“Irene, kamu ada di dalam?” Suara laki-laki terdengar dari balik pintu.Mendengar namanya dipanggil, pupil Irene membulat. Buru-buru Irene mematikan ponsel yang menjadi alat komunikasi dirinya dengan Juna. Lalu ia simpan di laci mejanya.“Irene? Ini aku, Reno,” panggil laki-laki itu lagi.Deg!“Oh, i-iya, Ren. Sebentar,” sahut Irene yang berusaha merapikan penampilannya.Setelah dirasa rapi, gadis itu pun membuka pintu kamar kosnya.“Ya, Ren. Ada apa?” tanya Irene dengan tenang.Padahal dalam hatinya, dia sedikit tidak bisa santai. Mendapati laki-laki yang ia sukai ada di depan matanya, itu membuat hati Irene meletup seperti popcorn.“Oh, ini.” Reno memberikan sebuah keresek berwarna putih. Di dalamnya terdapat sebuah box kecil.Irene menerima dengan penuh rasa penasaran. “Ini apa?” tanyanya.“Tadi aku habis antar Alfi ke toko kue. Dia beli kue untuk pacarnya yang ulang tahun. Terus, aku lihat redvelvet, dan langsung inget kamu. Ya sudah, aku bawain,” jawabnya, sembari menampilkan sen
Irene masih berusaha mengintip pada celah kecil. Pandangannya yang terbatas, membuat dirinya tidak mengetahui dengan pasti siapa dua perempuan yang masuk ke ruangan Juna. Terlihat ada satu orang perempuan yang sedang sibuk dengan bingkai lukisan yang mengarah tepat ke meja kerja Juna.“Cepetan,” bisik seorang perempuan yang tak begitu nampak oleh Irene.“Sebentar, dikit lagi, cuy,” timpal perempuan lain yang sedang sibuk dengan sebuah barang di tangannya.Irene menyipitkan mata, ketika perempuan dengan berbalut kemeja bercorak bunga sedang menempelkan sesuatu pada bingkai lukisan. Dia menyipitkan mata dan masih mengintip pada celah kecil.“Loh, bukannya itu?” gumamnya kecil.Dug.“Aww,” ringis Irene nyaris tak terdengar.Saking terkejutnya, Irene tersentak dan mengakibatkan kepalanya membentur meja kerja Juna.“Apaan, tuh?” kaget perempuan berbalut kemeja bunga-bunga.“Udah, cepet buruan!” ajak perempuan lain, “nanti keburu Pak Juna datang,” imbuhnya.Karena misi mereka sudah berhasil
Irene berdiri di depan pintu berwarna cokelat. Tepat di depannya adalah ruang kerja Juna. Memang cucu dari pemilik yayasan ini diperlakukan spesial. Pasalnya hanya dirinya—dosen yang mendapatkan ruang kerja sendiri. Sudah seperti kepala departemen saja.Gadis itu mengangkat tangan kanannya yang mengepal, hendak mengetuk pintu kerja Juna. Irene mendadak terdiam, dia memejamkan mata dan menarik napas dalam. Mencoba menenangkan hatinya, sebelum dia bertemu dengan sang dosen menyebalkan.Setelah ia mengetuk tiga kali, Irene pun meraih handle pintu. Ia segera membuka pintu cokelat tersebut.“Selamat siang, Pak. Ada apa memanggil saya?” tanya Irene.Gadis itu berusaha untuk tenang. Padahal hatinya berkecamuk, karena dia sudah enggan berurusan dengan pria ini.“Masuk!” perintah Juna, tanpa melihat ke arah Irene sedikit pun.Terlihat laki-laki itu sedang sibuk dengan laptopnya. Entah apa yang sedang ia kerjakan, Irene t
Juna baru saja memarkirkan mobil SUV hitamnya di parkiran sebuah hotel. Kemudian dia keluar dari mobil tersebut yang diikuti oleh seorang perempuan berambut panjang bergelombang. Dia adalah Rachel, teman Juna—ia juga adalah cucu dari sahabat sang kakek. Tidak, mereka ke sana bukan untuk menginap bersama di hotel tersebut. Mereka berdua hanya akan makan malam bersama. Sebenarnya Juna enggan untuk makan malam bersama dengan seorang wanita. Namun, sang ibu meminta demi menghormati sang kakek. “Silakan pesanannya sudah keluar semua. Selamat menikmati,” ucap seorang pramusaji. Kini di depan Juna dan Rachel sudah terhidang dua jenis makanan dan minuman. Mereka pun langsung menyantap makanannya masing-masing. Sesekali Rachel mengajak Juna mengobrol tentang pekerjaannya atau hal lainnya. Jika perlu dia akan bertanya balik pada Rachel, tapi jika tidak dia hanya akan menjawab seadanya. “Kamu nggak ada niat untuk menikah lagi, Jun?” Tiba-tiba saja Rachel melontarkan pertanyaan yang membuat
