“Selamat, ya,” ucap seorang laki-laki dengan rambut belah tengah ala-ala cowok dari negeri gingseng. Dia memberikan bunga mawar berwarna putih dan merah muda pada Irene yang tengah memakai toga wisuda.
“Eh? Ma-makasih, Reno.” Irene segera menerima buket bunga pemberian dari laki-laki jurusan ilmu komputer itu.
Terlihat wajah Irene memerah. Bahkan, sesekali dia menjilat bibirnya yang tidak kering sama sekali.
Ah, sial! Entah kenapa Irene merasa dirinya jadi salah tingkah. Padahal, dia hanya diberi bunga oleh pria itu.
“Doakan aku cepat menyusul ya,” tambah Reno sembari melemparkan senyum manisnya.
Oh my good! Hati Irene meleleh tatkala melihat senyuman yang begitu menghangatkan hatinya.
Irene memang sudah menyukai Reno sejak dari semester tiga. Mereka bertemu saat mata kuliah olahraga. Kebetulan, jurusan ilmu komputer mendapatkan jadwal yang sama seperti jurusan sejarah. Dan, di sana pun Irene mengenal Aldi. Ketiganya pernah berada di satu kelompok yang sama.
“Ah, tentu. Aku selalu doakan yang terbaik untuk kamu dan Aldi,” timpal Irene.
“Nggak buat aku sendiri aja? Harus ada Aldinya?” goda Reno.
Alamak! Jantung Irene tak bisa dikontrol lagi sekarang. Dia benar-benar ingin berlari mengelilingi fakultasnya sekarang.
“Ya … kan, kalau doa itu—”
“Ren!”
Tiba-tiba seorang laki-laki menginterupsi. Sontak Reno yang tadi sedang menatap Irene langsung menoleh ke belakang.
“Udah beres, belum? Ini kita diminta balik ke fakultas, udah mau mulai acaranya,” kata teman dekat Reno.
Reno melirik ke arah Irene tidak enak. Namun, gadis itu hanya mengangguk–mempersilakan Reno jika dia harus segera pergi.
“Oh, oke. Kita caw,” balas Reno pada Alfi, kemudian kembali melihat Irene, “Nanti, aku chat, ya. Kita makan malem bareng. Ok?”
Apa? Makan malam bersama dengan Reno? Serius? Irene tidak salah dengar, kan? Bagaimana ini? Rasanya, wajah Irene semakin memanas. Bukan karena marah, tapi malah sebaliknya, dia merasa sangat bahagia sekarang.
“Oh, i-iya. A-aku tu-tunggu,” sahut Irene yang mendadak gagap.
Reno hanya tersenyum lalu pergi meninggalkan Irene.
“Siapa?” Suara bass di telinganya berhasil mengejutkan Irene. Mendadak, perempuan itu kembali pada mode normal.
“Hah? Siapa, siapa?” tanya Irene pada laki-laki yang terlihat lebih muda darinya. Dia nampak bingung ketika ditanya pertanyaan seperti itu.
“Cowok tadi,” timpalnya dengan nada dingin. “Pacar? Atau masih kecengan?”
“Oh, itu … temen doang. Nggak usah dipikirin, Gie.”
“Nggak yakin kalau cuman temen, Kak. Pasti kalian lagi deket, kan? Soalnya sampe ngajak makan malem gitu,” terang Irgie–adik dan keluarga inti satu-satunya yang Irene punya.
“Apaan, sih, Gie? Nggak, kok! Udah nggak usah dihiraukan, sekarang antar kakak ketemu keluarga Kak Gita, yuk!” ajak Irene mencoba mengalihkan pembicaraan adiknya itu.
“Denger, ya, Kak. Pokoknya, kalau Kakak sampai dekat atau pacaran sama dia, Irgie nggak akan restui. Dia tuh vibes-nya bukan cowok baik-baik,” kata Irgie memberikan sebuah peringatan pada Irene mengenai Reno.
Namun, bukannya menanggapi dengan serius, Irene hanya menggelengkan kepalanya.
“Apaan, sih, Gie. Kakak bilang, kan bukan siapa-siapa. Ayok, ah, kita temui keluarga Kak Gita,” ajak Irene.
***
Irene benar-benar tidak mempedulikan saran Irgie.
Malam harinya, Irene tetap pergi menemui Reno..
Biasanya malam setelah wisuda, orang-orang akan berkumpul dengan keluarganya. Namun, hal itu tak bisa dirasakan oleh Irene. Irgie, adik satu-satunya Irene pun harus segera pulang ke kampung halaman, karena besok dia harus kembali sekolah.
