Dengan satu gerakan, Du Shen mendorong Murong Chen ke belakang. Pemuda itu terhuyung dan jatuh terduduk di lantai, wajahnya memerah karena malu dan marah.
Hao Yexin tersenyum tipis melihat kekalahan Murong Chen. "Sepertinya kau harus berpikir dua kali sebelum mengganggu orang lain, Murong Chen," katanya dengan nada mengejek. Murong Chen menatapnya dengan penuh kebencian. "Ini belum selesai, Hao Yexin! Kau pikir kau bisa sembunyi selamanya?! Aku akan memastikan kau menyesal telah mempermalukanku hari ini!" Setelah melontarkan ancaman itu, Murong Chen berdiri dan meninggalkan toko bersama anak buahnya yang masih mengerang kesakitan. Hening kembali menyelimuti toko setelah Murong Chen pergi. Walau begitu para pengunjung toko yang sebelumnya terdiam kini mulai berbisik-bisik. Mereka takjub melihat bagaimana seorang pemuda sederhana dan terlihat lusuh itu bisa mengalahkan tiga orang tanpa banyak usaha. Terlebih mereka adalah bagian dari Keluarga Murong di kota Danau Hitam ini. Menurut mereka, Keluarga Murong tak akan melepaskan masalah ini, apalagi dengan kepribadian Murong Chen yang buruk. Hao Yexin akhirnya membuka mulut. "Terima kasih... atas bantuannya tadi," katanya pelan, menundukkan kepala sedikit sebagai tanda penghormatan. Du Shen hanya diam acuh tak acuh, lalu mengambil tasnya dan beranjak pergi tanpa berkata apa-apa. "Tunggu!" Hao Yexin memanggilnya dengan nada mendesak. "Setidaknya biarkan aku mentraktirmu makan sebagai ucapan terima kasih." Du Shen berhenti sejenak, lalu menoleh sedikit. "Aku tidak butuh balas budi. Jangan pikirkan itu," jawabnya dengan nada datar. "Tapi... kau telah menyelamatkanku," ujar Hao Yexin lagi, nada suaranya terdengar tulus. "Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kau tidak ada di sini." Du Shen menghela napas. Ia sebenarnya tidak suka terlibat terlalu dalam dengan urusan orang lain, tetapi melihat ekspresi penuh harapan di wajah gadis itu, ia akhirnya mengangguk. "Baiklah, tapi jangan terlalu banyak bicara." Hao Yexin tersenyum lega. Ia memanggil pelayan untuk membawa makanan, dan beberapa saat kemudian, meja mereka dipenuhi dengan hidangan lezat yang menggugah selera. Saat mereka mulai makan, Hao Yexin akhirnya memberanikan diri bertanya, "Siapa kau sebenarnya? Dan bagaimana kau bisa begitu kuat?" Du Shen tidak langsung menjawab. Ia memakan potongan daging di piringnya dengan tenang sebelum akhirnya berkata, "Aku hanya seorang pengembara. Tak lebih, tak kurang." "Tapi... kau tidak seperti pengembara biasa," desak Hao Yexin. "Gerakanmu tadi... Itu bukan sesuatu yang bisa dilakukan oleh sembarang orang." Du Shen menatapnya sejenak, lalu berkata dengan suara rendah, "Kadang, semakin banyak yang kau tahu, semakin besar bahaya yang menghampirimu. Jadi lebih baik kau tidak bertanya terlalu banyak." Hao Yexin terdiam, tetapi ia tidak menyerah. Ia tahu bahwa pria di depannya bukan orang biasa, dan ia merasa ada alasan mengapa mereka dipertemukan dalam situasi ini. "Hmm, paling tidak beritahu aku siapa namamu." ucap Hao Yexin lagi, mata bulatnya mengerjap beberapa kali. Hao Yexin sebebarnya adalah gadis berparas cantik, kulitnya putih bersih seolah tak memiliki noda sedikitpun. Hal yang paling menggoda adalah senyumnya yang manis, menambah kesan cantik pada wajahnya. Du Shen yang tak biasa dengan tingkah laku gadis tersebut merasa linglung dan kaku sejenak. Setelah beberapa tahun tinggal di kedalaman hutan, ia hampir tak pernah bertemu sapa dengan gadis manapun, hingga ia tak mengerti bagaimana cara menghadapi perempuan