“Selamat, ya,” ucap seorang laki-laki dengan rambut belah tengah ala-ala cowok dari negeri gingseng. Dia memberikan bunga mawar berwarna putih dan merah muda pada Irene yang tengah memakai toga wisuda.
“Eh? Ma-makasih, Reno.” Irene segera menerima buket bunga pemberian dari laki-laki jurusan ilmu komputer itu.
Terlihat wajah Irene memerah. Bahkan, sesekali dia menjilat bibirnya yang tidak kering sama sekali.
Ah, sial! Entah kenapa Irene merasa dirinya jadi salah tingkah. Padahal, dia hanya diberi bunga oleh pria itu.
“Doakan aku cepat menyusul ya,” tambah Reno sembari melemparkan senyum manisnya.
Oh my good! Hati Irene meleleh tatkala melihat senyuman yang begitu menghangatkan hatinya.
Irene memang sudah menyukai Reno sejak dari semester tiga. Mereka bertemu saat mata kuliah olahraga. Kebetulan, jurusan ilmu komputer mendapatkan jadwal yang sama seperti jurusan sejarah. Dan, di sana pun Irene mengenal Aldi. Ketiganya pernah berada di satu kelompok yang sama.
“Ah, tentu. Aku selalu doakan yang terbaik untuk kamu dan Aldi,” timpal Irene.
“Nggak buat aku sendiri aja? Harus ada Aldinya?” goda Reno.
Alamak! Jantung Irene tak bisa dikontrol lagi sekarang. Dia benar-benar ingin berlari mengelilingi fakultasnya sekarang.
“Ya … kan, kalau doa itu—”
“Ren!”
Tiba-tiba seorang laki-laki menginterupsi. Sontak Reno yang tadi sedang menatap Irene langsung menoleh ke belakang.
“Udah beres, belum? Ini kita diminta balik ke fakultas, udah mau mulai acaranya,” kata teman dekat Reno.
Reno melirik ke arah Irene tidak enak. Namun, gadis itu hanya mengangguk–mempersilakan Reno jika dia harus segera pergi.
“Oh, oke. Kita caw,” balas Reno pada Alfi, kemudian kembali melihat Irene, “Nanti, aku chat, ya. Kita makan malem bareng. Ok?”
Apa? Makan malam bersama dengan Reno? Serius? Irene tidak salah dengar, kan? Bagaimana ini? Rasanya, wajah Irene semakin memanas. Bukan karena marah, tapi malah sebaliknya, dia merasa sangat bahagia sekarang.
“Oh, i-iya. A-aku tu-tunggu,” sahut Irene yang mendadak gagap.
Reno hanya tersenyum lalu pergi meninggalkan Irene.
“Siapa?” Suara bass di telinganya berhasil mengejutkan Irene. Mendadak, perempuan itu kembali pada mode normal.
“Hah? Siapa, siapa?” tanya Irene pada laki-laki yang terlihat lebih muda darinya. Dia nampak bingung ketika ditanya pertanyaan seperti itu.
“Cowok tadi,” timpalnya dengan nada dingin. “Pacar? Atau masih kecengan?”
“Oh, itu … temen doang. Nggak usah dipikirin, Gie.”
“Nggak yakin kalau cuman temen, Kak. Pasti kalian lagi deket, kan? Soalnya sampe ngajak makan malem gitu,” terang Irgie–adik dan keluarga inti satu-satunya yang Irene punya.
“Apaan, sih, Gie? Nggak, kok! Udah nggak usah dihiraukan, sekarang antar kakak ketemu keluarga Kak Gita, yuk!” ajak Irene mencoba mengalihkan pembicaraan adiknya itu.
“Denger, ya, Kak. Pokoknya, kalau Kakak sampai dekat atau pacaran sama dia, Irgie nggak akan restui. Dia tuh vibes-nya bukan cowok baik-baik,” kata Irgie memberikan sebuah peringatan pada Irene mengenai Reno.
Namun, bukannya menanggapi dengan serius, Irene hanya menggelengkan kepalanya.
“Apaan, sih, Gie. Kakak bilang, kan bukan siapa-siapa. Ayok, ah, kita temui keluarga Kak Gita,” ajak Irene.
