Sepanjang malam Juna tak bisa tidur dengan nyenak. Dia terus memikirkan perkataan dari nenek tua itu. Untuk menepis segala kegelisahan di hati, akhinya pagi ini Juna pun memutuskan untuk pergi ke tempat di mana ia menemui nenek tersebut. “Lo yakin, Jun?” ucap Stefan di dalam panggilan telepon.Juna saat ini sedang berjalan, menyusuri lereng gunung merapi. Terik matahari tak membuatnya putus asa, dia terus berusaha mencari sebuah gubuk yang saat itu Juna dan Stefan datangi.“Gimana kalau nenek itu udah nggak ada? Udah meninggal gitu?” kata Stefan lagi.Langkah kaki Juna berhenti, dia menghela napas. “Bukannya kemarin lo bilang untuk mempertimbangkan ucapan si nenek tua itu? Makanya gue ke sini, karena gue merasa harus cari tahu lebih dalam,” terangnya.“Ya, tapi kenapa ngedadak gini? Emang lo tahu informasi tentang nenek itu?” Terdengar sahabat Juna itu ikut merasa frutrasi.“Gue bakal cari tahu di sini. Udah, mending lo balik kerja aja, deh,” pungkas Juna, yang langsung mematikan pan
“Katanya kamu sakit, Irene?” Malam ini Reno mengunjungi Irene di kosannya. Setelah kurang lebih dua minggu mereka tidak bertemu.Dua manusia berbeda gendre ini sedang makan malam di kosan sang perempuan. Awalnya mereka hendak jalan-jalan dan makan malam di luar. Tapi ternyata langit malam sedang tak bersahabat dengan mereka. Baru saja Reno sampai di kosan dan hendak menjemput Irene, hujan pun turun. Alhasil mereka hanya memesan makanan dari layanan pesan online.Lawan bicaranya itu hanya menggangguk sambil menarik kedua sudut bibirnya. “Tapi udah sembuh, kok. Cuman terkilir,” jawabnya.“Kenapa kamu nggak kasih tahu aku?” “Mmm ….” Irene berdeham, dia nampak kikuk. Tangannya itu mengusap tengkuknya. Memangnya boleh Irene memberi tahu tentang kondisinya pada Reno?Reno menghela napas, ia melemaskan bahunya. “Jangan merasa sungkan. Aku akan sangat senang, kalau kamu memang memberi tahu kondisimu padaku,” ucapnya dengan penuh perhatian.Manik hitam milik Reno itu menatap hangat pada Irene
Tidak terasa, waktu berlalu dengan sangat cepat. Rasanya baru kemarin pekan UTS dilaksanakan, kali ini sudah akan memasuki pekan akhir semester saja. Irene sendiri sudah mendapatkan tugas tambahan dari dosen-dosen senior, yang memintanya untuk menginput soal-soal ujian nanti. Selain itu, dia pun disibukkan dengan data base dari para mahasiswa baru yang masuk melalui jalur vokasi.“Huh!” Irene mengembuskan napas kasar, “minggu ini pasti bakal padet banget,” ucapnya sembari menatap pantulan dirinya di depan cermin. “Semangat, Irene!”Gadis itu mencoba untuk menyemangati dirinya sendiri. Dia sudah bisa membayangkan bagaimana hectic-nya pekerjaan di minggu ini. Lamunannya tiba-tiba buyar, saat Irene disadarkan dengan suara dering telepon di pagi hari.Dengan cepat Irene mengambil ponselnya yang tadi baru saja dia isi daya. Benda pipih itu pun ia dekatkan ke daun telinga kanannya.“Halo, kenapa, Irgie?” sapa Iren
Irene kini berada di dalam sebuah mobil SUV berwarna hitam, yang tadi menawarkan tumpangan padanya.“Kenapa di belakang, sih?” tanya pria yang ada di balik kemudi dengan nada yang sedikit ketus.“Ini jarak terjauh. Nggak mungkin, kan saya bikin jarak satu meter? Udah cepet, deh, Pak. Saya harus absen, pasti Bapak juga harus segera absen, kan?” protes Irene.Memang agak kurang ajar Irene ini. Padahal dia sedang diberikan bantuan tumpangan. Bukannya duduk di depan, dia malah duduk di belakang. Benar-benar memperlakukan sang pemilik mobil sebagai supir.Sikap kurang akhlak Irene ini hanya ditujukan untuk satu orang. Siapa lagi kalau bukan Juna Atmadjadarma. Irene benar-benar tidak peduli dengan sikapnya, jika sedang berduaan saja dengan Juna. Lagi pula pria itu duluan yang tidak bisa menjaga sikapnya pada Irene.“Oke,” bisik Juna dengan sedikit penekanan. Ada rasa penyesalan dia mengajak Irene menumpangi mobilnya. N
