Irene berdiri di depan pintu berwarna cokelat. Tepat di depannya adalah ruang kerja Juna. Memang cucu dari pemilik yayasan ini diperlakukan spesial. Pasalnya hanya dirinya—dosen yang mendapatkan ruang kerja sendiri. Sudah seperti kepala departemen saja.Gadis itu mengangkat tangan kanannya yang mengepal, hendak mengetuk pintu kerja Juna. Irene mendadak terdiam, dia memejamkan mata dan menarik napas dalam. Mencoba menenangkan hatinya, sebelum dia bertemu dengan sang dosen menyebalkan.Setelah ia mengetuk tiga kali, Irene pun meraih handle pintu. Ia segera membuka pintu cokelat tersebut.“Selamat siang, Pak. Ada apa memanggil saya?” tanya Irene.Gadis itu berusaha untuk tenang. Padahal hatinya berkecamuk, karena dia sudah enggan berurusan dengan pria ini.“Masuk!” perintah Juna, tanpa melihat ke arah Irene sedikit pun.Terlihat laki-laki itu sedang sibuk dengan laptopnya. Entah apa yang sedang ia kerjakan, Irene t
Juna baru saja memarkirkan mobil SUV hitamnya di parkiran sebuah hotel. Kemudian dia keluar dari mobil tersebut yang diikuti oleh seorang perempuan berambut panjang bergelombang. Dia adalah Rachel, teman Juna—ia juga adalah cucu dari sahabat sang kakek. Tidak, mereka ke sana bukan untuk menginap bersama di hotel tersebut. Mereka berdua hanya akan makan malam bersama. Sebenarnya Juna enggan untuk makan malam bersama dengan seorang wanita. Namun, sang ibu meminta demi menghormati sang kakek. “Silakan pesanannya sudah keluar semua. Selamat menikmati,” ucap seorang pramusaji. Kini di depan Juna dan Rachel sudah terhidang dua jenis makanan dan minuman. Mereka pun langsung menyantap makanannya masing-masing. Sesekali Rachel mengajak Juna mengobrol tentang pekerjaannya atau hal lainnya. Jika perlu dia akan bertanya balik pada Rachel, tapi jika tidak dia hanya akan menjawab seadanya. “Kamu nggak ada niat untuk menikah lagi, Jun?” Tiba-tiba saja Rachel melontarkan pertanyaan yang membuat
“Hai, Juna. Kamu masih ingat aku, kan?”Seorang wanita cantik mengenakan kemeja hijau botol menyapa Juna. Dia tidak sendiri, tapi didampingi oleh seorang laki-laki yang tingginya hampir sepantar dengan Juna.Melihat sosok perempuan itu, sontak mata Juna membulat. Bahkan dia sampai membuka mulutnya sedikit. Jujur, Juna benar-benar seperti patung sekarang. Napasnya pun tertahan dan dia tidak mengedip untuk beberapa detik.“Apa kabar?” sapa wanita tadi.Juna menelan ludah dengan susah payah. Jantungnya kini berdegup sedikit lebih cepat. Kenapa momennya pas sekali? Apakah memang Tuhan sudah merenacakan ini?“A-amara.”Akhirnya Juna memanggil nama wanita itu. Kemudian wanita itu pun tersenyum saat Juna masih mengingatnya.“Bagaimana kabarmu?” tanya Amara lagi.“Ba-baik.”Sial! Kenapa Juna jadi gagap seperti ini? Tidak. Juna tidak boleh memperlihatkan bahwa dirinya le
“Ngapain kamu di sana?” tanya seorang laki-laki dengan suara bassnya. Tentu Irene tersentak dan seketika menghentikan langkah. “Reno? Sumpah aku kaget,” katanya, sambil mengelus dada. “Maaf, soalnya kamu lama banget di toilet. Makanya aku samperin, takut kamu kenapa-kenapa,” timpal Reno. Lagi-lagi Irene tersenyum tipis, dia merasa malu karena diperhatikan. “Oh, tadi agak ngantre. Maaf, ya, udah nunggu lama,” alibi gadis itu. Padahal Irene lama di sana karena menguping pembicaraan dua perempuan—yang sepertinya memiliki hubungan dengan musuhnya. Reno memasukkan tangannya pada saku celana. “Ya sudah kalau gitu, kita balik ke meja, yuk. Kebetulan makanannya sudah datang sebagian,” ajaknya. Irene pun membalas dengan sebuah anggukan kecil. Selama makan malam, Reno bercerita tentang dirinya. Ternyata laki-laki yang terlihat baik dan tidak menampakan kesedihan itu, memiliki ceritanya sendiri. Dia berasal dari keluarga yang tak harmonis. Saat masih remeja labil, Reno sempat terpikirkan u