seperti itu. Namun, ia buru-buru kembali ke sikap netralnya. "Namaku Du Shen... Tolong berhenti berbicara saat aku makan." balasnya kemudian, sembari memakan hidangan di atas meja. "Baiklah, Du Shen." ucap Hao Yexin dengan senyum manis, "aku harus berterimakasih banyak karena kau menolongku tadi, dan aku minta maaf karena melibatkanmu dalam masalahku." lanjutnya sembari menundukkan kepalanya sedikit sebagai tanda hormat dan permintaan maaf. Du Shen meletakkan sumpitnya kembali, meneguk minuman di dalam gelasnya, baru kemudian berkata: "Tak masalah. Aku melakukannya untuk diriku sendiri, dan pemuda yang disebut Murong Chen itu tak akan melepaskan masalah ini begitu saja. Dia akan kembali, mengincarmu dan aku." ucapnya. Hao Yexin merenungkan kata-kata itu dengan tatapan mata yang agak meredup. Ia tahu jelas kepribadian Murong Chen, Tuan Muda sombong dan suka bertindak seenaknya terhadap orang lain. 'Seandainya keluargaku jauh lebih kuat, ayah mungkin tak akan mengabaikan tindakan tak senonoh orang-orang seperti itu.' batin Hao Yexin dengan wajah murung. Du Shen di seberang meja makan menyaksikan dengan jelas perubahan suasana hati gadis itu. Ia berpikir sesaat, memahami apa yang sedang gadis itu pikirkan. "Du Shen," panggil Hao Yexin akhirnya setelah hening beberapa saat, panggilan suaranya yang lembut membuyarkan pikiran Du Shen. Wajah gadis itu tampak sedikit merah karena malu-malu mengungkapkan kata-katanya. Ia pun melirik gadis itu dari sudut matanya dengan penuh tanda tanya, "ada apa?" tanya Du Shen. "Apa kau..." ucap Hao Yexin sedikit ragu untuk melantunkan kata-katanya. Du Shen mengangkat sebelah alisnya, bertanya-tanya apa yang gadis itu coba katakan. Tanpa menunggu Hao Yexin melanjutkan kata-katanya, Du Shen sudah selesai memakan hidangan di atas meja dan hendak berpamitan sebelum pergi. "Bolehkah aku menyewamu sebagai prajurit bayaran?" ucap Hao Yexin akhirnya, ekspresinya teguh penuh harap, namun juga sedikit gugup dan ragu. Du Shen terdiam sesaat, 'Apa maksudnya itu? Apa dia pikir aku pengembara yang dapat ditaklukkan dengan uang?' batinnya sedikit tak terima, tapi memakluminya. "Maaf, aku bukan prajurit bayaran... Kau bisa mencari orang lain untuk masalah seperti ini." jawab Du Shen yang membuat ekspresi kecewa terpampang di wajah cantik gadis itu. 'Tak ada alasan bagiku untuk melakukan hal seperti itu? Terlebih, tujuanku saat ini hanya untuk menemukan para bandit itu dan membalas dendam.' batin Du Shen, kali ini wajahnya menatap serius ke arah pintu keluar toko. Sementara Hao Yexin merasa agak malu dan sepertinya ia telah berlebihan dalam ucapannya. "Kau benar. Aku tak seharusnya mengajukan hal seperti itu pada orang yang tak kukenal." Tiba-tiba butiran air menetes dari sudut matanya, dan isak tangis yang di tahan namun sedikit terlepas membuat Du Shen merasa sedikit tegang. 'A-apa? Kenapa dia menangis?' pikir Du Shen. Dan di saat yang sama, ucapan gurunya tiba-tiba terlintas dalam benaknya. "Du Shen! Kau tahu apa yang paling memalukan dari seorang pria sejati?" tanya sosok tua berjanggut putih di hadapan Du Shen. Du Shen yang duduk di hadapan gurunya merenung sejenak, "Tentu saja kalah dalam pertarungan. Apalagi ditonton oleh banyak orang. Menurutku itu sangat memalukan." seru Du Shen penuh percaya diri. Namun, dari jawabannya yang penuh semangat, ia tak menyadari tatapan muram sang guru. Tongkat kayu langsung menggetok kepalanya yang membuat Du Shen meringis kesakitan. "Kenapa kau memukulku, guru!" ucapnya sembari memegang kepala yang tampak