“Ah, iya untung saja datang tepat waktu. Bapak Ibu, mungkin di antara kalian ada yang sudah tahu, ya. Hanya saja memang saya belum sempat memperkenalkan dosen baru kita pada Bapak Ibu semua. Niat saya biar disatukan dengan perkenalan staff baru kita. Kalau begitu, silakan untuk memperkenalkan diri.”
Juna pun tersenyum manis, lalu mengangguk. Sementara itu, Irene rasanya ingin menggali tanah, dan terkubur hidup-hidup.
“Selamat siang, Bapak Ibu. Sebelumnya saya ingin mengucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya karena saya terlambat. Semoga permohonan maaf ini bisa diterima oleh Bapak dan Ibu semuanya. Perkenalkan saya Juna Atmadjadarma, yang kebetulan dipercaya untuk menjadi dosen di departemen sejarah. Sebelumnya saya bekerja di Universitas Purnawarman,” paparnya dengan jelas.
Universitas Purnawarman dan Universitas Wastukencana sebenarnya masih satu payung–di bawah Yayasan Atmadjadarma.
Yayasan tersebut memang konsen di bidang pendidikan dan kesehatan. Jadi, selain universitas dan beberapa sekolah menengah, ada beberapa rumah sakit dan poliklinik yang dikelola oleh yayasan Atmadjadarma.
Namanya sungguh tidak asing bukan? Ya, jelas saja nama yayasan tersebut mirip dengan nama Juna, Juna Atmadjadarma karena yayasan itu memang milik keluarga Juna.
“Tadi Pak Juna sudah me-WA saya. Dia kebetulan ada rapat secara daring dengan para pimpinan yayasan kita. Jadi, dia tidak bisa mengikuti rapat kita secara lebih awal,” ujar Erlina.
Juna pun mengangguk.
Jujur, dia merasa tidak enak karena harus datang sangat terlambat. Bahkan, dirinya tidak sempat mengikuti satu pembahasan pun di rapat ini. Namun, apa daya, kakeknya meminta semua keluarga besar Atmadjadarma untuk hadir di rapat tadi.
“Irene, ini dosen baru di departemen kita. Kalau sama yang lain, kamu pasti sudah kenal dan dekat. Tapi, sama Pak Juna, kamu pasti belum mengenalnya. Jadi, tolong bantu Pak Juna, kalau dia ada kesulitan. Karena bagaimanapun, kamu yang sudah lebih paham tentang departemen kita,” pinta Erlina.
Mendengar nama Irene yang tak asing di telinga Juna, laki-laki itu langsung menoleh dan mendapati sosok perempuan yang sedang berurusan dengannya.
Irene terlihat tersenyum canggung pada Juna. Bagaimanapun, Irene harus terlihat profesional, seolah mereka memang baru pertama kali bertemu dan tidak memiliki masalah sama sekali–meski sebenarnya Irene sudah ingin berlari ke kutub utara.
“Sa-salam kenal, Pak Ju-juna. Sa-saya I-irene. Kalau Bapak membutuhkan bantuan, saya siap untuk membantu Bapak,” tuturnya dengan tergagap.
Juna mendengus saat melihat Irene. Sikap ramah yang tadi dia tunjukkan pada semua orang tiba-tiba hilang dan berubah saat melihat sosok Irene. Namun, karena tidak ingin membuat curiga, Juna pun memaksa dirinya untuk tersenyum.
“Salam kenal, saya Juna. Saya pasti akan selalu merepotkanmu,” tegasnya dengan tatapan memicing.
Deg!
Irene merasa aura hitam mulai menyelimuti dirinya. Dia memiliki firasat buruk sekarang. Sepertinya bukan kata merepotkan yang dimaksud oleh Juna. Tapi, Irene merasa sebenarnya maksud Juna adalah ‘menyiksa’.
*****
Sore hari, aktivitas di kampus sudah tidak sepadat biasanya, Irene merapikan semua perlengkapannya. Dia hendak untuk pulang dan beristirahat, karena jam kerjanya sudah berakhir.
Jujur, sedari tadi dia merasa sedikit kurang fokus. Sebab pikirannya berkelana, memikirkan jatuh tempo yang sudah di depan mata. Apalagi, saat dirinya mengetahui bahwa Juna adalah rekan kerjanya. Rasanya, Irene ingin menghilang saja dari bumi.
