Share

7. KEPUTUSAN

Penulis: mayuunice
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-03 12:17:41

“Kamu serius, kan?” tanya Aldi yang mencoba memastikan dengan keputusan sahabatnya.

Mereka kini bahkan bertemu di sebuah cafe dekat kampus Irene. Pria itu begitu terkejut begitu Irene menghubunginya.

“Iya. Lagi-lagi aku kepepet masalah uang. Uangnya harus ada besok,” jawab Irene.

“Banget?”

Irene mengangguk. “Banget. Makanya aku udah hopeless banget, Di. Tapi itu serius, Jun nggak papa? Maksudnya aku minta bayar di muka.”

“Katanya gapapa. Dia bakal bayar lebih dari yang kamu minta.”

“Ah, nggak usah lebih gitu. Nanti malah aku semakin terbebani.” Irene mendesah.

“Ya … mungkin itu tujuan dia, Ren.”

Aldi terpaksa memberikan tawaran pekerjaan kotor ini pada sahabatnya. Setelah bertemu dengan Stefan—yang sebenarnya adalah Juna—Aldi merasa terlena. Pasalnya, Stefan mau untuk menjadi investor di projek terbarunya. Kebetulan projek ini pun untuk menunjang skripsinya.

Jujur, Aldi hanya manusia biasa yang mampu tergoda oleh uang. Niat awalnya ingin melindungi Irene dan menjauhkan sahabatnya dari maksiat. Malahan yang dia lakukan sekarang itu sangat kontradiksi.

“Sorry, Ren. Harusnya aku nggak nawarin ini sama kamu—”

“Udah nggak usah say sorry. Toh aku pun emang lagi kepepet, Di. Kalau bukan ke kamu, ke siapa lagi? Tapi please rahasiakan ini dari siapa pun, termasuk Gita dan Zee.”

Setelah merenungi nasibnya, Irene benar-benar dibuat frustrasi dengan uang sebanyak 15 juta rupiah. Dan, lagi-lagi orang yang bisa membuat dirinya terlepas dari jerat kemiskinan adalah Aldi. Ah, tidak, bukan sahabatnya, tetapi Juna.

Aldi mengangguk. “Yeah, I know.

Tak ingin berlama-lama, Aldi pun mengeluarkan fasilitas yang akan ia berikan untuk Irene.

“Ini pakai. Di dalemnya udah aku masukin simcard, dan di handphone itu cuman ada nomor aku dan Jun. Dia minta kamu menghubunginya malam ini. Sekalian aja obrolin tentang uang yang kamu maksud.”

Laki-laki itu memberikan ponsel berwarna putih pada Irene. Sang gadis nampak tak asing dengan benda pipih tersebut. Ia langsung mengambil dan menyalakannya.

“Ren, tapi ini aku mau nanya serius,” ucap Aldi dengan nada yang sedikit pelan dari sebelumnya.

“Hmm?” Irene hanya membalas dengan dehaman. Mata dan jarinya masih fokus dengan si ponsel.

“Kenapa Jun ngebet banget sama kamu, sih? Sampe berani bayar mahal. Apa kamu menyimpan rahasia tentangnya? Atau gimana? Jujurly, aku tuh masih nggak habis pikir aja. Sampe sahabatnya dateng nemui aku, cuman buat nge-loby kamu.”

Irene melirik pada Aldi, lalu ia menggeleng. “Aku juga sama, nggak habis pikir. Kalau dipikir-pikir, buat apa coba ngeluarin duit gede hanya untuk ….” Irene menengok ke kanan dan ke kiri. Kemudian dia mencondongkan tubuhnya, mendekat kepada Aldi. “… phone sex,” imbuhnya.

“Kenapa dia nggak sewa aja langsung gitu. Coba, deh, dari sudut pandang cowok. Kamu lebih milih mana? Live action atau sekedar komunikasi di telepon?” tanya Irene.

“Ya, live action, lah!” jawab Aldi cepat.

“Nah, kan? Kalau masalah rahasia, aku nggak tahu apa-apa tentang dia.”

“Selama setahun kenal, kamu literally cuman chat dan phone sex?”

Jujur, Aldi tidak pernah sekepo ini pada talent-nya. Cuman, yang ini agak janggal saja.