“Hai, Juna. Kamu masih ingat aku, kan?”Seorang wanita cantik mengenakan kemeja hijau botol menyapa Juna. Dia tidak sendiri, tapi didampingi oleh seorang laki-laki yang tingginya hampir sepantar dengan Juna.Melihat sosok perempuan itu, sontak mata Juna membulat. Bahkan dia sampai membuka mulutnya sedikit. Jujur, Juna benar-benar seperti patung sekarang. Napasnya pun tertahan dan dia tidak mengedip untuk beberapa detik.“Apa kabar?” sapa wanita tadi.Juna menelan ludah dengan susah payah. Jantungnya kini berdegup sedikit lebih cepat. Kenapa momennya pas sekali? Apakah memang Tuhan sudah merenacakan ini?“A-amara.”Akhirnya Juna memanggil nama wanita itu. Kemudian wanita itu pun tersenyum saat Juna masih mengingatnya.“Bagaimana kabarmu?” tanya Amara lagi.“Ba-baik.”Sial! Kenapa Juna jadi gagap seperti ini? Tidak. Juna tidak boleh memperlihatkan bahwa dirinya le
“Ngapain kamu di sana?” tanya seorang laki-laki dengan suara bassnya. Tentu Irene tersentak dan seketika menghentikan langkah. “Reno? Sumpah aku kaget,” katanya, sambil mengelus dada. “Maaf, soalnya kamu lama banget di toilet. Makanya aku samperin, takut kamu kenapa-kenapa,” timpal Reno. Lagi-lagi Irene tersenyum tipis, dia merasa malu karena diperhatikan. “Oh, tadi agak ngantre. Maaf, ya, udah nunggu lama,” alibi gadis itu. Padahal Irene lama di sana karena menguping pembicaraan dua perempuan—yang sepertinya memiliki hubungan dengan musuhnya. Reno memasukkan tangannya pada saku celana. “Ya sudah kalau gitu, kita balik ke meja, yuk. Kebetulan makanannya sudah datang sebagian,” ajaknya. Irene pun membalas dengan sebuah anggukan kecil. Selama makan malam, Reno bercerita tentang dirinya. Ternyata laki-laki yang terlihat baik dan tidak menampakan kesedihan itu, memiliki ceritanya sendiri. Dia berasal dari keluarga yang tak harmonis. Saat masih remeja labil, Reno sempat terpikirkan u
Irene baru saja keluar dari kamar mandi. Rambut panjangnya itu sedang ia keringkan menggunakan handuk. Ia berjalan menuju meja rias, lalu duduk di atas bantal duduk. Ia memandang pantulan dirinya di depan cermin.Seketika Irene tersenyum, tersipu malu. Bagaimana tidak, tiba-tiba saja dia teringat momen semalam bersama Reno. Kepalanya ini dielus lembut oleh lelaki itu, sebelum akhirnya mereka berpisah di depan kosan Irene.Namun, tiba-tiba pikirannya itu dibuyarkan saat dirinya mendapati ponselnya berdering. Irene sedekit terperanjat dan kembali tersadar dari lamunannya. Ia meraih ponselnya yang diletakan di meja belajar. Lalu melihat nama yang pagi-pagi meneleponnya.“Aldi?” gumam Irene. Dia pun langsung menggeser layar ponselnya ke kanan. “Halo. Ada apa, Di?” tanyanya.“Ren, kamu semalam ke mana?” tanya Aldi dengan nada yang terdengar meninggi. Sampai-sampai Irene harus menjahkan sedikit ponsel dari daun telinganya.“Duh, Di, bisa selow dikit, nggak? Masih pagi, nih,” keluh Irene.“N
Juna sedang tidak ada di kampus. Pasalnya malam itu—saat dirinya galau karena Amara dan Irene yang tidak bisa dihubungi. Erlina meneleponnya dan meminta bantuan pada Juna. Dia diminta untuk dinas luar, menemani seorang dosen ke luar kota.Selama di Mojokerto tiga hari, Juna menemani Irsyad survei ke tempat bersejarah. Dia tahu, kalau departemennya ini sedang melakukan penelitian sejarah di kota tersebut.Sebenarnya Juna tidak termasuk ke dalam tim peneliti. Hanya saja Sena—salah satu dosen muda yang memang masuk dalam tim sedang sakit. Maka dari itu Erlina meminta bantuan Juna untuk menemani Irsyad, yang sudah tergolong sepuh.“Pak Juna, kalau kamu mau jalan-jalan dulu boleh. Di sini saya bisa sendiri,” kata Irsyad.Juna menggeleng sembari tersenyum. “Tidak, Pak. Bagi saya ini juga sudah jalan-jalan. Salah satu alasan, kenapa saya memilih ilmu sejarah sebagai background pendidikan saya. Karena saya senang sekali jalan-jalan.&