“Ren, saya pulang duluan, ya. Nanti kunci kamu bawa saja. Saya punya kunci juga,” pamit Mia.
“Oh, iya, Bu. Saya juga sebentar lagi pulang. Hati-hati di jalan,” balas Irene yang tak lama setelah itu pun dia ikut pergi dan meninggalkan ruang kerjanya.
Irene bergegas mengunci ruang akademik departemen sejarah. Sambil berjalan, ia memainkan ponselnya.
Pikirannya kini sedang berkelana–memikirkan bagaimana cara untuk mendapatkan uang dalam waktu tiga hari lagi. Dia mencoba mencari nama temannya, yang kira-kira bisa meminjamkan dirinya uang. Namun, tiba-tiba dia mendapati satu nama yang pasti bisa membantunya. Apalagi, kemarin malam orang itu menghubunginya.
“Nggak. Jangan, Ren!” katanya yang berbicara sendiri. Ia sedang berjalan menuju lift di lantai tiga.
“Stop!” Tiba-tiba, seseorang menghentikan langkah kaki Irene. “Mau pulang?”
Sontak Irene terkejut saat mendapati laki-laki tersebut. Saking kagetnya, dia sampai memundurkan satu langkah.
“Kamu nggak lupa sama tanggal jatuh temponya, kan?” tanya laki-laki yang ternyata adalah Juna.
“Kaca mobil saya belum ganti, karena nunggu uang ganti rugi dari kamu,” tambahnya.
Irene menggigit bibir bawahnya. Tentu, Irene tidak lupa dengan tanggal jatuh temponya. Hanya saja, Irene tak memegang uang sebesar itu.
“Pak, saya mohon, bisa diundur, nggak? Jujur, saya nggak punya uang sebanyak itu. Saya cuman mahasiswa yang baru lulus dan ini adalah hari pertama saya bekerja,” mohon Irene dengan memelas.
Juna menggeleng. “Sebenarnya kamu kemarin mikir nggak, kalau apa yang kamu lakukan itu bisa membahayakan orang? Masih untung itu kaca mobil. Gimana kalau kepala saya yang bocor?”
“Iya, Pak. Saya salah, nggak mikir ke arah sana. Saya kemarin cuman iseng-iseng aja. Maaf, Pak, saya nggak akan mengulanginya lagi. Tapi saya mohon, Pak. Satu bulan, ya?” Gadis itu masih bersikeras untuk bernegosiasi.
“Tidak. Saya minta tiga hari lagi kamu bisa bertanggung jawab. Masalah kamu tidak punya uang, itu urusan kamu. Saya nggak peduli, karena kamu sendiri tidak peduli dengan sekitarmu!” tegas Juna.
“Pak–”
“Ingat tiga hari! Kalau tidak, saya bisa bilang ke Bu Erlina, biar dia mempertimbangkan kembali kamu untuk bekerja di sini.”
***
Ucapan Juna masih terngiang-ngiang di kepala Irene. Dia bahkan mendesah dan merasa putus asa sembari menatap langit-langit kamarnya. Dia mencoba merenung. Namun, tak ada jawaban lain selain menghubungi laki-laki itu.
Tanpa berpikir panjang lagi, Irene bangkit. Dia langsung mengambil ponsel miliknya yang masih ada di dalam tas. Kemudian Irene mencari satu nama yang hendak ia hubungi.
“Halo, Di. Aku terima tawarannya.”