“Mmm … nggak juga, sih. Awal-awal, sih, ngobrol ringan. Pernah sharing tentang cewek, sih. Intinya dia emang deket sama cewek, tapi nggak ada yang dia seriusin.”

“Alasannya?”

“Bilangnya, nggak mau bikin komitmen. Dia males, karena ada beberapa perempuan yang memang mengincar harta dia, atau sekedar mencari validitas karena bisa memiliki hubungan spesial dengan Jun. Nggak ada yang pure mencintai dia, sampai bisa nerima kekurangan dia,” papar Irene.

Aldi hanya bisa mengangguk mendengar penjelasan dari Irene. Dari kacamata lelaki, memang paling malas bertemu dengan perempuan yang hanya melihat laki-laki dari harta atau tampang.

“Btw, kamu nggak pernah penasaran seganteng dan setajir apa si Jun ini?” tanya Aldi lagi.

“Pernah, sih … tapi, aku lebih baik denial aja. Aku juga nggak mau peduli dengan kehidupan real life dia. Pun sebaliknya. Ya, kita pure cuman curhat dan ingin didenger doang. Walau ujung-ujungnya main kotor juga. Toh, kita pun sama-sama menyembunyikan identitas sebenarnya. Dia tahunya aku Bella, bukan Irene. ”

“Ya sudah kalau gitu. Main aman aja, ya. Seperti biasa, jangan mau buat diajak VC atau ketemuan. Bagaimana pun tawaran duitnya, jangan mau. Dan, kalau dia macem-macem, langsung kontak aku. Kamu emang bukan talent aku secara resmi. Tapi, kamu masih jadi tanggung jawabku,” tegas Aldi, dia tidak mungkin lepas tangan begitu saja.

Ibu jari kanan milik Irene pun teracung. “Siap, Bos Aldi!”

“Nah.” Aldi menepuk kedua tangannya. “Kalau gitu, aku akhiri sampai di sini. Udah siang dan aku harus ketemu sama Pak Davin, untuk bahas skripsi aku,” tandas Aldi, lalu dia bangkit dari kursi.

“Thanks, ya, Di.”

My pleasure,” tandasnya. Lalu Aldi pergi meninggalkan Irene sendiran.

Gadis itu tak langsung beranjak. Dia melihat pada jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Masih ada dua puluh menit untuknya bersantai. Dia pun menghabiskan makanan yang tadi dipesannya, sambil sesekali mengecek akun sosial media miliknya.

Sampai setelah kurang lebih sepuluh menit Irene duduk sendirian di café tersebut. Ponsel yang sedang dipeganginya itu pun berdering.

“Halo, Bu Mia. Ada apa?” tanya Irene bingung.

BERSAMBUNG …

Bab terkait

  • Layanan Telepon Panas untuk Dosen Impoten   8. TRAGEDI

    “Di mana? Ini ada mahasiswa mau bikin surat untuk penelitian. Katanya minta sore ini selesai,” jawab Mia.“Buset, sore ini? Dadakan banget, aku masih harus beresin surat yang lain, Bu,” keluh Irene.Mia mendesah. “Udah saya bilangin, tapi mereka maksa. Ya udah cepet balik. Jam makan siang juga udah mau selesai,” pungkas Mia yang langsung mematikan panggilan teleponnya.Irene menghela napas kasar. Dia melirik pada arloji yang melingkar di tangan kirinya. Padahal Irene masih memiliki waktu sepuluh menit lagi untuk istirahat dan menghabiskan capuccino latte miliknya.Namun, apa boleh buat, Irene pun akhirnya bangkit sembari membawa kopinya yang belum habis. Sambil meminum kopi, Irene melangkah dengan terburu-buru. Dia harus segera sampai ke kampus yang jaraknya sekitar lima ratus meter dari cafe tersebut.Brak!Saking terburu-buru, Irene pun tersandung kursi yang tidak dirapikan oleh pelanggan sebelumnya. Seketika Irene tersungkur ke arah kursi yang ada di depannya. Kopi yang sedang dipe

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-03
  • Layanan Telepon Panas untuk Dosen Impoten   9. SERVICE

