Seorang pria berumur tiga puluhan baru saja keluar dari gedung FIB. Dengan berbalut kemeja berwarna biru dongker yang nampak sangat berkelas–laki-laki itu melangkah dengan tergesa-gesa. Dia menuruni jalan dan segera menuju parkiran mobil, yang tidak jauh dari sana.
“Sial! Aldi juga gak angkat telepon sama sekali,” gerutunya.
Karena panggilannya tak kunjung diangkat dan dia juga terlihat seperti sedang terburu-buru, maka ia putuskan untuk menyimpan ponselnya ke dalam saku celana.
Kemudian dia pun membuka pintu mobil yang kini sudah ada di hadapannya. Namun, saat pria itu hendak meraih handle pintu mobilnya. Dia tiba-tiba dikejutkan oleh sesuatu.
Prang!
Pria itu pun mengerejap dan membuka matanya lebar. Sebuah botol kaca bekas minuman vitamin C, berhasil membuat kaca depan mobilnya retak. Mobil yang nampak sporty dan terlihat mahal itu, harus cacat karena ulah seseorang!
“Hey! Siapa yang melemparkan botol kaca ke sini?!” teriaknya.
Beberapa pasang mata kini tertuju ke arahnya. Namun, dia tidak peduli dengan hal itu. Yang dia ingin tahu adalah sosok orang kurang ajar, yang melempar botol kaca sampai mengenai mobilnya.
“Cepet turun! Kalau cowok, sini adu jotos sekalian!” teriaknya lagi.
Dan, tak menunggu sampai lima menit, tiba-tiba pria itu melihat seorang gadis berlari menghampirinya. Terlihat wajah bingung dan bersalah pada gadis itu.
“A-anu, Pak … ma-maaf,” ucap gadis itu dengan pandangan yang ia arahkan ke bawah.
“Ck! Kamu yang lempar botol ini, hah?” tanyanya, tentu saja dengan nada membentak. Pria itu mengacungkan barang bukti yang merusak mobilnya. Kemudian perempuan itu hanya mengangguk. "Siapa namamu?”
“I-irene, Pak,” jawabnya lagi, dengan masih menundukkan kepalanya.
“Angkat kepalamu! Kalau sedang bicara, tatap lawan bicaramu!”
Dengan perasaan yang campur aduk, Irene pun perlahan menaikan kepalanya.
Kemudian, dia melihat seorang laki-laki berdiri di hadapannya dengan wajah yang merah padam. Irene pun mencoba untuk mencuri pandang ke belakang lelaki itu. Dia mencoba melihat hasil dari perbuatannya itu. Seketika dia memejamkan mata dan menggigit bibir bawahnya.
“Kamu sengaja lempar ini ke mobil saya, hah?” sentaknya lagi dengan tatapan menyalang.
“Ah, ngg-nggak, Pak. Serius! Saya bener-bener nggak sengaja. Niatnya, saya lempar ke tempat sampah, tapi malah … offside,” paparnya. Suaranya pun melemah saat mengucapkan kata yang Irene ucapkan di bagian terakhir.
“Kamu mahasiswa atau anak kecil, sih? Sampah kok dilempar? Buang yang bener! Apa waktu kamu kecil nggak diajari sama ibumu, hah?”
Mendapati dirinya dimarahi seperti itu, Irene hanya diam. Dia kembali menundukkan kepalanya. Namun, saat dia hendak menurunkan pandangannya, dia melihat papan nama yang tersemat pada kemeja laki-laki itu–Juna Atmadjadarma.
“Huh! Mana KTPmu. Saya minta!” perintah Juna. Dia menjulurkan tangannya.
“Hah?” Irene mengangkat kepalanya. “KTP saya? Buat apa, Pak?” tanyanya.
“KTP kamu saya sita, sampai kamu bisa ganti rugi terhadap mobil saya ini!” tegas Juna.
Bukannya Juna tidak bisa membeli kaca mobil baru, tetapi dia ingin memberikan pelajaran pada gadis tersebut. Baginya, gadis yang bernama Irene ini minus satu akhlaknya.
