Juna melangkahkan kakinya memasukkan gedung fakultas. Dia memang sedikit terlambat masuk ke kampus. Alasannya? Tentu saja, karena dia menghabiskan malam bersama dengan partner-nya di dalam telepon.
Semalam Juna merasa dirinya bisa tidur dengan sangat nyenyak. Seolah rasa lelahnya itu hilang dalam satu malam. Padahal selama ini dia selalu tidak bisa tidur dengan tenang. Dirinya merasa sangat senang dan puas, setelah mendapatkan pelayanan dari partner-nya.
Sensasi saat Juna memimpin permainan, dengan Irene yang memimpin permainan, tentu sangat berbeda. Rasanya Juna bisa lepas membayangkan apa yang sebenarnya ingin ia lakukan. Selain itu, dia juga bisa merasakan perbedaan dari partner-nya. Entah kenapa, rasanya Irene lebih lepas kemarin. Hal itu membuat fantasi Juna semakin liar dan rasa percaya dirinya meningkat. Sepertinya dipermainan selanjutnya, dia akan kembali memimpin permainan.
“Selamat pagi, Pak,” sapa seorang mahasiswi yang baru saja berpapasa
“Halo?” sapa Irene saat dirinya baru saja mengangkat panggilan tersebut.“Ren, siang kosong, nggak? Aku ada kelas, nih. Terus ngidam mie ayam fakultas. Makan bareng, yuk!”Suara ceria terdengar dari ujung sana. Irene tentu mengenali gadis dengan pemilik suara seperti ini. Siapa lagi kalau bukan sahabatnya, Zee.“Boleh. Udah lama juga kita nggak ketemu,” balas Irene. Sepertinya ide makan siang bersama Zee adalah pilihan yang baik.“Oke, deh. Nanti kita bikin salty si Gita. See you jam dua belas, ya. Banyak banget yang pengin aku gibahin. Bye!” pungkas Zee. Kemudian nada panggilan ditutup pun terdengar.Masih seperti biasa, Zee adalah perempuan yang sangat ekspresif. Irene hanya tersenyum, ia sudah tidak sabar ingin bertemu dengan sahabatnya. Zee dan Gita tentu memiliki kepribadian yang berbeda. Sahabatnya yang satu ini, dia sering sekali bercerita dan tidak pernah jaim pada sahabatnya.Jam sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Irene dan Mia menutup lapak pekerjaan mereka untuk makan
Dilema.Kira-kira satu kata itu yang bisa menjelaskan bagaimana perasaan Irene sekarang. Di satu sisi, dia ingin menceritakan pengalaman yang baru saja ia rasakan untuk pertama kalinya.Perasaan penasaran dan sensasi tak karuhan. Bahkan yang membuat Irene bingung—tapi merasa puas, adalah ketika intinya itu berdenyut. Malam itu, ia benar-benar merasa dipuaskan oleh seorang laki-laki untuk pertama kalinya.Bahkan saat terbangun di pagi hari, Irene terkejut melihat dirinya sendiri. Pasalnya dia terbangun dengan tidak menggunakan celana. Dan, otaknya langsung me-review kejadian semalam. Yang ternyata dia memainkan tubuhnya sendiri.“Irene?” Zee melambaikan tangan kanannya, tepat di depan wajah Irene. Sedetik kemudian, Irene pun tersadar dari lamunannya. “Kenapa? Kok bengong?” tanya Zee yang bingung melihat sahabatnya bagaikan patung. Bahkan mie ayam milik Irene pun sama sekali belum di sentuh.“Oh? Nggak papa,”
“Diam! Saya punya urusan sama kamu!” sentak seorang laki-laki yang menatap Irene dengan tatapan tajam.“P-pak J-juna?” Irene merasa terkejut saat mengetahui, bahwa orang yang menariknya secara paksa adalah musuh bebuyutannya di sini.Sedari tadi siang, Juna mencari keberadaan Irene. Namun, gadis itu tak terlihat di ruang kerjanya. Jadi, saat dia melihat Irene hendak pulang, Juna pun langsung menariknya ke tempat yang bisa dibilang sepi. Ada hal penting yang harus dibicarakannya sekarang juga.“Ada apa, sih, Pak?” tanya Irene. Dia mencoba menegakkan kepalanya.“Ada apa?” dengus Juna. “Kamu nggak merasa punya salah gitu sama saya?” Pria itu kini berkacak pinggang, sambil menatap Irene dengan tatapan kesal.Irene terdiam sejenal. Dia mencoba mengingat apa saja kesalahannya pada Juna. Ah … kalau diingat-ingat seperti ini, ternyata banyak juga kesalahan Irene pada sang dosen. Tapi, bukan