    “Halo, Jun?”Suara itu nampak tak asing di telinga Juna. Laki-laki itu pun menarik sudut bibirnya sebelah.“Ya, Bella?” timpal Juna.Benar, pemilik suara indah tersebut adalah Bella. Mendengar dua kata yang baru terucap saja, membuat hati Juna berbunga. Dia sudah sangat mengenal dengan baik suara partner-nya itu“Apa kabar?” tanya gadis yang tentu saja bernama asli Irene.“Baik. Jadi, kamu mau bekerja untukku?”Juna duduk di kursi kerjanya, lalu dia menyandarkan punggungnya.“Ya … begitulah,” timpal Irene irit, nampaknya dia merasa tidak enak.“Baguslah. Aku pasti akan memberikan apa pun yang kamu inginkan. Asal kamu selalu siap dalam melayaniku.”Perkataan Juna itu bukan sebuah kalimat gombalan. Dia pasti akan memberikan apa pun yang diinginkan oleh partner-nya itu.“Mmm … aku cuman ingin uang lima belas juta besok. Bisa, kan?” tanyanya dengan sedikit ragu.Juna mendengus sambil menarik kedua sudut bibirnya. “Tentu. Aku akan kirimkan uangnya pada Aldi. Asalkan kamu bisa melayani aku

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-04
  • Layanan Telepon Panas untuk Dosen Impoten   10. JATUH TEMPO

    “Irene, kamu ada di dalam?” Suara laki-laki terdengar dari balik pintu.Mendengar namanya dipanggil, pupil Irene membulat. Buru-buru Irene mematikan ponsel yang menjadi alat komunikasi dirinya dengan Juna. Lalu ia simpan di laci mejanya.“Irene? Ini aku, Reno,” panggil laki-laki itu lagi.Deg!“Oh, i-iya, Ren. Sebentar,” sahut Irene yang berusaha merapikan penampilannya.Setelah dirasa rapi, gadis itu pun membuka pintu kamar kosnya.“Ya, Ren. Ada apa?” tanya Irene dengan tenang.Padahal dalam hatinya, dia sedikit tidak bisa santai. Mendapati laki-laki yang ia sukai ada di depan matanya, itu membuat hati Irene meletup seperti popcorn.“Oh, ini.” Reno memberikan sebuah keresek berwarna putih. Di dalamnya terdapat sebuah box kecil.Irene menerima dengan penuh rasa penasaran. “Ini apa?” tanyanya.“Tadi aku habis antar Alfi ke toko kue. Dia beli kue untuk pacarnya yang ulang tahun. Terus, aku lihat redvelvet, dan langsung inget kamu. Ya sudah, aku bawain,” jawabnya, sembari menampilkan sen

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-04
  • Layanan Telepon Panas untuk Dosen Impoten   11. PENGUNTIT

    Irene masih berusaha mengintip pada celah kecil. Pandangannya yang terbatas, membuat dirinya tidak mengetahui dengan pasti siapa dua perempuan yang masuk ke ruangan Juna. Terlihat ada satu orang perempuan yang sedang sibuk dengan bingkai lukisan yang mengarah tepat ke meja kerja Juna.“Cepetan,” bisik seorang perempuan yang tak begitu nampak oleh Irene.“Sebentar, dikit lagi, cuy,” timpal perempuan lain yang sedang sibuk dengan sebuah barang di tangannya.Irene menyipitkan mata, ketika perempuan dengan berbalut kemeja bercorak bunga sedang menempelkan sesuatu pada bingkai lukisan. Dia menyipitkan mata dan masih mengintip pada celah kecil.“Loh, bukannya itu?” gumamnya kecil.Dug.“Aww,” ringis Irene nyaris tak terdengar.Saking terkejutnya, Irene tersentak dan mengakibatkan kepalanya membentur meja kerja Juna.“Apaan, tuh?” kaget perempuan berbalut kemeja bunga-bunga.“Udah, cepet buruan!” ajak perempuan lain, “nanti keburu Pak Juna datang,” imbuhnya.Karena misi mereka sudah berhasil

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-09
  • Layanan Telepon Panas untuk Dosen Impoten   12. DITOLAK

