Irene baru saja keluar dari kamar mandi. Rambut panjangnya itu sedang ia keringkan menggunakan handuk. Ia berjalan menuju meja rias, lalu duduk di atas bantal duduk. Ia memandang pantulan dirinya di depan cermin.Seketika Irene tersenyum, tersipu malu. Bagaimana tidak, tiba-tiba saja dia teringat momen semalam bersama Reno. Kepalanya ini dielus lembut oleh lelaki itu, sebelum akhirnya mereka berpisah di depan kosan Irene.Namun, tiba-tiba pikirannya itu dibuyarkan saat dirinya mendapati ponselnya berdering. Irene sedekit terperanjat dan kembali tersadar dari lamunannya. Ia meraih ponselnya yang diletakan di meja belajar. Lalu melihat nama yang pagi-pagi meneleponnya.“Aldi?” gumam Irene. Dia pun langsung menggeser layar ponselnya ke kanan. “Halo. Ada apa, Di?” tanyanya.“Ren, kamu semalam ke mana?” tanya Aldi dengan nada yang terdengar meninggi. Sampai-sampai Irene harus menjahkan sedikit ponsel dari daun telinganya.“Duh, Di, bisa selow dikit, nggak? Masih pagi, nih,” keluh Irene.“N
Juna sedang tidak ada di kampus. Pasalnya malam itu—saat dirinya galau karena Amara dan Irene yang tidak bisa dihubungi. Erlina meneleponnya dan meminta bantuan pada Juna. Dia diminta untuk dinas luar, menemani seorang dosen ke luar kota.Selama di Mojokerto tiga hari, Juna menemani Irsyad survei ke tempat bersejarah. Dia tahu, kalau departemennya ini sedang melakukan penelitian sejarah di kota tersebut.Sebenarnya Juna tidak termasuk ke dalam tim peneliti. Hanya saja Sena—salah satu dosen muda yang memang masuk dalam tim sedang sakit. Maka dari itu Erlina meminta bantuan Juna untuk menemani Irsyad, yang sudah tergolong sepuh.“Pak Juna, kalau kamu mau jalan-jalan dulu boleh. Di sini saya bisa sendiri,” kata Irsyad.Juna menggeleng sembari tersenyum. “Tidak, Pak. Bagi saya ini juga sudah jalan-jalan. Salah satu alasan, kenapa saya memilih ilmu sejarah sebagai background pendidikan saya. Karena saya senang sekali jalan-jalan.&
“Maaf, ya, Ren. Aku nggak bisa nemenin kamu hari ini,” ucap Irene pada Reno dipanggilan telepon.“Oh, ya sudah, kalau ada pekerjaan mendadak mau gimana lagi. Mungkin next time kita bisa jalan-jalan bareng lagi,” timpal Reno dengan nada sedikit kecewa.Ah, Irene tidak enak pada Reno. Padahal kemarin malam dia sudah mengatakan akan menemani laki-laki itu. Namun, karena Juna menelepon, Irene harus membatalkan janji dengan Reno.Memang dia baru membatalkannya hari ini. Karena biar ada alasan kalau dia ada pekerjaan dadakan.“Oke, deh. Sekali lagi maaf, ya. Next time biar aku yang traktir makan,” pungkas Irene.Setelah itu Irene mematikan panggilannya. Ia langsung memasukkan ponsel ke dalam saku. Langkahnya pun membawa Irene pulang ke kosannya. Karena waktu sudah menunjukkan pukul lima sore.Sesampainya di kosan, Irene pun membersihkan diri dan langsung sibuk untuk persiapan nanti malam. Ya, sesuai dengan permi
“Rachel!” Juna mencoba menghindar dari perempuan yang sedang mencoba untuk menggodanya.“Please, Jun … bantu aku untuk melepas penat,” rayu wanita itu. Dengan sengaja ia membuka kancing kemejanya setengah.Kini Juna bisa melihat dua bukit kembar yang masih terbungkus rapi. Laki-laki itu menggeleng, dan mendorong Rachel.“Chel, sebaiknya kamu segera istirahat. Untuk masalah bersama dengan ibumu, nanti aku bantu sedikit.”Rachel menggeleng, wajahnya sudah memerah karena mabuk. Matanya pun sayu, seolah mengatakan bukan itu yang diinginkan olehnya saat ini.“Jun, temani aku malam ini. Aku hanya ingin disentuh dan dipuaskan. Bukannya kamu paling jago tentang hal ini?”Gadis bersurai panjang bergelombang itu semakin mendekat ke arah Juna. Terus menggoda dengan cara memberikan sentuhan nakal. Sialnya, Juna terpojokkan sekarang.“Ra—”Hump!Baru saja Juna ingin membentak wanita yang ada di depannya. Mulutnya tiba-tiba dikunci oleh Rachel. Wanita itu mencium Juna lembut, tapi beberapa detik ke
