“Bella, thank you,” ucap seorang laki-laki dengan napas tersengal-sengal di ujung panggilan sana, “aku selalu puas dengan service yang kamu berikan.”
Irene Isabella mengangguk mendengar ucapan client-nya itu. Sudah satu tahun Irene menjadi talent dari penyedia jasa kencan online di ApproMatch–sebuah aplikasi kencan milik Aldi, temannya.
Menggunakan nama samaran “Bella”, Irene menemani para lelaki yang sedang kesepian, baik itu dalam bentuk berkirim pesan singkat secara onlen atau bahkan dalam panggilan telepon. Namun, tak jarang para lelaki itu meminta pelayanan yang agak ekstrem. Misalkan, berkirim pesan atau telponan dengan topik yang 'dewasa' dan 'panas'.
Seperti yang baru saja dilakukan Irene dengan Jun tadi. Pria yang sebenarnya bernama Juna itu, merupakan client tetap Bella dan salah satu yang ter-loyal. Setiap melakukan phone sex dengan Juna, pasti pria itu akan memberi tip yang banyak dan menambah uang untuk membiayai kehidupan perkuliahan Irene. Mereka berdua sama-sama menggunakan nama samaran, agar identitasnya tidak terbongkar. Irene dengan Bella, dan Juna dengan Jun.
Sayangnya, Irene harus berhenti dari pekerjaan ini. Dia sebentar lagi lulus dan telah diajak bergabung oleh Ketua Departemen Jurusannya untuk mengabdi kembali di kampusnya. Selain itu, Gita–sahabat baik Irene–juga sudah mengancam akan menjauhi Irene jika masih bekerja sebagai Bella. Apalagi sekarang ada seorang pria yang sedang dekat dengan Irene.
Faktor-faktor tersebut membuat Irene terus saja berpikir keras. Dia tak mau identitasnya–sebagai Bella–terbongkar nanti dan mempermalukan dirinya.
“Bella?”
“Hmm,” dehem Irene terkejut, “You’re welcome, Jun–”
“--Kalau gitu, aku matiin sambungan telepon kita, ya,” potong Juna mendadak membuat Irene panik.
“Wait, Jun!” Irene mencoba menahan Juna dengan cepat.
“Ya?” Dari suaranya, Juna terdengar bingung dan menunggu kelanjutan ucapan Irene.
Namun, Irene tak mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya embusan nafasnya saja yang bisa terdengar di ujung telepon. Entah kenapa, dia mendadak ragu untuk melanjutkan kalimatnya.
“Bella?” panggil Juna, memastikan kalau perempuan itu masih dalam panggilan.
“Mmm … anu …” Irene masih merasa bingung harus memulai dari mana. Padahal, kemarin dia sudah latihan dan menyusun kata-kata untuk membicarakan hal ini pada Juna.
“Maaf, aku nggak bisa menepati janjiku, Jun. Aku nggak bisa kasih service sama kamu lagi. Kontrakku habis.”
Akhirnya kalimat itu pun keluar dari mulut Irene.
“Memangnya, kalau kontrakmu habis kenapa?”
Irene mengigit bibir bawahnya, sebelum berkata dengan tegas, “Aku sudah tidak bekerja untuk Aldi lagi.”
“Kalau begitu, kamu hanya harus bekerja untukku!” tegas Juna.
Irene memejamkan matanya dan menghela nafas. Dia sudah sangat menduga kalau Juna akan berkata demikian.
“Nggak bisa, Jun. Ke depannya, aku nggak akan punya waktu untuk hal seperti ini. Sekali lagi, maaf aku tidak bisa menepati janjiku. Jika kamu merasa rugi karena sudah membayarku dengan nominal yang besar, aku siap mengganti sepuluh persennya. Kamu tinggal hubungi saja Aldi, ya. Maaf, aku harus pamit.”
“Aku ti—”
Tut!
Tak ingin mendengar kalimat sanggah dari Juna, Irene pun segera menutup panggilannya. Dengan tergesa-gesa dia segera mematikan ponsel berwarna putih itu. Khawatir jika nanti Juna menghubunginya.
“Huft … oke, tenang, Ren. Sekarang tinggal balikin handphone ini ke Aldi dan selesai! Sisanya nanti tinggal Aldi yang urus,” gumamnya.
Gadis itu pun bergegas merapikan perlengkapannya. Dia segera menuju kampus, karena harus mengambil toga. Pasalnya, dua hari lagi dia akan melaksanakan prosesi kelulusannya.
Tak hanya itu, Irene juga harus ke bagian akademik, mengingat ada data yang harus dia lengkapi sebelum bekerja di sana.
