Di permukaan, apa yang tengah dilakukan oleh Du Shen tampak seperti proses pemurnian biasa—seorang ahli yang duduk bersila di hadapan tungku alkimia, mengendalikan aliran Qi untuk menenangkan energi dalam sebuah inti merah menyala. Namun, kenyataannya jauh dari kata biasa. Dari telapak tangannya, aura gelap nan pekat mengalir ke udara, membentuk simbol-simbol kuno yang berpendar hijau kehitaman. Ukiran inskripsi dari zaman sebelum zaman, yang bahkan tak dikenali oleh alkemis manapun di zaman sekarang, muncul melingkari ruang kecil itu. Di bawah tungku yang ia gunakan, lingkaran sihir berpendar menciptakan beberapa lapisan inskripsi—menyala satu per satu, menunjukkan kerumitan formasi yang ia bangun. Pemurnian ini bukan sekadar proses menghilangkan kotoran dari bahan alam seperti tanaman herbal atau bahan alkimia lainnya. Ini adalah pemurnian inti jiwa manusia—sebuah seni terlarang dan nyaris terlupakan, yang lebih dekat ke necromancy daripada alkimia. Inti jiwa dimurnikan untuk
Beberapa hari kemudian... Di tengah bentangan pegunungan batu cadas yang membentang sejauh mata memandang, berdiri sebuah istana megah nan misterius. Di sekilingnya hanya terdapat hamparan tanah tandus yang luas. Istana kuno tersebut berdiri dengan gagah, dikelilingi oleh pelindung berbentuk kubah transparan yang memantulkan kilau cahaya warna warni ketika cahaya matahari menyentuh permukaannya. Seolah siapapun tak bisa menyentuhnya sembarangan dari luar. Bangunan kuno itu dikenal dengan nama Paviliun Dewa Kekacauan—tempat misterius yang hanya muncul sekali dalam seratus tahun. Legenda menyebutkan bahwa di dalamnya tersimpan artefak-artefak langka, rahasia kultivasi tingkat tinggi, dan warisan dari zaman leluhur. Aura menekan dan kuat merambat keluar dari dalam pelindung itu, membuat para kultivator yang berkumpul di sekitarnya tak berani mendekat sembarangan. Meski tampak samar karena pengaruh pelindung, pancaran energinya jelas mampu membuat para praktisi muda berkeringat dingi
Beberapa jam berlalu dalam ketegangan. Langit yang semula cerah perlahan mulai tertutup oleh kabut tipis berwarna kelabu yang muncul entah dari mana. Di depan Paviliun Dewa Kekacauan, ratusan kultivator berdiri menunggu dalam diam. Aura mereka terkendali, namun penuh kewaspadaan. Semua menunggu satu momen saat penghalang kuno itu benar-benar lenyap.Dan akhirnya, itu terjadi.Formasi segel yang melindungi bangunan tua itu mulai bergetar pelan, lalu retak seperti permukaan es yang diinjak. Garis-garis halus menyebar cepat, menciptakan pola aneh sebelum pecah dalam kilatan cahaya. Suara gemuruh yang dalam dan berat terdengar, menggema ke seluruh lembah. Penghalang itu hancur—menguap tanpa sisa.Namun bersamaan dengan itu, gelombang tekanan luar biasa memancar keluar. Tidak seperti sebelumnya, tekanan ini bukan hanya kuat, melainkan mengandung energi yang kacau. Sulit dijelaskan. Tapi semua orang dapat merasakan sesak, panas, dingin, dan hampa bercampur menjadi satu. Beberapa kultivat