Makan Ayam Seuhah bukan pertama kali untuk Irene. Dia sudah sering mengkonsumsi ayam itu dari semasa kuliah. Dan, sebagai penyuka makanan pedas, dirinya tidak pernah mendapatkan masalah saat memakan ayam tersebut. Sekali pun level kepedasannya maksimal.“Asli, ini pasti gara-gara si setan!” batin Irene yang baru saja meminum banyak air putih. Sepertinya dia sedang mengalami diare, karena sampai detik ini sudah total lima kali dia bolak-balik toilet.“Irene, pulang aja mukamu pucet banget,” saran Mia yang tidak tega melihat wajah Irene seperti mayat hidup.“Tapi kerjaan lagi banyak-banyaknya, Bu. Aku nggak mungkin ninggalin Ibu,” timpalnya dengan nada bicara parau.“Yang ini bisa diselesaikan lusa. Yang ini … besok bisa lah.” Mia sedang memilih-milih pekerjaan mereka, “aman, kok, Irene. Yang penting kamu sembuh dulu. Dari pada maksain dan berakhir pekerjaannya malah nggak bener.”Apa
"Kenapa ngelamun terus?” tanya Reno, yang sedari tadi memperhatikan Irene. Tatapan gadis itu kosong, bahkan tangannya melakukan gerakan yang sama sejak tadi—menggulung spaghetti sampai semuanya sudah membalut garpu.“Hah?” Irene terkesiap, saat mendapat sentuhan dari Reno, “oh, ini …. Loh, spaghettiku sampe begini?” Dirinya terkejut dua kali.Reno hanya tersenyum kecil, melihat gadis yang ada di hadapannya kaget karena ulahnya sendiri. “Dari tadi kamu tuh bengong terus. Lagi mikirin apa, sih?” tanyanya.Malam ini, Irene dan Reno mengagendakan untuk bertemu. Reno mengajaknya makan di salah satu restoran bergaya Italia.“Nggak mau cerita, Irene?” Reno bertanya lagi, karena lawan bicaranya ini ta
“Halo, Jun. Ada apa?” Dugaan Irene, Juna akan menanyakan jadwalnya. Jadi, tadi dia sempat mengingat-ingat, kira-kira hari apa yang kosong dan bisa melakukan pelayanan. “Bella, apa kamu sibuk?” tanya Juna berbasa-basi. “Nggak. Lagi santai, kenapa? Mau nanya jadwal pelayanan?” tebak Irene to the point. “Bukan.” Juna menjawab dengan cepat. Sedangkan Irene merespon dengan mengerutkan keningnya, “seperti biasa aku cuman ingin sharing,” tambahnya. “Tumben sharing lagi,” sindir Irene. Semenjak Irene bekerja hanya untuk Juna, laki-laki ini malah jarang meminta pelayanan darinya. Terakhir mungkin … beberapa hari setelah Juna menanyakan bagaimana tips untuk mendekati perempuan. Setelah itu, rasanya tidak pernah lagi. “Kenapa? Kamu mau aku melakukan pelayanan?” tanya Juna dengan nada yang sedikit menggoda. “Hah? Nggak, kok. Sharing juga nggak masalah. Cuman, tumben aja gitu,” ucap Irene cepat. Kalau boleh Irene jujur, dia sebenarnya sering kali gugup jika Juna menelpon dan meminta pelaya
“Kamu niat nggak, sih?!” Terdengar teriakan dari dalam ruangan Juna. Irene yang berniat memasuki ruangan tersebut, seketika tersentak. “Kamu itu udah saya kasih peringatan dan kesempatan. Terakhir kali saya bilang apa sama kamu, hah?” bentak Juna pada seorang mahasiswi yang sedang berdiri berhadapan dengannya. Mahasiswi itu terlihat menundukkan kepalanya, “Maaf, Pak.”“Bukan kata maaf yang ingin saya dengar. Tapi saya ingin kamu mengatakan apa yang saya katakan minggu lalu sama kamu, Alika!” Juna memberang, wajahnya merah padam. Sorot matanya benar-benar mencekam. “Kalau saya telat mengumpulkan tugas untuk yang kedua kalinya. Saya tidak akan lulus di mata kuliah Bapak,” lirih Alika. “Jadi sudah jelas bukan? Apalagi ini tugas untuk melengkapi nilaimu yang kurang. Saya kurang baik apa, Alika? Sudah keluar saja, tahun depan kamu mengontrak mata kuliah ini lagi,” tegas Juna. “Tapi, Pak. Itu bukan kesalahan sa—”“—Saya tidak ingin mendengar apa pub pembelaan kamu. Sudah saya kasih kes