benjol. "Bodoh! Jawabanmu sungguh tak mencerminkan pria sejati." ujar sang kakek agak kesal. Du Shen yang bingung lantas bertanya dengan wajah cembrut "Lalu apakah jawaban dari pertanyaan itu?" "Dengar... Hal paling memalukan dari pria sejati adalah ketika dia membuat perempuan lemah meneteskan air mata!" jawab sang guru, "Pria sejati lebih baik kalah dalam pertarungan dari pada membuat seorang perempuan menangis..." Kata-kata itu menggema dalam benak Du Shen. Wajahnya yang acuh tak acuh dan dingin, tiba-tiba menatap sedikit lebih lembut sebelum ia berbalik dan melihat Hao Yexin kembali. "Kau tak seharusnya menagis," ucap Du Shen santai, "sebaliknya, kau harus kuat untuk mampu menopang beban di balik punggungmu... Jika tidak, hal yang mungkin kau coba hindari akan terjadi."Hao Yexin menyeka butiran air matanya, setelah mempertimbangkan ucapan Du Shen, ia mulai sadar bahwa menangis tak akan menyelesaikan masalah. "Kau benar, tak ada gunanya meratapi dengan kesedihan.""Aku minta maaf karena menunjukkan tingkah memalukanku." lanjutnya sebelum berdiri perlahan.Hao Yexin melangkahkan kakinya keluar dari toko. Namun, kali ini sorot matanya sedikit lebih tajam dan bertekad."Aku bisa mempertimbangkan tawaranmu tadi. Tapi, ada syaratnya," ujar Du Shen, langsung menghentikan langkah Hao Yexin yang hendakk pergi.Gadis itu menoleh kembali dengan tatapan penuh akan tanda tanya. Walaupun masih ada jejak kesedihan dalam raut wajahnya, ia berusaha tetap tegar."Syarat?" gumamnya pelan, menatap ke lantai kayu di bawah kakinya sebelum kembali menatap Du Shen."Aku rasa tak ada gunanya mempertimbangkan ucapanku tadi. Aku hanya mengatakannya tanpa pikir panjang... kau bisa melupakannya." balas Hao Yexin akhirnya setelah memikirkan kembali beberapa hal.Du Shen menghela
Tetua Zhang yang masih mempertahankan senyum tipisnya menatap gadis muda itu seakan peluang besar telah terbuka. "Kau harus menikah dengan Tuan Muda Murong Chen. Dengan begitu mereka akan membantu menghubungi Tabib Surgawi dengan koneksi mereka di Sekte Azure Dragon." Seketika Hao Yexin kembali membeku, kali ini pikirannya mengembara kemana-mana. Ia tak menyangka bahwa syarat yanng dikatakan Tetua Zhang adalah hal buruk yang tak pernah ia bayangkan.'J-jadi ini tujuan Tetua Zhang? Bagaimana bisa, dia memanfaatkan keadaan ini dan menyeretku demi keuntungannya.' batin Hao Yexin.Wajahnya tampak memerah menahan kemarahan yang seketika tumbuh dalam hatinya. Ia melirik pria tua itu dengan tatapan benci dan kesal.Namun, matanya yang kembali melirik Kepala keluarga terbaring di atas ranjang, membuat pendirian Hao Yexin mulai goyah. Butiran air di pelupuk matanya semkin tak tertahankan, perlahan tumpah membasahi pipinya yang mulus."Kau harus memutuskan, Tuan Putri. Jika tidak, keselamatan
Du Shen malah tersenyum sederhana, ia mengangguk sesaat, namun gelak tawa cekikikan terdengar dari arah samping mereka.Tetua Zhang dan Tabib Liu tampak menahan perut mereka yang sakit karena tawa."Anda dengar, Tabib Liu? Pemuda ini benar-benar menganggap dirinya sebagai tabib." ujar Tetua Zhang menahan tawanya.Sedangkan Tabib Liu mengusap butiran air mata yang keluar setelah tawa terbahak-bahak. "Aku sendiri yang telah berlatih teknik pengobatan selama puluhan tahun, mengaku tak mampu menyembuhkan penyakit Kepala keluarga Hao." ucapnya dalam jeda, "namun, kau yang tak lebih dari setengah umurku, tiba-tiba datang dan mengaku sebagai tabib." lanjutnya."Benar, apa yang bisa dilakukan pemuda lusuh sepertimu?" sambung Tetua Zhang kali ini dengan tatapan serius, ucapannya penuh penghinaan.Du Shen menatap kedua pria paruh baya itu dengan tatapan dingin dan seringai tipis."Kepala keluarga Hao tak menderita penyakit, melainkan menderita karena racun." ujar Du Shen membuat Tetua Zhang dan
