnya. Pria itu bertubuh besar dengan wajah kasar yang dihiasi janggut tebal.Du Shen mendongak sedikit, mengangkat caping bambu yang menutupi sebagian wajahnya. “Ada apa?” tanyanya singkat, suaranya datar tanpa emosi.“Dari mana asalmu?” tanya penjaga itu dengan nada yang tak b
Di sebuah hutan lebat di tepian timur Benua Yin, seorang pemuda berdiri di bawah naungan pohon yang rimbun. Suara gemerisik air sungai mengalir lembut di sampingnya, namun suasana hatinya tak selaras dengan kedamaian di sekitarnya. Wajahnya keras, matanya tajam memandang ke depan, penuh dengan tekad yang tak tergoyahkan. Pemuda itu adalah Du Shen, yang kini telah tumbuh dewasa. Bertahun-tahun berlalu sejak peristiwa tragis yang merenggut semua yang ia cintai. Kini ia telah dewasa, dari seorang anak berusia sepuluh tahun, tumbuh lebih tinggi, berotot dan semakin tampan. Dia yang dulu jelas tak dapat dibandingkan dengan dirinya sekarang. Dulu ia sering sekali merengek setelah merasakan betapa pedih dan kerasnya ajaran dari gurunya. "Tunggu saja," gumam Du Shen dengan suara dingin, seraya menggenggam erat gagang pedang yang terselip di pinggangnya. "Mereka akan merasakan kepedihan yang telah lama mengakar di hatiku. Gigi dibalas gigi, mata dibalas mata." Ia berdiri, mengusap nod
Du Shen, seorang pemuda berusia sepuluh tahun, terlahir di sebuah tempat yang disebut desa Yaocun, desa terpencil di bagian timur Benua Yin. Desa yang dihuni oleh kebanyakan petani dan pengrajin, tempat yang begitu tenang, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota besar. Du Shen adalah anak yang penuh semangat dan cerdas, meskipun usianya masih muda. Ia tinggal bersama kedua orang tuanya, Du Liong dan Mei Hua, di sebuah rumah kayu sederhana. Kehidupan mereka dipenuhi dengan rutinitas sehari-hari yang damai—berkebun, memelihara ternak, dan sesekali berburu di hutan untuk mencari bahan makanan.Suatu pagi yang cerah, Du Shen pergi ke hutan untuk mengambil kayu bakar atas perintah ibunya. Langkahnya ringan, disertai rasa bahagia karena hari itu cuaca begitu cerah nan indah. Pikirannya melayang, membayangkan sore nanti ia bisa duduk bersama orang tuanya di teras rumah sambil menikmati makanan ringan buatan ibunya dan menikmati secangkir teh hangat. Namun, kebahagiaan itu segera berubah men