“Kenapa kaca mobil lo? Tadi gue parkir di samping mobil lo, dan lihat kacanya pecah.”
Saat ini, Juna sedang berada di sebuah lounge mewah di kota kembang. Dia memiliki janji untuk bertemu dengan Stefan–teman baiknya sejak duduk di bangku perkuliahan.
“Insiden,” jawab Juna irit sembari meneguk whisky dalam sloki.
Kemudian dia melirik ke arah pergelangan tangan kirinya–melihat jarum jam pada arloji yang sedang ia kenakan. “Cih. Ada ya, orang yang ngajak ketemuan itu yang telat dibanding orang yang diajaknya.”
Stefan menyandarkan punggungnya pada kursi. “Sorry, gue tadi ada masalah dulu sama istri. Biasalah, agak gimana kalau gue pergi malam.”
Juna memutar bola matanya malas sembari membuang napas kasar.
“Ah, sorry lagi.” Mendadak Stefan tidak enak karena menyinggung soal istri. “Makanya deh, Jun. Lo cepet cari cewek lagi yang bisa diajak serius,” saran sahabat Juna itu.
Juna hanya mendengus dan membuang muka. “Lo kayak nggak tahu kondisi gue aja, Stef,” timpalnya.
“Belum sembuh juga? Bukannya lo pernah bilang, kalau milik lo itu sekarang udah bisa respon?” tanya Stefan sembari melirik ke arah bawah sana.
Juna menggeleng. “Kecuali dengan suara Bella,” ucapnya dengan suara yang terdengar pelan.
“Ngomong-ngomong tentang Bella. Lo nggak ada niat buat temuin dia? Bukannya dia bilang kalau orang sini? Nah, sekalian aja samperin, siapa tahu bisa diajak serius,” saran Stefan.
Mendengar nama Bella, Juna semakin kesal. Gadis yang tiba-tiba memberikan kabar sepihak itu– pernah memberi tahu kalau dia tinggal di kota ini. Namun, Juna tidak ingin bertemu dengannya. Juna merasa mendapatkan pelayanan via telepon sudah cukup. Terlebih, Juna khawatir kalau pertemuan dengan Bella, tidak berbuah baik.
Memang suara perempuan itu bisa membuat milik Juna tegang. Tapi … belum tentu jika bertemu langsung, bukan?
Dulu, Juna pernah beranggapan kalau dirinya sudah sembuh setelah sering melakukan phone sex dengan Bella. Dia bahkan memutuskan untuk berhubungan dengan seorang perempuan. Namun, ternyata hasil tidak sesuai dengan harapan.
Milik Juna tidak merespon: loyo dan tak bertenaga saat mendapatkan sentuhan dari seorang wanita.
“Ck!”
Mendengar decakan malas temannya, Stefan menggelengkan kepala. “Jun, lo udah coba cek lagi ke dokter? Nanya kabar alat reproduksi lo gitu? Apa nggak ada treatment untuk menyembuhkannya? Kalau gini terus, kapan lo bisa punya istri?”
Stefan menarik punggungnya dari kursi, lalu mencondongkan tubuhnya ke arah Juna. “Ya, mungkin di luar sana banyak yang antre buat dapetin lo. Tapi, kalau kondisi lo kayak gini, yang ada lo gagal lagi gagal lagi dalam pernikahan.”
“Udahlah, lo nggak usah bahas hal itu. Dari dulu, gue juga udah coba segala macam perawatan. Dan, nggak ada yang berhasil. Cuman sama suara Bella milik gue merespon. Gue juga nggak tahu kenapa.”
Juna kemudian menyisir rambutnya kasar.
Di balik wajah tampan, tubuh kekar, dan harta yang tak ternilai–Juna memiliki sebuah kekurangan yang menjadi aib yang dia tutup rapat-rapat. Kecuali kepada dua orang; Stefan dan Amara—mantan istrinya.
Kekurangan ini pun yang menjadi faktor utama kehidupan rumah tangga Juna kandas. Perempuan mana yang menginginkan suaminya mengidap impotensi?
Kalau ditanya apa penyebab Juna bisa mengidap gangguan dengan alat reproduksinya. Juna juga tidak tahu.
Tiba-tiba saja, lima tahun lalu, dia sudah mengidap penyakit ini. Dan selama lima tahun itu juga Juna tersiksa. Padahal, Juna dulu terkenal bisa memuaskan para wanita yang pernah digagahinya.