    Irene berdiri di depan pintu berwarna cokelat. Tepat di depannya adalah ruang kerja Juna. Memang cucu dari pemilik yayasan ini diperlakukan spesial. Pasalnya hanya dirinya—dosen yang mendapatkan ruang kerja sendiri. Sudah seperti kepala departemen saja.Gadis itu mengangkat tangan kanannya yang mengepal, hendak mengetuk pintu kerja Juna. Irene mendadak terdiam, dia memejamkan mata dan menarik napas dalam. Mencoba menenangkan hatinya, sebelum dia bertemu dengan sang dosen menyebalkan.Setelah ia mengetuk tiga kali, Irene pun meraih handle pintu. Ia segera membuka pintu cokelat tersebut.“Selamat siang, Pak. Ada apa memanggil saya?” tanya Irene.Gadis itu berusaha untuk tenang. Padahal hatinya berkecamuk, karena dia sudah enggan berurusan dengan pria ini.“Masuk!” perintah Juna, tanpa melihat ke arah Irene sedikit pun.Terlihat laki-laki itu sedang sibuk dengan laptopnya. Entah apa yang sedang ia kerjakan, Irene t

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-10
  • Layanan Telepon Panas untuk Dosen Impoten   13. PENGAKUAN

    Juna baru saja memarkirkan mobil SUV hitamnya di parkiran sebuah hotel. Kemudian dia keluar dari mobil tersebut yang diikuti oleh seorang perempuan berambut panjang bergelombang. Dia adalah Rachel, teman Juna—ia juga adalah cucu dari sahabat sang kakek. Tidak, mereka ke sana bukan untuk menginap bersama di hotel tersebut. Mereka berdua hanya akan makan malam bersama. Sebenarnya Juna enggan untuk makan malam bersama dengan seorang wanita. Namun, sang ibu meminta demi menghormati sang kakek. “Silakan pesanannya sudah keluar semua. Selamat menikmati,” ucap seorang pramusaji. Kini di depan Juna dan Rachel sudah terhidang dua jenis makanan dan minuman. Mereka pun langsung menyantap makanannya masing-masing. Sesekali Rachel mengajak Juna mengobrol tentang pekerjaannya atau hal lainnya. Jika perlu dia akan bertanya balik pada Rachel, tapi jika tidak dia hanya akan menjawab seadanya. “Kamu nggak ada niat untuk menikah lagi, Jun?” Tiba-tiba saja Rachel melontarkan pertanyaan yang membuat

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-11
  • Layanan Telepon Panas untuk Dosen Impoten   14. PAMER

    “Hai, Juna. Kamu masih ingat aku, kan?”Seorang wanita cantik mengenakan kemeja hijau botol menyapa Juna. Dia tidak sendiri, tapi didampingi oleh seorang laki-laki yang tingginya hampir sepantar dengan Juna.Melihat sosok perempuan itu, sontak mata Juna membulat. Bahkan dia sampai membuka mulutnya sedikit. Jujur, Juna benar-benar seperti patung sekarang. Napasnya pun tertahan dan dia tidak mengedip untuk beberapa detik.“Apa kabar?” sapa wanita tadi.Juna menelan ludah dengan susah payah. Jantungnya kini berdegup sedikit lebih cepat. Kenapa momennya pas sekali? Apakah memang Tuhan sudah merenacakan ini?“A-amara.”Akhirnya Juna memanggil nama wanita itu. Kemudian wanita itu pun tersenyum saat Juna masih mengingatnya.“Bagaimana kabarmu?” tanya Amara lagi.“Ba-baik.”Sial! Kenapa Juna jadi gagap seperti ini? Tidak. Juna tidak boleh memperlihatkan bahwa dirinya le

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-12
  • Layanan Telepon Panas untuk Dosen Impoten   15. PANGGILAN TAK TERJAWAB

    “Ngapain kamu di sana?” tanya seorang laki-laki dengan suara bassnya. Tentu Irene tersentak dan seketika menghentikan langkah. “Reno? Sumpah aku kaget,” katanya, sambil mengelus dada. “Maaf, soalnya kamu lama banget di toilet. Makanya aku samperin, takut kamu kenapa-kenapa,” timpal Reno. Lagi-lagi Irene tersenyum tipis, dia merasa malu karena diperhatikan. “Oh, tadi agak ngantre. Maaf, ya, udah nunggu lama,” alibi gadis itu. Padahal Irene lama di sana karena menguping pembicaraan dua perempuan—yang sepertinya memiliki hubungan dengan musuhnya. Reno memasukkan tangannya pada saku celana. “Ya sudah kalau gitu, kita balik ke meja, yuk. Kebetulan makanannya sudah datang sebagian,” ajaknya. Irene pun membalas dengan sebuah anggukan kecil. Selama makan malam, Reno bercerita tentang dirinya. Ternyata laki-laki yang terlihat baik dan tidak menampakan kesedihan itu, memiliki ceritanya sendiri. Dia berasal dari keluarga yang tak harmonis. Saat masih remeja labil, Reno sempat terpikirkan u