“Eh, jangan, Pak. Saya bisa bayar, kok.” Dengan percaya dirinya, Irene berkata demikian.
“Serius? Kamu bisa kasih saya lima belas juta sekarang?”
Mata Irene sontak membelalak. “Li-lima belas juta?”
Nyali Irene mendadak menciut. Uang tabungannya saja hanya tersisa lima juta. Itu pun belum termasuk potongan untuk bayar uang kosan bulan ini. Ah, sial!
Irene kira harganya hanya beberapa ratus ribu saja. Namun, saat dia mencoba memastikan merk dan jenis mobil yang baru saja dirusaknya. Sepertinya angka lima belas juta itu memang wajar. Walau Irene tak tahu tentang otomotif, tapi dengan penglihatan orang awam dia bisa tahu, kalau mobil yang baru saja menjadi korbannya itu mobil mahal.
“Iya, lima belas juta. Ada?” Juna mempertegas kembali pertanyaannya.
Tak bisa menjawab, Irene malah menoleh ke arah belakang–meminta bantuan dari dua temannya. Namun, Irene melihat Gita dan Zee yang menggelengkan kepalanya.
“Bisa dicicil nggak, Pak?” tanya Irene pada akhirnya.
“Terus saya harus pakai mobil dengan kaca depan yang retak begini, sampai cicilan kamu lunas? Sudah mana sini KTP-nya. Kalau kamu kasih KTP-mu, saya izinkan kamu mencicil.” Juna pun memberikan penawaran pada Irene.
Jujur, Irene sedikit takut.
Pertama, dia tidak mengenal siapa pria yang sedang memarahinya ini. Irene tahu kalau pria itu adalah seorang dosen—terlihat dari papan nama yang dikenakannya. Namun, dia tidak yakin tentang jurusan di mana pria itu mengajar.
Kedua, dia juga khawatir kalau identitas miliknya ini disalahgunakan. Zaman sekarang KTP itu sangat penting dan tidak boleh diberikan pada sembarang orang!
Tak kunjung mendapatkan jawaban dari Irene, Juna pun menghela napas dan berkacak pinggang.
“Oke, kalau kamu nggak mau. Berarti, saya akan laporkan perbuatan kamu ini ke pihak berwajib. Kamu bisa dipidana karena merusak properti orang lain.”
Mendapat ancaman demikian membuat Irene menatap wajah Juna. “Ja-jangan, Pak. Sa-saya bilang, kan, nggak sengaja. Tolong dong, Pak, minta kebijaksanaannya,” mohon Irene dengan mata membulat.
“Saya, kan, sudah kasih kamu pilihan. Sita KTP, dan saya akan kembalikan kalau hutangmu sudah lunas.”
Irene lagi-lagi terdiam.
Pilihan yang tidak bagus sama sekali. Namun, jika mengharuskan dirinya memilih maka tentu saja dia akan memilih pilihan pertama. Dengan tidak ikhlas, Irene mengeluarkan identitas miliknya dari dompet.
“I-ini, Pak.” Kartu berwarna biru langit itu pun ia berikan pada pria yang tidak ia kenal.
Ah, Irene hanya berharap semoga pria ini bertanggung jawab–tidak menyalahgunakan identitasnya sembarangan.
Juna pun menerima kartu identitas milik Irene. Kemudian dia membaca nama yang tertera pada identitas yang sah itu.
“Irene Isabella Harismaya,” ucapnya sambil menganggukkan kepalanya. Sedetik kemudian Juna mengeluarkan dompetnya dan menyimpan kartu identitas milik Irene. Setelah itu ia pun mengeluarkan sebuah kartu dari kertas, lalu ia berikan pada Irene.
“Ini nomor kontak saya.”
Irene pun langsung menerima kartu berwarna cokelat itu. Di sana tertera nama lengkap Juna, nomor ponsel dan juga e-mail.
