Irene pun mengikuti apa yang dikatakan Juna. Perlahan dia merebahkan kembali tubuhnya ke atas kasur. Ia melirik ke arah jam dinding. Terlihat sekarang sudah pukul setengah satu malam.
“Kamu pakai baju apa, Sayang?” tanya Juna dengan suara yang lembut.
“Hah?” Irene melirik pakaian yang sedang ia pakai. “Kaos warna putih,” jawabnya.
“Ah, pantas saja. Aku bisa melihat dua bukit kembar milikmu yang sekal itu.” Kalimat yang diucapkan Juna terdengar sangat nakal di telinga Irene. Namun, dia hanya bisa diam.
“Dan … ternyata kamu tidur tidak pakai bra, ya?” goda kliennya dari ujung telepon sana.
Mata Irene membulat. “Kenapa dia tahu aku tidak pakai pelindung?” batinnya. Saking paniknya, Irene sampai memegang salah satu aset miliknya.
“Bel, kamu lagi pegang, kan?” tebak Juna lagi.
What the … kenapa Juna bisa tahu apa yang sedang Irene lakukan? Men
Juna melangkahkan kakinya memasukkan gedung fakultas. Dia memang sedikit terlambat masuk ke kampus. Alasannya? Tentu saja, karena dia menghabiskan malam bersama dengan partner-nya di dalam telepon.Semalam Juna merasa dirinya bisa tidur dengan sangat nyenyak. Seolah rasa lelahnya itu hilang dalam satu malam. Padahal selama ini dia selalu tidak bisa tidur dengan tenang. Dirinya merasa sangat senang dan puas, setelah mendapatkan pelayanan dari partner-nya.Sensasi saat Juna memimpin permainan, dengan Irene yang memimpin permainan, tentu sangat berbeda. Rasanya Juna bisa lepas membayangkan apa yang sebenarnya ingin ia lakukan. Selain itu, dia juga bisa merasakan perbedaan dari partner-nya. Entah kenapa, rasanya Irene lebih lepas kemarin. Hal itu membuat fantasi Juna semakin liar dan rasa percaya dirinya meningkat. Sepertinya dipermainan selanjutnya, dia akan kembali memimpin permainan.“Selamat pagi, Pak,” sapa seorang mahasiswi yang baru saja berpapasa
“Halo?” sapa Irene saat dirinya baru saja mengangkat panggilan tersebut.“Ren, siang kosong, nggak? Aku ada kelas, nih. Terus ngidam mie ayam fakultas. Makan bareng, yuk!”Suara ceria terdengar dari ujung sana. Irene tentu mengenali gadis dengan pemilik suara seperti ini. Siapa lagi kalau bukan sahabatnya, Zee.“Boleh. Udah lama juga kita nggak ketemu,” balas Irene. Sepertinya ide makan siang bersama Zee adalah pilihan yang baik.“Oke, deh. Nanti kita bikin salty si Gita. See you jam dua belas, ya. Banyak banget yang pengin aku gibahin. Bye!” pungkas Zee. Kemudian nada panggilan ditutup pun terdengar.Masih seperti biasa, Zee adalah perempuan yang sangat ekspresif. Irene hanya tersenyum, ia sudah tidak sabar ingin bertemu dengan sahabatnya. Zee dan Gita tentu memiliki kepribadian yang berbeda. Sahabatnya yang satu ini, dia sering sekali bercerita dan tidak pernah jaim pada sahabatnya.Jam sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Irene dan Mia menutup lapak pekerjaan mereka untuk makan