“Ya udah, kalau memang cuman Bella. Lo kudu ajak dia ketemu, siapa tahu dia mau juga kasih treatment buat lo secara langsung, dan lo sembuh.”
Juna mendengus dan menyandarkan punggungnya. “Mau ajak ketemu dia gimana? Lagi pula dia bilang kalau nggak bisa layanin gue.”
“Lho, kok bisa? Bukannya setahun ini kalian aman-aman aja. Lo sendiri suka bayar dia, kan?” Stefan sedikit tersentak ketika mendengar kabar tersebut.
“Dia udah nggak kerja dengan agensinya. Gue juga udah coba hubungi orang yang selalu jadi penghubung antara gue dan Bella, tapi nggak diangkat.”
Tersirat perasaan putus asa dari wajah tampan Juna.
Benar, dia sudah mencoba menghubungi Aldi beberapa kali, tapi hasilnya nihil. Bahkan sepertinya Aldi memblokir nomornya.
Memang sialan! Padahal selama ini Juna merupakan client mereka yang loyal. Tapi, kenapa sekarang diberikan keputusan sepihak? Bagi Juna yang sudah ketergantungan dengan Bella, tentu hal ini tidak adil!
Terlihat Stefan pun termenung. Dia merasa sedikit kasihan pada Juna.
Padahal semasa kuliah, Juna tidak pernah merasakan ditinggal perempuan. Mereka justru siap sedia mengantre untuk temannya itu. Namun, sekarang Juna malah dicampakkan oleh perempuan karena kekurangannya. Bahkan, Juna harus menutup mulut mereka dengan uang–agar tidak menyebarkan aib Juna secara terang-terangan.
“Jun, gimana kalau kita balik ke Yogya?” Tiba-tiba Stefan teringat sesuatu hal di kota pelajar itu.
“Untuk?”
“Kita cari nenek-nenek yang saat itu kita temui di lereng gunung merapi. Gue punya feeling ucapan nenek itu ada benernya.”
Juna mendengus sambil menggeleng. “Kenapa lo masih inget sama omongan si nenek tua itu, sih?”
“Siapa tahu ada benernya, bukan? Sekarang, kalau dipikir pakai logika, secara medis lo baik-baik saja. Mau diobatin ke negara maju sekali pun, kayaknya kondisi lo bakal kayak begini. Dan, siapa tahu omongan nenek tua itu bener. Lagian, lo nggak ngerasa aneh gitu? Pas kita lagi jalan-jalan, tiba-tiba nenek itu nyamperin kita dan bilang hal itu sama lo.”
Juna tidak mengingat secara detail apa yang terjadi hari itu. Lagi pula kejadian itu sudah bertahun-tahun lalu. Namun, saat ini dia merenung, memijat keningnya dan mencoba me-review kembali.
“Coba lo renungi baik-baik. Gue yakin omongan nenek itu ada benarnya,” ucap Stefan meyakinkan.
Melirik ke arah sahabatnya yang sedang memasang wajah serius, Juna pun menghembuskan nafasnya kasar dan termenung.
