“Sudah sembuh? Kenapa bisa jatuh, sih, Ren?” tanya Mia menyambut Irene yang baru saja kembali bekerja setelah beristirahat tiga hari.Irene memutar pergelangan kaki kirinya, “Mendingan, Bu. Biasa lagi jalan buru-buru, gara-gara dikejar setan,” jawabnya.“Hah? Setan? Bercandamu itu, ya, Ren.” Wajah Mia terlihat tidak nyaman.“Beneran, Bu. Aku dikejar setan dari lantai dua. Karena takut, ya, aku lari. Terus jatuh, deh,” terangnya dengan wajah yang serius.Mia tiba-tiba memeluk tubuhnya sendiri. Matanya melirik ke kanan dan kiri. Ia pun langsung menggeserkan kursinya mendekat pada Irene.“Serius?” bisiknya dengan wajah yang ketakutan. “Ren, jangan bikin saya jadi parnoan, dong. Pantes, kemarin saya ngerasa nggak enak pas ditinggal kamu.” Dia menunjukkan lengannya, yang ternyata bulu halusnya itu berdiri.“Pfft….” Irene tertawa melihat reaksi dari perempua
Irene membenamkan wajah di meja kerjanya. Malu, itulah yang sedang Irene rasakan. Di ruang rapat tadi, dia hilang kendali karena merasa risih dengan Juna yang tidak bisa diam. Alhasil, dia mendapatkan teguran dari Erlina dan tatapan sinis dari beberapa dosen.Bagaimana tidak? Irene berani-beraninya membentak dosen yang statusnya saja bisa dibilang di atas Erlina—walau tidak resmi. Semua dosen—khususnya di departemen sejarah, menghormati Juna. Walau dia tegolong dosen muda di sana, tapi tak ada yang berani menyentuhnya.“Bodoh! Mulutmu ini nggak bisa ditahan apa, Ren?” batin Irene. Dia membenturkan pelan kepalanya pada meja. “Ah, tapi aku nggak seratus persen salah. Ini semua gara-gara si setan, yang kerjaannya suka ngeganggu!” umpatnya dalam hati.Ah, ini tidak bisa dibiarkan terlalu lama. Semakin Irene menghindar dari Juna, rasanya laki-laki itu semakin mengganggunya. Irene pun bangkit dari meja kerja. Matanya langsung mengar
Selembar kertas Irene tunjukkan pada Juna. Dia memiliki beberapa syarat yang harus dipenuhi, jika pria itu ingin mendapatkan permintaan maaf darinya.Irene mendekat pada Juna, ia memberikan ketras tersebut. “Silakan baca dan tandatangani ini. Saya juga sudah bubuhkan meterai,” ucapnya.Meraih kertas yang Irene berikan, lalu Juna membaca tulisan yang ada dalam perjanjian tersebut. Lalu mata hitamnya itu membulat. “Apaan ini? Gimana aku bisa sembuh kalau menyentuh dia aja nggak boleh?” batin Juna. Ia pun langsung menatap Irene.“Kenapa?” tanya Irene, dia menyilangkan kedua tangannya di depan dada.Walau kemarin dia baru saja dinasehati oleh Irsyad, tentang harus menjaga sikap dengan Juna. Namun, saat berduaan seperti ini, Irene tak ingin bersikap terlalu baik dan sopan. Bagaimana pun perasaannya tak bisa sepenuhnya memaafkan apa yang sudah dilakukan Juna padanya.“Apakah saya perlu menandatangani ini?” tanya Juna dengan suaranya yang berat. Dia mencoba untuk mengintimidasi Irene dengan
Sepanjang malam Juna tak bisa tidur dengan nyenak. Dia terus memikirkan perkataan dari nenek tua itu. Untuk menepis segala kegelisahan di hati, akhinya pagi ini Juna pun memutuskan untuk pergi ke tempat di mana ia menemui nenek tersebut. “Lo yakin, Jun?” ucap Stefan di dalam panggilan telepon.Juna saat ini sedang berjalan, menyusuri lereng gunung merapi. Terik matahari tak membuatnya putus asa, dia terus berusaha mencari sebuah gubuk yang saat itu Juna dan Stefan datangi.“Gimana kalau nenek itu udah nggak ada? Udah meninggal gitu?” kata Stefan lagi.Langkah kaki Juna berhenti, dia menghela napas. “Bukannya kemarin lo bilang untuk mempertimbangkan ucapan si nenek tua itu? Makanya gue ke sini, karena gue merasa harus cari tahu lebih dalam,” terangnya.“Ya, tapi kenapa ngedadak gini? Emang lo tahu informasi tentang nenek itu?” Terdengar sahabat Juna itu ikut merasa frutrasi.“Gue bakal cari tahu di sini. Udah, mending lo balik kerja aja, deh,” pungkas Juna, yang langsung mematikan pan
