Dengan satu gerakan, Du Shen mendorong Murong Chen ke belakang. Pemuda itu terhuyung dan jatuh terduduk di lantai, wajahnya memerah karena malu dan marah.
Hao Yexin tersenyum tipis melihat kekalahan Murong Chen. "Sepertinya kau harus berpikir dua kali sebelum mengganggu orang lain, Murong Chen," katanya dengan nada mengejek. Murong Chen menatapnya dengan penuh kebencian. "Ini belum selesai, Hao Yexin! Kau pikir kau bisa sembunyi selamanya?! Aku akan memastikan kau menyesal telah mempermalukanku hari ini!" Setelah melontarkan ancaman itu, Murong Chen berdiri dan meninggalkan toko bersama anak buahnya yang masih mengerang kesakitan. Hening kembali menyelimuti toko setelah Murong Chen pergi. Walau begitu para pengunjung toko yang sebelumnya terdiam kini mulai berbisik-bisik. Mereka takjub melihat bagaimana seorang pemuda sederhana dan terlihat lusuh itu bisa mengalahkan tiga orang tanpa banyak usaha. Terlebih mereka adalah bagian dari Keluarga Murong di kota Danau Hitam ini. Menurut mereka, Keluarga Murong tak akan melepaskan masalah ini, apalagi dengan kepribadian Murong Chen yang buruk. Hao Yexin akhirnya membuka mulut. "Terima kasih... atas bantuannya tadi," katanya pelan, menundukkan kepala sedikit sebagai tanda penghormatan. Du Shen hanya diam acuh tak acuh, lalu mengambil tasnya dan beranjak pergi tanpa berkata apa-apa. "Tunggu!" Hao Yexin memanggilnya dengan nada mendesak. "Setidaknya biarkan aku mentraktirmu makan sebagai ucapan terima kasih." Du Shen berhenti sejenak, lalu menoleh sedikit. "Aku tidak butuh balas budi. Jangan pikirkan itu," jawabnya dengan nada datar. "Tapi... kau telah menyelamatkanku," ujar Hao Yexin lagi, nada suaranya terdengar tulus. "Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kau tidak ada di sini." Du Shen menghela napas. Ia sebenarnya tidak suka terlibat terlalu dalam dengan urusan orang lain, tetapi melihat ekspresi penuh harapan di wajah gadis itu, ia akhirnya mengangguk. "Baiklah, tapi jangan terlalu banyak bicara." Hao Yexin tersenyum lega. Ia memanggil pelayan untuk membawa makanan, dan beberapa saat kemudian, meja mereka dipenuhi dengan hidangan lezat yang menggugah selera. Saat mereka mulai makan, Hao Yexin akhirnya memberanikan diri bertanya, "Siapa kau sebenarnya? Dan bagaimana kau bisa begitu kuat?" Du Shen tidak langsung menjawab. Ia memakan potongan daging di piringnya dengan tenang sebelum akhirnya berkata, "Aku hanya seorang pengembara. Tak lebih, tak kurang." "Tapi... kau tidak seperti pengembara biasa," desak Hao Yexin. "Gerakanmu tadi... Itu bukan sesuatu yang bisa dilakukan oleh sembarang orang." Du Shen menatapnya sejenak, lalu berkata dengan suara rendah, "Kadang, semakin banyak yang kau tahu, semakin besar bahaya yang menghampirimu. Jadi lebih baik kau tidak bertanya terlalu banyak." Hao Yexin terdiam, tetapi ia tidak menyerah. Ia tahu bahwa pria di depannya bukan orang biasa, dan ia merasa ada alasan mengapa mereka dipertemukan dalam situasi ini. "Hmm, paling tidak beritahu aku siapa namamu." ucap Hao Yexin lagi, mata bulatnya mengerjap beberapa kali. Hao Yexin sebebarnya adalah gadis berparas cantik, kulitnya putih bersih seolah tak memiliki noda sedikitpun. Hal yang paling menggoda adalah senyumnya yang manis, menambah kesan cantik pada wajahnya. Du Shen yang tak biasa dengan tingkah laku gadis tersebut merasa linglung dan kaku sejenak. Setelah beberapa tahun tinggal di kedalaman hutan, ia hampir tak pernah bertemu sapa dengan gadis manapun, hingga ia tak mengerti bagaimana cara menghadapi perempuan seperti