“Mas Aldi?” tanya Juna berhati-hati.
Laki-laki itu pun langsung mengangkat kepalanya dan melihat ke arah Juna. “Iya. Dengan Mas Stefan?” tanya Aldi dengan senyum.
Juna pun mengangguk. Benar, malam ini dia sedang berpura-pura menjadi Stefan demi bertemu dengan Aldi.
“Oh, silakan duduk, Mas,” ucap Aldi yang langsung berdiri dan mempersilakan Juna untuk duduk.
Ada keheningan sejenak karena tak ada yang mau memulai duluan topik pembicaraan. Sampai pada akhirnya, Juna pun membuka mulutnya.
“Sebenarnya saya ke sini ingin menanyakan perihal Bella,” kata Juna to the point.
Mendengar nama Bella disebut, alis Aldi berkerut. “Bella? Bella mana, ya? Bukannya Mas Stefan bertemu saya karena ingin menanyakan perihal agensi saya?” tanya Aldi.
Juna hanya mengangguk kecil. “Bella, mantan talent-mu. Dan, sebenarnya saya itu teman Jun. Saya ke sini, karena ada hal yang harus saya bicarakan dengan kamu, perihal Bella dan Juna.”
“Maaf, Mas, tapi saya sudah tidak ada hubungannya dengan Be—”
“Berapa pun yang kamu butuhkan, Jun akan berikan. Asalkan, dia bisa berhubungan kembali dengan Bella,” sela Juna. Dia tidak bisa berlama-lama, jangan sampai Juna kehilangan momennya.
“Tapi, Mas … Bella sudah tidak bekerja lagi dengan saya,” kekeuh Aldi.
“I know. Tapi … bisakah Bella bekerja untuk Jun? Dia akan memenuhi semua permintaan Bella, jika perempuan itu mau.”
Aldi menghela napas. “Memangnya apa spesialnya Bella, Mas Stefan? Sampai Mas Jun enggan untuk melepaskan perempuan itu?”
“Dia spesial untuk sahabat saya. Jujur, sahabat saya itu pria kesepian. Dia juga bukan tipikal orang yang terbuka dengan sembarang orang. Dengan dia berteman dengan Bella, dia merasa tidak terlalu kesepian.”
Dalam hati, Juna ingin menjerit kesal. Dibilang Juna lelaki kesepian juga tidak bisa. Pasalnya, hampir setiap hari dia selalu dikelilingi perempuan-perempuan yang masih mengharapkannya. Hanya saja, mereka semua tidak tahu permasalahan yang sedang dialami Juna.
Aldi terlihat ragu.
Melihat itu, Juna mencoba mengeluarkan sesuatu dari tasnya. “Ini sepuluh juta, untuk kamu. Kalau kamu bisa meyakinkan Bella, saya tambah sepuluh juta lagi.”
Jika dengan perkataan tidak mampu membeli apa yang Juna inginkan, maka saatnya uang berbicara!
Mustahil jika Aldi tidak tergoda dengan gepokan uang berwarna merah itu. Mendadak, hati Aldi bimbang. Haruskah dia menjual sahabatnya pada lelaki ini?
“Gimana? Masih kurang untuk DP?” tantang Juna tersenyum miring. Dia sudah bisa membaca peluang sekarang.
“Hah?” Aldi melihat ke arah Juna. “Mmm … sebelumnya saya mau bertanya. Nanti, Mas Jun tidak akan melakukan hal yang macam-macam pada Bella, kan? Tidak akan mengajak Bella bertemu, seperti komitmennya dulu pada saya? Hanya sekedar chat dan telepon,” ungkapnya.
“Iya. Jun akan tetap memegang komitmen itu. Dia hanya butuh teman dan itu hanya Bella yang dapat menemaninya.”
Sebenarnya, Juna agak sedikit merasa kurang nyaman karena harus berkata demikian. Biasanya, Juna yang jual mahal. Sedangkan sekarang—demi Bella, Juna rela memohon dan menyogok seperti ini.