***
Setelah selesai dengan segala urusannya, Irene bergegas untuk turun ke lobi fakultas. Senyum bahagia terpancar dari wajahnya. Akhirnya, semua berjalan dengan lancar, Irene bisa lulus dan langsung mendapatkan pekerjaan.
Di ujung sana, terlihat sahabatnya—Gita dan Zee—yang melambaikan tangan pada Irene. Mereka memang memiliki janji untuk bertemu dan menyantap mie ayam terenak yang ada di samping fakultasnya.
“Asik! Lulus juga kalian berdua, ya,” ucap Zee heboh begitu Irene tiba.
“Makanya kamu jangan kebanyakan manggung terus. Jadi, kita tinggalin, kan?” timpal Gita.
Irene hanya tersenyum. Mereka pun segera menuju samping fakultas dan memesan mie ayam yang sudah menjadi langganan mereka sejak berkuliah di sini.
Ketiganya sudah berteman dari awal perkuliahan. Namun, sejak semester tiga, Zee memang fokus dengan pekerjaan sampingannya–back dancer untuk salah satu penyanyi terkenal ibu kota. Hal itu membuat Zee harus sering bolos, hingga alhasil ada beberapa mata kuliah yang harus mengulang.
“Iya. Ini aku udah cuti, nggak akan ikut tour tahun ini. Jadi, aku bisa sidang semester depan.”
Gita mengangguk sambil mengunyah makanan di mulutnya. “Good! Zee aja udah dengerin kata aku. Kamu gimana, Ren?” sindirnya sembari melirik pada sahabatnya yang hendak menyuap.
Mendengar pertanyaan Gita yang dilontarkan padanya. Sontak Irene membeku beberapa detik. Mie ayam yang hendak ia masukkan ke dalam mulut, diurungkan olehnya.
Irene menghela napas. “Aku juga udah. Udah aku selesaikan dengan Aldi dan Juna,” jawabnya.
Gita pun tersenyum. “Nah, ini baru bestie-ku!”
Zee dan Irene pun ikut tersenyum, lalu mereka menghabiskan satu porsi mie ayam yang tadi mereka pesan.
****
“Ah, bakal kangen sama Mie ayam di Kampus. Kamu sih enak bakal makan ini tiap hari,” keluh Gita.
Kini mereka sedang berjalan keluar dari lingkungan fakultas FIB setelah puas menghabiskan mie ayam mereka.
Mendengar itu, Irene menggelengkan kepalanya. “Ya nggak akan tiap hari juga. Gumoh kali.”
Sambil meneguk minuman rasa lemon yang belum dihabiskan, Irene kembeali bertanya, “Berarti minggu depan kamu udah balik ke Yogya?”
Gita seketika mengangguk. “Di sini juga mau ngapain? Yowis, aku balik Yogya dulu, siapa tahu dapat kerjaan di sana. Atau mungkin nanti di kota lain.”
“Ah, bakal kangen Gita,” ucap Zee kemudian memeluk sahabatnya itu.
“Kapan-kapan nanti kalian main ke Yogya lagi. Pintu rumahku akan terbuka lebar untuk kalian.”
Suasana yang penuh canda tawa tadi tiba-tiba menjadi haru biru. Mereka tidak bisa mengelak akan fakta, bahwa mereka akan berpisah dalam beberapa hari ke depan.
Melihat kedua temannya itu sedang melow, Irene pun menghentikan langkahnya. “Guys! Mau lihat shooting dari sang juara permainan basket di GameMister, nggak?”
Baik Gita dan Zee sama-sama mengerutkan keningnya. Mereka melihat pada tangan kanan Irene yang sedang memegang botol kaca, bekas minuman lemonnya.
“Ren, jangan ngadi-ngadi, de—”
“Shoot!” Irene pun langsung melemparkan botol yang tadi dipegangnya ke arah tong sampah yang mungkin berjarak lima meter.
Namun, bukannya botol itu masuk ke dalam tong sampah berwarna hijau. Benda yang terbuat dari kaca itu malah melayang melewati batasnya. Dan sedetik kemudian terdengar suara yang akan membuat Irene menyesal.
Prang!
“Hey! Siapa yang melemparkan botol kaca ke sini?!”
BERSAMBUNG ….