Orang tua? Tidak ada. Keduanya menjadi anak yatim piatu sejak Irene lulus SMA. Ibu mereka meninggal saat melahirkan Irgie, atau saat umur Irene tujuh tahun. Kemudian, ayahnya menyusul sebelas tahun kemudian.
Awalnya, Irene bahkan tidak berharap dia bisa kuliah. Dia berniat untuk bekerja, karena harus membiayai adiknya. Namun, dia mendapatkan kesempatan beasiswa di Universitas Wastukencana. Selain itu, Bibinya bersedia untuk mengurus Irgie di Tasikmalaya.
“Kita makan di sini aja, gapapa?” tanya Reno–menyadarkan Irene dari lamunan.
Saat ini, mereka berdua sedang berada di parkiran salah satu tempat steak yang lumayan terkenal di sana. Tempatnya pun tidak jauh dari tempat kosan Irene.
“Nggak papa, santai di mana aja,” jawab Irene dengan cepat, sembari memberikan helm pada Reno.
“Oke.”
Reno dan Irene pun jalan bersamaan memasuki tempat makan tersebut. Namun, belum juga mereka berdua tiba di pintu masuk—mungkin jaraknya masih enam meter lagi. Tiba-tiba Irene melihat sosok laki-laki tampan nan gagah yang dua hari lalu bertemu dengannya.
“Mampus!” ucap Irene pelan yang tiba-tiba menghentikan langkahnya saat melihat Juna. Namun, ternyata ucapannya itu terdengar oleh Reno.
“Hah? Kenapa, Ren?” tanya Reno.
Irene tak langsung menjawab. Kedua bola matanya masih sibuk melihat ke arah tempat makan–memperhatikan Juna yang sedang kebingungan.
“Irene?” panggil Reno karena tak kunjung mendapat jawaban dari Irene.
“Hah?” Irene mengerejap, melihat ke arah Reno. “Oh, Ren, gimana kalau kita pindah tempat makan. Kalau kamu mau makan steak, kita ke daerah ….” Irene mencoba mengingat tempat steak yang tidak jauh dari sini. “Daerah DU aja gimana?” tanya Irene.
“Memangnya kenapa?” Reno balik bertanya karena penasaran.
“Mmm … kayaknya di sini lumayan penuh. Kita ke daerah DU aja, yuk!” Irene menarik lengan baju Reno, dan membawanya kembali ke parkiran motor.
Sebisa mungkin, Irene tidak bertemu dengan Juna. Hari ini adalah hari bersejarah untuk Irene. Dan, dia tidak ingin hari indahnya harus dirusak oleh Juna dan fakta tentang hutang Irene padanya.
Untungnya, Reno tidak banyak protes. Laki-laki itu pun menurut dengan apa keinginan Irene. Keduanya gegas pergi ke arah parkiran dan langsung pergi ke daerah DU–sesuai saran dari Irene.
***
Di sisi lain, Juna baru saja memasuki tempat makan khusus steak itu. Dia melirik ke kiri dan ke kanan, seperti sedang mencari seseorang. Sedetik kemudian pandangannya terhenti, tatkala melihat sosok laki-laki dengan kaos putih berbalut jaket levis sedang memainkan ponselnya.
Tak menunggu lama Juna pun menghampirinya.
“Mas Aldi?”
BERSAMBUNG ….
