Tidak terasa, waktu berlalu dengan sangat cepat. Rasanya baru kemarin pekan UTS dilaksanakan, kali ini sudah akan memasuki pekan akhir semester saja. Irene sendiri sudah mendapatkan tugas tambahan dari dosen-dosen senior, yang memintanya untuk menginput soal-soal ujian nanti. Selain itu, dia pun disibukkan dengan data base dari para mahasiswa baru yang masuk melalui jalur vokasi.“Huh!” Irene mengembuskan napas kasar, “minggu ini pasti bakal padet banget,” ucapnya sembari menatap pantulan dirinya di depan cermin. “Semangat, Irene!”Gadis itu mencoba untuk menyemangati dirinya sendiri. Dia sudah bisa membayangkan bagaimana hectic-nya pekerjaan di minggu ini. Lamunannya tiba-tiba buyar, saat Irene disadarkan dengan suara dering telepon di pagi hari.Dengan cepat Irene mengambil ponselnya yang tadi baru saja dia isi daya. Benda pipih itu pun ia dekatkan ke daun telinga kanannya.“Halo, kenapa, Irgie?” sapa Iren
Irene kini berada di dalam sebuah mobil SUV berwarna hitam, yang tadi menawarkan tumpangan padanya.“Kenapa di belakang, sih?” tanya pria yang ada di balik kemudi dengan nada yang sedikit ketus.“Ini jarak terjauh. Nggak mungkin, kan saya bikin jarak satu meter? Udah cepet, deh, Pak. Saya harus absen, pasti Bapak juga harus segera absen, kan?” protes Irene.Memang agak kurang ajar Irene ini. Padahal dia sedang diberikan bantuan tumpangan. Bukannya duduk di depan, dia malah duduk di belakang. Benar-benar memperlakukan sang pemilik mobil sebagai supir.Sikap kurang akhlak Irene ini hanya ditujukan untuk satu orang. Siapa lagi kalau bukan Juna Atmadjadarma. Irene benar-benar tidak peduli dengan sikapnya, jika sedang berduaan saja dengan Juna. Lagi pula pria itu duluan yang tidak bisa menjaga sikapnya pada Irene.“Oke,” bisik Juna dengan sedikit penekanan. Ada rasa penyesalan dia mengajak Irene menumpangi mobilnya. N
Makan Ayam Seuhah bukan pertama kali untuk Irene. Dia sudah sering mengkonsumsi ayam itu dari semasa kuliah. Dan, sebagai penyuka makanan pedas, dirinya tidak pernah mendapatkan masalah saat memakan ayam tersebut. Sekali pun level kepedasannya maksimal.“Asli, ini pasti gara-gara si setan!” batin Irene yang baru saja meminum banyak air putih. Sepertinya dia sedang mengalami diare, karena sampai detik ini sudah total lima kali dia bolak-balik toilet.“Irene, pulang aja mukamu pucet banget,” saran Mia yang tidak tega melihat wajah Irene seperti mayat hidup.“Tapi kerjaan lagi banyak-banyaknya, Bu. Aku nggak mungkin ninggalin Ibu,” timpalnya dengan nada bicara parau.“Yang ini bisa diselesaikan lusa. Yang ini … besok bisa lah.” Mia sedang memilih-milih pekerjaan mereka, “aman, kok, Irene. Yang penting kamu sembuh dulu. Dari pada maksain dan berakhir pekerjaannya malah nggak bener.”Apa