***
Irene benar-benar tidak mempedulikan saran Irgie.
Malam harinya, Irene tetap pergi menemui Reno..
Biasanya malam setelah wisuda, orang-orang akan berkumpul dengan keluarganya. Namun, hal itu tak bisa dirasakan oleh Irene. Irgie, adik satu-satunya Irene pun harus segera pulang ke kampung halaman, karena besok dia harus kembali sekolah.
Orang tua? Tidak ada. Keduanya menjadi anak yatim piatu sejak Irene lulus SMA. Ibu mereka meninggal saat melahirkan Irgie, atau saat umur Irene tujuh tahun. Kemudian, ayahnya menyusul sebelas tahun kemudian.
Awalnya, Irene bahkan tidak berharap dia bisa kuliah. Dia berniat untuk bekerja, karena harus membiayai adiknya. Namun, dia mendapatkan kesempatan beasiswa di Universitas Wastukencana. Selain itu, Bibinya bersedia untuk mengurus Irgie di Tasikmalaya.
“Kita makan di sini aja, gapapa?” tanya Reno–menyadarkan Irene dari lamunan.
Saat ini, mereka berdua sedang berada di parkiran salah satu tempat steak yang lumayan terkenal di sana. Tempatnya pun tidak jauh dari tempat kosan Irene.
“Nggak papa, santai di mana aja,” jawab Irene dengan cepat, sembari memberikan helm pada Reno.
“Oke.”
Reno dan Irene pun jalan bersamaan memasuki tempat makan tersebut. Namun, belum juga mereka berdua tiba di pintu masuk—mungkin jaraknya masih enam meter lagi. Tiba-tiba Irene melihat sosok laki-laki tampan nan gagah yang dua hari lalu bertemu dengannya.
“Mampus!” ucap Irene pelan yang tiba-tiba menghentikan langkahnya saat melihat Juna. Namun, ternyata ucapannya itu terdengar oleh Reno.
“Hah? Kenapa, Ren?” tanya Reno.
Irene tak langsung menjawab. Kedua bola matanya masih sibuk melihat ke arah tempat makan–memperhatikan Juna yang sedang kebingungan.
“Irene?” panggil Reno karena tak kunjung mendapat jawaban dari Irene.
“Hah?” Irene mengerejap, melihat ke arah Reno. “Oh, Ren, gimana kalau kita pindah tempat makan. Kalau kamu mau makan steak, kita ke daerah ….” Irene mencoba mengingat tempat steak yang tidak jauh dari sini. “Daerah DU aja gimana?” tanya Irene.
“Memangnya kenapa?” Reno balik bertanya karena penasaran.
“Mmm … kayaknya di sini lumayan penuh. Kita ke daerah DU aja, yuk!” Irene menarik lengan baju Reno, dan membawanya kembali ke parkiran motor.
Sebisa mungkin, Irene tidak bertemu dengan Juna. Hari ini adalah hari bersejarah untuk Irene. Dan, dia tidak ingin hari indahnya harus dirusak oleh Juna dan fakta tentang hutang Irene padanya.
Untungnya, Reno tidak banyak protes. Laki-laki itu pun menurut dengan apa keinginan Irene. Keduanya gegas pergi ke arah parkiran dan langsung pergi ke daerah DU–sesuai saran dari Irene.
***
Di sisi lain, Juna baru saja memasuki tempat makan khusus steak itu. Dia melirik ke kiri dan ke kanan, seperti sedang mencari seseorang. Sedetik kemudian pandangannya terhenti, tatkala melihat sosok laki-laki dengan kaos putih berbalut jaket levis sedang memainkan ponselnya.
Tak menunggu lama Juna pun menghampirinya.
“Mas Aldi?”
BERSAMBUNG ….