Juna merasa ada sesuatu yang aneh dengan tubuhnya. Dirinya masih diam, tak beranjak sedikit pun. Padahal Irene sudah meninggalkan sejak lima menit yang lalu.“Nggak mungkin,” gumamnya. Dia melirikkan mata ke bawah, tepat ke titik yang menjadi permasalahan hidupnya.Sebuah tragedi yang sama sekali tidak pernah dipikirkan oleh Juna terjadi. Dua bibir baru saja bertemu, walau hanya beberapa detik saja. Tragedi yang tak disengaja itu, malah memberikan kesan tersendiri untuk Juna. Dirinya seperti tersengat listrik yang seolah membangkitkan sisi lain dari diri Juna, yang selama ini tertidur pulas.Namun, Juna mencoba menampik semua dugaan yang saat ini sedang ada dalam benaknya. Karena saat terkahir dia mendapat sentuhan liar dari Rachel, dirinya tak merasakan apa pun.“Huh. Benar.” Juna langsung berdiri tegak. “Masa cuman kecupan doang, dia berdiri? Nggak mungkin banget!” tampiknya.Tidak ingin memikirkan hal ini terl
Ada urusan apa lagi? Sampai-sampai Juna harus mengirim pesan pada Irene. Padahal Irene sudah mencoba mengikhlaskan apa yang terjadi kemarin. Berharap dia tidak memiliki urusan apa pun dengan Juna lagi.Manusia memang hanya bisa berharap. Pada akhirnya semua tergantung takdir yang sudah dituliskan sang pencipta. Kalau sudah begini mau bagaimana lagi? Menghindar bukan sebuah solusi.Sesuai instruksi yang Juna kirim melalui pesan. Irene pun datang menuju ruangannya di lantai 3, tepat pukul 12 siang. Jadwal makan siangnya tentu saja sedikit terganggu.Tok. Tok. Tok “Permisi.”Irene baru saja tiba di depan ruang kerja Juna, yang sangat eksklusif itu.“Masuk.”Dari dalam terdengar Juna mempersilakannya masuk. Seolah tahu kalau yang baru saja mengetuk pintu itu Irene. Segera Irene mendorong daun pintu dan langsung memasuki ruangan. Ia langsung menutup kembali pintu tersebut dan berbalik badan.
Tidak. Saat ini bukan saatnya bagi Juna untuk diam saja. Tujuannya meminta Irene ke ruangannya, bukan hanya sekedar berbincang masalah itu. Namun, ada hal yang lebih mendesak yang ingin dia pastikan. Hanya saja, sedari tadi dia sedang menunggu momen yang tepat. Saat Irene memutuskan untuk pergi. Juna rasa-rasanya agak gelisah. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Dia sudah ingin memastikan perasaan yang tak biasa, yang ia rasakan ketika bersama dengan Irene. “… Lain kali nanti saya yang traktir Bapak, sekaligus saya juga ingin meminta maaf dengan pantas,” ucap Irene yang sedang berpamitan pada Juna. Gadis itu pun beranjak, hendak pergi meninggalkan ruang kerjanya. Juna yang sedang memperhatikan punggung Irene. Langsung berdiri dari sofa yang sedang ia duduki. Perasaan aneh itu harus Juna pastikan sekarang juga. Karena Juna tak ingin berlarut-larut dalam kebimbangan yang tak pasti. Kalau memang dengan ini, sisi lain dalam diri Juna bisa kembali bangkit. Apakah ada kesempatan bagi Juna
Irene baru saja keluar dari kamar mandi, setelah satu jam dia di sana. Ia segera duduk di depan cermin, hendak mengeringkan rambutnya yang basah. Jangan ditanya bagaimana wajahnya sekarang. Sudah jelas, bengkak, karena sedari tadi menangis. Sedetik kemudian, matanya itu tiba-tiba fokus menatap bibirnya.“Ayolah, Irene. Sudah jangan dipikirin lagi. Itu cuman bikin kamu sakit hati,” ucapnya pada pantulan diri yang ada di hadapannya.Saat di kamar mandi dan menenangkan diri di sana, Irene menenggelamkan tubuhnya di bak mandi. Ia sudah bertekad, untuk melupakan kejadian barusan. Walau pasti tidak semudah membalikan telapak tangan.Sebisa mungkin, Irene juga akan menghindari Juna di kampus. Jika sampai dia melihat ujung rambut Juna, Irene akan langsung pergi. Rasanya tak sudi melihat wajah seorang pencuri yang tidak sopan dan tidak tahu diri.“Pendidikan aja tinggi, tapi minus akhlak juga. Dasar setan!” umpat Irene, ketika bayangan wajah Juna melintah di benaknya.Hairdryer yang baru saja
“Irene, apa kamu belum percaya dan merasa ragu sama aku?”Oh, sial. Kenapa Reno menatapnya seperti itu? Irene mendadak tak enak hati. Dia telah mengecewakan perhatian Reno padanya.“Bukan begitu, Ren. Hanya saja ….” Irene mencoba mencari alasan, yang membuat Reno tak menanyakan lagi. “Sebenarnya ini rahasia di tempat kerjaku. Aku nggak bisa memberitahu sembarang orang. Cuman … aku agak kesal sama salah satu dosen di sana.” Ucapan Irene tak sepenuhnya salah dan benar.“Karena?” tanya Reno lagi.“Mmm … biasalah, kadang ada orang yang berbuat seenaknya di tempat kerja. Apalagi aku itu staff termuda. Dan, akunya juga agak baper, tersinggungan, hehe,” jawab Irene sambil tersenyum pahit.“Terus kamu diem aja?” Benar saja, Reno terus menanyai Irene. Tapi entah kenapa Irene malah senang diperhatikan seperti ini. “Harusnya lawan, Ren. Kalau kamu diem aja, nant