Irene baru saja keluar dari kamar mandi. Rambut panjangnya itu sedang ia keringkan menggunakan handuk. Ia berjalan menuju meja rias, lalu duduk di atas bantal duduk. Ia memandang pantulan dirinya di depan cermin.Seketika Irene tersenyum, tersipu malu. Bagaimana tidak, tiba-tiba saja dia teringat momen semalam bersama Reno. Kepalanya ini dielus lembut oleh lelaki itu, sebelum akhirnya mereka berpisah di depan kosan Irene.Namun, tiba-tiba pikirannya itu dibuyarkan saat dirinya mendapati ponselnya berdering. Irene sedekit terperanjat dan kembali tersadar dari lamunannya. Ia meraih ponselnya yang diletakan di meja belajar. Lalu melihat nama yang pagi-pagi meneleponnya.“Aldi?” gumam Irene. Dia pun langsung menggeser layar ponselnya ke kanan. “Halo. Ada apa, Di?” tanyanya.“Ren, kamu semalam ke mana?” tanya Aldi dengan nada yang terdengar meninggi. Sampai-sampai Irene harus menjahkan sedikit ponsel dari daun telinganya.“Duh, Di, bisa selow dikit, nggak? Masih pagi, nih,” keluh Irene.“N
Juna sedang tidak ada di kampus. Pasalnya malam itu—saat dirinya galau karena Amara dan Irene yang tidak bisa dihubungi. Erlina meneleponnya dan meminta bantuan pada Juna. Dia diminta untuk dinas luar, menemani seorang dosen ke luar kota.Selama di Mojokerto tiga hari, Juna menemani Irsyad survei ke tempat bersejarah. Dia tahu, kalau departemennya ini sedang melakukan penelitian sejarah di kota tersebut.Sebenarnya Juna tidak termasuk ke dalam tim peneliti. Hanya saja Sena—salah satu dosen muda yang memang masuk dalam tim sedang sakit. Maka dari itu Erlina meminta bantuan Juna untuk menemani Irsyad, yang sudah tergolong sepuh.“Pak Juna, kalau kamu mau jalan-jalan dulu boleh. Di sini saya bisa sendiri,” kata Irsyad.Juna menggeleng sembari tersenyum. “Tidak, Pak. Bagi saya ini juga sudah jalan-jalan. Salah satu alasan, kenapa saya memilih ilmu sejarah sebagai background pendidikan saya. Karena saya senang sekali jalan-jalan.&
“Maaf, ya, Ren. Aku nggak bisa nemenin kamu hari ini,” ucap Irene pada Reno dipanggilan telepon.“Oh, ya sudah, kalau ada pekerjaan mendadak mau gimana lagi. Mungkin next time kita bisa jalan-jalan bareng lagi,” timpal Reno dengan nada sedikit kecewa.Ah, Irene tidak enak pada Reno. Padahal kemarin malam dia sudah mengatakan akan menemani laki-laki itu. Namun, karena Juna menelepon, Irene harus membatalkan janji dengan Reno.Memang dia baru membatalkannya hari ini. Karena biar ada alasan kalau dia ada pekerjaan dadakan.“Oke, deh. Sekali lagi maaf, ya. Next time biar aku yang traktir makan,” pungkas Irene.Setelah itu Irene mematikan panggilannya. Ia langsung memasukkan ponsel ke dalam saku. Langkahnya pun membawa Irene pulang ke kosannya. Karena waktu sudah menunjukkan pukul lima sore.Sesampainya di kosan, Irene pun membersihkan diri dan langsung sibuk untuk persiapan nanti malam. Ya, sesuai dengan permi
“Rachel!” Juna mencoba menghindar dari perempuan yang sedang mencoba untuk menggodanya.“Please, Jun … bantu aku untuk melepas penat,” rayu wanita itu. Dengan sengaja ia membuka kancing kemejanya setengah.Kini Juna bisa melihat dua bukit kembar yang masih terbungkus rapi. Laki-laki itu menggeleng, dan mendorong Rachel.“Chel, sebaiknya kamu segera istirahat. Untuk masalah bersama dengan ibumu, nanti aku bantu sedikit.”Rachel menggeleng, wajahnya sudah memerah karena mabuk. Matanya pun sayu, seolah mengatakan bukan itu yang diinginkan olehnya saat ini.“Jun, temani aku malam ini. Aku hanya ingin disentuh dan dipuaskan. Bukannya kamu paling jago tentang hal ini?”Gadis bersurai panjang bergelombang itu semakin mendekat ke arah Juna. Terus menggoda dengan cara memberikan sentuhan nakal. Sialnya, Juna terpojokkan sekarang.“Ra—”Hump!Baru saja Juna ingin membentak wanita yang ada di depannya. Mulutnya tiba-tiba dikunci oleh Rachel. Wanita itu mencium Juna lembut, tapi beberapa detik ke