“Mas Aldi?” tanya Juna berhati-hati. Laki-laki itu pun langsung mengangkat kepalanya dan melihat ke arah Juna. “Iya. Dengan Mas Stefan?” tanya Aldi dengan senyum. Juna pun mengangguk. Benar, malam ini dia sedang berpura-pura menjadi Stefan demi bertemu dengan Aldi. “Oh, silakan duduk, Mas,” ucap Aldi yang langsung berdiri dan mempersilakan Juna untuk duduk. Ada keheningan sejenak karena tak ada yang mau memulai duluan topik pembicaraan. Sampai pada akhirnya, Juna pun membuka mulutnya. “Sebenarnya saya ke sini ingin menanyakan perihal Bella,” kata Juna to the point. Mendengar nama Bella disebut, alis Aldi berkerut. “Bella? Bella mana, ya? Bukannya Mas Stefan bertemu saya karena ingin menanyakan perihal agensi saya?” tanya Aldi. Juna hanya mengangguk kecil. “Bella, mantan talent-mu. Dan, sebenarnya saya itu teman Jun. Saya ke sini, karena ada hal yang harus saya bicarakan dengan kamu, perihal Bella dan Juna.” “Maaf, Mas, tapi saya sudah tidak ada hubungannya dengan Be—” “Berapa
“Ah, iya untung saja datang tepat waktu. Bapak Ibu, mungkin di antara kalian ada yang sudah tahu, ya. Hanya saja memang saya belum sempat memperkenalkan dosen baru kita pada Bapak Ibu semua. Niat saya biar disatukan dengan perkenalan staff baru kita. Kalau begitu, silakan untuk memperkenalkan diri.”Juna pun tersenyum manis, lalu mengangguk. Sementara itu, Irene rasanya ingin menggali tanah, dan terkubur hidup-hidup.“Selamat siang, Bapak Ibu. Sebelumnya saya ingin mengucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya karena saya terlambat. Semoga permohonan maaf ini bisa diterima oleh Bapak dan Ibu semuanya. Perkenalkan saya Juna Atmadjadarma, yang kebetulan dipercaya untuk menjadi dosen di departemen sejarah. Sebelumnya saya bekerja di Universitas Purnawarman,” paparnya dengan jelas.Universitas Purnawarman dan Universitas Wastukencana sebenarnya masih satu payung–di bawah Yayasan Atmadjadarma.Yayasan tersebut memang konsen di bidang pendidikan dan kesehatan. Jadi, selain universitas dan be
“Kamu serius, kan?” tanya Aldi yang mencoba memastikan dengan keputusan sahabatnya. Mereka kini bahkan bertemu di sebuah cafe dekat kampus Irene. Pria itu begitu terkejut begitu Irene menghubunginya. “Iya. Lagi-lagi aku kepepet masalah uang. Uangnya harus ada besok,” jawab Irene. “Banget?” Irene mengangguk. “Banget. Makanya aku udah hopeless banget, Di. Tapi itu serius, Jun nggak papa? Maksudnya aku minta bayar di muka.” “Katanya gapapa. Dia bakal bayar lebih dari yang kamu minta.” “Ah, nggak usah lebih gitu. Nanti malah aku semakin terbebani.” Irene mendesah. “Ya … mungkin itu tujuan dia, Ren.” Aldi terpaksa memberikan tawaran pekerjaan kotor ini pada sahabatnya. Setelah bertemu dengan Stefan—yang sebenarnya adalah Juna—Aldi merasa terlena. Pasalnya, Stefan mau untuk menjadi investor di projek terbarunya. Kebetulan projek ini pun untuk menunjang skripsinya. Jujur, Aldi hanya manusia biasa yang mampu tergoda oleh uang. Niat awalnya ingin melindungi Irene dan menjauhkan sahabat