itu. Namun, ia buru-buru kembali ke sikap netralnya. "Namaku Du Shen... Tolong berhenti berbicara saat aku makan." balasnya kemudian, sembari memakan hidangan di atas meja. "Baiklah, Du Shen." ucap Hao Yexin dengan senyum manis, "aku harus berterimakasih banyak karena kau menolongku tadi, dan aku minta maaf karena melibatkanmu dalam masalahku." lanjutnya sembari menundukkan kepalanya sedikit sebagai tanda hormat dan permintaan maaf. Du Shen meletakkan sumpitnya kembali, meneguk minuman di dalam gelasnya, baru kemudian berkata: "Tak masalah. Aku melakukannya untuk diriku sendiri, dan pemuda yang disebut Murong Chen itu tak akan melepaskan masalah ini begitu saja. Dia akan kembali, mengincarmu dan aku." ucapnya. Hao Yexin merenungkan kata-kata itu dengan tatapan mata yang agak meredup. Ia tahu jelas kepribadian Murong Chen, Tuan Muda sombong dan suka bertindak seenaknya terhadap orang lain. 'Seandainya keluargaku jauh lebih kuat, ayah mungkin tak akan mengabaikan tindakan tak senonoh orang-orang seperti itu.' batin Hao Yexin dengan wajah murung. Du Shen di seberang meja makan menyaksikan dengan jelas perubahan suasana hati gadis itu. Ia berpikir sesaat, memahami apa yang sedang gadis itu pikirkan. "Du Shen," panggil Hao Yexin akhirnya setelah hening beberapa saat, panggilan suaranya yang lembut membuyarkan pikiran Du Shen. Wajah gadis itu tampak sedikit merah karena malu-malu mengungkapkan kata-katanya. Ia pun melirik gadis itu dari sudut matanya dengan penuh tanda tanya, "ada apa?" tanya Du Shen. "Apa kau..." ucap Hao Yexin sedikit ragu untuk melantunkan kata-katanya. Du Shen mengangkat sebelah alisnya, bertanya-tanya apa yang gadis itu coba katakan. Tanpa menunggu Hao Yexin melanjutkan kata-katanya, Du Shen sudah selesai memakan hidangan di atas meja dan hendak berpamitan sebelum pergi. "Bolehkah aku menyewamu sebagai prajurit bayaran?" ucap Hao Yexin akhirnya, ekspresinya teguh penuh harap, namun juga sedikit gugup dan ragu. Du Shen terdiam sesaat, 'Apa maksudnya itu? Apa dia pikir aku pengembara yang dapat ditaklukkan dengan uang?' batinnya sedikit tak terima, tapi memakluminya. "Maaf, aku bukan prajurit bayaran... Kau bisa mencari orang lain untuk masalah seperti ini." jawab Du Shen yang membuat ekspresi kecewa terpampang di wajah cantik gadis itu. 'Tak ada alasan bagiku untuk melakukan hal seperti itu? Terlebih, tujuanku saat ini hanya untuk menemukan para bandit itu dan membalas dendam.' batin Du Shen, kali ini wajahnya menatap serius ke arah pintu keluar toko. Sementara Hao Yexin merasa agak malu dan sepertinya ia telah berlebihan dalam ucapannya. "Kau benar. Aku tak seharusnya mengajukan hal seperti itu pada orang yang tak kukenal." Tiba-tiba butiran air menetes dari sudut matanya, dan isak tangis yang di tahan namun sedikit terlepas membuat Du Shen merasa sedikit tegang. 'A-apa? Kenapa dia menangis?' pikir Du Shen. Dan di saat yang sama, ucapan gurunya tiba-tiba terlintas dalam benaknya. "Du Shen! Kau tahu apa yang paling memalukan dari seorang pria sejati?" tanya sosok tua berjanggut putih di hadapan Du Shen. Du Shen yang duduk di hadapan gurunya merenung sejenak, "Tentu saja kalah dalam pertarungan. Apalagi ditonton oleh banyak orang. Menurutku itu sangat memalukan." seru Du Shen penuh percaya diri. Namun, dari jawabannya yang penuh semangat, ia tak menyadari tatapan muram sang guru. Tongkat kayu langsung menggetok kepalanya yang membuat Du Shen meringis kesakitan. "Kenapa kau memukulku, guru!" ucapnya sembari memegang kepala yang tampak benjol. "Bodoh! Jawabanmu