“Kamu serius, kan?” tanya Aldi yang mencoba memastikan dengan keputusan sahabatnya.
Mereka kini bahkan bertemu di sebuah cafe dekat kampus Irene. Pria itu begitu terkejut begitu Irene menghubunginya.
“Iya. Lagi-lagi aku kepepet masalah uang. Uangnya harus ada besok,” jawab Irene.
“Banget?”
Irene mengangguk. “Banget. Makanya aku udah hopeless banget, Di. Tapi itu serius, Jun nggak papa? Maksudnya aku minta bayar di muka.”
“Katanya gapapa. Dia bakal bayar lebih dari yang kamu minta.”
“Ah, nggak usah lebih gitu. Nanti malah aku semakin terbebani.” Irene mendesah.
“Ya … mungkin itu tujuan dia, Ren.”
Aldi terpaksa memberikan tawaran pekerjaan kotor ini pada sahabatnya. Setelah bertemu dengan Stefan—yang sebenarnya adalah Juna—Aldi merasa terlena. Pasalnya, Stefan mau untuk menjadi investor di projek terbarunya. Kebetulan projek ini pun untuk menunjang skripsinya.
Jujur, Aldi hanya manusia biasa yang mampu tergoda oleh uang. Niat awalnya ingin melindungi Irene dan menjauhkan sahabatnya dari maksiat. Malahan yang dia lakukan sekarang itu sangat kontradiksi.
“Sorry, Ren. Harusnya aku nggak nawarin ini sama kamu—”
“Udah nggak usah say sorry. Toh aku pun emang lagi kepepet, Di. Kalau bukan ke kamu, ke siapa lagi? Tapi please rahasiakan ini dari siapa pun, termasuk Gita dan Zee.”
Setelah merenungi nasibnya, Irene benar-benar dibuat frustrasi dengan uang sebanyak 15 juta rupiah. Dan, lagi-lagi orang yang bisa membuat dirinya terlepas dari jerat kemiskinan adalah Aldi. Ah, tidak, bukan sahabatnya, tetapi Juna.
Aldi mengangguk. “Yeah, I know.”
Tak ingin berlama-lama, Aldi pun mengeluarkan fasilitas yang akan ia berikan untuk Irene.
“Ini pakai. Di dalemnya udah aku masukin simcard, dan di handphone itu cuman ada nomor aku dan Jun. Dia minta kamu menghubunginya malam ini. Sekalian aja obrolin tentang uang yang kamu maksud.”
Laki-laki itu memberikan ponsel berwarna putih pada Irene. Sang gadis nampak tak asing dengan benda pipih tersebut. Ia langsung mengambil dan menyalakannya.
“Ren, tapi ini aku mau nanya serius,” ucap Aldi dengan nada yang sedikit pelan dari sebelumnya.
“Hmm?” Irene hanya membalas dengan dehaman. Mata dan jarinya masih fokus dengan si ponsel.
“Kenapa Jun ngebet banget sama kamu, sih? Sampe berani bayar mahal. Apa kamu menyimpan rahasia tentangnya? Atau gimana? Jujurly, aku tuh masih nggak habis pikir aja. Sampe sahabatnya dateng nemui aku, cuman buat nge-loby kamu.”
Irene melirik pada Aldi, lalu ia menggeleng. “Aku juga sama, nggak habis pikir. Kalau dipikir-pikir, buat apa coba ngeluarin duit gede hanya untuk ….” Irene menengok ke kanan dan ke kiri. Kemudian dia mencondongkan tubuhnya, mendekat kepada Aldi. “… phone sex,” imbuhnya.
“Kenapa dia nggak sewa aja langsung gitu. Coba, deh, dari sudut pandang cowok. Kamu lebih milih mana? Live action atau sekedar komunikasi di telepon?” tanya Irene.
“Ya, live action, lah!” jawab Aldi cepat.
“Nah, kan? Kalau masalah rahasia, aku nggak tahu apa-apa tentang dia.”
“Selama setahun kenal, kamu literally cuman chat dan phone sex?”
Jujur, Aldi tidak pernah sekepo ini pada talent-nya. Cuman, yang ini agak janggal saja.