Terlihat Aldi masih terdiam. Sepertinya, dia sedang mencoba untuk mempertimbangkan tawarannya.
Juna pun bersabar, tidak memaksa lagi seperti tadi. Karena kalau dia terus memaksa yang ada Aldi akan kembali pada pendiriannya yang pertama.
“Jadi, bagaimana Mas Aldi? Apakah negosiasi saya ini bisa dipertimbangkan dengan baik?”
Aldi sontak melirik ke arah Juna dan langsung menatap kedua netra hitam milik lelaki tampan itu.
*****
[Selamat pagi, Irene. Semangat hari pertama kerja, ya.]
Wajah Irene merona tatkala mendapatkan ucapan selamat pagi dan semangat dari orang yang ia sukai. Pasca makan malam kemarin, entah kenapa Reno jadi sedikit lebih perhatian pada Irene.
Tanpa sadar, ia pun tersenyum sendirian dan menggelengkan kepalanya, seperti orang gila.
“Ren, kamu kenapa senyum-senyum gitu?” tanya Erlina–kepala departemen dan juga atasannya– dengan mimik wajah yang aneh.
“Ah?” Buru-buru Irene meletakan ponsel di atas meja, lalu menoleh ke arah sumber suara. “Eh, Bu Erlina, maaf.”
Erlina hanya menggelengkan kepala. “Kamu sudah dikasih tahu Mia, kan, tentang jobdesc kamu?”
“Sudah, Bu. Saya bagian mempersiapkan surat menyurat, menangani jurnal dan sarana prasarana,” jawab Irene sambil mengangguk.
“Bagus. Secara garis besar memang itu, tapi tetap harus saling backup sama Bu Mia, ya. Jangan saling mengandalkan,” ingat Erlina. “Oh, ya. Nanti jam sepuluh akan ada rapat dengan dosen jurusan sejarah. Sekaligus kita mau memperkenalkan kamu dan satu dosen baru.”
“Ah, Ibu. Padahal, saya mah nggak usah diperkenalkan, bukan orang baru, hehe,” timpal Irene sambil nyengir kuda.
“Ya, tidak, kamu tetap orang baru, Ren. Kemarin, status kamu mahasiswi, sekarang status kamu karyawan di sini. Hubungan kita bukan lagi antara dosen dengan mahasiswi, tapi dengan rekan kerja,” papar Erlina yang segera masuk ke dalam ruanganya.
Irene pun tersenyum. Entah kenapa dia merasa sangat gugup sekarang. Status Irene mulai hari ini satu tingkat lebih baik dari kemarin.
Mengingat pekerjaannya, gadis itu kembali ke aktivitasnya. Tadi, sebelum ponselnya mendapatkan notifikasi pesan dari Reno, dia sedang merapikan meja kerjanya.
Jam sepuluh pun tiba–semua dosen dan 2 orang staff akademik pun datang di ruang pertemuan, yang berada di lantai 4 gedung fakultas.
Erlina memimpin rapat yang sedang membahas mengenai kemahasiswaan dan akademik. Karena saat ini sedang dalam masa penjaringan mahasiswa baru, maka ada sedikit pengarahan yang harus disosialisasikan dengan para dosen.
Saat rapat, Irene memperhatikan setiap pemaparan dari dosen yang sekarang sudah menjadi atasannya itu. Sesekali, dia mencatat hal-hal penting walau sebenarnya dia tidak bertugas sebagai notulen.
Dia pun memperhatikan seisi ruang yang berisi orang-orang yang sudah dia kenal sebelumnya. Namun, Irene tiba-tiba menyadari sesuatu. Bukannya tadi Erlina bilang kalau ada dosen baru? Tapi, kok, Irene tidak melihat satu orang pun yang tidak ia kenali.
“Baiklah, sampai sini ada yang masih kurang paham?” tanya Erlina dengan suaranya yang bulat dan tegas.
“Sudah cukup, Bu,” jawab semua orang yang ada di ruangan tersebut.