sungguh tak mencerminkan pria sejati." ujar sang kakek agak kesal. Du Shen yang bingung lantas bertanya dengan wajah cembrut "Lalu apakah jawaban dari pertanyaan itu?" "Dengar... Hal paling memalukan dari pria sejati adalah ketika dia membuat perempuan lemah meneteskan air mata!" jawab sang guru, "Pria sejati lebih baik kalah dalam pertarungan dari pada membuat seorang perempuan menangis..." Kata-kata itu menggema dalam benak Du Shen. Wajahnya yang acuh tak acuh dan dingin, tiba-tiba menatap sedikit lebih lembut sebelum ia berbalik dan melihat Hao Yexin kembali. "Kau tak seharusnya menagis," ucap Du Shen santai, "sebaliknya, kau harus kuat untuk mampu menopang beban di balik punggungmu... Jika tidak, hal yang mungkin kau coba hindari akan terjadi."Hao Yexin menyeka butiran air matanya, setelah mempertimbangkan ucapan Du Shen, ia mulai sadar bahwa menangis tak akan menyelesaikan masalah. "Kau benar, tak ada gunanya meratapi dengan kesedihan.""Aku minta maaf karena menunjukkan tingkah memalukanku." lanjutnya sebelum berdiri perlahan.Hao Yexin melangkahkan kakinya keluar dari toko. Namun, kali ini sorot matanya sedikit lebih tajam dan bertekad."Aku bisa mempertimbangkan tawaranmu tadi. Tapi, ada syaratnya," ujar Du Shen, langsung menghentikan langkah Hao Yexin yang hendakk pergi.Gadis itu menoleh kembali dengan tatapan penuh akan tanda tanya. Walaupun masih ada jejak kesedihan dalam raut wajahnya, ia berusaha tetap tegar."Syarat?" gumamnya pelan, menatap ke lantai kayu di bawah kakinya sebelum kembali menatap Du Shen."Aku rasa tak ada gunanya mempertimbangkan ucapanku tadi. Aku hanya mengatakannya tanpa pikir panjang... kau bisa melupakannya." balas Hao Yexin akhirnya setelah memikirkan kembali beberapa hal.Du Shen menghela
Tetua Zhang yang masih mempertahankan senyum tipisnya menatap gadis muda itu seakan peluang besar telah terbuka. "Kau harus menikah dengan Tuan Muda Murong Chen. Dengan begitu mereka akan membantu menghubungi Tabib Surgawi dengan koneksi mereka di Sekte Azure Dragon." Seketika Hao Yexin kembali membeku, kali ini pikirannya mengembara kemana-mana. Ia tak menyangka bahwa syarat yanng dikatakan Tetua Zhang adalah hal buruk yang tak pernah ia bayangkan.'J-jadi ini tujuan Tetua Zhang? Bagaimana bisa, dia memanfaatkan keadaan ini dan menyeretku demi keuntungannya.' batin Hao Yexin.Wajahnya tampak memerah menahan kemarahan yang seketika tumbuh dalam hatinya. Ia melirik pria tua itu dengan tatapan benci dan kesal.Namun, matanya yang kembali melirik Kepala keluarga terbaring di atas ranjang, membuat pendirian Hao Yexin mulai goyah. Butiran air di pelupuk matanya semkin tak tertahankan, perlahan tumpah membasahi pipinya yang mulus."Kau harus memutuskan, Tuan Putri. Jika tidak, keselamatan
Du Shen malah tersenyum sederhana, ia mengangguk sesaat, namun gelak tawa cekikikan terdengar dari arah samping mereka.Tetua Zhang dan Tabib Liu tampak menahan perut mereka yang sakit karena tawa."Anda dengar, Tabib Liu? Pemuda ini benar-benar menganggap dirinya sebagai tabib." ujar Tetua Zhang menahan tawanya.Sedangkan Tabib Liu mengusap butiran air mata yang keluar setelah tawa terbahak-bahak. "Aku sendiri yang telah berlatih teknik pengobatan selama puluhan tahun, mengaku tak mampu menyembuhkan penyakit Kepala keluarga Hao." ucapnya dalam jeda, "namun, kau yang tak lebih dari setengah umurku, tiba-tiba datang dan mengaku sebagai tabib." lanjutnya."Benar, apa yang bisa dilakukan pemuda lusuh sepertimu?" sambung Tetua Zhang kali ini dengan tatapan serius, ucapannya penuh penghinaan.Du Shen menatap kedua pria paruh baya itu dengan tatapan dingin dan seringai tipis."Kepala keluarga Hao tak menderita penyakit, melainkan menderita karena racun." ujar Du Shen membuat Tetua Zhang dan