Irene pun mengikuti apa yang dikatakan Juna. Perlahan dia merebahkan kembali tubuhnya ke atas kasur. Ia melirik ke arah jam dinding. Terlihat sekarang sudah pukul setengah satu malam.“Kamu pakai baju apa, Sayang?” tanya Juna dengan suara yang lembut.“Hah?” Irene melirik pakaian yang sedang ia pakai. “Kaos warna putih,” jawabnya.“Ah, pantas saja. Aku bisa melihat dua bukit kembar milikmu yang sekal itu.” Kalimat yang diucapkan Juna terdengar sangat nakal di telinga Irene. Namun, dia hanya bisa diam.“Dan … ternyata kamu tidur tidak pakai bra, ya?” goda kliennya dari ujung telepon sana.Mata Irene membulat. “Kenapa dia tahu aku tidak pakai pelindung?” batinnya. Saking paniknya, Irene sampai memegang salah satu aset miliknya.“Bel, kamu lagi pegang, kan?” tebak Juna lagi.What the … kenapa Juna bisa tahu apa yang sedang Irene lakukan? Men
Juna melangkahkan kakinya memasukkan gedung fakultas. Dia memang sedikit terlambat masuk ke kampus. Alasannya? Tentu saja, karena dia menghabiskan malam bersama dengan partner-nya di dalam telepon.Semalam Juna merasa dirinya bisa tidur dengan sangat nyenyak. Seolah rasa lelahnya itu hilang dalam satu malam. Padahal selama ini dia selalu tidak bisa tidur dengan tenang. Dirinya merasa sangat senang dan puas, setelah mendapatkan pelayanan dari partner-nya.Sensasi saat Juna memimpin permainan, dengan Irene yang memimpin permainan, tentu sangat berbeda. Rasanya Juna bisa lepas membayangkan apa yang sebenarnya ingin ia lakukan. Selain itu, dia juga bisa merasakan perbedaan dari partner-nya. Entah kenapa, rasanya Irene lebih lepas kemarin. Hal itu membuat fantasi Juna semakin liar dan rasa percaya dirinya meningkat. Sepertinya dipermainan selanjutnya, dia akan kembali memimpin permainan.“Selamat pagi, Pak,” sapa seorang mahasiswi yang baru saja berpapasa
“Halo?” sapa Irene saat dirinya baru saja mengangkat panggilan tersebut.“Ren, siang kosong, nggak? Aku ada kelas, nih. Terus ngidam mie ayam fakultas. Makan bareng, yuk!”Suara ceria terdengar dari ujung sana. Irene tentu mengenali gadis dengan pemilik suara seperti ini. Siapa lagi kalau bukan sahabatnya, Zee.“Boleh. Udah lama juga kita nggak ketemu,” balas Irene. Sepertinya ide makan siang bersama Zee adalah pilihan yang baik.“Oke, deh. Nanti kita bikin salty si Gita. See you jam dua belas, ya. Banyak banget yang pengin aku gibahin. Bye!” pungkas Zee. Kemudian nada panggilan ditutup pun terdengar.Masih seperti biasa, Zee adalah perempuan yang sangat ekspresif. Irene hanya tersenyum, ia sudah tidak sabar ingin bertemu dengan sahabatnya. Zee dan Gita tentu memiliki kepribadian yang berbeda. Sahabatnya yang satu ini, dia sering sekali bercerita dan tidak pernah jaim pada sahabatnya.Jam sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Irene dan Mia menutup lapak pekerjaan mereka untuk makan
Dilema.Kira-kira satu kata itu yang bisa menjelaskan bagaimana perasaan Irene sekarang. Di satu sisi, dia ingin menceritakan pengalaman yang baru saja ia rasakan untuk pertama kalinya.Perasaan penasaran dan sensasi tak karuhan. Bahkan yang membuat Irene bingung—tapi merasa puas, adalah ketika intinya itu berdenyut. Malam itu, ia benar-benar merasa dipuaskan oleh seorang laki-laki untuk pertama kalinya.Bahkan saat terbangun di pagi hari, Irene terkejut melihat dirinya sendiri. Pasalnya dia terbangun dengan tidak menggunakan celana. Dan, otaknya langsung me-review kejadian semalam. Yang ternyata dia memainkan tubuhnya sendiri.“Irene?” Zee melambaikan tangan kanannya, tepat di depan wajah Irene. Sedetik kemudian, Irene pun tersadar dari lamunannya. “Kenapa? Kok bengong?” tanya Zee yang bingung melihat sahabatnya bagaikan patung. Bahkan mie ayam milik Irene pun sama sekali belum di sentuh.“Oh? Nggak papa,”