BERSAMBUNG …
“Kamu serius, kan?” tanya Aldi yang mencoba memastikan dengan keputusan sahabatnya. Mereka kini bahkan bertemu di sebuah cafe dekat kampus Irene. Pria itu begitu terkejut begitu Irene menghubunginya. “Iya. Lagi-lagi aku kepepet masalah uang. Uangnya harus ada besok,” jawab Irene. “Banget?” Irene mengangguk. “Banget. Makanya aku udah hopeless banget, Di. Tapi itu serius, Jun nggak papa? Maksudnya aku minta bayar di muka.” “Katanya gapapa. Dia bakal bayar lebih dari yang kamu minta.” “Ah, nggak usah lebih gitu. Nanti malah aku semakin terbebani.” Irene mendesah. “Ya … mungkin itu tujuan dia, Ren.” Aldi terpaksa memberikan tawaran pekerjaan kotor ini pada sahabatnya. Setelah bertemu dengan Stefan—yang sebenarnya adalah Juna—Aldi merasa terlena. Pasalnya, Stefan mau untuk menjadi investor di projek terbarunya. Kebetulan projek ini pun untuk menunjang skripsinya. Jujur, Aldi hanya manusia biasa yang mampu tergoda oleh uang. Niat awalnya ingin melindungi Irene dan menjauhkan sahabat
“Di mana? Ini ada mahasiswa mau bikin surat untuk penelitian. Katanya minta sore ini selesai,” jawab Mia.“Buset, sore ini? Dadakan banget, aku masih harus beresin surat yang lain, Bu,” keluh Irene.Mia mendesah. “Udah saya bilangin, tapi mereka maksa. Ya udah cepet balik. Jam makan siang juga udah mau selesai,” pungkas Mia yang langsung mematikan panggilan teleponnya.Irene menghela napas kasar. Dia melirik pada arloji yang melingkar di tangan kirinya. Padahal Irene masih memiliki waktu sepuluh menit lagi untuk istirahat dan menghabiskan capuccino latte miliknya.Namun, apa boleh buat, Irene pun akhirnya bangkit sembari membawa kopinya yang belum habis. Sambil meminum kopi, Irene melangkah dengan terburu-buru. Dia harus segera sampai ke kampus yang jaraknya sekitar lima ratus meter dari cafe tersebut.Brak!Saking terburu-buru, Irene pun tersandung kursi yang tidak dirapikan oleh pelanggan sebelumnya. Seketika Irene tersungkur ke arah kursi yang ada di depannya. Kopi yang sedang dipe
“Halo, Jun?”Suara itu nampak tak asing di telinga Juna. Laki-laki itu pun menarik sudut bibirnya sebelah.“Ya, Bella?” timpal Juna.Benar, pemilik suara indah tersebut adalah Bella. Mendengar dua kata yang baru terucap saja, membuat hati Juna berbunga. Dia sudah sangat mengenal dengan baik suara partner-nya itu“Apa kabar?” tanya gadis yang tentu saja bernama asli Irene.“Baik. Jadi, kamu mau bekerja untukku?”Juna duduk di kursi kerjanya, lalu dia menyandarkan punggungnya.“Ya … begitulah,” timpal Irene irit, nampaknya dia merasa tidak enak.“Baguslah. Aku pasti akan memberikan apa pun yang kamu inginkan. Asal kamu selalu siap dalam melayaniku.”Perkataan Juna itu bukan sebuah kalimat gombalan. Dia pasti akan memberikan apa pun yang diinginkan oleh partner-nya itu.“Mmm … aku cuman ingin uang lima belas juta besok. Bisa, kan?” tanyanya dengan sedikit ragu.Juna mendengus sambil menarik kedua sudut bibirnya. “Tentu. Aku akan kirimkan uangnya pada Aldi. Asalkan kamu bisa melayani aku
“Irene, kamu ada di dalam?” Suara laki-laki terdengar dari balik pintu.Mendengar namanya dipanggil, pupil Irene membulat. Buru-buru Irene mematikan ponsel yang menjadi alat komunikasi dirinya dengan Juna. Lalu ia simpan di laci mejanya.“Irene? Ini aku, Reno,” panggil laki-laki itu lagi.Deg!“Oh, i-iya, Ren. Sebentar,” sahut Irene yang berusaha merapikan penampilannya.Setelah dirasa rapi, gadis itu pun membuka pintu kamar kosnya.“Ya, Ren. Ada apa?” tanya Irene dengan tenang.Padahal dalam hatinya, dia sedikit tidak bisa santai. Mendapati laki-laki yang ia sukai ada di depan matanya, itu membuat hati Irene meletup seperti popcorn.“Oh, ini.” Reno memberikan sebuah keresek berwarna putih. Di dalamnya terdapat sebuah box kecil.Irene menerima dengan penuh rasa penasaran. “Ini apa?” tanyanya.“Tadi aku habis antar Alfi ke toko kue. Dia beli kue untuk pacarnya yang ulang tahun. Terus, aku lihat redvelvet, dan langsung inget kamu. Ya sudah, aku bawain,” jawabnya, sembari menampilkan sen