“Saya tunggu telepon dari kamu dalam satu minggu. Alias, kamu harus mengganti kerugian yang saya alami minggu depan. Kalau tidak, KTP-mu saya gadai ke pinjol!” ancamnya lalu segera masuk ke dalam mobilnya.
Mendengar Juna berkata demikian, sontak mata Irene membulat maksimal. “Pak, tunggu!” seru Irene mencegah Juna untuk pergi.
Juna yang sudah ada di dalam mobil, dia membuka setengah kaca mobilnya.
“Pak, jangan seminggu dong. Saya baru bekerja dua hari lagi. Itu pun saya belum punya penghasilan.” Irene sudah nampak gelisah. Bibirnya kini terasa kering. “Gimana kalau bulan de—ah, nggak. Tiga bulan. Bagaimana?” Ia mencoba membuat penawaran.
“Tiga Bulan?” tanya Juna dengan nada meremehkan.
“I-iya. Bukannya tadi Bapak bilang, kalau saya kasih KTP, Bapak kasih saya keringanan untuk mencicil? Nah, saya minta waktu tiga bulan. Ya, Pak, saya mohon. Saya cuman orang kecil, nggak bisa dapat uang sebanyak itu dalam waktu singkat. Bahkan buat ngepet juga rasanya mustahil.” Lagi-lagi Irene memohon dengan menempelkan kedua telapak tangannya.
Juna hanya mendengus sembari menarik sebelah sudut bibirnya. “It’s your business. Not me,” tandasnya. Lalu dia menutup pintu kaca mobilnya. Dan ia pun parkir dan meninggalkan tempat tersebut.
“Pak!” teriak Irene sembari berlari kecil mengejar mobil SUV berwarna hitam itu.
Namun, langkahnya tak bisa membawa Irene menyusul mobil tersebut. Pasalnya sendi lututnya kini mulai melemas. Matanya pun terasa panas.
“Ah, dari mana aku dapat uang lima belas juta dalam satu minggu?”
BERSAMBUNG…
“Kenapa kaca mobil lo? Tadi gue parkir di samping mobil lo, dan lihat kacanya pecah.”Saat ini, Juna sedang berada di sebuah lounge mewah di kota kembang. Dia memiliki janji untuk bertemu dengan Stefan–teman baiknya sejak duduk di bangku perkuliahan.“Insiden,” jawab Juna irit sembari meneguk whisky dalam sloki.Kemudian dia melirik ke arah pergelangan tangan kirinya–melihat jarum jam pada arloji yang sedang ia kenakan. “Cih. Ada ya, orang yang ngajak ketemuan itu yang telat dibanding orang yang diajaknya.”Stefan menyandarkan punggungnya pada kursi. “Sorry, gue tadi ada masalah dulu sama istri. Biasalah, agak gimana kalau gue pergi malam.”Juna memutar bola matanya malas sembari membuang napas kasar.“Ah, sorry lagi.” Mendadak Stefan tidak enak karena menyinggung soal istri. “Makanya deh, Jun. Lo cepet cari cewek lagi yang bisa diajak serius,” saran sahabat Juna itu.Juna hanya mendengus dan membuang muka. “Lo kayak nggak tahu kondisi gue aja, Stef,” timpalnya.“Belum sembuh juga? Bu
“Selamat, ya,” ucap seorang laki-laki dengan rambut belah tengah ala-ala cowok dari negeri gingseng. Dia memberikan bunga mawar berwarna putih dan merah muda pada Irene yang tengah memakai toga wisuda. “Eh? Ma-makasih, Reno.” Irene segera menerima buket bunga pemberian dari laki-laki jurusan ilmu komputer itu. Terlihat wajah Irene memerah. Bahkan, sesekali dia menjilat bibirnya yang tidak kering sama sekali. Ah, sial! Entah kenapa Irene merasa dirinya jadi salah tingkah. Padahal, dia hanya diberi bunga oleh pria itu. “Doakan aku cepat menyusul ya,” tambah Reno sembari melemparkan senyum manisnya. Oh my good! Hati Irene meleleh tatkala melihat senyuman yang begitu menghangatkan hatinya. Irene memang sudah menyukai Reno sejak dari semester tiga. Mereka bertemu saat mata kuliah olahraga. Kebetulan, jurusan ilmu komputer mendapatkan jadwal yang sama seperti jurusan sejarah. Dan, di sana pun Irene mengenal Aldi. Ketiganya pernah berada di satu kelompok yang sama. “Ah, tentu. Aku sela