"Kenapa ngelamun terus?” tanya Reno, yang sedari tadi memperhatikan Irene. Tatapan gadis itu kosong, bahkan tangannya melakukan gerakan yang sama sejak tadi—menggulung spaghetti sampai semuanya sudah membalut garpu.“Hah?” Irene terkesiap, saat mendapat sentuhan dari Reno, “oh, ini …. Loh, spaghettiku sampe begini?” Dirinya terkejut dua kali.Reno hanya tersenyum kecil, melihat gadis yang ada di hadapannya kaget karena ulahnya sendiri. “Dari tadi kamu tuh bengong terus. Lagi mikirin apa, sih?” tanyanya.Malam ini, Irene dan Reno mengagendakan untuk bertemu. Reno mengajaknya makan di salah satu restoran bergaya Italia.“Nggak mau cerita, Irene?” Reno bertanya lagi, karena lawan bicaranya ini ta
“Halo, Jun. Ada apa?” Dugaan Irene, Juna akan menanyakan jadwalnya. Jadi, tadi dia sempat mengingat-ingat, kira-kira hari apa yang kosong dan bisa melakukan pelayanan. “Bella, apa kamu sibuk?” tanya Juna berbasa-basi. “Nggak. Lagi santai, kenapa? Mau nanya jadwal pelayanan?” tebak Irene to the point. “Bukan.” Juna menjawab dengan cepat. Sedangkan Irene merespon dengan mengerutkan keningnya, “seperti biasa aku cuman ingin sharing,” tambahnya. “Tumben sharing lagi,” sindir Irene. Semenjak Irene bekerja hanya untuk Juna, laki-laki ini malah jarang meminta pelayanan darinya. Terakhir mungkin … beberapa hari setelah Juna menanyakan bagaimana tips untuk mendekati perempuan. Setelah itu, rasanya tidak pernah lagi. “Kenapa? Kamu mau aku melakukan pelayanan?” tanya Juna dengan nada yang sedikit menggoda. “Hah? Nggak, kok. Sharing juga nggak masalah. Cuman, tumben aja gitu,” ucap Irene cepat. Kalau boleh Irene jujur, dia sebenarnya sering kali gugup jika Juna menelpon dan meminta pelaya
“Kamu niat nggak, sih?!” Terdengar teriakan dari dalam ruangan Juna. Irene yang berniat memasuki ruangan tersebut, seketika tersentak. “Kamu itu udah saya kasih peringatan dan kesempatan. Terakhir kali saya bilang apa sama kamu, hah?” bentak Juna pada seorang mahasiswi yang sedang berdiri berhadapan dengannya. Mahasiswi itu terlihat menundukkan kepalanya, “Maaf, Pak.”“Bukan kata maaf yang ingin saya dengar. Tapi saya ingin kamu mengatakan apa yang saya katakan minggu lalu sama kamu, Alika!” Juna memberang, wajahnya merah padam. Sorot matanya benar-benar mencekam. “Kalau saya telat mengumpulkan tugas untuk yang kedua kalinya. Saya tidak akan lulus di mata kuliah Bapak,” lirih Alika. “Jadi sudah jelas bukan? Apalagi ini tugas untuk melengkapi nilaimu yang kurang. Saya kurang baik apa, Alika? Sudah keluar saja, tahun depan kamu mengontrak mata kuliah ini lagi,” tegas Juna. “Tapi, Pak. Itu bukan kesalahan sa—”“—Saya tidak ingin mendengar apa pub pembelaan kamu. Sudah saya kasih kes
Irene berharap waktu cepat berlalu. Pertama, agar pekerjaan lemburnya selesai. Kedua, agar dia bisa segera bertemu dengan Reno. Karena nanti malam, mereka ada janji untuk makan malam bersama.Sekitar pukul setengah tujuh malam, Irene dan Mia baru saja selesai dengan pekerjaan mereka. Ya, mereka berdua sedang lembur. Kini mereka berdua sedang turun ke lantai dasar.“Irene, ikut juga, kan?” tanya Mia saat mereka baru saja tiba di selasar lobi fakultas.“Ikut? Ke mana?” Wajah Irene nampak bingung mendengar pertanyaan dari partner kerjanya itu.“Loh, kamu lagi-lagi nggak buka grup squad muda, ya? Pak Juna ngajak kita yang lembur buat makan malam bareng. Dia juga yang akan traktir,” jawab Mia.