“Di mana? Ini ada mahasiswa mau bikin surat untuk penelitian. Katanya minta sore ini selesai,” jawab Mia.“Buset, sore ini? Dadakan banget, aku masih harus beresin surat yang lain, Bu,” keluh Irene.Mia mendesah. “Udah saya bilangin, tapi mereka maksa. Ya udah cepet balik. Jam makan siang juga udah mau selesai,” pungkas Mia yang langsung mematikan panggilan teleponnya.Irene menghela napas kasar. Dia melirik pada arloji yang melingkar di tangan kirinya. Padahal Irene masih memiliki waktu sepuluh menit lagi untuk istirahat dan menghabiskan capuccino latte miliknya.Namun, apa boleh buat, Irene pun akhirnya bangkit sembari membawa kopinya yang belum habis. Sambil meminum kopi, Irene melangkah dengan terburu-buru. Dia harus segera sampai ke kampus yang jaraknya sekitar lima ratus meter dari cafe tersebut.Brak!Saking terburu-buru, Irene pun tersandung kursi yang tidak dirapikan oleh pelanggan sebelumnya. Seketika Irene tersungkur ke arah kursi yang ada di depannya. Kopi yang sedang dipe
“Halo, Jun?”Suara itu nampak tak asing di telinga Juna. Laki-laki itu pun menarik sudut bibirnya sebelah.“Ya, Bella?” timpal Juna.Benar, pemilik suara indah tersebut adalah Bella. Mendengar dua kata yang baru terucap saja, membuat hati Juna berbunga. Dia sudah sangat mengenal dengan baik suara partner-nya itu“Apa kabar?” tanya gadis yang tentu saja bernama asli Irene.“Baik. Jadi, kamu mau bekerja untukku?”Juna duduk di kursi kerjanya, lalu dia menyandarkan punggungnya.“Ya … begitulah,” timpal Irene irit, nampaknya dia merasa tidak enak.“Baguslah. Aku pasti akan memberikan apa pun yang kamu inginkan. Asal kamu selalu siap dalam melayaniku.”Perkataan Juna itu bukan sebuah kalimat gombalan. Dia pasti akan memberikan apa pun yang diinginkan oleh partner-nya itu.“Mmm … aku cuman ingin uang lima belas juta besok. Bisa, kan?” tanyanya dengan sedikit ragu.Juna mendengus sambil menarik kedua sudut bibirnya. “Tentu. Aku akan kirimkan uangnya pada Aldi. Asalkan kamu bisa melayani aku
“Irene, kamu ada di dalam?” Suara laki-laki terdengar dari balik pintu.Mendengar namanya dipanggil, pupil Irene membulat. Buru-buru Irene mematikan ponsel yang menjadi alat komunikasi dirinya dengan Juna. Lalu ia simpan di laci mejanya.“Irene? Ini aku, Reno,” panggil laki-laki itu lagi.Deg!“Oh, i-iya, Ren. Sebentar,” sahut Irene yang berusaha merapikan penampilannya.Setelah dirasa rapi, gadis itu pun membuka pintu kamar kosnya.“Ya, Ren. Ada apa?” tanya Irene dengan tenang.Padahal dalam hatinya, dia sedikit tidak bisa santai. Mendapati laki-laki yang ia sukai ada di depan matanya, itu membuat hati Irene meletup seperti popcorn.“Oh, ini.” Reno memberikan sebuah keresek berwarna putih. Di dalamnya terdapat sebuah box kecil.Irene menerima dengan penuh rasa penasaran. “Ini apa?” tanyanya.“Tadi aku habis antar Alfi ke toko kue. Dia beli kue untuk pacarnya yang ulang tahun. Terus, aku lihat redvelvet, dan langsung inget kamu. Ya sudah, aku bawain,” jawabnya, sembari menampilkan sen
Irene masih berusaha mengintip pada celah kecil. Pandangannya yang terbatas, membuat dirinya tidak mengetahui dengan pasti siapa dua perempuan yang masuk ke ruangan Juna. Terlihat ada satu orang perempuan yang sedang sibuk dengan bingkai lukisan yang mengarah tepat ke meja kerja Juna.“Cepetan,” bisik seorang perempuan yang tak begitu nampak oleh Irene.“Sebentar, dikit lagi, cuy,” timpal perempuan lain yang sedang sibuk dengan sebuah barang di tangannya.Irene menyipitkan mata, ketika perempuan dengan berbalut kemeja bercorak bunga sedang menempelkan sesuatu pada bingkai lukisan. Dia menyipitkan mata dan masih mengintip pada celah kecil.“Loh, bukannya itu?” gumamnya kecil.Dug.“Aww,” ringis Irene nyaris tak terdengar.Saking terkejutnya, Irene tersentak dan mengakibatkan kepalanya membentur meja kerja Juna.“Apaan, tuh?” kaget perempuan berbalut kemeja bunga-bunga.“Udah, cepet buruan!” ajak perempuan lain, “nanti keburu Pak Juna datang,” imbuhnya.Karena misi mereka sudah berhasil