Seorang pria berumur tiga puluhan baru saja keluar dari gedung FIB. Dengan berbalut kemeja berwarna biru dongker yang nampak sangat berkelas–laki-laki itu melangkah dengan tergesa-gesa. Dia menuruni jalan dan segera menuju parkiran mobil, yang tidak jauh dari sana. “Sial! Aldi juga gak angkat telepon sama sekali,” gerutunya. Karena panggilannya tak kunjung diangkat dan dia juga terlihat seperti sedang terburu-buru, maka ia putuskan untuk menyimpan ponselnya ke dalam saku celana. Kemudian dia pun membuka pintu mobil yang kini sudah ada di hadapannya. Namun, saat pria itu hendak meraih handle pintu mobilnya. Dia tiba-tiba dikejutkan oleh sesuatu. Prang! Pria itu pun mengerejap dan membuka matanya lebar. Sebuah botol kaca bekas minuman vitamin C, berhasil membuat kaca depan mobilnya retak. Mobil yang nampak sporty dan terlihat mahal itu, harus cacat karena ulah seseorang! “Hey! Siapa yang melemparkan botol kaca ke sini?!” teriaknya. Beberapa pasang mata kini tertuju ke arahnya. Nam
“Kenapa kaca mobil lo? Tadi gue parkir di samping mobil lo, dan lihat kacanya pecah.”Saat ini, Juna sedang berada di sebuah lounge mewah di kota kembang. Dia memiliki janji untuk bertemu dengan Stefan–teman baiknya sejak duduk di bangku perkuliahan.“Insiden,” jawab Juna irit sembari meneguk whisky dalam sloki.Kemudian dia melirik ke arah pergelangan tangan kirinya–melihat jarum jam pada arloji yang sedang ia kenakan. “Cih. Ada ya, orang yang ngajak ketemuan itu yang telat dibanding orang yang diajaknya.”Stefan menyandarkan punggungnya pada kursi. “Sorry, gue tadi ada masalah dulu sama istri. Biasalah, agak gimana kalau gue pergi malam.”Juna memutar bola matanya malas sembari membuang napas kasar.“Ah, sorry lagi.” Mendadak Stefan tidak enak karena menyinggung soal istri. “Makanya deh, Jun. Lo cepet cari cewek lagi yang bisa diajak serius,” saran sahabat Juna itu.Juna hanya mendengus dan membuang muka. “Lo kayak nggak tahu kondisi gue aja, Stef,” timpalnya.“Belum sembuh juga? Bu
“Selamat, ya,” ucap seorang laki-laki dengan rambut belah tengah ala-ala cowok dari negeri gingseng. Dia memberikan bunga mawar berwarna putih dan merah muda pada Irene yang tengah memakai toga wisuda. “Eh? Ma-makasih, Reno.” Irene segera menerima buket bunga pemberian dari laki-laki jurusan ilmu komputer itu. Terlihat wajah Irene memerah. Bahkan, sesekali dia menjilat bibirnya yang tidak kering sama sekali. Ah, sial! Entah kenapa Irene merasa dirinya jadi salah tingkah. Padahal, dia hanya diberi bunga oleh pria itu. “Doakan aku cepat menyusul ya,” tambah Reno sembari melemparkan senyum manisnya. Oh my good! Hati Irene meleleh tatkala melihat senyuman yang begitu menghangatkan hatinya. Irene memang sudah menyukai Reno sejak dari semester tiga. Mereka bertemu saat mata kuliah olahraga. Kebetulan, jurusan ilmu komputer mendapatkan jadwal yang sama seperti jurusan sejarah. Dan, di sana pun Irene mengenal Aldi. Ketiganya pernah berada di satu kelompok yang sama. “Ah, tentu. Aku sela
“Mas Aldi?” tanya Juna berhati-hati. Laki-laki itu pun langsung mengangkat kepalanya dan melihat ke arah Juna. “Iya. Dengan Mas Stefan?” tanya Aldi dengan senyum. Juna pun mengangguk. Benar, malam ini dia sedang berpura-pura menjadi Stefan demi bertemu dengan Aldi. “Oh, silakan duduk, Mas,” ucap Aldi yang langsung berdiri dan mempersilakan Juna untuk duduk. Ada keheningan sejenak karena tak ada yang mau memulai duluan topik pembicaraan. Sampai pada akhirnya, Juna pun membuka mulutnya. “Sebenarnya saya ke sini ingin menanyakan perihal Bella,” kata Juna to the point. Mendengar nama Bella disebut, alis Aldi berkerut. “Bella? Bella mana, ya? Bukannya Mas Stefan bertemu saya karena ingin menanyakan perihal agensi saya?” tanya Aldi. Juna hanya mengangguk kecil. “Bella, mantan talent-mu. Dan, sebenarnya saya itu teman Jun. Saya ke sini, karena ada hal yang harus saya bicarakan dengan kamu, perihal Bella dan Juna.” “Maaf, Mas, tapi saya sudah tidak ada hubungannya dengan Be—” “Berapa