Menghina gurunya berarti orang itu siap untuk mati. Namun, Du Shen menahan gejolak emosinya yang tumbuh seketika, mencoba untuk tetap tenang dan fokus pada penyembuhan Kepala keluarga Hao.Tabib Liu dan Tetua Zhang masih tertawa penuh penghinaan, tapi mereka tak tahu bahwa nama mereka telah masuk ke dalam daftar hitam di lubuk hati Du Shen.Mengabaikan cemohan mereka, Du Shen kembali membuka tutup botol kecil di tangannya. Tampak asap kehijauan yang samar keluar, memberikan sensasi dingin dan mematikan dari racun itu."T-tunggu." potong Hao Yexin dengan tatapan ragu. "Apakah ini akan baik-baik saja?" tanyanya kehawatir.Bagaimanapun jika Du Shen gagal dalam mengobati ayahnya, maka semua akan menjadi lebih buruk dari apa yang dia harapkan. Saat ini ia hanya bisa pasrah dan membiarkan Du Shen memenuhi harapannya.Segera cairan dalam botol itu di tuangkan ke dalam mulut Hao Jifeng, Du Shen menutup hidungnya agar racun itu tertelan sepenuhnya.Tak berselang lama, Kepala keluatga Hao menun
Tabib Liu tersenyum sinis mengira tindakannya akan berhasil. Tapi, sebuah aliran Qi kehijauan melenghentikan jarum itu di tengah udara, membuat pandangan semua orang teralihkan."Kau lihat itu, Nona Hao? Tabib bodoh ini mencoba membunuh ayahmu dengan trik kecil." ujar Du Shen tertawa getir sembari meraih jarum itu yang mengambang di udara.Mata Hao Yexin membulat tak percaya, ia menatap tajam Tabib Liu dengan tatapan penuh amarah. "Beraninya kau, tabib penipu ingin membunuh ayahku!" tegasnya, suaranya terdengar tajam.Hao Yexin meraih pedang di samping dinding ruangan, menghunusnya sebelum menebas ke arah Tabib Liu berdiri.Walaupun Hao Yexin bukanlah seniman bela diri ahli, namun gerakannya cukup cepat di mata orang biasa."Berhenti!" seru Tetua Zhang, menahan tebasan pedang itu dengan telapak tangannya yang diselimuti energi Qi."Apa kau sadar dengan tindakanmu, Tuan Putri! Bagaimana bisa kau mengancungkan pedang ke a
Di kediaman keluarga Murong, suasana tegang menyelimuti ruang utama. Murong Chen, seorang pemuda dengan aura angkuh, duduk di atas kursi kayu berukir di samping meja bundar kecil. Matanya yang tajam memancarkan kemarahan, sementara urat-urat di pelipisnya tampak menonjol. Wajahnya kini terlihat mengeras, menyiratkan kekecewaan dan rasa frustrasi yang memuncak."Tabib bodoh! Bagaimana bisa kau gagal membuat Kepala Keluarga Hao sekarat, kau benar-benar merusak segalanya!" suaranya menggema tajam di ruangan itu, membuat seorang pria paruh baya yang berlutut di hadapannya gemetar ketakutan.Tabib Liu membungkukkan tubuhnya lebih dalam, keningnya menghantam lantai dengan bunyi pelan namun terdengar jelas. "T-tuan Muda! Mohon ampuni saya! Saya telah melakukan semua yang diperintahkan. Namun, jika bukan karena pemuda itu, rencana ini pasti sudah berhasil," katanya dengan nada penuh permohonan.Murong Chen menggeram, tangannya yang memegang cangkir teh bergetar hebat hingga cangkir itu retak