BERSAMBUNG …
“Selamat, ya,” ucap seorang laki-laki dengan rambut belah tengah ala-ala cowok dari negeri gingseng. Dia memberikan bunga mawar berwarna putih dan merah muda pada Irene yang tengah memakai toga wisuda. “Eh? Ma-makasih, Reno.” Irene segera menerima buket bunga pemberian dari laki-laki jurusan ilmu komputer itu. Terlihat wajah Irene memerah. Bahkan, sesekali dia menjilat bibirnya yang tidak kering sama sekali. Ah, sial! Entah kenapa Irene merasa dirinya jadi salah tingkah. Padahal, dia hanya diberi bunga oleh pria itu. “Doakan aku cepat menyusul ya,” tambah Reno sembari melemparkan senyum manisnya. Oh my good! Hati Irene meleleh tatkala melihat senyuman yang begitu menghangatkan hatinya. Irene memang sudah menyukai Reno sejak dari semester tiga. Mereka bertemu saat mata kuliah olahraga. Kebetulan, jurusan ilmu komputer mendapatkan jadwal yang sama seperti jurusan sejarah. Dan, di sana pun Irene mengenal Aldi. Ketiganya pernah berada di satu kelompok yang sama. “Ah, tentu. Aku sela
“Mas Aldi?” tanya Juna berhati-hati. Laki-laki itu pun langsung mengangkat kepalanya dan melihat ke arah Juna. “Iya. Dengan Mas Stefan?” tanya Aldi dengan senyum. Juna pun mengangguk. Benar, malam ini dia sedang berpura-pura menjadi Stefan demi bertemu dengan Aldi. “Oh, silakan duduk, Mas,” ucap Aldi yang langsung berdiri dan mempersilakan Juna untuk duduk. Ada keheningan sejenak karena tak ada yang mau memulai duluan topik pembicaraan. Sampai pada akhirnya, Juna pun membuka mulutnya. “Sebenarnya saya ke sini ingin menanyakan perihal Bella,” kata Juna to the point. Mendengar nama Bella disebut, alis Aldi berkerut. “Bella? Bella mana, ya? Bukannya Mas Stefan bertemu saya karena ingin menanyakan perihal agensi saya?” tanya Aldi. Juna hanya mengangguk kecil. “Bella, mantan talent-mu. Dan, sebenarnya saya itu teman Jun. Saya ke sini, karena ada hal yang harus saya bicarakan dengan kamu, perihal Bella dan Juna.” “Maaf, Mas, tapi saya sudah tidak ada hubungannya dengan Be—” “Berapa
“Ah, iya untung saja datang tepat waktu. Bapak Ibu, mungkin di antara kalian ada yang sudah tahu, ya. Hanya saja memang saya belum sempat memperkenalkan dosen baru kita pada Bapak Ibu semua. Niat saya biar disatukan dengan perkenalan staff baru kita. Kalau begitu, silakan untuk memperkenalkan diri.”Juna pun tersenyum manis, lalu mengangguk. Sementara itu, Irene rasanya ingin menggali tanah, dan terkubur hidup-hidup.“Selamat siang, Bapak Ibu. Sebelumnya saya ingin mengucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya karena saya terlambat. Semoga permohonan maaf ini bisa diterima oleh Bapak dan Ibu semuanya. Perkenalkan saya Juna Atmadjadarma, yang kebetulan dipercaya untuk menjadi dosen di departemen sejarah. Sebelumnya saya bekerja di Universitas Purnawarman,” paparnya dengan jelas.Universitas Purnawarman dan Universitas Wastukencana sebenarnya masih satu payung–di bawah Yayasan Atmadjadarma.Yayasan tersebut memang konsen di bidang pendidikan dan kesehatan. Jadi, selain universitas dan be
“Kamu serius, kan?” tanya Aldi yang mencoba memastikan dengan keputusan sahabatnya. Mereka kini bahkan bertemu di sebuah cafe dekat kampus Irene. Pria itu begitu terkejut begitu Irene menghubunginya. “Iya. Lagi-lagi aku kepepet masalah uang. Uangnya harus ada besok,” jawab Irene. “Banget?” Irene mengangguk. “Banget. Makanya aku udah hopeless banget, Di. Tapi itu serius, Jun nggak papa? Maksudnya aku minta bayar di muka.” “Katanya gapapa. Dia bakal bayar lebih dari yang kamu minta.” “Ah, nggak usah lebih gitu. Nanti malah aku semakin terbebani.” Irene mendesah. “Ya … mungkin itu tujuan dia, Ren.” Aldi terpaksa memberikan tawaran pekerjaan kotor ini pada sahabatnya. Setelah bertemu dengan Stefan—yang sebenarnya adalah Juna—Aldi merasa terlena. Pasalnya, Stefan mau untuk menjadi investor di projek terbarunya. Kebetulan projek ini pun untuk menunjang skripsinya. Jujur, Aldi hanya manusia biasa yang mampu tergoda oleh uang. Niat awalnya ingin melindungi Irene dan menjauhkan sahabat