Irene berdiri di depan pintu berwarna cokelat. Tepat di depannya adalah ruang kerja Juna. Memang cucu dari pemilik yayasan ini diperlakukan spesial. Pasalnya hanya dirinya—dosen yang mendapatkan ruang kerja sendiri. Sudah seperti kepala departemen saja.Gadis itu mengangkat tangan kanannya yang mengepal, hendak mengetuk pintu kerja Juna. Irene mendadak terdiam, dia memejamkan mata dan menarik napas dalam. Mencoba menenangkan hatinya, sebelum dia bertemu dengan sang dosen menyebalkan.Setelah ia mengetuk tiga kali, Irene pun meraih handle pintu. Ia segera membuka pintu cokelat tersebut.“Selamat siang, Pak. Ada apa memanggil saya?” tanya Irene.Gadis itu berusaha untuk tenang. Padahal hatinya berkecamuk, karena dia sudah enggan berurusan dengan pria ini.“Masuk!” perintah Juna, tanpa melihat ke arah Irene sedikit pun.Terlihat laki-laki itu sedang sibuk dengan laptopnya. Entah apa yang sedang ia kerjakan, Irene t
“Apa? Ada anak laki-laki yang menggoda anak perempuan Papa?” Tiba-tiba saja Juna datang dengan pakaian yang sudah lengkap. Dia langsung menghampiri anak dan istrinya. “Siapa dia, Nathan?” tanya Juna lagi. Nathan menoleh ke arah sang ayah, dia merasa memiliki teman sekarang. “Ada, Pa. Dia anak laki-laki di kelas sebelah. Nathan tidak suka Freya dekat dengan Farrel, karena laki-laki itu sering kali memberikan anak perempuan ikat rambut. Sudah jelas dia bukan laki-laki baik, kan, Pa?” ucap Nathan. “Wah, jelas. Dia bukan laki-laki yang baik. Dia dekat dengan semua perempuan. Bagus, Sayang, kamu harus melindungi adikmu.” Juna langsung mengelus puncak kepala Nathan. Sedangkan anak laki-lakinya itu tersenyum penuh kemenangan. Berbeda dengan Nathan yang merasa dibela oleh sang ayah. Freya terlihat matanya berkaca. “Papa kok membela Kak Nathan?” ucap Freya dengan suaranya yang bergetar, “padahal Papa bilang kalau kita harus menerima pemberian dan niat baik dari orang lain. Freya tahu kal
“Pa, sebaiknya Papa di rumah saja. Nanti Jessica akan mengirim kabar secepatnya,” ucap Jessica pada ayah mertuanya.Kini mereka sedang di rumah sakit. Tidak, tidak ada yang sakit, hanya saja ada seseorang yang hendak melahirkan.“Tidak, Papa tidak bisa menunggu di rumah dengan tenang. Papa sudah sangat menantikan cicit dari Juna,” jawab Jodi yang sedang duduk di kursi roda dan di temani dengan asisten pribadinya.Kesehatan Jodi tidak seprima sebelumnya. Namun, begitu dia sangat mengayomi Irene. Bahkan hampir setiap minggu Jodi selalu mendatangi kediaman Jessica. Karena selama Irene hamil, perempuan itu tinggal dengan ibu mertuanya.Kehadiran anak Juna dan Irene sangat ditunggu-tunggu oleh semua orang, bukan hanya ibu bapaknya saja. Hampir seluruh keluarga besar Juna dan Irene menantikan kelahiran mereka. Bahkan tak sedikit dari mereka yang bertaruh, anaknya akan mirip seperti Juna atau Irene.“Suami Bu Irene apa sudah