Menghina gurunya berarti orang itu siap untuk mati. Namun, Du Shen menahan gejolak emosinya yang tumbuh seketika, mencoba untuk tetap tenang dan fokus pada penyembuhan Kepala keluarga Hao.Tabib Liu dan Tetua Zhang masih tertawa penuh penghinaan, tapi mereka tak tahu bahwa nama mereka telah masuk ke dalam daftar hitam di lubuk hati Du Shen.Mengabaikan cemohan mereka, Du Shen kembali membuka tutup botol kecil di tangannya. Tampak asap kehijauan yang samar keluar, memberikan sensasi dingin dan mematikan dari racun itu."T-tunggu." potong Hao Yexin dengan tatapan ragu. "Apakah ini akan baik-baik saja?" tanyanya kehawatir.Bagaimanapun jika Du Shen gagal dalam mengobati ayahnya, maka semua akan menjadi lebih buruk dari apa yang dia harapkan. Saat ini ia hanya bisa pasrah dan membiarkan Du Shen memenuhi harapannya.Segera cairan dalam botol itu di tuangkan ke dalam mulut Hao Jifeng, Du Shen menutup hidungnya agar racun itu tertelan sepenuhnya.Tak berselang lama, Kepala keluatga Hao menun
Tabib Liu tersenyum sinis mengira tindakannya akan berhasil. Tapi, sebuah aliran Qi kehijauan melenghentikan jarum itu di tengah udara, membuat pandangan semua orang teralihkan."Kau lihat itu, Nona Hao? Tabib bodoh ini mencoba membunuh ayahmu dengan trik kecil." ujar Du Shen tertawa getir sembari meraih jarum itu yang mengambang di udara.Mata Hao Yexin membulat tak percaya, ia menatap tajam Tabib Liu dengan tatapan penuh amarah. "Beraninya kau, tabib penipu ingin membunuh ayahku!" tegasnya, suaranya terdengar tajam.Hao Yexin meraih pedang di samping dinding ruangan, menghunusnya sebelum menebas ke arah Tabib Liu berdiri.Walaupun Hao Yexin bukanlah seniman bela diri ahli, namun gerakannya cukup cepat di mata orang biasa."Berhenti!" seru Tetua Zhang, menahan tebasan pedang itu dengan telapak tangannya yang diselimuti energi Qi."Apa kau sadar dengan tindakanmu, Tuan Putri! Bagaimana bisa kau mengancungkan pedang ke a
Di kediaman keluarga Murong, suasana tegang menyelimuti ruang utama. Murong Chen, seorang pemuda dengan aura angkuh, duduk di atas kursi kayu berukir di samping meja bundar kecil. Matanya yang tajam memancarkan kemarahan, sementara urat-urat di pelipisnya tampak menonjol. Wajahnya kini terlihat mengeras, menyiratkan kekecewaan dan rasa frustrasi yang memuncak."Tabib bodoh! Bagaimana bisa kau gagal membuat Kepala Keluarga Hao sekarat, kau benar-benar merusak segalanya!" suaranya menggema tajam di ruangan itu, membuat seorang pria paruh baya yang berlutut di hadapannya gemetar ketakutan.Tabib Liu membungkukkan tubuhnya lebih dalam, keningnya menghantam lantai dengan bunyi pelan namun terdengar jelas. "T-tuan Muda! Mohon ampuni saya! Saya telah melakukan semua yang diperintahkan. Namun, jika bukan karena pemuda itu, rencana ini pasti sudah berhasil," katanya dengan nada penuh permohonan.Murong Chen menggeram, tangannya yang memegang cangkir teh bergetar hebat hingga cangkir itu retak