“Baik, kalau dirasa sudah cukup. Sebelum saya tutup rapat kali ini. Izinkan saya memperkenalkan rekan kerja kita yang baru saja bergabung. Bapak, Ibu pasti sudah tidak asing dengannya. Silakan Irene, berdiri,” perintah Erlina.
“Ah.” Irene pun menganggukkan kepalanya, lalu dia pun berdiri. “Selamat siang, Bapak, Ibu. Perkenalkan saya Irene Isabella Harismaya, selaku staff bidang administrasi dan akademik yang baru,” ucapnya dengan sangat sopan.
Ya, memang selain rajin dan pintar. Irene pun dikenal sebagai mahasiswi yang sopan dan santun. Makanya, saat berembus berita mengenai Irene yang akan menjadi staff di departemen sejarah, tak ada dosen yang meragukannya.
Irene bahkan sudah dipercaya oleh Pak Wawan untuk menangani jurnal mahasiswa yang akan diterbitkan untuk keperluan skripsi mereka.
“Sebenarnya, ada satu lagi yang ingin saya perkenalkan, tapi—”
Tok. Tok. Tok.
Tiba-tiba saja terdengar pintu ruang pertemuan diketuk.
“Silakan masuk,” ucap Erlina.
Tak lama, muncullah sosok laki-laki tinggi dan berparas tampan memasuki ruangan tersebut. Semua mata tertuju padanya. Bak memiliki kekuatan sihir–baik laki-laki maupun perempuan–tidak ada satu pun yang bisa berkedip ketika sosok laki-laki berkemeja hitam itu mulai berdiri di depan ruangan.
Auranya jelas sangat berbeda dari kebanyakan dosen biasanya–terasa dingin dan mendominasi.
Tak hanya itu, Irene yakin semua orang juga dapat mencium parfum dengan perpaduan wangi bunga teratai, bergamot, pir dan kayu-kayuan yang dikenakan pria itu.
“Maaf, Bapak, Ibu saya terlambat,” ucapnya merasa bersalah.
Irene, ketika melihat sosok laki-laki itu masuk ke dalam ruangan dia sempat terpana. Namun, sedetik kemudian dia disadarkan akan sesuatu hal. Orang tersebut adalah orang yang Irene temui empat hari lalu.
“Ju–juna?” lirih Irene pelan.
BERSAMBUNG ….
“Ah, iya untung saja datang tepat waktu. Bapak Ibu, mungkin di antara kalian ada yang sudah tahu, ya. Hanya saja memang saya belum sempat memperkenalkan dosen baru kita pada Bapak Ibu semua. Niat saya biar disatukan dengan perkenalan staff baru kita. Kalau begitu, silakan untuk memperkenalkan diri.”Juna pun tersenyum manis, lalu mengangguk. Sementara itu, Irene rasanya ingin menggali tanah, dan terkubur hidup-hidup.“Selamat siang, Bapak Ibu. Sebelumnya saya ingin mengucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya karena saya terlambat. Semoga permohonan maaf ini bisa diterima oleh Bapak dan Ibu semuanya. Perkenalkan saya Juna Atmadjadarma, yang kebetulan dipercaya untuk menjadi dosen di departemen sejarah. Sebelumnya saya bekerja di Universitas Purnawarman,” paparnya dengan jelas.Universitas Purnawarman dan Universitas Wastukencana sebenarnya masih satu payung–di bawah Yayasan Atmadjadarma.Yayasan tersebut memang konsen di bidang pendidikan dan kesehatan. Jadi, selain universitas dan be
