Ada urusan apa lagi? Sampai-sampai Juna harus mengirim pesan pada Irene. Padahal Irene sudah mencoba mengikhlaskan apa yang terjadi kemarin. Berharap dia tidak memiliki urusan apa pun dengan Juna lagi.
Manusia memang hanya bisa berharap. Pada akhirnya semua tergantung takdir yang sudah dituliskan sang pencipta. Kalau sudah begini mau bagaimana lagi? Menghindar bukan sebuah solusi.
Sesuai instruksi yang Juna kirim melalui pesan. Irene pun datang menuju ruangannya di lantai 3, tepat pukul 12 siang. Jadwal makan siangnya tentu saja sedikit terganggu.
Tok. Tok. Tok
“Permisi.”
Irene baru saja tiba di depan ruang kerja Juna, yang sangat eksklusif itu.
“Masuk.”
Dari dalam terdengar Juna mempersilakannya masuk. Seolah tahu kalau yang baru saja mengetuk pintu itu Irene. Segera Irene mendorong daun pintu dan langsung memasuki ruangan. Ia langsung menutup kembali pintu tersebut dan berbalik badan.
Tidak. Saat ini bukan saatnya bagi Juna untuk diam saja. Tujuannya meminta Irene ke ruangannya, bukan hanya sekedar berbincang masalah itu. Namun, ada hal yang lebih mendesak yang ingin dia pastikan. Hanya saja, sedari tadi dia sedang menunggu momen yang tepat. Saat Irene memutuskan untuk pergi. Juna rasa-rasanya agak gelisah. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Dia sudah ingin memastikan perasaan yang tak biasa, yang ia rasakan ketika bersama dengan Irene. “… Lain kali nanti saya yang traktir Bapak, sekaligus saya juga ingin meminta maaf dengan pantas,” ucap Irene yang sedang berpamitan pada Juna. Gadis itu pun beranjak, hendak pergi meninggalkan ruang kerjanya. Juna yang sedang memperhatikan punggung Irene. Langsung berdiri dari sofa yang sedang ia duduki. Perasaan aneh itu harus Juna pastikan sekarang juga. Karena Juna tak ingin berlarut-larut dalam kebimbangan yang tak pasti. Kalau memang dengan ini, sisi lain dalam diri Juna bisa kembali bangkit. Apakah ada kesempatan bagi Juna
Irene baru saja keluar dari kamar mandi, setelah satu jam dia di sana. Ia segera duduk di depan cermin, hendak mengeringkan rambutnya yang basah. Jangan ditanya bagaimana wajahnya sekarang. Sudah jelas, bengkak, karena sedari tadi menangis. Sedetik kemudian, matanya itu tiba-tiba fokus menatap bibirnya.“Ayolah, Irene. Sudah jangan dipikirin lagi. Itu cuman bikin kamu sakit hati,” ucapnya pada pantulan diri yang ada di hadapannya.Saat di kamar mandi dan menenangkan diri di sana, Irene menenggelamkan tubuhnya di bak mandi. Ia sudah bertekad, untuk melupakan kejadian barusan. Walau pasti tidak semudah membalikan telapak tangan.Sebisa mungkin, Irene juga akan menghindari Juna di kampus. Jika sampai dia melihat ujung rambut Juna, Irene akan langsung pergi. Rasanya tak sudi melihat wajah seorang pencuri yang tidak sopan dan tidak tahu diri.“Pendidikan aja tinggi, tapi minus akhlak juga. Dasar setan!” umpat Irene, ketika bayangan wajah Juna melintah di benaknya.Hairdryer yang baru saja
“Irene, apa kamu belum percaya dan merasa ragu sama aku?”Oh, sial. Kenapa Reno menatapnya seperti itu? Irene mendadak tak enak hati. Dia telah mengecewakan perhatian Reno padanya.“Bukan begitu, Ren. Hanya saja ….” Irene mencoba mencari alasan, yang membuat Reno tak menanyakan lagi. “Sebenarnya ini rahasia di tempat kerjaku. Aku nggak bisa memberitahu sembarang orang. Cuman … aku agak kesal sama salah satu dosen di sana.” Ucapan Irene tak sepenuhnya salah dan benar.“Karena?” tanya Reno lagi.“Mmm … biasalah, kadang ada orang yang berbuat seenaknya di tempat kerja. Apalagi aku itu staff termuda. Dan, akunya juga agak baper, tersinggungan, hehe,” jawab Irene sambil tersenyum pahit.“Terus kamu diem aja?” Benar saja, Reno terus menanyai Irene. Tapi entah kenapa Irene malah senang diperhatikan seperti ini. “Harusnya lawan, Ren. Kalau kamu diem aja, nant
“Ren, ini Pak Irsyad sama Bu Leli minta tolong buat input soal UTS-nya.” Mia memberikan sebuah flashdask berwarna hitam pada Irene.Minggu depan adalah jadwal pelaksanaan ujian tengah semester. Sudah sejak Irene berkuliah semester lima, pelaksanaan ujian di kampusnya selalu dilaksanakan secara daring. Namun, begitu, para mahasiswa tetap mengerjakan soalnya di dalam kelas dan diawasi oleh dosen pengampu.“Oh, boleh, Bu. Nanti selesai ini aku input soalnya ke web,” ucap Irene pada teman kerjanya itu. Ia pun segera mengamankan flashdisk-nya.“Oh ya, ini sekalian. Tolong masukin dokumentasi kegiatan pembelajaran Pak Juna, untuk pelaporan,” tambah perempuan tersebut. Kini dia memberikan flashdisk berwarna gold. Mia memang sedang sibuk dengan pekerjaan lain, sehingga dia tidak bisa meng-handle pekerjaan tambahan tersebut.Mendadak hati Irene panas, tatkala mendengar nama orang itu disebut. Ekspresi wajahnya yang tadi te