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-13

Bab terbaru

  • Layanan Telepon Panas untuk Dosen Impoten   EKSTRA PART 5

    “Apa? Ada anak laki-laki yang menggoda anak perempuan Papa?” Tiba-tiba saja Juna datang dengan pakaian yang sudah lengkap. Dia langsung menghampiri anak dan istrinya. “Siapa dia, Nathan?” tanya Juna lagi. Nathan menoleh ke arah sang ayah, dia merasa memiliki teman sekarang. “Ada, Pa. Dia anak laki-laki di kelas sebelah. Nathan tidak suka Freya dekat dengan Farrel, karena laki-laki itu sering kali memberikan anak perempuan ikat rambut. Sudah jelas dia bukan laki-laki baik, kan, Pa?” ucap Nathan. “Wah, jelas. Dia bukan laki-laki yang baik. Dia dekat dengan semua perempuan. Bagus, Sayang, kamu harus melindungi adikmu.” Juna langsung mengelus puncak kepala Nathan. Sedangkan anak laki-lakinya itu tersenyum penuh kemenangan. Berbeda dengan Nathan yang merasa dibela oleh sang ayah. Freya terlihat matanya berkaca. “Papa kok membela Kak Nathan?” ucap Freya dengan suaranya yang bergetar, “padahal Papa bilang kalau kita harus menerima pemberian dan niat baik dari orang lain. Freya tahu kal

  • Layanan Telepon Panas untuk Dosen Impoten   EKSTRA PART 4

    “Pa, sebaiknya Papa di rumah saja. Nanti Jessica akan mengirim kabar secepatnya,” ucap Jessica pada ayah mertuanya.Kini mereka sedang di rumah sakit. Tidak, tidak ada yang sakit, hanya saja ada seseorang yang hendak melahirkan.“Tidak, Papa tidak bisa menunggu di rumah dengan tenang. Papa sudah sangat menantikan cicit dari Juna,” jawab Jodi yang sedang duduk di kursi roda dan di temani dengan asisten pribadinya.Kesehatan Jodi tidak seprima sebelumnya. Namun, begitu dia sangat mengayomi Irene. Bahkan hampir setiap minggu Jodi selalu mendatangi kediaman Jessica. Karena selama Irene hamil, perempuan itu tinggal dengan ibu mertuanya.Kehadiran anak Juna dan Irene sangat ditunggu-tunggu oleh semua orang, bukan hanya ibu bapaknya saja. Hampir seluruh keluarga besar Juna dan Irene menantikan kelahiran mereka. Bahkan tak sedikit dari mereka yang bertaruh, anaknya akan mirip seperti Juna atau Irene.“Suami Bu Irene apa sudah

  • Layanan Telepon Panas untuk Dosen Impoten   EKSTRA PART 3

    “Good evening, My Honey.”Irene masih diam bagaikan patung. Dia merasa sangat sangat terkejut dengan kedatangan Juna. Ya, benar Juna suaminya, kini ada di hadapan Irene.“Kaget, ya?” goda Juna.“Kamu kok ada di sini? Kapan berangkatnya?” tanya Irene dengan mulut sedikit menganga.“Kemarin kalau waktu Indonesia,” jawab Juna cepat, “aku nggak dipersilakan masuk?” tanyanya lagi.Irene mengerejap, dia benar-benar dibuat ternganga oleh kedatangan Juna yang sangat tiba-tiba.“Ah, iya. Ayok masuk, tapi kamar apartemenku kecil. Cuman tipe studio,” ucap Irene.Juna menggeleng. “Tidak apa. Asal bersamamu, tempat sekecil lemari pun aku merasa nyaman,” gombalnya.Irene mendengus, lalu sedikit mendelik. Karena tak banyak bahan makanan yang tersedia. Irene hanya memasak mie instan untuk suaminya.“Maaf aku cuman bisa kasih ini. Kalau kamu bilang, aku bisa prepare,” ucap Irene.“No problem, Honey. Kalau aku bilang, bukan surprise namanya.”Irene menghela napas, lalu memberikan semangkuk mie instan p