“Good evening, My Honey.”Irene masih diam bagaikan patung. Dia merasa sangat sangat terkejut dengan kedatangan Juna. Ya, benar Juna suaminya, kini ada di hadapan Irene.“Kaget, ya?” goda Juna.“Kamu kok ada di sini? Kapan berangkatnya?” tanya Irene dengan mulut sedikit menganga.“Kemarin kalau waktu Indonesia,” jawab Juna cepat, “aku nggak dipersilakan masuk?” tanyanya lagi.Irene mengerejap, dia benar-benar dibuat ternganga oleh kedatangan Juna yang sangat tiba-tiba.“Ah, iya. Ayok masuk, tapi kamar apartemenku kecil. Cuman tipe studio,” ucap Irene.Juna menggeleng. “Tidak apa. Asal bersamamu, tempat sekecil lemari pun aku merasa nyaman,” gombalnya.Irene mendengus, lalu sedikit mendelik. Karena tak banyak bahan makanan yang tersedia. Irene hanya memasak mie instan untuk suaminya.“Maaf aku cuman bisa kasih ini. Kalau kamu bilang, aku bisa prepare,” ucap Irene.“No problem, Honey. Kalau aku bilang, bukan surprise namanya.”Irene menghela napas, lalu memberikan semangkuk mie instan p
Atmosfer di kamar itu terasa sangat panas. Bahkan peluh dua insan manusia itu sudah melebur menjadi satu. Suara napas mereka saling berderu satu sama lain. Tak ketinggalan suara desahan demi desahan terdengar jelas keluar dari mulut sang perempuan muda.“Tahan, ini akan terasa sakit di awal,” ucap Juna sambil menatap kedua mata cokelat milik istrinya.Setelah pemanasan di kamar mandi, mereka pun kembali ke kamar, sesuai dengan permintaan Irene. Pasalnya Irene merasa tidak nyaman dan tidak leluasa. Apalagi dengan nol pengalaman yang dimiliki Irene.“Jun, aku takut,” rintih Irene. Namun, begitu rintihan itu terdengar seperti seseorang yang sedang menikmati nikmatnya dunia.“Tenang, kamu percayakan saja padaku,” kata Juna meyakinkannya. Kemudian dia mengecup kening istrinya.Irene pun mengangguk, walau perasaan takut kini mulai bisa ia rasakan. Dia sedikit ngeri ketika membayangkan sesuatu masuk ke dalam tubuhnya. Apalagi milik Juna terlihat sangat besar dan juga gagah. Apa bisa miliknya
“Silakan, Mas Juna kita sudah sampai,” ucap seorang sopir yang duduk di balik kemudi. Setelah acara pesta selesai, Juna dan Irene menuju sebuah hotel mewah di ibu kota. Mereka belum sempat menyusun acara bulan madu, karena besok Juna ada agenda penting yang tidak bisa ia tinggalkan. Ya, wajarlah, mereka menikah itu the power of dadakan. Ketika Irene sudah mengatakan bahwa dia akan kembali pada Juna. Hanya berselang satu minggu, Juna langsung mempersunting Irene. Bahkan untuk momen tunangan saja mereka melewati hal tersebut. Juna merasa sedikit khawatir, kalau saja Irene kembali berubah pikiran. Atau sebenarnya memang Juna sendiri sudah merasa tidak tahan dengan statusnya sebagai duda loyo? Tak hanya Juna yang memiliki agenda penting, Irene pun sama demikian. Dia harus kembali ke Inggris untuk sementara waktu. Menyelesaikan apa yang seharusnya dia selesaikan terlebih dahulu. “Selamat datang Pak Juna Atmadjadarma dan juga istri,” sambut seorang pria jangkung dan mempunyai tubuh gagah
Juna merasa gelisah, karena dirinya khawatir tidak sempat untuk bertemu dengan Irene. Dirinya langsung keluar dari mobil SUV hitam dan langsung berlari memasuki bandara. Beberapa kali Juna harus menyalip beberapa kerumunan, dan dia terus meminta maaf. “Please, Tuhan. Semoga sempat,” batin Juna, yang tak pernah memperlambat langkahnya. Sampai di suatu titik di mana Juna melihat gadis yang sedang dicarinya sedang berlari dari arah yang berlawanan. Entah apa yang sedang gadis itu lakukan, tapi Juna merasa bersyukur karena masih diberikan kesempatan untuk bertemu dengannya. Juna rela meninggalkan rapat penting demi menyusul Irene. Dia tidak ingin kehilangan gadis itu untuk kesekian kalinya. Juna tidak bisa membiarkan Irene pergi meninggalkannya sendiri. Walau Juna siap menunggu Irene sampai kapan pun, tapi jika masih bisa untuk menahannya maka akan Juna lakukan. Gadis itu semakin dekat dengannya. Juna bisa melihat kalau Irene pun ikut memandangnya. Sedetik kemudian, Juna melihat kalau