“Mas Aldi?” tanya Juna berhati-hati. Laki-laki itu pun langsung mengangkat kepalanya dan melihat ke arah Juna. “Iya. Dengan Mas Stefan?” tanya Aldi dengan senyum. Juna pun mengangguk. Benar, malam ini dia sedang berpura-pura menjadi Stefan demi bertemu dengan Aldi. “Oh, silakan duduk, Mas,” ucap Aldi yang langsung berdiri dan mempersilakan Juna untuk duduk. Ada keheningan sejenak karena tak ada yang mau memulai duluan topik pembicaraan. Sampai pada akhirnya, Juna pun membuka mulutnya. “Sebenarnya saya ke sini ingin menanyakan perihal Bella,” kata Juna to the point. Mendengar nama Bella disebut, alis Aldi berkerut. “Bella? Bella mana, ya? Bukannya Mas Stefan bertemu saya karena ingin menanyakan perihal agensi saya?” tanya Aldi. Juna hanya mengangguk kecil. “Bella, mantan talent-mu. Dan, sebenarnya saya itu teman Jun. Saya ke sini, karena ada hal yang harus saya bicarakan dengan kamu, perihal Bella dan Juna.” “Maaf, Mas, tapi saya sudah tidak ada hubungannya dengan Be—” “Berapa
“Ah, iya untung saja datang tepat waktu. Bapak Ibu, mungkin di antara kalian ada yang sudah tahu, ya. Hanya saja memang saya belum sempat memperkenalkan dosen baru kita pada Bapak Ibu semua. Niat saya biar disatukan dengan perkenalan staff baru kita. Kalau begitu, silakan untuk memperkenalkan diri.”Juna pun tersenyum manis, lalu mengangguk. Sementara itu, Irene rasanya ingin menggali tanah, dan terkubur hidup-hidup.“Selamat siang, Bapak Ibu. Sebelumnya saya ingin mengucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya karena saya terlambat. Semoga permohonan maaf ini bisa diterima oleh Bapak dan Ibu semuanya. Perkenalkan saya Juna Atmadjadarma, yang kebetulan dipercaya untuk menjadi dosen di departemen sejarah. Sebelumnya saya bekerja di Universitas Purnawarman,” paparnya dengan jelas.Universitas Purnawarman dan Universitas Wastukencana sebenarnya masih satu payung–di bawah Yayasan Atmadjadarma.Yayasan tersebut memang konsen di bidang pendidikan dan kesehatan. Jadi, selain universitas dan be
“Kamu serius, kan?” tanya Aldi yang mencoba memastikan dengan keputusan sahabatnya. Mereka kini bahkan bertemu di sebuah cafe dekat kampus Irene. Pria itu begitu terkejut begitu Irene menghubunginya. “Iya. Lagi-lagi aku kepepet masalah uang. Uangnya harus ada besok,” jawab Irene. “Banget?” Irene mengangguk. “Banget. Makanya aku udah hopeless banget, Di. Tapi itu serius, Jun nggak papa? Maksudnya aku minta bayar di muka.” “Katanya gapapa. Dia bakal bayar lebih dari yang kamu minta.” “Ah, nggak usah lebih gitu. Nanti malah aku semakin terbebani.” Irene mendesah. “Ya … mungkin itu tujuan dia, Ren.” Aldi terpaksa memberikan tawaran pekerjaan kotor ini pada sahabatnya. Setelah bertemu dengan Stefan—yang sebenarnya adalah Juna—Aldi merasa terlena. Pasalnya, Stefan mau untuk menjadi investor di projek terbarunya. Kebetulan projek ini pun untuk menunjang skripsinya. Jujur, Aldi hanya manusia biasa yang mampu tergoda oleh uang. Niat awalnya ingin melindungi Irene dan menjauhkan sahabat
“Di mana? Ini ada mahasiswa mau bikin surat untuk penelitian. Katanya minta sore ini selesai,” jawab Mia.“Buset, sore ini? Dadakan banget, aku masih harus beresin surat yang lain, Bu,” keluh Irene.Mia mendesah. “Udah saya bilangin, tapi mereka maksa. Ya udah cepet balik. Jam makan siang juga udah mau selesai,” pungkas Mia yang langsung mematikan panggilan teleponnya.Irene menghela napas kasar. Dia melirik pada arloji yang melingkar di tangan kirinya. Padahal Irene masih memiliki waktu sepuluh menit lagi untuk istirahat dan menghabiskan capuccino latte miliknya.Namun, apa boleh buat, Irene pun akhirnya bangkit sembari membawa kopinya yang belum habis. Sambil meminum kopi, Irene melangkah dengan terburu-buru. Dia harus segera sampai ke kampus yang jaraknya sekitar lima ratus meter dari cafe tersebut.Brak!Saking terburu-buru, Irene pun tersandung kursi yang tidak dirapikan oleh pelanggan sebelumnya. Seketika Irene tersungkur ke arah kursi yang ada di depannya. Kopi yang sedang dipe