Irene masih berusaha mengintip pada celah kecil. Pandangannya yang terbatas, membuat dirinya tidak mengetahui dengan pasti siapa dua perempuan yang masuk ke ruangan Juna. Terlihat ada satu orang perempuan yang sedang sibuk dengan bingkai lukisan yang mengarah tepat ke meja kerja Juna.“Cepetan,” bisik seorang perempuan yang tak begitu nampak oleh Irene.“Sebentar, dikit lagi, cuy,” timpal perempuan lain yang sedang sibuk dengan sebuah barang di tangannya.Irene menyipitkan mata, ketika perempuan dengan berbalut kemeja bercorak bunga sedang menempelkan sesuatu pada bingkai lukisan. Dia menyipitkan mata dan masih mengintip pada celah kecil.“Loh, bukannya itu?” gumamnya kecil.Dug.“Aww,” ringis Irene nyaris tak terdengar.Saking terkejutnya, Irene tersentak dan mengakibatkan kepalanya membentur meja kerja Juna.“Apaan, tuh?” kaget perempuan berbalut kemeja bunga-bunga.“Udah, cepet buruan!” ajak perempuan lain, “nanti keburu Pak Juna datang,” imbuhnya.Karena misi mereka sudah berhasil
Irene berdiri di depan pintu berwarna cokelat. Tepat di depannya adalah ruang kerja Juna. Memang cucu dari pemilik yayasan ini diperlakukan spesial. Pasalnya hanya dirinya—dosen yang mendapatkan ruang kerja sendiri. Sudah seperti kepala departemen saja.Gadis itu mengangkat tangan kanannya yang mengepal, hendak mengetuk pintu kerja Juna. Irene mendadak terdiam, dia memejamkan mata dan menarik napas dalam. Mencoba menenangkan hatinya, sebelum dia bertemu dengan sang dosen menyebalkan.Setelah ia mengetuk tiga kali, Irene pun meraih handle pintu. Ia segera membuka pintu cokelat tersebut.“Selamat siang, Pak. Ada apa memanggil saya?” tanya Irene.Gadis itu berusaha untuk tenang. Padahal hatinya berkecamuk, karena dia sudah enggan berurusan dengan pria ini.“Masuk!” perintah Juna, tanpa melihat ke arah Irene sedikit pun.Terlihat laki-laki itu sedang sibuk dengan laptopnya. Entah apa yang sedang ia kerjakan, Irene t
Juna baru saja memarkirkan mobil SUV hitamnya di parkiran sebuah hotel. Kemudian dia keluar dari mobil tersebut yang diikuti oleh seorang perempuan berambut panjang bergelombang. Dia adalah Rachel, teman Juna—ia juga adalah cucu dari sahabat sang kakek. Tidak, mereka ke sana bukan untuk menginap bersama di hotel tersebut. Mereka berdua hanya akan makan malam bersama. Sebenarnya Juna enggan untuk makan malam bersama dengan seorang wanita. Namun, sang ibu meminta demi menghormati sang kakek. “Silakan pesanannya sudah keluar semua. Selamat menikmati,” ucap seorang pramusaji. Kini di depan Juna dan Rachel sudah terhidang dua jenis makanan dan minuman. Mereka pun langsung menyantap makanannya masing-masing. Sesekali Rachel mengajak Juna mengobrol tentang pekerjaannya atau hal lainnya. Jika perlu dia akan bertanya balik pada Rachel, tapi jika tidak dia hanya akan menjawab seadanya. “Kamu nggak ada niat untuk menikah lagi, Jun?” Tiba-tiba saja Rachel melontarkan pertanyaan yang membuat
“Hai, Juna. Kamu masih ingat aku, kan?”Seorang wanita cantik mengenakan kemeja hijau botol menyapa Juna. Dia tidak sendiri, tapi didampingi oleh seorang laki-laki yang tingginya hampir sepantar dengan Juna.Melihat sosok perempuan itu, sontak mata Juna membulat. Bahkan dia sampai membuka mulutnya sedikit. Jujur, Juna benar-benar seperti patung sekarang. Napasnya pun tertahan dan dia tidak mengedip untuk beberapa detik.“Apa kabar?” sapa wanita tadi.Juna menelan ludah dengan susah payah. Jantungnya kini berdegup sedikit lebih cepat. Kenapa momennya pas sekali? Apakah memang Tuhan sudah merenacakan ini?“A-amara.”Akhirnya Juna memanggil nama wanita itu. Kemudian wanita itu pun tersenyum saat Juna masih mengingatnya.“Bagaimana kabarmu?” tanya Amara lagi.“Ba-baik.”Sial! Kenapa Juna jadi gagap seperti ini? Tidak. Juna tidak boleh memperlihatkan bahwa dirinya le