“Mmm … nggak juga, sih. Awal-awal, sih, ngobrol ringan. Pernah sharing tentang cewek, sih. Intinya dia emang deket sama cewek, tapi nggak ada yang dia seriusin.”
“Alasannya?”
“Bilangnya, nggak mau bikin komitmen. Dia males, karena ada beberapa perempuan yang memang mengincar harta dia, atau sekedar mencari validitas karena bisa memiliki hubungan spesial dengan Jun. Nggak ada yang pure mencintai dia, sampai bisa nerima kekurangan dia,” papar Irene.
Aldi hanya bisa mengangguk mendengar penjelasan dari Irene. Dari kacamata lelaki, memang paling malas bertemu dengan perempuan yang hanya melihat laki-laki dari harta atau tampang.
“Btw, kamu nggak pernah penasaran seganteng dan setajir apa si Jun ini?” tanya Aldi lagi.
“Pernah, sih … tapi, aku lebih baik denial aja. Aku juga nggak mau peduli dengan kehidupan real life dia. Pun sebaliknya. Ya, kita pure cuman curhat dan ingin didenger doang. Walau ujung-ujungnya main kotor juga. Toh, kita pun sama-sama menyembunyikan identitas sebenarnya. Dia tahunya aku Bella, bukan Irene. ”
“Ya sudah kalau gitu. Main aman aja, ya. Seperti biasa, jangan mau buat diajak VC atau ketemuan. Bagaimana pun tawaran duitnya, jangan mau. Dan, kalau dia macem-macem, langsung kontak aku. Kamu emang bukan talent aku secara resmi. Tapi, kamu masih jadi tanggung jawabku,” tegas Aldi, dia tidak mungkin lepas tangan begitu saja.
Ibu jari kanan milik Irene pun teracung. “Siap, Bos Aldi!”
“Nah.” Aldi menepuk kedua tangannya. “Kalau gitu, aku akhiri sampai di sini. Udah siang dan aku harus ketemu sama Pak Davin, untuk bahas skripsi aku,” tandas Aldi, lalu dia bangkit dari kursi.
“Thanks, ya, Di.”
“My pleasure,” tandasnya. Lalu Aldi pergi meninggalkan Irene sendiran.
Gadis itu tak langsung beranjak. Dia melihat pada jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Masih ada dua puluh menit untuknya bersantai. Dia pun menghabiskan makanan yang tadi dipesannya, sambil sesekali mengecek akun sosial media miliknya.
Sampai setelah kurang lebih sepuluh menit Irene duduk sendirian di café tersebut. Ponsel yang sedang dipeganginya itu pun berdering.
“Halo, Bu Mia. Ada apa?” tanya Irene bingung.
BERSAMBUNG …
“Di mana? Ini ada mahasiswa mau bikin surat untuk penelitian. Katanya minta sore ini selesai,” jawab Mia.“Buset, sore ini? Dadakan banget, aku masih harus beresin surat yang lain, Bu,” keluh Irene.Mia mendesah. “Udah saya bilangin, tapi mereka maksa. Ya udah cepet balik. Jam makan siang juga udah mau selesai,” pungkas Mia yang langsung mematikan panggilan teleponnya.Irene menghela napas kasar. Dia melirik pada arloji yang melingkar di tangan kirinya. Padahal Irene masih memiliki waktu sepuluh menit lagi untuk istirahat dan menghabiskan capuccino latte miliknya.Namun, apa boleh buat, Irene pun akhirnya bangkit sembari membawa kopinya yang belum habis. Sambil meminum kopi, Irene melangkah dengan terburu-buru. Dia harus segera sampai ke kampus yang jaraknya sekitar lima ratus meter dari cafe tersebut.Brak!Saking terburu-buru, Irene pun tersandung kursi yang tidak dirapikan oleh pelanggan sebelumnya. Seketika Irene tersungkur ke arah kursi yang ada di depannya. Kopi yang sedang dipe
