“Good evening, My Honey.”Irene masih diam bagaikan patung. Dia merasa sangat sangat terkejut dengan kedatangan Juna. Ya, benar Juna suaminya, kini ada di hadapan Irene.“Kaget, ya?” goda Juna.“Kamu kok ada di sini? Kapan berangkatnya?” tanya Irene dengan mulut sedikit menganga.“Kemarin kalau waktu Indonesia,” jawab Juna cepat, “aku nggak dipersilakan masuk?” tanyanya lagi.Irene mengerejap, dia benar-benar dibuat ternganga oleh kedatangan Juna yang sangat tiba-tiba.“Ah, iya. Ayok masuk, tapi kamar apartemenku kecil. Cuman tipe studio,” ucap Irene.Juna menggeleng. “Tidak apa. Asal bersamamu, tempat sekecil lemari pun aku merasa nyaman,” gombalnya.Irene mendengus, lalu sedikit mendelik. Karena tak banyak bahan makanan yang tersedia. Irene hanya memasak mie instan untuk suaminya.“Maaf aku cuman bisa kasih ini. Kalau kamu bilang, aku bisa prepare,” ucap Irene.“No problem, Honey. Kalau aku bilang, bukan surprise namanya.”Irene menghela napas, lalu memberikan semangkuk mie instan p
“Pa, sebaiknya Papa di rumah saja. Nanti Jessica akan mengirim kabar secepatnya,” ucap Jessica pada ayah mertuanya.Kini mereka sedang di rumah sakit. Tidak, tidak ada yang sakit, hanya saja ada seseorang yang hendak melahirkan.“Tidak, Papa tidak bisa menunggu di rumah dengan tenang. Papa sudah sangat menantikan cicit dari Juna,” jawab Jodi yang sedang duduk di kursi roda dan di temani dengan asisten pribadinya.Kesehatan Jodi tidak seprima sebelumnya. Namun, begitu dia sangat mengayomi Irene. Bahkan hampir setiap minggu Jodi selalu mendatangi kediaman Jessica. Karena selama Irene hamil, perempuan itu tinggal dengan ibu mertuanya.Kehadiran anak Juna dan Irene sangat ditunggu-tunggu oleh semua orang, bukan hanya ibu bapaknya saja. Hampir seluruh keluarga besar Juna dan Irene menantikan kelahiran mereka. Bahkan tak sedikit dari mereka yang bertaruh, anaknya akan mirip seperti Juna atau Irene.“Suami Bu Irene apa sudah
“Apa? Ada anak laki-laki yang menggoda anak perempuan Papa?” Tiba-tiba saja Juna datang dengan pakaian yang sudah lengkap. Dia langsung menghampiri anak dan istrinya. “Siapa dia, Nathan?” tanya Juna lagi. Nathan menoleh ke arah sang ayah, dia merasa memiliki teman sekarang. “Ada, Pa. Dia anak laki-laki di kelas sebelah. Nathan tidak suka Freya dekat dengan Farrel, karena laki-laki itu sering kali memberikan anak perempuan ikat rambut. Sudah jelas dia bukan laki-laki baik, kan, Pa?” ucap Nathan. “Wah, jelas. Dia bukan laki-laki yang baik. Dia dekat dengan semua perempuan. Bagus, Sayang, kamu harus melindungi adikmu.” Juna langsung mengelus puncak kepala Nathan. Sedangkan anak laki-lakinya itu tersenyum penuh kemenangan. Berbeda dengan Nathan yang merasa dibela oleh sang ayah. Freya terlihat matanya berkaca. “Papa kok membela Kak Nathan?” ucap Freya dengan suaranya yang bergetar, “padahal Papa bilang kalau kita harus menerima pemberian dan niat baik dari orang lain. Freya tahu kal
“Bella, thank you,” ucap seorang laki-laki dengan napas tersengal-sengal di ujung panggilan sana, “aku selalu puas dengan service yang kamu berikan.” Irene Isabella mengangguk mendengar ucapan client-nya itu. Sudah satu tahun Irene menjadi talent dari penyedia jasa kencan online di ApproMatch–sebuah aplikasi kencan milik Aldi, temannya. Menggunakan nama samaran “Bella”, Irene menemani para lelaki yang sedang kesepian, baik itu dalam bentuk berkirim pesan singkat secara onlen atau bahkan dalam panggilan telepon. Namun, tak jarang para lelaki itu meminta pelayanan yang agak ekstrem. Misalkan, berkirim pesan atau telponan dengan topik yang 'dewasa' dan 'panas'. Seperti yang baru saja dilakukan Irene dengan Jun tadi. Pria yang sebenarnya bernama Juna itu, merupakan client tetap Bella dan salah satu yang ter-loyal. Setiap melakukan phone sex dengan Juna, pasti pria itu akan memberi tip yang banyak dan menambah uang untuk membiayai kehidupan perkuliahan Irene. Mereka berdua sama-sama meng