“Ah, iya untung saja datang tepat waktu. Bapak Ibu, mungkin di antara kalian ada yang sudah tahu, ya. Hanya saja memang saya belum sempat memperkenalkan dosen baru kita pada Bapak Ibu semua. Niat saya biar disatukan dengan perkenalan staff baru kita. Kalau begitu, silakan untuk memperkenalkan diri.”Juna pun tersenyum manis, lalu mengangguk. Sementara itu, Irene rasanya ingin menggali tanah, dan terkubur hidup-hidup.“Selamat siang, Bapak Ibu. Sebelumnya saya ingin mengucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya karena saya terlambat. Semoga permohonan maaf ini bisa diterima oleh Bapak dan Ibu semuanya. Perkenalkan saya Juna Atmadjadarma, yang kebetulan dipercaya untuk menjadi dosen di departemen sejarah. Sebelumnya saya bekerja di Universitas Purnawarman,” paparnya dengan jelas.Universitas Purnawarman dan Universitas Wastukencana sebenarnya masih satu payung–di bawah Yayasan Atmadjadarma.Yayasan tersebut memang konsen di bidang pendidikan dan kesehatan. Jadi, selain universitas dan be
“Kamu serius, kan?” tanya Aldi yang mencoba memastikan dengan keputusan sahabatnya. Mereka kini bahkan bertemu di sebuah cafe dekat kampus Irene. Pria itu begitu terkejut begitu Irene menghubunginya. “Iya. Lagi-lagi aku kepepet masalah uang. Uangnya harus ada besok,” jawab Irene. “Banget?” Irene mengangguk. “Banget. Makanya aku udah hopeless banget, Di. Tapi itu serius, Jun nggak papa? Maksudnya aku minta bayar di muka.” “Katanya gapapa. Dia bakal bayar lebih dari yang kamu minta.” “Ah, nggak usah lebih gitu. Nanti malah aku semakin terbebani.” Irene mendesah. “Ya … mungkin itu tujuan dia, Ren.” Aldi terpaksa memberikan tawaran pekerjaan kotor ini pada sahabatnya. Setelah bertemu dengan Stefan—yang sebenarnya adalah Juna—Aldi merasa terlena. Pasalnya, Stefan mau untuk menjadi investor di projek terbarunya. Kebetulan projek ini pun untuk menunjang skripsinya. Jujur, Aldi hanya manusia biasa yang mampu tergoda oleh uang. Niat awalnya ingin melindungi Irene dan menjauhkan sahabat
“Di mana? Ini ada mahasiswa mau bikin surat untuk penelitian. Katanya minta sore ini selesai,” jawab Mia.“Buset, sore ini? Dadakan banget, aku masih harus beresin surat yang lain, Bu,” keluh Irene.Mia mendesah. “Udah saya bilangin, tapi mereka maksa. Ya udah cepet balik. Jam makan siang juga udah mau selesai,” pungkas Mia yang langsung mematikan panggilan teleponnya.Irene menghela napas kasar. Dia melirik pada arloji yang melingkar di tangan kirinya. Padahal Irene masih memiliki waktu sepuluh menit lagi untuk istirahat dan menghabiskan capuccino latte miliknya.Namun, apa boleh buat, Irene pun akhirnya bangkit sembari membawa kopinya yang belum habis. Sambil meminum kopi, Irene melangkah dengan terburu-buru. Dia harus segera sampai ke kampus yang jaraknya sekitar lima ratus meter dari cafe tersebut.Brak!Saking terburu-buru, Irene pun tersandung kursi yang tidak dirapikan oleh pelanggan sebelumnya. Seketika Irene tersungkur ke arah kursi yang ada di depannya. Kopi yang sedang dipe
“Halo, Jun?”Suara itu nampak tak asing di telinga Juna. Laki-laki itu pun menarik sudut bibirnya sebelah.“Ya, Bella?” timpal Juna.Benar, pemilik suara indah tersebut adalah Bella. Mendengar dua kata yang baru terucap saja, membuat hati Juna berbunga. Dia sudah sangat mengenal dengan baik suara partner-nya itu“Apa kabar?” tanya gadis yang tentu saja bernama asli Irene.“Baik. Jadi, kamu mau bekerja untukku?”Juna duduk di kursi kerjanya, lalu dia menyandarkan punggungnya.“Ya … begitulah,” timpal Irene irit, nampaknya dia merasa tidak enak.“Baguslah. Aku pasti akan memberikan apa pun yang kamu inginkan. Asal kamu selalu siap dalam melayaniku.”Perkataan Juna itu bukan sebuah kalimat gombalan. Dia pasti akan memberikan apa pun yang diinginkan oleh partner-nya itu.“Mmm … aku cuman ingin uang lima belas juta besok. Bisa, kan?” tanyanya dengan sedikit ragu.Juna mendengus sambil menarik kedua sudut bibirnya. “Tentu. Aku akan kirimkan uangnya pada Aldi. Asalkan kamu bisa melayani aku