“Halo, Jun?”Suara itu nampak tak asing di telinga Juna. Laki-laki itu pun menarik sudut bibirnya sebelah.“Ya, Bella?” timpal Juna.Benar, pemilik suara indah tersebut adalah Bella. Mendengar dua kata yang baru terucap saja, membuat hati Juna berbunga. Dia sudah sangat mengenal dengan baik suara partner-nya itu“Apa kabar?” tanya gadis yang tentu saja bernama asli Irene.“Baik. Jadi, kamu mau bekerja untukku?”Juna duduk di kursi kerjanya, lalu dia menyandarkan punggungnya.“Ya … begitulah,” timpal Irene irit, nampaknya dia merasa tidak enak.“Baguslah. Aku pasti akan memberikan apa pun yang kamu inginkan. Asal kamu selalu siap dalam melayaniku.”Perkataan Juna itu bukan sebuah kalimat gombalan. Dia pasti akan memberikan apa pun yang diinginkan oleh partner-nya itu.“Mmm … aku cuman ingin uang lima belas juta besok. Bisa, kan?” tanyanya dengan sedikit ragu.Juna mendengus sambil menarik kedua sudut bibirnya. “Tentu. Aku akan kirimkan uangnya pada Aldi. Asalkan kamu bisa melayani aku
“Irene, kamu ada di dalam?” Suara laki-laki terdengar dari balik pintu.Mendengar namanya dipanggil, pupil Irene membulat. Buru-buru Irene mematikan ponsel yang menjadi alat komunikasi dirinya dengan Juna. Lalu ia simpan di laci mejanya.“Irene? Ini aku, Reno,” panggil laki-laki itu lagi.Deg!“Oh, i-iya, Ren. Sebentar,” sahut Irene yang berusaha merapikan penampilannya.Setelah dirasa rapi, gadis itu pun membuka pintu kamar kosnya.“Ya, Ren. Ada apa?” tanya Irene dengan tenang.Padahal dalam hatinya, dia sedikit tidak bisa santai. Mendapati laki-laki yang ia sukai ada di depan matanya, itu membuat hati Irene meletup seperti popcorn.“Oh, ini.” Reno memberikan sebuah keresek berwarna putih. Di dalamnya terdapat sebuah box kecil.Irene menerima dengan penuh rasa penasaran. “Ini apa?” tanyanya.“Tadi aku habis antar Alfi ke toko kue. Dia beli kue untuk pacarnya yang ulang tahun. Terus, aku lihat redvelvet, dan langsung inget kamu. Ya sudah, aku bawain,” jawabnya, sembari menampilkan sen
Irene masih berusaha mengintip pada celah kecil. Pandangannya yang terbatas, membuat dirinya tidak mengetahui dengan pasti siapa dua perempuan yang masuk ke ruangan Juna. Terlihat ada satu orang perempuan yang sedang sibuk dengan bingkai lukisan yang mengarah tepat ke meja kerja Juna.“Cepetan,” bisik seorang perempuan yang tak begitu nampak oleh Irene.“Sebentar, dikit lagi, cuy,” timpal perempuan lain yang sedang sibuk dengan sebuah barang di tangannya.Irene menyipitkan mata, ketika perempuan dengan berbalut kemeja bercorak bunga sedang menempelkan sesuatu pada bingkai lukisan. Dia menyipitkan mata dan masih mengintip pada celah kecil.“Loh, bukannya itu?” gumamnya kecil.Dug.“Aww,” ringis Irene nyaris tak terdengar.Saking terkejutnya, Irene tersentak dan mengakibatkan kepalanya membentur meja kerja Juna.“Apaan, tuh?” kaget perempuan berbalut kemeja bunga-bunga.“Udah, cepet buruan!” ajak perempuan lain, “nanti keburu Pak Juna datang,” imbuhnya.Karena misi mereka sudah berhasil
Irene berdiri di depan pintu berwarna cokelat. Tepat di depannya adalah ruang kerja Juna. Memang cucu dari pemilik yayasan ini diperlakukan spesial. Pasalnya hanya dirinya—dosen yang mendapatkan ruang kerja sendiri. Sudah seperti kepala departemen saja.Gadis itu mengangkat tangan kanannya yang mengepal, hendak mengetuk pintu kerja Juna. Irene mendadak terdiam, dia memejamkan mata dan menarik napas dalam. Mencoba menenangkan hatinya, sebelum dia bertemu dengan sang dosen menyebalkan.Setelah ia mengetuk tiga kali, Irene pun meraih handle pintu. Ia segera membuka pintu cokelat tersebut.“Selamat siang, Pak. Ada apa memanggil saya?” tanya Irene.Gadis itu berusaha untuk tenang. Padahal hatinya berkecamuk, karena dia sudah enggan berurusan dengan pria ini.“Masuk!” perintah Juna, tanpa melihat ke arah Irene sedikit pun.Terlihat laki-laki itu sedang sibuk dengan laptopnya. Entah apa yang sedang ia kerjakan, Irene t