“Mas Aldi?” tanya Juna berhati-hati. Laki-laki itu pun langsung mengangkat kepalanya dan melihat ke arah Juna. “Iya. Dengan Mas Stefan?” tanya Aldi dengan senyum. Juna pun mengangguk. Benar, malam ini dia sedang berpura-pura menjadi Stefan demi bertemu dengan Aldi. “Oh, silakan duduk, Mas,” ucap Aldi yang langsung berdiri dan mempersilakan Juna untuk duduk. Ada keheningan sejenak karena tak ada yang mau memulai duluan topik pembicaraan. Sampai pada akhirnya, Juna pun membuka mulutnya. “Sebenarnya saya ke sini ingin menanyakan perihal Bella,” kata Juna to the point. Mendengar nama Bella disebut, alis Aldi berkerut. “Bella? Bella mana, ya? Bukannya Mas Stefan bertemu saya karena ingin menanyakan perihal agensi saya?” tanya Aldi. Juna hanya mengangguk kecil. “Bella, mantan talent-mu. Dan, sebenarnya saya itu teman Jun. Saya ke sini, karena ada hal yang harus saya bicarakan dengan kamu, perihal Bella dan Juna.” “Maaf, Mas, tapi saya sudah tidak ada hubungannya dengan Be—” “Berapa
“Ah, iya untung saja datang tepat waktu. Bapak Ibu, mungkin di antara kalian ada yang sudah tahu, ya. Hanya saja memang saya belum sempat memperkenalkan dosen baru kita pada Bapak Ibu semua. Niat saya biar disatukan dengan perkenalan staff baru kita. Kalau begitu, silakan untuk memperkenalkan diri.”Juna pun tersenyum manis, lalu mengangguk. Sementara itu, Irene rasanya ingin menggali tanah, dan terkubur hidup-hidup.“Selamat siang, Bapak Ibu. Sebelumnya saya ingin mengucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya karena saya terlambat. Semoga permohonan maaf ini bisa diterima oleh Bapak dan Ibu semuanya. Perkenalkan saya Juna Atmadjadarma, yang kebetulan dipercaya untuk menjadi dosen di departemen sejarah. Sebelumnya saya bekerja di Universitas Purnawarman,” paparnya dengan jelas.Universitas Purnawarman dan Universitas Wastukencana sebenarnya masih satu payung–di bawah Yayasan Atmadjadarma.Yayasan tersebut memang konsen di bidang pendidikan dan kesehatan. Jadi, selain universitas dan be
“Kamu serius, kan?” tanya Aldi yang mencoba memastikan dengan keputusan sahabatnya. Mereka kini bahkan bertemu di sebuah cafe dekat kampus Irene. Pria itu begitu terkejut begitu Irene menghubunginya. “Iya. Lagi-lagi aku kepepet masalah uang. Uangnya harus ada besok,” jawab Irene. “Banget?” Irene mengangguk. “Banget. Makanya aku udah hopeless banget, Di. Tapi itu serius, Jun nggak papa? Maksudnya aku minta bayar di muka.” “Katanya gapapa. Dia bakal bayar lebih dari yang kamu minta.” “Ah, nggak usah lebih gitu. Nanti malah aku semakin terbebani.” Irene mendesah. “Ya … mungkin itu tujuan dia, Ren.” Aldi terpaksa memberikan tawaran pekerjaan kotor ini pada sahabatnya. Setelah bertemu dengan Stefan—yang sebenarnya adalah Juna—Aldi merasa terlena. Pasalnya, Stefan mau untuk menjadi investor di projek terbarunya. Kebetulan projek ini pun untuk menunjang skripsinya. Jujur, Aldi hanya manusia biasa yang mampu tergoda oleh uang. Niat awalnya ingin melindungi Irene dan menjauhkan sahabat