“Irene, tunggu sebentar!” seru seseorang.Karena namanya dipanggil, sontak Irene menoleh kebelakang. Dan, betapa terkejutnya Irene, ketika melihat siapa yang baru saja memanggilnya. Dengan terburu-buru, dia memutuskan untuk pergi, tak ingin menghiraukan panggilan dari orang tadi.Selama ini Irene berhasil menghindar, ketika dia melihat pria itu. Ya, siapa lagi kalau bukan Juna. Biasanya Irene selalu bisa me-notice, jika pria itu ada di dekatnya. Sialnya, hari ini Irene lengah dan tidak memperhatikan sekitar.Gadis itu pun terus menuruni anak tangga. Berusaha menjauh dan menghindar dari Juna. Namun, ternyata Juna malah mengejarnya. Entah apa niat pria itu, Irene tak peduli. Dia tidak ingin berhubungan lagi dengan sang pencuri.“Aaakk!”Saat dia tinggal meniti tiga anak tangga lagi, sesuatu terjadi pada Irene. Dia terkilir dan berakhir dengan terjatuh di lantai dasar. Posisinya kini telungkup, dengan wajah yang menempel pada lantai keramik berwarna putih tulang.“Irene!” seru Juna denga
“Sudah sembuh? Kenapa bisa jatuh, sih, Ren?” tanya Mia menyambut Irene yang baru saja kembali bekerja setelah beristirahat tiga hari.Irene memutar pergelangan kaki kirinya, “Mendingan, Bu. Biasa lagi jalan buru-buru, gara-gara dikejar setan,” jawabnya.“Hah? Setan? Bercandamu itu, ya, Ren.” Wajah Mia terlihat tidak nyaman.“Beneran, Bu. Aku dikejar setan dari lantai dua. Karena takut, ya, aku lari. Terus jatuh, deh,” terangnya dengan wajah yang serius.Mia tiba-tiba memeluk tubuhnya sendiri. Matanya melirik ke kanan dan kiri. Ia pun langsung menggeserkan kursinya mendekat pada Irene.“Serius?” bisiknya dengan wajah yang ketakutan. “Ren, jangan bikin saya jadi parnoan, dong. Pantes, kemarin saya ngerasa nggak enak pas ditinggal kamu.” Dia menunjukkan lengannya, yang ternyata bulu halusnya itu berdiri.“Pfft….” Irene tertawa melihat reaksi dari perempua
Irene membenamkan wajah di meja kerjanya. Malu, itulah yang sedang Irene rasakan. Di ruang rapat tadi, dia hilang kendali karena merasa risih dengan Juna yang tidak bisa diam. Alhasil, dia mendapatkan teguran dari Erlina dan tatapan sinis dari beberapa dosen.Bagaimana tidak? Irene berani-beraninya membentak dosen yang statusnya saja bisa dibilang di atas Erlina—walau tidak resmi. Semua dosen—khususnya di departemen sejarah, menghormati Juna. Walau dia tegolong dosen muda di sana, tapi tak ada yang berani menyentuhnya.“Bodoh! Mulutmu ini nggak bisa ditahan apa, Ren?” batin Irene. Dia membenturkan pelan kepalanya pada meja. “Ah, tapi aku nggak seratus persen salah. Ini semua gara-gara si setan, yang kerjaannya suka ngeganggu!” umpatnya dalam hati.Ah, ini tidak bisa dibiarkan terlalu lama. Semakin Irene menghindar dari Juna, rasanya laki-laki itu semakin mengganggunya. Irene pun bangkit dari meja kerja. Matanya langsung mengar
Selembar kertas Irene tunjukkan pada Juna. Dia memiliki beberapa syarat yang harus dipenuhi, jika pria itu ingin mendapatkan permintaan maaf darinya.Irene mendekat pada Juna, ia memberikan ketras tersebut. “Silakan baca dan tandatangani ini. Saya juga sudah bubuhkan meterai,” ucapnya.Meraih kertas yang Irene berikan, lalu Juna membaca tulisan yang ada dalam perjanjian tersebut. Lalu mata hitamnya itu membulat. “Apaan ini? Gimana aku bisa sembuh kalau menyentuh dia aja nggak boleh?” batin Juna. Ia pun langsung menatap Irene.“Kenapa?” tanya Irene, dia menyilangkan kedua tangannya di depan dada.Walau kemarin dia baru saja dinasehati oleh Irsyad, tentang harus menjaga sikap dengan Juna. Namun, saat berduaan seperti ini, Irene tak ingin bersikap terlalu baik dan sopan. Bagaimana pun perasaannya tak bisa sepenuhnya memaafkan apa yang sudah dilakukan Juna padanya.“Apakah saya perlu menandatangani ini?” tanya Juna dengan suaranya yang berat. Dia mencoba untuk mengintimidasi Irene dengan