Sementara Du Shen tetap tenang, ekspresinya tidak menunjukkan kesombongan sedikit pun. "Ramuan ini bukanlah sesuatu yang dapat ditemukan dengan mudah, bahkan di antara para alkemis terbaik sekalipun," lanjutnya. "Namun, seperti yang kubilang, dunia ini tidak sempurna. Ramuan ini memiliki batasnya sendiri."Hao Jifeng masih terpaku, pikirannya dipenuhi berbagai rencana. Ramuan ini tidak hanya berharga, tetapi juga bisa menjadi kartu as dalam upaya meningkatkan kekuatan keluarganya di antara klan-klan besar lainnya. Ia tahu, kesempatan seperti ini tidak datang dua kali.Dia, yang sejak tadi menatap ramuan itu dengan penuh kekaguman, akhirnya membuka mulut, suaranya sedikit bergetar karena antisipasi."Lalu, berapa harga jual untuk satu butir ramuan ini, Tuan Shen?" tanyanya, berusaha terdengar tenang, meskipun di dalam hatinya ia sudah bersiap mendengar angka yang akan membuat kantongnya menjerit.Peluh dingin mulai mengalir di pelipisnya. Harapan kecil terbesit dalam benaknya—semoga ha
Hao Jifeng mengangguk, matanya berbinar saat mengulang informasi yang ia dengar. "Ya. Dari apa yang kudengar, benda itu menjadi sorotan utama dalam pelelangan kali ini. Banyak pihak yang sudah mengincarnya, termasuk keluarga-keluarga besar."Ia bersandar di kursinya, mengusap dagu sejenak sebelum melanjutkan. "Detailnya masih belum jelas, tapi katanya benda itu memiliki kekuatan yang mampu meningkatkan kultivasi seseorang secara signifikan. Artefak seperti ini belum pernah ditemukan sebelumnya dan baru pertama kali muncul dalam pelelangan."Du Shen mendengarkan dengan tenang, tetapi ekspresinya tidak menunjukkan antusiasme yang sama. Ia merenung sejenak, membiarkan kata-kata itu bergema di benaknya. Namun, dalam hitungan detik, ketertarikannya mulai memudar. Bagi Du Shen, sebuah artefak hanya memiliki nilai jika benar-benar berguna baginya.‘Jika hanya sekadar meningkatkan kultivasi hingga batas tertentu, maka itu bukan sesuatu yang istimewa.’ pikirnya.Ia memiliki rencana tersendiri
Dengan gerakan tenang, Du Shen menggigit ibu jarinya, meneteskan setitik darah segar. Darah itu tidak jatuh ke tanah, melainkan melayang di udara, berpendar dengan cahaya merah tua yang samar dan dikelilingi aura Qi tipis yang berputar perlahan.Rubah itu, yang seolah memahami apa yang Du Shen lakukan, juga menggigit jarinya. Setetes darah kemerahan muncul dan ikut melayang di udara, menyatu dengan tetesan darah Du Shen.Begitu kedua darah itu bertemu, keduanya bergetar, lalu perlahan menyatu membentuk satu gumpalan merah yang bersinar lembut, dikelilingi pusaran energi spiritual yang memancar tenang. Dalam sekejap, gumpalan itu terbelah menjadi dua cahaya kecil yang masing-masing melesat masuk ke dalam tubuh Du Shen dan tubuh rubah ekor sembilan itu.Seketika itu, sebuah koneksi halus namun kuat terjalin di antara mereka. Aura mereka saling menyatu, dan jiwa mereka beresonansi seolah dapat saling memahami satu sama lain.Ritual itu dikenal sebagai Ikatan Jiwa—ikatan sakral yang hanya
Setelah penjelasan panjang lebar dari Zhao Lao mengenai Hutan Kabut Ilusi dan Wilayah Dewa Leluhur, Du Shen hanya mengangguk tenang. Pandangannya dingin namun dalam, seakan memikirkan seribu langkah ke depan. Dengan gerakan pelan, ia memberi isyarat pada Zhao Lao dan muridnya untuk pergi."Terima kasih atas informasinya. Sekarang, kalian boleh pergi," ucapnya singkat.Zhao Lao langsung membungkuk sopan, kemudian menarik lengan muridnya. Namun Han Jue justru mematung, matanya masih menatap lekat ke arah Du Shen—walau tidak berani menatap langsung tepat ke mata pemuda itu. Pupil matanya bergetar halus, seolah dipenuhi keraguan.Sebelumnya, ia begitu yakin bahwa pria ini hanyalah kultivator muda biasa yang tak mengerti betapa luasnya dunia ini. Namun setelah mendengar gurunya yang begitu menghormati Du Shen dan melihat bagaimana makhluk buas itu tunduk padanya, benaknya mulai kacau. Ada sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar kekuatan—sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan, seperti aura