Sementara Du Shen tetap tenang, ekspresinya tidak menunjukkan kesombongan sedikit pun. "Ramuan ini bukanlah sesuatu yang dapat ditemukan dengan mudah, bahkan di antara para alkemis terbaik sekalipun," lanjutnya. "Namun, seperti yang kubilang, dunia ini tidak sempurna. Ramuan ini memiliki batasnya sendiri."Hao Jifeng masih terpaku, pikirannya dipenuhi berbagai rencana. Ramuan ini tidak hanya berharga, tetapi juga bisa menjadi kartu as dalam upaya meningkatkan kekuatan keluarganya di antara klan-klan besar lainnya. Ia tahu, kesempatan seperti ini tidak datang dua kali.Dia, yang sejak tadi menatap ramuan itu dengan penuh kekaguman, akhirnya membuka mulut, suaranya sedikit bergetar karena antisipasi."Lalu, berapa harga jual untuk satu butir ramuan ini, Tuan Shen?" tanyanya, berusaha terdengar tenang, meskipun di dalam hatinya ia sudah bersiap mendengar angka yang akan membuat kantongnya menjerit.Peluh dingin mulai mengalir di pelipisnya. Harapan kecil terbesit dalam benaknya—semoga ha
Hao Jifeng mengangguk, matanya berbinar saat mengulang informasi yang ia dengar. "Ya. Dari apa yang kudengar, benda itu menjadi sorotan utama dalam pelelangan kali ini. Banyak pihak yang sudah mengincarnya, termasuk keluarga-keluarga besar."Ia bersandar di kursinya, mengusap dagu sejenak sebelum melanjutkan. "Detailnya masih belum jelas, tapi katanya benda itu memiliki kekuatan yang mampu meningkatkan kultivasi seseorang secara signifikan. Artefak seperti ini belum pernah ditemukan sebelumnya dan baru pertama kali muncul dalam pelelangan."Du Shen mendengarkan dengan tenang, tetapi ekspresinya tidak menunjukkan antusiasme yang sama. Ia merenung sejenak, membiarkan kata-kata itu bergema di benaknya. Namun, dalam hitungan detik, ketertarikannya mulai memudar. Bagi Du Shen, sebuah artefak hanya memiliki nilai jika benar-benar berguna baginya.‘Jika hanya sekadar meningkatkan kultivasi hingga batas tertentu, maka itu bukan sesuatu yang istimewa.’ pikirnya.Ia memiliki rencana tersendiri
Qin Chen melangkah maju, sepatu kulit halusnya menjejak lantai batu yang dingin, mengeluarkan suara pelan namun mantap. Tubuhnya tegak dengan dada membusung, seolah setiap langkahnya membawa gengsi dan martabat sebagai murid terhormat dari salah satu sekte besar di benua ini. Ia berhenti sekitar tiga langkah di depan Du Shen, menatap pemuda itu dari atas ke bawah dengan tatapan menilai dan sorot mata yang dingin seperti es.Senyum tipis muncul di sudut bibirnya—bukan senyum ramah, melainkan senyum yang menyimpan ejekan tersembunyi, seolah ia sedang menatap seekor serangga yang tiba-tiba muncul di hadapan makan malamnya.Du Shen, yang sedari tadi hanya berdiri santai dengan tangan di balik punggung, melirik pemuda itu sekilas. Tatapannya acuh tak acuh, bahkan sedikit malas, seolah sedang menilai seseorang yang tak layak untuk diperhatikan. Ia tidak mengatakan apa pun. Wajahnya tetap tenang, seperti permukaan danau di musim gugur yang tak terusik apapun.Qin Chen akhirnya angkat suar
Namun ia tak begitu peduli pada patung itu dan mengalihkan perhatian ke segala arah di dalam aula yang luas itu. "Hmm?" Du Shen bergumam lirih sambil menatap sekeliling ruangan luas yang terasa sunyi. Pilar-pilar batu yang menjulang tinggi tampak kokoh menopang langit-langit aula, ia memandangi sekitar seolah tengah mencari seseorang. "Pak tua Zhao... Dia tak ada di sini. Apakah dia masih terjebak dalam dimensi ilusi sebelumnya? Atau jangan-jangan ada ruangan lain selain tempat ini?" Pikirannya terus bergulir, mencoba mencari jawaban. Namun tepat saat ia hendak bergerak untuk menyelidiki lebih jauh, seberkas aura yang familiar tiba-tiba muncul dari sisi timur aula. Aura itu samar namun mengandung nuansa yang tak asing baginya. Du Shen menoleh cepat. Matanya menajam, menyapu arah tempat datangnya aura tersebut. Beberapa langkah dari tempatnya berdiri, sesosok gadis perlahan muncul dari balik kerumunan. Ia tidak sendiri—di dekatnya berdiri dua orang asing yang tampak waspada. Satu