Padang rumput yang sangat hijau kini menghiasi pandangan Irene. Bunga butercup terlihat menghiasi di atasnya. Kombinasi warna hijau dan hiasan berwarna kuning, begitu menyejukkan mata.Irene sedang berdiri di tengah-tengah padang rumput itu. Angin sepoi-sepoi sesekali menyibak rambutnya. Ia sesekali menyisir rambut hitamnya itu. Kemudian, tiba-tiba di ujung sana, Irene melihat sebuah objek yang membuat matanya menyipit untuk mengamati objek tersebut.“Mama? Papa?” gumam Irene kecil.Objek itu semakin jelas. Irene bisa melihat sosok kedua orang tuanya sedang memandang Irene dari kejauhan. Terlihat mereka tersenyum lebar, sembari tangannya terulur.“Mama! Papa!” teriak Irene, saat dirinya sudah yakin bahwa yang dilihatnya adalah sosok kedua orang tuanya.Dalam hitungan detik, Irene pun berlari mendekati kedua orang tuanya. Tanpa berpikir panjang, dia langsung memeluk mereka berdua.“Ma, Pa, aku kangen,” lirih Irene. Air matanya pun tumpah ruah seketika.“Kamu sudah besar, ya, Sayang,” b
Irene sedikit terkejut dengan apa yang baru saja terjadi padanya. Saat dirinya sedang berjalan mundur, tanpa sengaja dia menabrak nenek yang sudah tua dan renta, yang sedang membawa kayu bakar di punggungnya. Seketika kayu yang dibawa sang nenek berjatuhan. Dengan cepat Irene langsung berjongkok dan membantu sang nenek merapikan ranting dan juga kayu tersebut. “Nek, sekali lagi maafkan saya. Saya tidak sengaja,” ucap Irene dengan perasaan sangat bersalah. “Ndak papa, Nduk,” balas sang nenek yang sudah renta tersebut sambil menatap Irene dan tersenyum. “Biar saya yang bawa saja, Nek. Nenek tinggal di mana? Biar saya antarkan.” Merasa sangat bersalah, Irene pun berinsiatif menawarkan bantuan. “Tidak usah. Tidak apa-apa, rumah Nenek masih jauh,” balas sang Nenek. Irene mendesah, “Apalagi rumah Nenek jauh. Biar saya yang batu, ya, Nek. Nenek jangan menolak,” paksa Irene. Saking tidak mau ditolak bantuanya, Irene langsung menggendong kayu tersebut di punggungnya. Dia sedikit merin
Entah sejak kapan Jessica ada di tempat itu. Namun, sekarang wanita yang sudah terlihat tua itu duduk di hadapan Irene. Mau tidak mau, Irene harus meluangkan waktu untuk sekedar mengobrol dengannya.“Apa kabar?” tanya Jessica membuka pembicaraan.“Baik, Tante,” jawab Irene sambil tersenyum canggung.Jessica pun balas melemparkan senyumannya. “Kamu tambah cantik saja. Gimana kerjaan di sana?” Wanita itu masih berbasa-basi.“Terima kasih banyak, Tante. Lumayan nyaman. Tante dan Om Justin bagaimana kabarnya?” tanya Irene.“Kabar kami baik, Ren.”“Tante, kenapa harus repot-repot datang ke mari?” tanya Irene dengan raut wajah yang sedikit kurang nyaman.Bukan, Irene bukan merasa kurang nyaman dengan Jessica. Melainkan, dia merasa sedikit tidak nyaman karena tiba-tiba saja Jessica ada di sini. Kota yang bisa dibilang lumayan jauh dari tempat tinggalnya.“Tante dapat kabar dari Irgie, kalau kamu pulang ke Indonesia. Jadi, Tante menyempatkan hadir. Tadinya Om Justin juga ingin datang, tapi ka