  • Layanan Telepon Panas untuk Dosen Impoten   EKSTRA PART 2

    Atmosfer di kamar itu terasa sangat panas. Bahkan peluh dua insan manusia itu sudah melebur menjadi satu. Suara napas mereka saling berderu satu sama lain. Tak ketinggalan suara desahan demi desahan terdengar jelas keluar dari mulut sang perempuan muda.“Tahan, ini akan terasa sakit di awal,” ucap Juna sambil menatap kedua mata cokelat milik istrinya.Setelah pemanasan di kamar mandi, mereka pun kembali ke kamar, sesuai dengan permintaan Irene. Pasalnya Irene merasa tidak nyaman dan tidak leluasa. Apalagi dengan nol pengalaman yang dimiliki Irene.“Jun, aku takut,” rintih Irene. Namun, begitu rintihan itu terdengar seperti seseorang yang sedang menikmati nikmatnya dunia.“Tenang, kamu percayakan saja padaku,” kata Juna meyakinkannya. Kemudian dia mengecup kening istrinya.Irene pun mengangguk, walau perasaan takut kini mulai bisa ia rasakan. Dia sedikit ngeri ketika membayangkan sesuatu masuk ke dalam tubuhnya. Apalagi milik Juna terlihat sangat besar dan juga gagah. Apa bisa miliknya

  • Layanan Telepon Panas untuk Dosen Impoten   EKSTRA PART 1

    “Silakan, Mas Juna kita sudah sampai,” ucap seorang sopir yang duduk di balik kemudi. Setelah acara pesta selesai, Juna dan Irene menuju sebuah hotel mewah di ibu kota. Mereka belum sempat menyusun acara bulan madu, karena besok Juna ada agenda penting yang tidak bisa ia tinggalkan. Ya, wajarlah, mereka menikah itu the power of dadakan. Ketika Irene sudah mengatakan bahwa dia akan kembali pada Juna. Hanya berselang satu minggu, Juna langsung mempersunting Irene. Bahkan untuk momen tunangan saja mereka melewati hal tersebut. Juna merasa sedikit khawatir, kalau saja Irene kembali berubah pikiran. Atau sebenarnya memang Juna sendiri sudah merasa tidak tahan dengan statusnya sebagai duda loyo? Tak hanya Juna yang memiliki agenda penting, Irene pun sama demikian. Dia harus kembali ke Inggris untuk sementara waktu. Menyelesaikan apa yang seharusnya dia selesaikan terlebih dahulu. “Selamat datang Pak Juna Atmadjadarma dan juga istri,” sambut seorang pria jangkung dan mempunyai tubuh gagah

  • Layanan Telepon Panas untuk Dosen Impoten   144. PELABUHAN TERAKHIR (END)

    Juna merasa gelisah, karena dirinya khawatir tidak sempat untuk bertemu dengan Irene. Dirinya langsung keluar dari mobil SUV hitam dan langsung berlari memasuki bandara. Beberapa kali Juna harus menyalip beberapa kerumunan, dan dia terus meminta maaf. “Please, Tuhan. Semoga sempat,” batin Juna, yang tak pernah memperlambat langkahnya. Sampai di suatu titik di mana Juna melihat gadis yang sedang dicarinya sedang berlari dari arah yang berlawanan. Entah apa yang sedang gadis itu lakukan, tapi Juna merasa bersyukur karena masih diberikan kesempatan untuk bertemu dengannya. Juna rela meninggalkan rapat penting demi menyusul Irene. Dia tidak ingin kehilangan gadis itu untuk kesekian kalinya. Juna tidak bisa membiarkan Irene pergi meninggalkannya sendiri. Walau Juna siap menunggu Irene sampai kapan pun, tapi jika masih bisa untuk menahannya maka akan Juna lakukan. Gadis itu semakin dekat dengannya. Juna bisa melihat kalau Irene pun ikut memandangnya. Sedetik kemudian, Juna melihat kalau