“Katanya kamu sakit, Irene?” Malam ini Reno mengunjungi Irene di kosannya. Setelah kurang lebih dua minggu mereka tidak bertemu.Dua manusia berbeda gendre ini sedang makan malam di kosan sang perempuan. Awalnya mereka hendak jalan-jalan dan makan malam di luar. Tapi ternyata langit malam sedang tak bersahabat dengan mereka. Baru saja Reno sampai di kosan dan hendak menjemput Irene, hujan pun turun. Alhasil mereka hanya memesan makanan dari layanan pesan online.Lawan bicaranya itu hanya menggangguk sambil menarik kedua sudut bibirnya. “Tapi udah sembuh, kok. Cuman terkilir,” jawabnya.“Kenapa kamu nggak kasih tahu aku?” “Mmm ….” Irene berdeham, dia nampak kikuk. Tangannya itu mengusap tengkuknya. Memangnya boleh Irene memberi tahu tentang kondisinya pada Reno?Reno menghela napas, ia melemaskan bahunya. “Jangan merasa sungkan. Aku akan sangat senang, kalau kamu memang memberi tahu kondisimu padaku,” ucapnya dengan penuh perhatian.Manik hitam milik Reno itu menatap hangat pada Irene
Tidak terasa, waktu berlalu dengan sangat cepat. Rasanya baru kemarin pekan UTS dilaksanakan, kali ini sudah akan memasuki pekan akhir semester saja. Irene sendiri sudah mendapatkan tugas tambahan dari dosen-dosen senior, yang memintanya untuk menginput soal-soal ujian nanti. Selain itu, dia pun disibukkan dengan data base dari para mahasiswa baru yang masuk melalui jalur vokasi.“Huh!” Irene mengembuskan napas kasar, “minggu ini pasti bakal padet banget,” ucapnya sembari menatap pantulan dirinya di depan cermin. “Semangat, Irene!”Gadis itu mencoba untuk menyemangati dirinya sendiri. Dia sudah bisa membayangkan bagaimana hectic-nya pekerjaan di minggu ini. Lamunannya tiba-tiba buyar, saat Irene disadarkan dengan suara dering telepon di pagi hari.Dengan cepat Irene mengambil ponselnya yang tadi baru saja dia isi daya. Benda pipih itu pun ia dekatkan ke daun telinga kanannya.“Halo, kenapa, Irgie?” sapa Iren
Irene kini berada di dalam sebuah mobil SUV berwarna hitam, yang tadi menawarkan tumpangan padanya.“Kenapa di belakang, sih?” tanya pria yang ada di balik kemudi dengan nada yang sedikit ketus.“Ini jarak terjauh. Nggak mungkin, kan saya bikin jarak satu meter? Udah cepet, deh, Pak. Saya harus absen, pasti Bapak juga harus segera absen, kan?” protes Irene.Memang agak kurang ajar Irene ini. Padahal dia sedang diberikan bantuan tumpangan. Bukannya duduk di depan, dia malah duduk di belakang. Benar-benar memperlakukan sang pemilik mobil sebagai supir.Sikap kurang akhlak Irene ini hanya ditujukan untuk satu orang. Siapa lagi kalau bukan Juna Atmadjadarma. Irene benar-benar tidak peduli dengan sikapnya, jika sedang berduaan saja dengan Juna. Lagi pula pria itu duluan yang tidak bisa menjaga sikapnya pada Irene.“Oke,” bisik Juna dengan sedikit penekanan. Ada rasa penyesalan dia mengajak Irene menumpangi mobilnya. N
Makan Ayam Seuhah bukan pertama kali untuk Irene. Dia sudah sering mengkonsumsi ayam itu dari semasa kuliah. Dan, sebagai penyuka makanan pedas, dirinya tidak pernah mendapatkan masalah saat memakan ayam tersebut. Sekali pun level kepedasannya maksimal.“Asli, ini pasti gara-gara si setan!” batin Irene yang baru saja meminum banyak air putih. Sepertinya dia sedang mengalami diare, karena sampai detik ini sudah total lima kali dia bolak-balik toilet.“Irene, pulang aja mukamu pucet banget,” saran Mia yang tidak tega melihat wajah Irene seperti mayat hidup.“Tapi kerjaan lagi banyak-banyaknya, Bu. Aku nggak mungkin ninggalin Ibu,” timpalnya dengan nada bicara parau.“Yang ini bisa diselesaikan lusa. Yang ini … besok bisa lah.” Mia sedang memilih-milih pekerjaan mereka, “aman, kok, Irene. Yang penting kamu sembuh dulu. Dari pada maksain dan berakhir pekerjaannya malah nggak bener.”Apa