Beberapa saat berlalu dalam keheningan yang mendebarkan. Du Shen, yang sejak berdiri tegak dengan mata tertutup, akhirnya membuka kelopak matanya perlahan. Dari balik pupil hitamnya, semburat cahaya hijau tua berkilat tajam seperti bara yang baru saja menyala dari arang yang tertiup angin kencang. Aura dari tubuhnya seketika merembes.Seketika itu pula, atmosfer di sekitar mereka mendadak menjadi berat. Udara seolah menebal, menekan tubuh seperti selimut raksasa yang mengandung niat pembunuhan. Bahkan suara embusan angin tak terdengar lagi, digantikan oleh keheningan mencekam yang seperti berdiri di hadapan binatang buas purba, yang berdiri kokoh dan tak tergoyahkan bagaikan gunung es abadi.Lu Tian, yang semula berbaring santai sambil bersenandung kecil, tiba-tiba menegang. Matanya membelalak, napasnya tercekat di tenggorokan. Rasa sesak menyerangnya begitu cepat hingga ia seketika terduduk, lalu berubah jongkok dengan tangan memegangi sisi kepalanya. Keringat dingin mulai merembe
"Kau salah," ujar pemuda itu sambil menarik napas dalam. Suaranya terdengar kesal, namun tak kehilangan semangatnya. "Aku bukan datang ke sini karena kemauanku sendiri. Aku diseret masuk oleh seorang penjahat tua. Dan lihat ini, dia bahkan mengikat kakiku dengan rantai terkutuk ini." lanjutnya sambil menunjuk ke arah kakinya, Du Shen menurunkan pandangannya, memperhatikan dengan seksama. Rantai hitam itu tampak mencengkeram pergelangan kaki pemuda tersebut dengan erat, seperti binatang buas yang tertidur namun siap menerkam kapan saja. Riak aura hitam samar-samar bergelombang dari permukaannya, menebarkan hawa dingin yang menusuk. Du Shen menyipitkan mata. Energi Qi yang mengalir dari rantai itu terasa bengis, seperti mengandung kutukan yang dibentuk dari niat buruk dan dendam yang tak sederhana. "Rantai itu bukan sesuatu yang biasa," gumam Du Shen, lebih kepada dirinya sendiri. Pemuda itu yang sepertinya tak terlalu terganggu dengan situasinya—mengalihkan perhatian pada Du Sh
Beberapa jam berlalu dalam ketegangan. Langit yang semula cerah perlahan mulai tertutup oleh kabut tipis berwarna kelabu yang muncul entah dari mana. Di depan Paviliun Dewa Kekacauan, ratusan kultivator berdiri menunggu dalam diam. Aura mereka terkendali, namun penuh kewaspadaan. Semua menunggu satu momen saat penghalang kuno itu benar-benar lenyap.Dan akhirnya, itu terjadi.Formasi segel yang melindungi bangunan tua itu mulai bergetar pelan, lalu retak seperti permukaan es yang diinjak. Garis-garis halus menyebar cepat, menciptakan pola aneh sebelum pecah dalam kilatan cahaya. Suara gemuruh yang dalam dan berat terdengar, menggema ke seluruh lembah. Penghalang itu hancur—menguap tanpa sisa.Namun bersamaan dengan itu, gelombang tekanan luar biasa memancar keluar. Tidak seperti sebelumnya, tekanan ini bukan hanya kuat, melainkan mengandung energi yang kacau. Sulit dijelaskan. Tapi semua orang dapat merasakan sesak, panas, dingin, dan hampa bercampur menjadi satu. Beberapa kultivat