“Kamu serius, kan?” tanya Aldi yang mencoba memastikan dengan keputusan sahabatnya. Mereka kini bahkan bertemu di sebuah cafe dekat kampus Irene. Pria itu begitu terkejut begitu Irene menghubunginya. “Iya. Lagi-lagi aku kepepet masalah uang. Uangnya harus ada besok,” jawab Irene. “Banget?” Irene mengangguk. “Banget. Makanya aku udah hopeless banget, Di. Tapi itu serius, Jun nggak papa? Maksudnya aku minta bayar di muka.” “Katanya gapapa. Dia bakal bayar lebih dari yang kamu minta.” “Ah, nggak usah lebih gitu. Nanti malah aku semakin terbebani.” Irene mendesah. “Ya … mungkin itu tujuan dia, Ren.” Aldi terpaksa memberikan tawaran pekerjaan kotor ini pada sahabatnya. Setelah bertemu dengan Stefan—yang sebenarnya adalah Juna—Aldi merasa terlena. Pasalnya, Stefan mau untuk menjadi investor di projek terbarunya. Kebetulan projek ini pun untuk menunjang skripsinya. Jujur, Aldi hanya manusia biasa yang mampu tergoda oleh uang. Niat awalnya ingin melindungi Irene dan menjauhkan sahabat
“Di mana? Ini ada mahasiswa mau bikin surat untuk penelitian. Katanya minta sore ini selesai,” jawab Mia.“Buset, sore ini? Dadakan banget, aku masih harus beresin surat yang lain, Bu,” keluh Irene.Mia mendesah. “Udah saya bilangin, tapi mereka maksa. Ya udah cepet balik. Jam makan siang juga udah mau selesai,” pungkas Mia yang langsung mematikan panggilan teleponnya.Irene menghela napas kasar. Dia melirik pada arloji yang melingkar di tangan kirinya. Padahal Irene masih memiliki waktu sepuluh menit lagi untuk istirahat dan menghabiskan capuccino latte miliknya.Namun, apa boleh buat, Irene pun akhirnya bangkit sembari membawa kopinya yang belum habis. Sambil meminum kopi, Irene melangkah dengan terburu-buru. Dia harus segera sampai ke kampus yang jaraknya sekitar lima ratus meter dari cafe tersebut.Brak!Saking terburu-buru, Irene pun tersandung kursi yang tidak dirapikan oleh pelanggan sebelumnya. Seketika Irene tersungkur ke arah kursi yang ada di depannya. Kopi yang sedang dipe
“Halo, Jun?”Suara itu nampak tak asing di telinga Juna. Laki-laki itu pun menarik sudut bibirnya sebelah.“Ya, Bella?” timpal Juna.Benar, pemilik suara indah tersebut adalah Bella. Mendengar dua kata yang baru terucap saja, membuat hati Juna berbunga. Dia sudah sangat mengenal dengan baik suara partner-nya itu“Apa kabar?” tanya gadis yang tentu saja bernama asli Irene.“Baik. Jadi, kamu mau bekerja untukku?”Juna duduk di kursi kerjanya, lalu dia menyandarkan punggungnya.“Ya … begitulah,” timpal Irene irit, nampaknya dia merasa tidak enak.“Baguslah. Aku pasti akan memberikan apa pun yang kamu inginkan. Asal kamu selalu siap dalam melayaniku.”Perkataan Juna itu bukan sebuah kalimat gombalan. Dia pasti akan memberikan apa pun yang diinginkan oleh partner-nya itu.“Mmm … aku cuman ingin uang lima belas juta besok. Bisa, kan?” tanyanya dengan sedikit ragu.Juna mendengus sambil menarik kedua sudut bibirnya. “Tentu. Aku akan kirimkan uangnya pada Aldi. Asalkan kamu bisa melayani aku
“Irene, kamu ada di dalam?” Suara laki-laki terdengar dari balik pintu.Mendengar namanya dipanggil, pupil Irene membulat. Buru-buru Irene mematikan ponsel yang menjadi alat komunikasi dirinya dengan Juna. Lalu ia simpan di laci mejanya.“Irene? Ini aku, Reno,” panggil laki-laki itu lagi.Deg!“Oh, i-iya, Ren. Sebentar,” sahut Irene yang berusaha merapikan penampilannya.Setelah dirasa rapi, gadis itu pun membuka pintu kamar kosnya.“Ya, Ren. Ada apa?” tanya Irene dengan tenang.Padahal dalam hatinya, dia sedikit tidak bisa santai. Mendapati laki-laki yang ia sukai ada di depan matanya, itu membuat hati Irene meletup seperti popcorn.“Oh, ini.” Reno memberikan sebuah keresek berwarna putih. Di dalamnya terdapat sebuah box kecil.Irene menerima dengan penuh rasa penasaran. “Ini apa?” tanyanya.“Tadi aku habis antar Alfi ke toko kue. Dia beli kue untuk pacarnya yang ulang tahun. Terus, aku lihat redvelvet, dan langsung inget kamu. Ya sudah, aku bawain,” jawabnya, sembari menampilkan sen