"Kau salah," ujar pemuda itu sambil menarik napas dalam. Suaranya terdengar kesal, namun tak kehilangan semangatnya. "Aku bukan datang ke sini karena kemauanku sendiri. Aku diseret masuk oleh seorang penjahat tua. Dan lihat ini, dia bahkan mengikat kakiku dengan rantai terkutuk ini." lanjutnya sambil menunjuk ke arah kakinya, Du Shen menurunkan pandangannya, memperhatikan dengan seksama. Rantai hitam itu tampak mencengkeram pergelangan kaki pemuda tersebut dengan erat, seperti binatang buas yang tertidur namun siap menerkam kapan saja. Riak aura hitam samar-samar bergelombang dari permukaannya, menebarkan hawa dingin yang menusuk. Du Shen menyipitkan mata. Energi Qi yang mengalir dari rantai itu terasa bengis, seperti mengandung kutukan yang dibentuk dari niat buruk dan dendam yang tak sederhana. "Rantai itu bukan sesuatu yang biasa," gumam Du Shen, lebih kepada dirinya sendiri. Pemuda itu yang sepertinya tak terlalu terganggu dengan situasinya—mengalihkan perhatian pada Du Sh
Beberapa saat berlalu dalam keheningan yang mendebarkan. Du Shen, yang sejak berdiri tegak dengan mata tertutup, akhirnya membuka kelopak matanya perlahan. Dari balik pupil hitamnya, semburat cahaya hijau tua berkilat tajam seperti bara yang baru saja menyala dari arang yang tertiup angin kencang. Aura dari tubuhnya seketika merembes.Seketika itu pula, atmosfer di sekitar mereka mendadak menjadi berat. Udara seolah menebal, menekan tubuh seperti selimut raksasa yang mengandung niat pembunuhan. Bahkan suara embusan angin tak terdengar lagi, digantikan oleh keheningan mencekam yang seperti berdiri di hadapan binatang buas purba, yang berdiri kokoh dan tak tergoyahkan bagaikan gunung es abadi.Lu Tian, yang semula berbaring santai sambil bersenandung kecil, tiba-tiba menegang. Matanya membelalak, napasnya tercekat di tenggorokan. Rasa sesak menyerangnya begitu cepat hingga ia seketika terduduk, lalu berubah jongkok dengan tangan memegangi sisi kepalanya. Keringat dingin mulai merembe
Namun ia tak begitu peduli pada patung itu dan mengalihkan perhatian ke segala arah di dalam aula yang luas itu."Hmm?" Du Shen bergumam lirih sambil menatap sekeliling ruangan luas yang terasa sunyi. Pilar-pilar batu yang menjulang tinggi tampak kokoh menopang langit-langit aula, ia memandangi sekitar seolah tengah mencari seseorang. "Pak tua Zhao... Dia tak ada di sini. Apakah dia masih terjebak dalam dimensi ilusi sebelumnya? Atau jangan-jangan ada ruangan lain selain tempat ini?"Pikirannya terus bergulir, mencoba mencari jawaban. Namun tepat saat ia hendak bergerak untuk menyelidiki lebih jauh, seberkas aura yang familiar tiba-tiba muncul dari sisi timur aula. Aura itu samar namun mengandung nuansa yang tak asing baginya.Du Shen menoleh cepat. Matanya menajam, menyapu arah tempat datangnya aura tersebut.Beberapa langkah dari tempatnya berdiri, sesosok gadis perlahan muncul dari balik kerumunan. Ia tidak sendiri—di dekatnya berdiri dua orang asing yang tampak waspada.Satu adal
Du Shen, seorang anak muda berusia sepuluh tahun, terlahir di sebuah tempat yang disebut desa Yaocun, desa terpencil di bagian timur Benua Yin. Desa yang dihuni oleh kebanyakan petani dan pengrajin, tempat yang begitu tenang, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota besar. Du Shen adalah anak yang penuh semangat dan cerdas, meskipun usianya masih muda. Ia tinggal bersama kedua orang tuanya, Du Liong dan Mei Hua, di sebuah rumah kayu sederhana. Kehidupan mereka dipenuhi dengan rutinitas sehari-hari yang damai—berkebun, memelihara ternak, dan sesekali berburu di hutan untuk mencari bahan makanan. Suatu pagi yang cerah, Du Shen pergi ke hutan untuk mengambil kayu bakar atas perintah ibunya. Langkahnya ringan, disertai rasa bahagia karena hari itu cuaca begitu cerah nan indah. Pikirannya melayang, membayangkan sore nanti ia bisa duduk bersama orang tuanya di teras rumah sambil menikmati makanan ringan buatan ibunya dan menikmati secangkir teh hangat. Namun, kebahagiaan itu segera