  • Layanan Telepon Panas untuk Dosen Impoten   143. WE MEET AGAIN

    Padang rumput yang sangat hijau kini menghiasi pandangan Irene. Bunga butercup terlihat menghiasi di atasnya. Kombinasi warna hijau dan hiasan berwarna kuning, begitu menyejukkan mata.Irene sedang berdiri di tengah-tengah padang rumput itu. Angin sepoi-sepoi sesekali menyibak rambutnya. Ia sesekali menyisir rambut hitamnya itu. Kemudian, tiba-tiba di ujung sana, Irene melihat sebuah objek yang membuat matanya menyipit untuk mengamati objek tersebut.“Mama? Papa?” gumam Irene kecil.Objek itu semakin jelas. Irene bisa melihat sosok kedua orang tuanya sedang memandang Irene dari kejauhan. Terlihat mereka tersenyum lebar, sembari tangannya terulur.“Mama! Papa!” teriak Irene, saat dirinya sudah yakin bahwa yang dilihatnya adalah sosok kedua orang tuanya.Dalam hitungan detik, Irene pun berlari mendekati kedua orang tuanya. Tanpa berpikir panjang, dia langsung memeluk mereka berdua.“Ma, Pa, aku kangen,” lirih Irene. Air matanya pun tumpah ruah seketika.“Kamu sudah besar, ya, Sayang,” b

  • Layanan Telepon Panas untuk Dosen Impoten   142. TEH HANGAT

    Irene sedikit terkejut dengan apa yang baru saja terjadi padanya. Saat dirinya sedang berjalan mundur, tanpa sengaja dia menabrak nenek yang sudah tua dan renta, yang sedang membawa kayu bakar di punggungnya. Seketika kayu yang dibawa sang nenek berjatuhan. Dengan cepat Irene langsung berjongkok dan membantu sang nenek merapikan ranting dan juga kayu tersebut. “Nek, sekali lagi maafkan saya. Saya tidak sengaja,” ucap Irene dengan perasaan sangat bersalah. “Ndak papa, Nduk,” balas sang nenek yang sudah renta tersebut sambil menatap Irene dan tersenyum. “Biar saya yang bawa saja, Nek. Nenek tinggal di mana? Biar saya antarkan.” Merasa sangat bersalah, Irene pun berinsiatif menawarkan bantuan. “Tidak usah. Tidak apa-apa, rumah Nenek masih jauh,” balas sang Nenek. Irene mendesah, “Apalagi rumah Nenek jauh. Biar saya yang batu, ya, Nek. Nenek jangan menolak,” paksa Irene. Saking tidak mau ditolak bantuanya, Irene langsung menggendong kayu tersebut di punggungnya. Dia sedikit merin

  • Layanan Telepon Panas untuk Dosen Impoten   141. PERMOHONAN SEORANG IBU

    Entah sejak kapan Jessica ada di tempat itu. Namun, sekarang wanita yang sudah terlihat tua itu duduk di hadapan Irene. Mau tidak mau, Irene harus meluangkan waktu untuk sekedar mengobrol dengannya.“Apa kabar?” tanya Jessica membuka pembicaraan.“Baik, Tante,” jawab Irene sambil tersenyum canggung.Jessica pun balas melemparkan senyumannya. “Kamu tambah cantik saja. Gimana kerjaan di sana?” Wanita itu masih berbasa-basi.“Terima kasih banyak, Tante. Lumayan nyaman. Tante dan Om Justin bagaimana kabarnya?” tanya Irene.“Kabar kami baik, Ren.”“Tante, kenapa harus repot-repot datang ke mari?” tanya Irene dengan raut wajah yang sedikit kurang nyaman.Bukan, Irene bukan merasa kurang nyaman dengan Jessica. Melainkan, dia merasa sedikit tidak nyaman karena tiba-tiba saja Jessica ada di sini. Kota yang bisa dibilang lumayan jauh dari tempat tinggalnya.“Tante dapat kabar dari Irgie, kalau kamu pulang ke Indonesia. Jadi, Tante menyempatkan hadir. Tadinya Om Justin juga ingin datang, tapi ka

DMCA.com Protection Status