“Di mana? Ini ada mahasiswa mau bikin surat untuk penelitian. Katanya minta sore ini selesai,” jawab Mia.“Buset, sore ini? Dadakan banget, aku masih harus beresin surat yang lain, Bu,” keluh Irene.Mia mendesah. “Udah saya bilangin, tapi mereka maksa. Ya udah cepet balik. Jam makan siang juga udah mau selesai,” pungkas Mia yang langsung mematikan panggilan teleponnya.Irene menghela napas kasar. Dia melirik pada arloji yang melingkar di tangan kirinya. Padahal Irene masih memiliki waktu sepuluh menit lagi untuk istirahat dan menghabiskan capuccino latte miliknya.Namun, apa boleh buat, Irene pun akhirnya bangkit sembari membawa kopinya yang belum habis. Sambil meminum kopi, Irene melangkah dengan terburu-buru. Dia harus segera sampai ke kampus yang jaraknya sekitar lima ratus meter dari cafe tersebut.Brak!Saking terburu-buru, Irene pun tersandung kursi yang tidak dirapikan oleh pelanggan sebelumnya. Seketika Irene tersungkur ke arah kursi yang ada di depannya. Kopi yang sedang dipe
“Halo, Jun?”Suara itu nampak tak asing di telinga Juna. Laki-laki itu pun menarik sudut bibirnya sebelah.“Ya, Bella?” timpal Juna.Benar, pemilik suara indah tersebut adalah Bella. Mendengar dua kata yang baru terucap saja, membuat hati Juna berbunga. Dia sudah sangat mengenal dengan baik suara partner-nya itu“Apa kabar?” tanya gadis yang tentu saja bernama asli Irene.“Baik. Jadi, kamu mau bekerja untukku?”Juna duduk di kursi kerjanya, lalu dia menyandarkan punggungnya.“Ya … begitulah,” timpal Irene irit, nampaknya dia merasa tidak enak.“Baguslah. Aku pasti akan memberikan apa pun yang kamu inginkan. Asal kamu selalu siap dalam melayaniku.”Perkataan Juna itu bukan sebuah kalimat gombalan. Dia pasti akan memberikan apa pun yang diinginkan oleh partner-nya itu.“Mmm … aku cuman ingin uang lima belas juta besok. Bisa, kan?” tanyanya dengan sedikit ragu.Juna mendengus sambil menarik kedua sudut bibirnya. “Tentu. Aku akan kirimkan uangnya pada Aldi. Asalkan kamu bisa melayani aku
“Irene, kamu ada di dalam?” Suara laki-laki terdengar dari balik pintu.Mendengar namanya dipanggil, pupil Irene membulat. Buru-buru Irene mematikan ponsel yang menjadi alat komunikasi dirinya dengan Juna. Lalu ia simpan di laci mejanya.“Irene? Ini aku, Reno,” panggil laki-laki itu lagi.Deg!“Oh, i-iya, Ren. Sebentar,” sahut Irene yang berusaha merapikan penampilannya.Setelah dirasa rapi, gadis itu pun membuka pintu kamar kosnya.“Ya, Ren. Ada apa?” tanya Irene dengan tenang.Padahal dalam hatinya, dia sedikit tidak bisa santai. Mendapati laki-laki yang ia sukai ada di depan matanya, itu membuat hati Irene meletup seperti popcorn.“Oh, ini.” Reno memberikan sebuah keresek berwarna putih. Di dalamnya terdapat sebuah box kecil.Irene menerima dengan penuh rasa penasaran. “Ini apa?” tanyanya.“Tadi aku habis antar Alfi ke toko kue. Dia beli kue untuk pacarnya yang ulang tahun. Terus, aku lihat redvelvet, dan langsung inget kamu. Ya sudah, aku bawain,” jawabnya, sembari menampilkan sen
Irene masih berusaha mengintip pada celah kecil. Pandangannya yang terbatas, membuat dirinya tidak mengetahui dengan pasti siapa dua perempuan yang masuk ke ruangan Juna. Terlihat ada satu orang perempuan yang sedang sibuk dengan bingkai lukisan yang mengarah tepat ke meja kerja Juna.“Cepetan,” bisik seorang perempuan yang tak begitu nampak oleh Irene.“Sebentar, dikit lagi, cuy,” timpal perempuan lain yang sedang sibuk dengan sebuah barang di tangannya.Irene menyipitkan mata, ketika perempuan dengan berbalut kemeja bercorak bunga sedang menempelkan sesuatu pada bingkai lukisan. Dia menyipitkan mata dan masih mengintip pada celah kecil.“Loh, bukannya itu?” gumamnya kecil.Dug.“Aww,” ringis Irene nyaris tak terdengar.Saking terkejutnya, Irene tersentak dan mengakibatkan kepalanya membentur meja kerja Juna.“Apaan, tuh?” kaget perempuan berbalut kemeja bunga-bunga.“Udah, cepet buruan!” ajak perempuan lain, “nanti keburu Pak Juna datang,” imbuhnya.Karena misi mereka sudah berhasil