“Halo, Jun?”Suara itu nampak tak asing di telinga Juna. Laki-laki itu pun menarik sudut bibirnya sebelah.“Ya, Bella?” timpal Juna.Benar, pemilik suara indah tersebut adalah Bella. Mendengar dua kata yang baru terucap saja, membuat hati Juna berbunga. Dia sudah sangat mengenal dengan baik suara partner-nya itu“Apa kabar?” tanya gadis yang tentu saja bernama asli Irene.“Baik. Jadi, kamu mau bekerja untukku?”Juna duduk di kursi kerjanya, lalu dia menyandarkan punggungnya.“Ya … begitulah,” timpal Irene irit, nampaknya dia merasa tidak enak.“Baguslah. Aku pasti akan memberikan apa pun yang kamu inginkan. Asal kamu selalu siap dalam melayaniku.”Perkataan Juna itu bukan sebuah kalimat gombalan. Dia pasti akan memberikan apa pun yang diinginkan oleh partner-nya itu.“Mmm … aku cuman ingin uang lima belas juta besok. Bisa, kan?” tanyanya dengan sedikit ragu.Juna mendengus sambil menarik kedua sudut bibirnya. “Tentu. Aku akan kirimkan uangnya pada Aldi. Asalkan kamu bisa melayani aku
“Irene, kamu ada di dalam?” Suara laki-laki terdengar dari balik pintu.Mendengar namanya dipanggil, pupil Irene membulat. Buru-buru Irene mematikan ponsel yang menjadi alat komunikasi dirinya dengan Juna. Lalu ia simpan di laci mejanya.“Irene? Ini aku, Reno,” panggil laki-laki itu lagi.Deg!“Oh, i-iya, Ren. Sebentar,” sahut Irene yang berusaha merapikan penampilannya.Setelah dirasa rapi, gadis itu pun membuka pintu kamar kosnya.“Ya, Ren. Ada apa?” tanya Irene dengan tenang.Padahal dalam hatinya, dia sedikit tidak bisa santai. Mendapati laki-laki yang ia sukai ada di depan matanya, itu membuat hati Irene meletup seperti popcorn.“Oh, ini.” Reno memberikan sebuah keresek berwarna putih. Di dalamnya terdapat sebuah box kecil.Irene menerima dengan penuh rasa penasaran. “Ini apa?” tanyanya.“Tadi aku habis antar Alfi ke toko kue. Dia beli kue untuk pacarnya yang ulang tahun. Terus, aku lihat redvelvet, dan langsung inget kamu. Ya sudah, aku bawain,” jawabnya, sembari menampilkan sen
Irene masih berusaha mengintip pada celah kecil. Pandangannya yang terbatas, membuat dirinya tidak mengetahui dengan pasti siapa dua perempuan yang masuk ke ruangan Juna. Terlihat ada satu orang perempuan yang sedang sibuk dengan bingkai lukisan yang mengarah tepat ke meja kerja Juna.“Cepetan,” bisik seorang perempuan yang tak begitu nampak oleh Irene.“Sebentar, dikit lagi, cuy,” timpal perempuan lain yang sedang sibuk dengan sebuah barang di tangannya.Irene menyipitkan mata, ketika perempuan dengan berbalut kemeja bercorak bunga sedang menempelkan sesuatu pada bingkai lukisan. Dia menyipitkan mata dan masih mengintip pada celah kecil.“Loh, bukannya itu?” gumamnya kecil.Dug.“Aww,” ringis Irene nyaris tak terdengar.Saking terkejutnya, Irene tersentak dan mengakibatkan kepalanya membentur meja kerja Juna.“Apaan, tuh?” kaget perempuan berbalut kemeja bunga-bunga.“Udah, cepet buruan!” ajak perempuan lain, “nanti keburu Pak Juna datang,” imbuhnya.Karena misi mereka sudah berhasil
Irene berdiri di depan pintu berwarna cokelat. Tepat di depannya adalah ruang kerja Juna. Memang cucu dari pemilik yayasan ini diperlakukan spesial. Pasalnya hanya dirinya—dosen yang mendapatkan ruang kerja sendiri. Sudah seperti kepala departemen saja.Gadis itu mengangkat tangan kanannya yang mengepal, hendak mengetuk pintu kerja Juna. Irene mendadak terdiam, dia memejamkan mata dan menarik napas dalam. Mencoba menenangkan hatinya, sebelum dia bertemu dengan sang dosen menyebalkan.Setelah ia mengetuk tiga kali, Irene pun meraih handle pintu. Ia segera membuka pintu cokelat tersebut.“Selamat siang, Pak. Ada apa memanggil saya?” tanya Irene.Gadis itu berusaha untuk tenang. Padahal hatinya berkecamuk, karena dia sudah enggan berurusan dengan pria ini.“Masuk!” perintah Juna, tanpa melihat ke arah Irene sedikit pun.Terlihat laki-laki itu sedang sibuk dengan laptopnya. Entah apa yang sedang ia kerjakan, Irene t