Seorang pria berumur tiga puluhan baru saja keluar dari gedung FIB. Dengan berbalut kemeja berwarna biru dongker yang nampak sangat berkelas–laki-laki itu melangkah dengan tergesa-gesa. Dia menuruni jalan dan segera menuju parkiran mobil, yang tidak jauh dari sana. “Sial! Aldi juga gak angkat telepon sama sekali,” gerutunya. Karena panggilannya tak kunjung diangkat dan dia juga terlihat seperti sedang terburu-buru, maka ia putuskan untuk menyimpan ponselnya ke dalam saku celana. Kemudian dia pun membuka pintu mobil yang kini sudah ada di hadapannya. Namun, saat pria itu hendak meraih handle pintu mobilnya. Dia tiba-tiba dikejutkan oleh sesuatu. Prang! Pria itu pun mengerejap dan membuka matanya lebar. Sebuah botol kaca bekas minuman vitamin C, berhasil membuat kaca depan mobilnya retak. Mobil yang nampak sporty dan terlihat mahal itu, harus cacat karena ulah seseorang! “Hey! Siapa yang melemparkan botol kaca ke sini?!” teriaknya. Beberapa pasang mata kini tertuju ke arahnya. Nam
“Kenapa kaca mobil lo? Tadi gue parkir di samping mobil lo, dan lihat kacanya pecah.”Saat ini, Juna sedang berada di sebuah lounge mewah di kota kembang. Dia memiliki janji untuk bertemu dengan Stefan–teman baiknya sejak duduk di bangku perkuliahan.“Insiden,” jawab Juna irit sembari meneguk whisky dalam sloki.Kemudian dia melirik ke arah pergelangan tangan kirinya–melihat jarum jam pada arloji yang sedang ia kenakan. “Cih. Ada ya, orang yang ngajak ketemuan itu yang telat dibanding orang yang diajaknya.”Stefan menyandarkan punggungnya pada kursi. “Sorry, gue tadi ada masalah dulu sama istri. Biasalah, agak gimana kalau gue pergi malam.”Juna memutar bola matanya malas sembari membuang napas kasar.“Ah, sorry lagi.” Mendadak Stefan tidak enak karena menyinggung soal istri. “Makanya deh, Jun. Lo cepet cari cewek lagi yang bisa diajak serius,” saran sahabat Juna itu.Juna hanya mendengus dan membuang muka. “Lo kayak nggak tahu kondisi gue aja, Stef,” timpalnya.“Belum sembuh juga? Bu
“Selamat, ya,” ucap seorang laki-laki dengan rambut belah tengah ala-ala cowok dari negeri gingseng. Dia memberikan bunga mawar berwarna putih dan merah muda pada Irene yang tengah memakai toga wisuda. “Eh? Ma-makasih, Reno.” Irene segera menerima buket bunga pemberian dari laki-laki jurusan ilmu komputer itu. Terlihat wajah Irene memerah. Bahkan, sesekali dia menjilat bibirnya yang tidak kering sama sekali. Ah, sial! Entah kenapa Irene merasa dirinya jadi salah tingkah. Padahal, dia hanya diberi bunga oleh pria itu. “Doakan aku cepat menyusul ya,” tambah Reno sembari melemparkan senyum manisnya. Oh my good! Hati Irene meleleh tatkala melihat senyuman yang begitu menghangatkan hatinya. Irene memang sudah menyukai Reno sejak dari semester tiga. Mereka bertemu saat mata kuliah olahraga. Kebetulan, jurusan ilmu komputer mendapatkan jadwal yang sama seperti jurusan sejarah. Dan, di sana pun Irene mengenal Aldi. Ketiganya pernah berada di satu kelompok yang sama. “Ah, tentu. Aku sela
“Mas Aldi?” tanya Juna berhati-hati. Laki-laki itu pun langsung mengangkat kepalanya dan melihat ke arah Juna. “Iya. Dengan Mas Stefan?” tanya Aldi dengan senyum. Juna pun mengangguk. Benar, malam ini dia sedang berpura-pura menjadi Stefan demi bertemu dengan Aldi. “Oh, silakan duduk, Mas,” ucap Aldi yang langsung berdiri dan mempersilakan Juna untuk duduk. Ada keheningan sejenak karena tak ada yang mau memulai duluan topik pembicaraan. Sampai pada akhirnya, Juna pun membuka mulutnya. “Sebenarnya saya ke sini ingin menanyakan perihal Bella,” kata Juna to the point. Mendengar nama Bella disebut, alis Aldi berkerut. “Bella? Bella mana, ya? Bukannya Mas Stefan bertemu saya karena ingin menanyakan perihal agensi saya?” tanya Aldi. Juna hanya mengangguk kecil. “Bella, mantan talent-mu. Dan, sebenarnya saya itu teman Jun. Saya ke sini, karena ada hal yang harus saya bicarakan dengan kamu, perihal Bella dan Juna.” “Maaf, Mas, tapi saya sudah tidak ada hubungannya dengan Be—” “Berapa