Beberapa hari kemudian... Di tengah bentangan pegunungan batu cadas yang membentang sejauh mata memandang, berdiri sebuah istana megah nan misterius. Di sekilingnya hanya terdapat hamparan tanah tandus yang luas. Istana kuno tersebut berdiri dengan gagah, dikelilingi oleh pelindung berbentuk kubah transparan yang memantulkan kilau cahaya warna warni ketika cahaya matahari menyentuh permukaannya. Seolah siapapun tak bisa menyentuhnya sembarangan dari luar. Bangunan kuno itu dikenal dengan nama Paviliun Dewa Kekacauan—tempat misterius yang hanya muncul sekali dalam seratus tahun. Legenda menyebutkan bahwa di dalamnya tersimpan artefak-artefak langka, rahasia kultivasi tingkat tinggi, dan warisan dari zaman leluhur. Aura menekan dan kuat merambat keluar dari dalam pelindung itu, membuat para kultivator yang berkumpul di sekitarnya tak berani mendekat sembarangan. Meski tampak samar karena pengaruh pelindung, pancaran energinya jelas mampu membuat para praktisi muda berkeringat dingi
Di permukaan, apa yang tengah dilakukan oleh Du Shen tampak seperti proses pemurnian biasa—seorang ahli yang duduk bersila di hadapan tungku alkimia, mengendalikan aliran Qi untuk menenangkan energi dalam sebuah inti merah menyala. Namun, kenyataannya jauh dari kata biasa. Dari telapak tangannya, aura gelap nan pekat mengalir ke udara, membentuk simbol-simbol kuno yang berpendar hijau kehitaman. Ukiran inskripsi dari zaman sebelum zaman, yang bahkan tak dikenali oleh alkemis manapun di zaman sekarang, muncul melingkari ruang kecil itu. Di bawah tungku yang ia gunakan, lingkaran sihir berpendar menciptakan beberapa lapisan inskripsi—menyala satu per satu, menunjukkan kerumitan formasi yang ia bangun. Pemurnian ini bukan sekadar proses menghilangkan kotoran dari bahan alam seperti tanaman herbal atau bahan alkimia lainnya. Ini adalah pemurnian inti jiwa manusia—sebuah seni terlarang dan nyaris terlupakan, yang lebih dekat ke necromancy daripada alkimia. Inti jiwa dimurnikan untuk
Tapi tekanan dari manifestasi tangan Qi itu begitu besar hingga bahkan dia sendiri mulai terdorong mundur, tubuhnya terseret di antara udara tipis yang kini nyaris menyusut karena gesekan energi.Sementara itu, Zhao Lao menoleh cepat ke arah seorang gadis muda yang berdiri kaku di balik formasi pelindung yang hampir runtuh."Artefak ini terlalu kuat... aku tak bisa mengendalikannya lebih lama. Tapi jika aku bisa memanfaatkan momen ini…"Dengan segenap kekuatan terakhir, Zhao Lao melepaskan sebagian kendali pada tangan Qi, dan mengalihkan sebagian besar energi spiritualnya untuk menciptakan portal dimensi kecil. Dalam sekejap, dia menerobos badai energi, dan meraih tubuh Han Jue."Gu-Guru!?" Han Jue tergagap, namun sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, tubuh mereka berdua telah terserap masuk ke dalam celah dimensi.Luo Ming, yang baru sadar akan hilangnya keberadaan Zhao Lao, meraung keras seperti binatang buas."Pengecut! Kau kabur saat aku lengah! Dasar tua bangka pengecut!"Namun,
Langit di atas Wilayah Dewa Leluhur telah berubah menjadi ungu gelap yang pekat, seolah menandakan bahwa malam ini bukanlah malam biasa. Dua bulan kembar menggantung di angkasa, menyinari tanah yang telah lama kehilangan kehangatan mentari. Namun cahaya lembut itu tak mampu mengusir hawa dingin yang menyelimuti beberapa sisi wilayah tersebut—tempat di mana dua ahli besar bertarung memperebutkan gelar terkuat dalam rivalitas mereka. Di atas tanah yang hangus dan retak oleh gelombang energi spiritual, Zhao Lao terhuyung sembari menekan dadanya yang terasa seperti diremuk dari dalam. Napasnya berat dan berderak, dan darah merah pekat mengalir dari sudut bibirnya. Meski tubuhnya nyaris tak mampu berdiri, sorot matanya masih memancarkan perlawanan yang dipenuhi tekad. Ia menatap lurus ke depan, ke arah lawannya: Luo Ming, yang juga tampak terluka namun masih berdiri tegak di atas udara, dengan dada naik-turun dalam tarikan napas yang lebih stabil. Tawa Luo Ming meledak di udara ma