Di sebuah hutan lebat di tepian timur Benua Yin, seorang pemuda berdiri di bawah naungan pohon yang rimbun. Suara gemerisik air sungai mengalir lembut di sampingnya, namun suasana hatinya tak selaras dengan kedamaian di sekitarnya. Wajahnya keras, matanya tajam memandang ke depan, penuh dengan tekad yang tak tergoyahkan. Pemuda itu adalah Du Shen, yang kini telah tumbuh dewasa. Bertahun-tahun berlalu sejak peristiwa tragis yang merenggut semua yang ia cintai. Kini ia telah dewasa, dari seorang anak berusia sepuluh tahun, tumbuh lebih tinggi, berotot dan semakin tampan. Dia yang dulu jelas tak dapat dibandingkan dengan dirinya sekarang. Dulu ia sering sekali merengek setelah merasakan betapa pedih dan kerasnya ajaran dari gurunya. "Tunggu saja," gumam Du Shen dengan suara dingin, seraya menggenggam erat gagang pedang yang terselip di pinggangnya. "Mereka akan merasakan kepedihan yang telah lama mengakar di hatiku. Gigi dibalas gigi, mata dibalas mata." Ia berdiri, mengusa
Namun ia tak begitu peduli pada patung itu dan mengalihkan perhatian ke segala arah di dalam aula yang luas itu."Hmm?" Du Shen bergumam lirih sambil menatap sekeliling ruangan luas yang terasa sunyi. Pilar-pilar batu yang menjulang tinggi tampak kokoh menopang langit-langit aula, ia memandangi sekitar seolah tengah mencari seseorang. "Pak tua Zhao... Dia tak ada di sini. Apakah dia masih terjebak dalam dimensi ilusi sebelumnya? Atau jangan-jangan ada ruangan lain selain tempat ini?"Pikirannya terus bergulir, mencoba mencari jawaban. Namun tepat saat ia hendak bergerak untuk menyelidiki lebih jauh, seberkas aura yang familiar tiba-tiba muncul dari sisi timur aula. Aura itu samar namun mengandung nuansa yang tak asing baginya.Du Shen menoleh cepat. Matanya menajam, menyapu arah tempat datangnya aura tersebut.Beberapa langkah dari tempatnya berdiri, sesosok gadis perlahan muncul dari balik kerumunan. Ia tidak sendiri—di dekatnya berdiri dua orang asing yang tampak waspada.Satu adal
Beberapa saat berlalu dalam keheningan yang mendebarkan. Du Shen, yang sejak berdiri tegak dengan mata tertutup, akhirnya membuka kelopak matanya perlahan. Dari balik pupil hitamnya, semburat cahaya hijau tua berkilat tajam seperti bara yang baru saja menyala dari arang yang tertiup angin kencang. Aura dari tubuhnya seketika merembes.Seketika itu pula, atmosfer di sekitar mereka mendadak menjadi berat. Udara seolah menebal, menekan tubuh seperti selimut raksasa yang mengandung niat pembunuhan. Bahkan suara embusan angin tak terdengar lagi, digantikan oleh keheningan mencekam yang seperti berdiri di hadapan binatang buas purba, yang berdiri kokoh dan tak tergoyahkan bagaikan gunung es abadi.Lu Tian, yang semula berbaring santai sambil bersenandung kecil, tiba-tiba menegang. Matanya membelalak, napasnya tercekat di tenggorokan. Rasa sesak menyerangnya begitu cepat hingga ia seketika terduduk, lalu berubah jongkok dengan tangan memegangi sisi kepalanya. Keringat dingin mulai merembe