“Saya nggak terlalu deket sama Aldi, Pak. Tapi kalau Irene deket banget sama dia.” Reno menjawab pertanyaan Farhan sambil melirik pada Irene.“Uhuk.” Sontak Irene tersedak minumannya sendiri. “Wah, Mbak Irene deket sama dia? Tolong sampaikan rasa terima kasih saya sama Aldi, ya. Saya jadi nggak kesepian lagi,” ucap Farhan. “Ah, i-iya, Pak,” jawab Irene sambil mengelap sisa muncratan minumannya tadi. Di satu sisi Juna malah memperhatikan Irene yang bertingkah aneh.“Tapi Pak Farhan nggak nemu yang aneh-aneh di aplikasi AproMatch, kan?” tanya Reno dengan tatapan matanya yang sedikit menyipit menatap Farhan. Sedangkan Farhan menautkan alisnya. “Aneh-aneh gimana?” tanyanya bingung. “Ya, kelihatannya aplikasi itu ramah sih, Pak, tapi tetep aja ada sisi gelapnya. Aldi itu pinter banget. Di awal aplikasi itu berkembang, pengguna perempuan itu sedikit dibandingkan pengguna laki-laki. Makanya dia membuat agensi yang talent-nya itu perempuan yang bisa menemani laki-laki kesepian itu. Awalny
“Apa? Ada anak laki-laki yang menggoda anak perempuan Papa?” Tiba-tiba saja Juna datang dengan pakaian yang sudah lengkap. Dia langsung menghampiri anak dan istrinya. “Siapa dia, Nathan?” tanya Juna lagi. Nathan menoleh ke arah sang ayah, dia merasa memiliki teman sekarang. “Ada, Pa. Dia anak laki-laki di kelas sebelah. Nathan tidak suka Freya dekat dengan Farrel, karena laki-laki itu sering kali memberikan anak perempuan ikat rambut. Sudah jelas dia bukan laki-laki baik, kan, Pa?” ucap Nathan. “Wah, jelas. Dia bukan laki-laki yang baik. Dia dekat dengan semua perempuan. Bagus, Sayang, kamu harus melindungi adikmu.” Juna langsung mengelus puncak kepala Nathan. Sedangkan anak laki-lakinya itu tersenyum penuh kemenangan. Berbeda dengan Nathan yang merasa dibela oleh sang ayah. Freya terlihat matanya berkaca. “Papa kok membela Kak Nathan?” ucap Freya dengan suaranya yang bergetar, “padahal Papa bilang kalau kita harus menerima pemberian dan niat baik dari orang lain. Freya tahu kal
“Pa, sebaiknya Papa di rumah saja. Nanti Jessica akan mengirim kabar secepatnya,” ucap Jessica pada ayah mertuanya.Kini mereka sedang di rumah sakit. Tidak, tidak ada yang sakit, hanya saja ada seseorang yang hendak melahirkan.“Tidak, Papa tidak bisa menunggu di rumah dengan tenang. Papa sudah sangat menantikan cicit dari Juna,” jawab Jodi yang sedang duduk di kursi roda dan di temani dengan asisten pribadinya.Kesehatan Jodi tidak seprima sebelumnya. Namun, begitu dia sangat mengayomi Irene. Bahkan hampir setiap minggu Jodi selalu mendatangi kediaman Jessica. Karena selama Irene hamil, perempuan itu tinggal dengan ibu mertuanya.Kehadiran anak Juna dan Irene sangat ditunggu-tunggu oleh semua orang, bukan hanya ibu bapaknya saja. Hampir seluruh keluarga besar Juna dan Irene menantikan kelahiran mereka. Bahkan tak sedikit dari mereka yang bertaruh, anaknya akan mirip seperti Juna atau Irene.“Suami Bu Irene apa sudah