“Di mana? Ini ada mahasiswa mau bikin surat untuk penelitian. Katanya minta sore ini selesai,” jawab Mia.“Buset, sore ini? Dadakan banget, aku masih harus beresin surat yang lain, Bu,” keluh Irene.Mia mendesah. “Udah saya bilangin, tapi mereka maksa. Ya udah cepet balik. Jam makan siang juga udah mau selesai,” pungkas Mia yang langsung mematikan panggilan teleponnya.Irene menghela napas kasar. Dia melirik pada arloji yang melingkar di tangan kirinya. Padahal Irene masih memiliki waktu sepuluh menit lagi untuk istirahat dan menghabiskan capuccino latte miliknya.Namun, apa boleh buat, Irene pun akhirnya bangkit sembari membawa kopinya yang belum habis. Sambil meminum kopi, Irene melangkah dengan terburu-buru. Dia harus segera sampai ke kampus yang jaraknya sekitar lima ratus meter dari cafe tersebut.Brak!Saking terburu-buru, Irene pun tersandung kursi yang tidak dirapikan oleh pelanggan sebelumnya. Seketika Irene tersungkur ke arah kursi yang ada di depannya. Kopi yang sedang dipe
“Halo, Jun?”Suara itu nampak tak asing di telinga Juna. Laki-laki itu pun menarik sudut bibirnya sebelah.“Ya, Bella?” timpal Juna.Benar, pemilik suara indah tersebut adalah Bella. Mendengar dua kata yang baru terucap saja, membuat hati Juna berbunga. Dia sudah sangat mengenal dengan baik suara partner-nya itu“Apa kabar?” tanya gadis yang tentu saja bernama asli Irene.“Baik. Jadi, kamu mau bekerja untukku?”Juna duduk di kursi kerjanya, lalu dia menyandarkan punggungnya.“Ya … begitulah,” timpal Irene irit, nampaknya dia merasa tidak enak.“Baguslah. Aku pasti akan memberikan apa pun yang kamu inginkan. Asal kamu selalu siap dalam melayaniku.”Perkataan Juna itu bukan sebuah kalimat gombalan. Dia pasti akan memberikan apa pun yang diinginkan oleh partner-nya itu.“Mmm … aku cuman ingin uang lima belas juta besok. Bisa, kan?” tanyanya dengan sedikit ragu.Juna mendengus sambil menarik kedua sudut bibirnya. “Tentu. Aku akan kirimkan uangnya pada Aldi. Asalkan kamu bisa melayani aku
“Irene, kamu ada di dalam?” Suara laki-laki terdengar dari balik pintu.Mendengar namanya dipanggil, pupil Irene membulat. Buru-buru Irene mematikan ponsel yang menjadi alat komunikasi dirinya dengan Juna. Lalu ia simpan di laci mejanya.“Irene? Ini aku, Reno,” panggil laki-laki itu lagi.Deg!“Oh, i-iya, Ren. Sebentar,” sahut Irene yang berusaha merapikan penampilannya.Setelah dirasa rapi, gadis itu pun membuka pintu kamar kosnya.“Ya, Ren. Ada apa?” tanya Irene dengan tenang.Padahal dalam hatinya, dia sedikit tidak bisa santai. Mendapati laki-laki yang ia sukai ada di depan matanya, itu membuat hati Irene meletup seperti popcorn.“Oh, ini.” Reno memberikan sebuah keresek berwarna putih. Di dalamnya terdapat sebuah box kecil.Irene menerima dengan penuh rasa penasaran. “Ini apa?” tanyanya.“Tadi aku habis antar Alfi ke toko kue. Dia beli kue untuk pacarnya yang ulang tahun. Terus, aku lihat redvelvet, dan langsung inget kamu. Ya sudah, aku bawain,” jawabnya, sembari menampilkan sen