"Kau salah," ujar pemuda itu sambil menarik napas dalam. Suaranya terdengar kesal, namun tak kehilangan semangatnya. "Aku bukan datang ke sini karena kemauanku sendiri. Aku diseret masuk oleh seorang penjahat tua. Dan lihat ini, dia bahkan mengikat kakiku dengan rantai terkutuk ini." lanjutnya sambil menunjuk ke arah kakinya, Du Shen menurunkan pandangannya, memperhatikan dengan seksama. Rantai hitam itu tampak mencengkeram pergelangan kaki pemuda tersebut dengan erat, seperti binatang buas yang tertidur namun siap menerkam kapan saja. Riak aura hitam samar-samar bergelombang dari permukaannya, menebarkan hawa dingin yang menusuk. Du Shen menyipitkan mata. Energi Qi yang mengalir dari rantai itu terasa bengis, seperti mengandung kutukan yang dibentuk dari niat buruk dan dendam yang tak sederhana. "Rantai itu bukan sesuatu yang biasa," gumam Du Shen, lebih kepada dirinya sendiri. Pemuda itu yang sepertinya tak terlalu terganggu dengan situasinya—mengalihkan perhatian pada Du Sh
Beberapa jam berlalu dalam ketegangan. Langit yang semula cerah perlahan mulai tertutup oleh kabut tipis berwarna kelabu yang muncul entah dari mana. Di depan Paviliun Dewa Kekacauan, ratusan kultivator berdiri menunggu dalam diam. Aura mereka terkendali, namun penuh kewaspadaan. Semua menunggu satu momen saat penghalang kuno itu benar-benar lenyap.Dan akhirnya, itu terjadi.Formasi segel yang melindungi bangunan tua itu mulai bergetar pelan, lalu retak seperti permukaan es yang diinjak. Garis-garis halus menyebar cepat, menciptakan pola aneh sebelum pecah dalam kilatan cahaya. Suara gemuruh yang dalam dan berat terdengar, menggema ke seluruh lembah. Penghalang itu hancur—menguap tanpa sisa.Namun bersamaan dengan itu, gelombang tekanan luar biasa memancar keluar. Tidak seperti sebelumnya, tekanan ini bukan hanya kuat, melainkan mengandung energi yang kacau. Sulit dijelaskan. Tapi semua orang dapat merasakan sesak, panas, dingin, dan hampa bercampur menjadi satu. Beberapa kultivat
Beberapa hari kemudian... Di tengah bentangan pegunungan batu cadas yang membentang sejauh mata memandang, berdiri sebuah istana megah nan misterius. Di sekilingnya hanya terdapat hamparan tanah tandus yang luas. Istana kuno tersebut berdiri dengan gagah, dikelilingi oleh pelindung berbentuk kubah transparan yang memantulkan kilau cahaya warna warni ketika cahaya matahari menyentuh permukaannya. Seolah siapapun tak bisa menyentuhnya sembarangan dari luar. Bangunan kuno itu dikenal dengan nama Paviliun Dewa Kekacauan—tempat misterius yang hanya muncul sekali dalam seratus tahun. Legenda menyebutkan bahwa di dalamnya tersimpan artefak-artefak langka, rahasia kultivasi tingkat tinggi, dan warisan dari zaman leluhur. Aura menekan dan kuat merambat keluar dari dalam pelindung itu, membuat para kultivator yang berkumpul di sekitarnya tak berani mendekat sembarangan. Meski tampak samar karena pengaruh pelindung, pancaran energinya jelas mampu membuat para praktisi muda berkeringat dingi
Di permukaan, apa yang tengah dilakukan oleh Du Shen tampak seperti proses pemurnian biasa—seorang ahli yang duduk bersila di hadapan tungku alkimia, mengendalikan aliran Qi untuk menenangkan energi dalam sebuah inti merah menyala. Namun, kenyataannya jauh dari kata biasa. Dari telapak tangannya, aura gelap nan pekat mengalir ke udara, membentuk simbol-simbol kuno yang berpendar hijau kehitaman. Ukiran inskripsi dari zaman sebelum zaman, yang bahkan tak dikenali oleh alkemis manapun di zaman sekarang, muncul melingkari ruang kecil itu. Di bawah tungku yang ia gunakan, lingkaran sihir berpendar menciptakan beberapa lapisan inskripsi—menyala satu per satu, menunjukkan kerumitan formasi yang ia bangun. Pemurnian ini bukan sekadar proses menghilangkan kotoran dari bahan alam seperti tanaman herbal atau bahan alkimia lainnya. Ini adalah pemurnian inti jiwa manusia—sebuah seni terlarang dan nyaris terlupakan, yang lebih dekat ke necromancy daripada alkimia. Inti jiwa dimurnikan untuk