Juna baru saja memarkirkan mobil SUV hitamnya di parkiran sebuah hotel. Kemudian dia keluar dari mobil tersebut yang diikuti oleh seorang perempuan berambut panjang bergelombang. Dia adalah Rachel, teman Juna—ia juga adalah cucu dari sahabat sang kakek. Tidak, mereka ke sana bukan untuk menginap bersama di hotel tersebut. Mereka berdua hanya akan makan malam bersama. Sebenarnya Juna enggan untuk makan malam bersama dengan seorang wanita. Namun, sang ibu meminta demi menghormati sang kakek. “Silakan pesanannya sudah keluar semua. Selamat menikmati,” ucap seorang pramusaji. Kini di depan Juna dan Rachel sudah terhidang dua jenis makanan dan minuman. Mereka pun langsung menyantap makanannya masing-masing. Sesekali Rachel mengajak Juna mengobrol tentang pekerjaannya atau hal lainnya. Jika perlu dia akan bertanya balik pada Rachel, tapi jika tidak dia hanya akan menjawab seadanya. “Kamu nggak ada niat untuk menikah lagi, Jun?” Tiba-tiba saja Rachel melontarkan pertanyaan yang membuat
“Hai, Juna. Kamu masih ingat aku, kan?”Seorang wanita cantik mengenakan kemeja hijau botol menyapa Juna. Dia tidak sendiri, tapi didampingi oleh seorang laki-laki yang tingginya hampir sepantar dengan Juna.Melihat sosok perempuan itu, sontak mata Juna membulat. Bahkan dia sampai membuka mulutnya sedikit. Jujur, Juna benar-benar seperti patung sekarang. Napasnya pun tertahan dan dia tidak mengedip untuk beberapa detik.“Apa kabar?” sapa wanita tadi.Juna menelan ludah dengan susah payah. Jantungnya kini berdegup sedikit lebih cepat. Kenapa momennya pas sekali? Apakah memang Tuhan sudah merenacakan ini?“A-amara.”Akhirnya Juna memanggil nama wanita itu. Kemudian wanita itu pun tersenyum saat Juna masih mengingatnya.“Bagaimana kabarmu?” tanya Amara lagi.“Ba-baik.”Sial! Kenapa Juna jadi gagap seperti ini? Tidak. Juna tidak boleh memperlihatkan bahwa dirinya le
“Ngapain kamu di sana?” tanya seorang laki-laki dengan suara bassnya. Tentu Irene tersentak dan seketika menghentikan langkah. “Reno? Sumpah aku kaget,” katanya, sambil mengelus dada. “Maaf, soalnya kamu lama banget di toilet. Makanya aku samperin, takut kamu kenapa-kenapa,” timpal Reno. Lagi-lagi Irene tersenyum tipis, dia merasa malu karena diperhatikan. “Oh, tadi agak ngantre. Maaf, ya, udah nunggu lama,” alibi gadis itu. Padahal Irene lama di sana karena menguping pembicaraan dua perempuan—yang sepertinya memiliki hubungan dengan musuhnya. Reno memasukkan tangannya pada saku celana. “Ya sudah kalau gitu, kita balik ke meja, yuk. Kebetulan makanannya sudah datang sebagian,” ajaknya. Irene pun membalas dengan sebuah anggukan kecil. Selama makan malam, Reno bercerita tentang dirinya. Ternyata laki-laki yang terlihat baik dan tidak menampakan kesedihan itu, memiliki ceritanya sendiri. Dia berasal dari keluarga yang tak harmonis. Saat masih remeja labil, Reno sempat terpikirkan u