“Good evening, My Honey.”Irene masih diam bagaikan patung. Dia merasa sangat sangat terkejut dengan kedatangan Juna. Ya, benar Juna suaminya, kini ada di hadapan Irene.“Kaget, ya?” goda Juna.“Kamu kok ada di sini? Kapan berangkatnya?” tanya Irene dengan mulut sedikit menganga.“Kemarin kalau waktu Indonesia,” jawab Juna cepat, “aku nggak dipersilakan masuk?” tanyanya lagi.Irene mengerejap, dia benar-benar dibuat ternganga oleh kedatangan Juna yang sangat tiba-tiba.“Ah, iya. Ayok masuk, tapi kamar apartemenku kecil. Cuman tipe studio,” ucap Irene.Juna menggeleng. “Tidak apa. Asal bersamamu, tempat sekecil lemari pun aku merasa nyaman,” gombalnya.Irene mendengus, lalu sedikit mendelik. Karena tak banyak bahan makanan yang tersedia. Irene hanya memasak mie instan untuk suaminya.“Maaf aku cuman bisa kasih ini. Kalau kamu bilang, aku bisa prepare,” ucap Irene.“No problem, Honey. Kalau aku bilang, bukan surprise namanya.”Irene menghela napas, lalu memberikan semangkuk mie instan p
Atmosfer di kamar itu terasa sangat panas. Bahkan peluh dua insan manusia itu sudah melebur menjadi satu. Suara napas mereka saling berderu satu sama lain. Tak ketinggalan suara desahan demi desahan terdengar jelas keluar dari mulut sang perempuan muda.“Tahan, ini akan terasa sakit di awal,” ucap Juna sambil menatap kedua mata cokelat milik istrinya.Setelah pemanasan di kamar mandi, mereka pun kembali ke kamar, sesuai dengan permintaan Irene. Pasalnya Irene merasa tidak nyaman dan tidak leluasa. Apalagi dengan nol pengalaman yang dimiliki Irene.“Jun, aku takut,” rintih Irene. Namun, begitu rintihan itu terdengar seperti seseorang yang sedang menikmati nikmatnya dunia.“Tenang, kamu percayakan saja padaku,” kata Juna meyakinkannya. Kemudian dia mengecup kening istrinya.Irene pun mengangguk, walau perasaan takut kini mulai bisa ia rasakan. Dia sedikit ngeri ketika membayangkan sesuatu masuk ke dalam tubuhnya. Apalagi milik Juna terlihat sangat besar dan juga gagah. Apa bisa miliknya
“Silakan, Mas Juna kita sudah sampai,” ucap seorang sopir yang duduk di balik kemudi. Setelah acara pesta selesai, Juna dan Irene menuju sebuah hotel mewah di ibu kota. Mereka belum sempat menyusun acara bulan madu, karena besok Juna ada agenda penting yang tidak bisa ia tinggalkan. Ya, wajarlah, mereka menikah itu the power of dadakan. Ketika Irene sudah mengatakan bahwa dia akan kembali pada Juna. Hanya berselang satu minggu, Juna langsung mempersunting Irene. Bahkan untuk momen tunangan saja mereka melewati hal tersebut. Juna merasa sedikit khawatir, kalau saja Irene kembali berubah pikiran. Atau sebenarnya memang Juna sendiri sudah merasa tidak tahan dengan statusnya sebagai duda loyo? Tak hanya Juna yang memiliki agenda penting, Irene pun sama demikian. Dia harus kembali ke Inggris untuk sementara waktu. Menyelesaikan apa yang seharusnya dia selesaikan terlebih dahulu. “Selamat datang Pak Juna Atmadjadarma dan juga istri,” sambut seorang pria jangkung dan mempunyai tubuh gagah
Juna merasa gelisah, karena dirinya khawatir tidak sempat untuk bertemu dengan Irene. Dirinya langsung keluar dari mobil SUV hitam dan langsung berlari memasuki bandara. Beberapa kali Juna harus menyalip beberapa kerumunan, dan dia terus meminta maaf. “Please, Tuhan. Semoga sempat,” batin Juna, yang tak pernah memperlambat langkahnya. Sampai di suatu titik di mana Juna melihat gadis yang sedang dicarinya sedang berlari dari arah yang berlawanan. Entah apa yang sedang gadis itu lakukan, tapi Juna merasa bersyukur karena masih diberikan kesempatan untuk bertemu dengannya. Juna rela meninggalkan rapat penting demi menyusul Irene. Dia tidak ingin kehilangan gadis itu untuk kesekian kalinya. Juna tidak bisa membiarkan Irene pergi meninggalkannya sendiri. Walau Juna siap menunggu Irene sampai kapan pun, tapi jika masih bisa untuk menahannya maka akan Juna lakukan. Gadis itu semakin dekat dengannya. Juna bisa melihat kalau Irene pun ikut memandangnya. Sedetik kemudian, Juna melihat kalau