Tapi tekanan dari manifestasi tangan Qi itu begitu besar hingga bahkan dia sendiri mulai terdorong mundur, tubuhnya terseret di antara udara tipis yang kini nyaris menyusut karena gesekan energi.Sementara itu, Zhao Lao menoleh cepat ke arah seorang gadis muda yang berdiri kaku di balik formasi pelindung yang hampir runtuh."Artefak ini terlalu kuat... aku tak bisa mengendalikannya lebih lama. Tapi jika aku bisa memanfaatkan momen ini…"Dengan segenap kekuatan terakhir, Zhao Lao melepaskan sebagian kendali pada tangan Qi, dan mengalihkan sebagian besar energi spiritualnya untuk menciptakan portal dimensi kecil. Dalam sekejap, dia menerobos badai energi, dan meraih tubuh Han Jue."Gu-Guru!?" Han Jue tergagap, namun sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, tubuh mereka berdua telah terserap masuk ke dalam celah dimensi.Luo Ming, yang baru sadar akan hilangnya keberadaan Zhao Lao, meraung keras seperti binatang buas."Pengecut! Kau kabur saat aku lengah! Dasar tua bangka pengecut!"Namun,
Langit di atas Wilayah Dewa Leluhur telah berubah menjadi ungu gelap yang pekat, seolah menandakan bahwa malam ini bukanlah malam biasa. Dua bulan kembar menggantung di angkasa, menyinari tanah yang telah lama kehilangan kehangatan mentari. Namun cahaya lembut itu tak mampu mengusir hawa dingin yang menyelimuti beberapa sisi wilayah tersebut—tempat di mana dua ahli besar bertarung memperebutkan gelar terkuat dalam rivalitas mereka. Di atas tanah yang hangus dan retak oleh gelombang energi spiritual, Zhao Lao terhuyung sembari menekan dadanya yang terasa seperti diremuk dari dalam. Napasnya berat dan berderak, dan darah merah pekat mengalir dari sudut bibirnya. Meski tubuhnya nyaris tak mampu berdiri, sorot matanya masih memancarkan perlawanan yang dipenuhi tekad. Ia menatap lurus ke depan, ke arah lawannya: Luo Ming, yang juga tampak terluka namun masih berdiri tegak di atas udara, dengan dada naik-turun dalam tarikan napas yang lebih stabil. Tawa Luo Ming meledak di udara ma
"A-aku hanya pesuruh dari kelompok kecil yang disebut Bandit Kapak Hitam," ucap Mu Gui dengan suara gemetar, napasnya tersengal, dan tubuhnya menggigil di bawah tekanan tak kasat mata. Pria berjubah hitam sebelumnya, yang kini telanjang bulat, tampak tak lebih dari seekor kambing malang yang tengah menunggu waktu untuk disembelih. Tubuhnya masih terangkat beberapa jengkal dari tanah, dicekik oleh tekanan Qi milik Du Shen yang begitu dingin dan menakutkan. Du Shen memandangnya dengan tatapan tajam, kilatan kebencian di sorot matanya menunjukkan betapa dalam amarahnya tersimpan. Namun saat mendengar nama "Kapak Hitam," seketika seluruh dunianya di penuhi oleh bara emosi yang meluap-luap. "Bandit Kapak Hitam?" ulang Du Shen dengan suara berat, bibirnya nyaris tak bergerak. "Apa hubungan kalian dengan Bandit Kapak Merah?" Seketika, wajah Mu Gui memucat. Napasnya terhenti sepersekian detik. Nama itu, bukan lah nama yang seharusnya keluar dari mulut sembarang orang. Itu adalah organisa