Dengan langkah yang terasa berat, Zhao Lao akhirnya memberanikan diri untuk melangkah maju. Wajahnya yang sebelumnya dipenuhi dengan ketegangan kini dipulas dengan ekspresi ragu dan penuh kehati-hatian. Ia sedikit menunduk hormat, lalu mengepalkan kedua tangannya di depan dada sebagai bentuk penghormatan para kultivator."Mohon maafkan tindakan menyinggung kami sebelumnya, Tuan," ucap Zhao Lao, nadanya jauh lebih sopan dan merendah dibandingkan sikapnya beberapa saat lalu. "Kami sungguh tidak tahu dengan siapa kami berhadapan. Jika diperkenankan… bolehkah kami tahu siapa Anda sebenarnya?"Suasana mendadak hening, seolah alam pun menahan napas. Angin yang tadi berhembus lembut kini terasa dingin menusuk kulit, membawa ketegangan yang tak terlihat namun jelas terasa.Du Shen hanya menatapnya diam. Pandangannya dingin, seolah tak terusik sedikit pun oleh perubahan sikap pria tua itu. Namun ada seulas senyum getir yang perlahan mengembang di sudut bibirnya—senyum yang cukup mengintimidasi
Di sisi lain, Du Shen mengangkat kepalanya perlahan, menatap Han Jue dan Zhao Lao secara bergantian. Matanya tenang, tapi menyimpan kedalaman yang tak terjangkau."Beraninya kau menghindar dan meremehkan kekuatanku… mati saja kau!" teriak Han Jue, amarah semakin membara di matanya.Teriakannya menggema, membuyarkan lamunan Zhao Lao yang sedari tadi terus mengamati situasi dengan penuh keraguan. Ia sudah bisa melihat ke mana arah pertarungan ini akan berakhir—dan ia tidak menginginkan hal itu terjadu sama sekali.Han Jue bukan murid biasa. Ia adalah anak didik kebanggaannya, salah satu jenius muda di Sekte Azure Dragon, dikenal luas karena kekuatan serta potensinya yang luar biasa. Namun, pemuda yang berdiri di hadapan mereka ini—bukanlah seseorang yang bisa di hadapi oleh muridnya.Zhao Lao menggertakkan giginya. Ia tak boleh membiarkan muridnya terseret lebih jauh dalam konfrontasi ini. Aura yang terpancar dari Du Shen tak berkurang sedikit pun, malah semakin tajam seperti pedang yan
Lusinan bilah pedang Qi melesat dari segala arah, mengoyak udara dengan suara siulan tajam. Setiap bilah memancar dalam cahaya merah muda yang menyilaukan, melesat ke arah Du Shen bagaikan hujan kematian yang tak terelakkan.Namun Du Shen segera bergerak dengan lincah, kecepatannya luar biasa hingga mustahil untuk lihat oleh mata biasa. Dalam sekejap, Du Shen membelokkan tubuhnya ke kiri, lalu memutar ke belakang dengan kecepatan yang mengejutkan. Tubuhnya seakan lentur bagai aliran air, melayang di udara dan berputar seperti dedaunan yang menari dihembus angin.Beberapa bilah pedang Qi nyaris menyentuh jubahnya, bahkan sehelai rambutnya pun hampir tertebas, namun tak satu pun dari serangan itu berhasil menyentuhnya. Setiap langkahnya seolah sudah diperhitungkan dengan presisi mutlak, membuatnya tampak seperti bayangan yang menari di antara bilah-bilah mematikan.Han Jue membelalak, nafasnya terasa sedikit tercekat.'Bagaimana bisa?' pikirnya, matanya melebar tak percaya. Ia tahu bet