Padang rumput yang sangat hijau kini menghiasi pandangan Irene. Bunga butercup terlihat menghiasi di atasnya. Kombinasi warna hijau dan hiasan berwarna kuning, begitu menyejukkan mata.Irene sedang berdiri di tengah-tengah padang rumput itu. Angin sepoi-sepoi sesekali menyibak rambutnya. Ia sesekali menyisir rambut hitamnya itu. Kemudian, tiba-tiba di ujung sana, Irene melihat sebuah objek yang membuat matanya menyipit untuk mengamati objek tersebut.“Mama? Papa?” gumam Irene kecil.Objek itu semakin jelas. Irene bisa melihat sosok kedua orang tuanya sedang memandang Irene dari kejauhan. Terlihat mereka tersenyum lebar, sembari tangannya terulur.“Mama! Papa!” teriak Irene, saat dirinya sudah yakin bahwa yang dilihatnya adalah sosok kedua orang tuanya.Dalam hitungan detik, Irene pun berlari mendekati kedua orang tuanya. Tanpa berpikir panjang, dia langsung memeluk mereka berdua.“Ma, Pa, aku kangen,” lirih Irene. Air matanya pun tumpah ruah seketika.“Kamu sudah besar, ya, Sayang,” b
Irene sedikit terkejut dengan apa yang baru saja terjadi padanya. Saat dirinya sedang berjalan mundur, tanpa sengaja dia menabrak nenek yang sudah tua dan renta, yang sedang membawa kayu bakar di punggungnya. Seketika kayu yang dibawa sang nenek berjatuhan. Dengan cepat Irene langsung berjongkok dan membantu sang nenek merapikan ranting dan juga kayu tersebut. “Nek, sekali lagi maafkan saya. Saya tidak sengaja,” ucap Irene dengan perasaan sangat bersalah. “Ndak papa, Nduk,” balas sang nenek yang sudah renta tersebut sambil menatap Irene dan tersenyum. “Biar saya yang bawa saja, Nek. Nenek tinggal di mana? Biar saya antarkan.” Merasa sangat bersalah, Irene pun berinsiatif menawarkan bantuan. “Tidak usah. Tidak apa-apa, rumah Nenek masih jauh,” balas sang Nenek. Irene mendesah, “Apalagi rumah Nenek jauh. Biar saya yang batu, ya, Nek. Nenek jangan menolak,” paksa Irene. Saking tidak mau ditolak bantuanya, Irene langsung menggendong kayu tersebut di punggungnya. Dia sedikit merin
Entah sejak kapan Jessica ada di tempat itu. Namun, sekarang wanita yang sudah terlihat tua itu duduk di hadapan Irene. Mau tidak mau, Irene harus meluangkan waktu untuk sekedar mengobrol dengannya.“Apa kabar?” tanya Jessica membuka pembicaraan.“Baik, Tante,” jawab Irene sambil tersenyum canggung.Jessica pun balas melemparkan senyumannya. “Kamu tambah cantik saja. Gimana kerjaan di sana?” Wanita itu masih berbasa-basi.“Terima kasih banyak, Tante. Lumayan nyaman. Tante dan Om Justin bagaimana kabarnya?” tanya Irene.“Kabar kami baik, Ren.”“Tante, kenapa harus repot-repot datang ke mari?” tanya Irene dengan raut wajah yang sedikit kurang nyaman.Bukan, Irene bukan merasa kurang nyaman dengan Jessica. Melainkan, dia merasa sedikit tidak nyaman karena tiba-tiba saja Jessica ada di sini. Kota yang bisa dibilang lumayan jauh dari tempat tinggalnya.“Tante dapat kabar dari Irgie, kalau kamu pulang ke Indonesia. Jadi, Tante menyempatkan hadir. Tadinya Om Justin juga ingin datang, tapi ka