Irene masih berusaha mengintip pada celah kecil. Pandangannya yang terbatas, membuat dirinya tidak mengetahui dengan pasti siapa dua perempuan yang masuk ke ruangan Juna. Terlihat ada satu orang perempuan yang sedang sibuk dengan bingkai lukisan yang mengarah tepat ke meja kerja Juna.“Cepetan,” bisik seorang perempuan yang tak begitu nampak oleh Irene.“Sebentar, dikit lagi, cuy,” timpal perempuan lain yang sedang sibuk dengan sebuah barang di tangannya.Irene menyipitkan mata, ketika perempuan dengan berbalut kemeja bercorak bunga sedang menempelkan sesuatu pada bingkai lukisan. Dia menyipitkan mata dan masih mengintip pada celah kecil.“Loh, bukannya itu?” gumamnya kecil.Dug.“Aww,” ringis Irene nyaris tak terdengar.Saking terkejutnya, Irene tersentak dan mengakibatkan kepalanya membentur meja kerja Juna.“Apaan, tuh?” kaget perempuan berbalut kemeja bunga-bunga.“Udah, cepet buruan!” ajak perempuan lain, “nanti keburu Pak Juna datang,” imbuhnya.Karena misi mereka sudah berhasil
Irene berdiri di depan pintu berwarna cokelat. Tepat di depannya adalah ruang kerja Juna. Memang cucu dari pemilik yayasan ini diperlakukan spesial. Pasalnya hanya dirinya—dosen yang mendapatkan ruang kerja sendiri. Sudah seperti kepala departemen saja.Gadis itu mengangkat tangan kanannya yang mengepal, hendak mengetuk pintu kerja Juna. Irene mendadak terdiam, dia memejamkan mata dan menarik napas dalam. Mencoba menenangkan hatinya, sebelum dia bertemu dengan sang dosen menyebalkan.Setelah ia mengetuk tiga kali, Irene pun meraih handle pintu. Ia segera membuka pintu cokelat tersebut.“Selamat siang, Pak. Ada apa memanggil saya?” tanya Irene.Gadis itu berusaha untuk tenang. Padahal hatinya berkecamuk, karena dia sudah enggan berurusan dengan pria ini.“Masuk!” perintah Juna, tanpa melihat ke arah Irene sedikit pun.Terlihat laki-laki itu sedang sibuk dengan laptopnya. Entah apa yang sedang ia kerjakan, Irene t
Juna baru saja memarkirkan mobil SUV hitamnya di parkiran sebuah hotel. Kemudian dia keluar dari mobil tersebut yang diikuti oleh seorang perempuan berambut panjang bergelombang. Dia adalah Rachel, teman Juna—ia juga adalah cucu dari sahabat sang kakek. Tidak, mereka ke sana bukan untuk menginap bersama di hotel tersebut. Mereka berdua hanya akan makan malam bersama. Sebenarnya Juna enggan untuk makan malam bersama dengan seorang wanita. Namun, sang ibu meminta demi menghormati sang kakek. “Silakan pesanannya sudah keluar semua. Selamat menikmati,” ucap seorang pramusaji. Kini di depan Juna dan Rachel sudah terhidang dua jenis makanan dan minuman. Mereka pun langsung menyantap makanannya masing-masing. Sesekali Rachel mengajak Juna mengobrol tentang pekerjaannya atau hal lainnya. Jika perlu dia akan bertanya balik pada Rachel, tapi jika tidak dia hanya akan menjawab seadanya. “Kamu nggak ada niat untuk menikah lagi, Jun?” Tiba-tiba saja Rachel melontarkan pertanyaan yang membuat