"Kalau iya, memangnya kenapa?" sahut Du Shen, nadanya datar namun menusuk, diselimuti aura dingin dan keangkuhan layaknya anak muda dari kalangan terhormat yang terbiasa berada di atas angin.Seketika udara di sekeliling terasa berat. Kalimat itu, yang terucap dengan begitu ringan, seolah menampar harga diri mereka. Pria tua yang berdiri tegak di balik jubah biru tuanya tampak terdiam beberapa detik. Wajah keriputnya semula tenang, namun kini perlahan mengeras, menampakkan sorot mata gelap penuh tekanan. Ada kilatan kemarahan yang tak bisa ditutupi, meski ia mencoba mempertahankan sikap berwibawa dan bijaknya."Kalau begitu... serahkan saja rubah itu. Kami akan mengurus sisanya," ucapnya pelan namun tajam, seolah kata-katanya adalah perintah yang tak bisa dibantah.Mendengarnya Du Shen hanya mendengus pelan, sudut bibirnya terangkat tipis dalam senyum sinis. Ia melirik sekilas ke arah rubah ekor sembilan yang masih tergeletak di atas tanah, tubuhnya gemetar menahan rasa sakit dari lu
Rubah ekor sembilan. Salah satu binatang buas langka yang tercatat dalam sejarah Benua Yin. Keberadaannya begitu jarang hingga sebagian orang menganggapnya hanya dongeng. Namun kenyataan di depan mata Du Shen berkata lain.Du Shen berdiri terpaku di antara rimbun hutan berkabut, menatap tubuh makhluk itu yang kini tergeletak lemah di atas tanah yang becek oleh darah. Cahaya keemasan yang samar masih memancar dari tubuh binatang itu, rubah ini telah mencapai tingkat kultivasi ranah Golden Core—sebuah pencapaian langka bahkan di antara makhluk-makhluk buas lainnya di dunia ini. Inti roh dan darah rubah ini, jika dimurnikan, bisa menjadi bahan utama dalam pembuatan pil tingkat tinggi atau Artefak tingkat tinggi yang berkualitas.Tak heran jika banyak orang-orang ataupun kultivator ingin memburunya.Tubuh rubah itu tampak compang-camping. Bekas tebasan dan tusukan tampak melekat di seluruh tubuhnya, dengan darah yang terus mengalir tak terkendali. Beberapa jarum perak setipis bulu masih
Di bawah cahaya bulan purnama yang menggantung tinggi di langit malam, sinarnya yang pucat menembus celah dedaunan lebat hutan. Cahaya itu memantul lembut di permukaan kabut tipis yang menggantung rendah, menciptakan ilusi seperti dunia mimpi. Suasana tampak tenang di permukaan, namun Du Shen merasakan kejagalan yang tak bisa dijelaskan.Ia berdiri tegak di atas sebuah batu datar, jubahnya berkibar lembut tertiup angin malam. Matanya menyipit, menatap ke arah barat, tempat hawa yang tidak biasa mulai merambat perlahan. Hidungnya mengendus samar, mendeteksi bau logam tipis bercampur dengan aroma tanah basah."Kabut ini tidak biasa," gumamnya dalam hati. "Seolah-olah mengandung Qi yang terdistorsi… presepsiku bahkan tak bisa menembus lebih dari beberapa kilometer. Sesuatu… atau mungkin seseorang… telah mengacaukan medan spiritual tempat ini."Beberapa detik berlalu. Kemudian, tanah tiba-tiba bergetar, ranting-ranting dan dedaunan kering juga tampak berderak. Suara langkah besar yang me
Di dunia ini, kekuatan sejati tidak lahir semata dari tenaga murni, teknik kultivasi kuno, atau tubuh yang diperkuat ribuan kali lipat. Semua itu hanyalah fondasi awal—batu pijakan kasar di jalan panjang menuju pemahaman yang sebenarnya.Di atas semua bentuk kekuatan itu... terdapat sesuatu yang tak terlihat, tak tersentuh, namun mengatur segala hal. Ada yang menyebutnya esensi alam, ada pula yang memanggilnya napas dunia. Tapi, mereka yang telah menyelami kedalaman dunia kultivasi dan membelah batas pikiran menyebutnya dengan satu nama, yaitu: "Hukum".Hukum adalah kebenaran murni, bagaikan benang halus yang menenun keberadaan seluruh alam semesta ini. Tanpa hukum, dunia dan seisinya tak akan pernah berjalan, dan hukum itu sendiri diciptakan untuk mengatur seluruh kehidupan agar berjalan pada tempatnya.Di dunia ini terdapat bergagai jenis hukum, seperti hukum Api yang membakar tanpa ampun, bukan karena suhu, tapi karena ia memahami kehendak akan kehancuran. Begitu pula hukum-hukum l