Dilema.Kira-kira satu kata itu yang bisa menjelaskan bagaimana perasaan Irene sekarang. Di satu sisi, dia ingin menceritakan pengalaman yang baru saja ia rasakan untuk pertama kalinya.Perasaan penasaran dan sensasi tak karuhan. Bahkan yang membuat Irene bingung—tapi merasa puas, adalah ketika intinya itu berdenyut. Malam itu, ia benar-benar merasa dipuaskan oleh seorang laki-laki untuk pertama kalinya.Bahkan saat terbangun di pagi hari, Irene terkejut melihat dirinya sendiri. Pasalnya dia terbangun dengan tidak menggunakan celana. Dan, otaknya langsung me-review kejadian semalam. Yang ternyata dia memainkan tubuhnya sendiri.“Irene?” Zee melambaikan tangan kanannya, tepat di depan wajah Irene. Sedetik kemudian, Irene pun tersadar dari lamunannya. “Kenapa? Kok bengong?” tanya Zee yang bingung melihat sahabatnya bagaikan patung. Bahkan mie ayam milik Irene pun sama sekali belum di sentuh.“Oh? Nggak papa,”
“Diam! Saya punya urusan sama kamu!” sentak seorang laki-laki yang menatap Irene dengan tatapan tajam.“P-pak J-juna?” Irene merasa terkejut saat mengetahui, bahwa orang yang menariknya secara paksa adalah musuh bebuyutannya di sini.Sedari tadi siang, Juna mencari keberadaan Irene. Namun, gadis itu tak terlihat di ruang kerjanya. Jadi, saat dia melihat Irene hendak pulang, Juna pun langsung menariknya ke tempat yang bisa dibilang sepi. Ada hal penting yang harus dibicarakannya sekarang juga.“Ada apa, sih, Pak?” tanya Irene. Dia mencoba menegakkan kepalanya.“Ada apa?” dengus Juna. “Kamu nggak merasa punya salah gitu sama saya?” Pria itu kini berkacak pinggang, sambil menatap Irene dengan tatapan kesal.Irene terdiam sejenal. Dia mencoba mengingat apa saja kesalahannya pada Juna. Ah … kalau diingat-ingat seperti ini, ternyata banyak juga kesalahan Irene pada sang dosen. Tapi, bukan
Juna merasa ada sesuatu yang aneh dengan tubuhnya. Dirinya masih diam, tak beranjak sedikit pun. Padahal Irene sudah meninggalkan sejak lima menit yang lalu.“Nggak mungkin,” gumamnya. Dia melirikkan mata ke bawah, tepat ke titik yang menjadi permasalahan hidupnya.Sebuah tragedi yang sama sekali tidak pernah dipikirkan oleh Juna terjadi. Dua bibir baru saja bertemu, walau hanya beberapa detik saja. Tragedi yang tak disengaja itu, malah memberikan kesan tersendiri untuk Juna. Dirinya seperti tersengat listrik yang seolah membangkitkan sisi lain dari diri Juna, yang selama ini tertidur pulas.Namun, Juna mencoba menampik semua dugaan yang saat ini sedang ada dalam benaknya. Karena saat terkahir dia mendapat sentuhan liar dari Rachel, dirinya tak merasakan apa pun.“Huh. Benar.” Juna langsung berdiri tegak. “Masa cuman kecupan doang, dia berdiri? Nggak mungkin banget!” tampiknya.Tidak ingin memikirkan hal ini terl
Ada urusan apa lagi? Sampai-sampai Juna harus mengirim pesan pada Irene. Padahal Irene sudah mencoba mengikhlaskan apa yang terjadi kemarin. Berharap dia tidak memiliki urusan apa pun dengan Juna lagi.Manusia memang hanya bisa berharap. Pada akhirnya semua tergantung takdir yang sudah dituliskan sang pencipta. Kalau sudah begini mau bagaimana lagi? Menghindar bukan sebuah solusi.Sesuai instruksi yang Juna kirim melalui pesan. Irene pun datang menuju ruangannya di lantai 3, tepat pukul 12 siang. Jadwal makan siangnya tentu saja sedikit terganggu.Tok. Tok. Tok “Permisi.”Irene baru saja tiba di depan ruang kerja Juna, yang sangat eksklusif itu.“Masuk.”Dari dalam terdengar Juna mempersilakannya masuk. Seolah tahu kalau yang baru saja mengetuk pintu itu Irene. Segera Irene mendorong daun pintu dan langsung memasuki ruangan. Ia langsung menutup kembali pintu tersebut dan berbalik badan.
Tidak. Saat ini bukan saatnya bagi Juna untuk diam saja. Tujuannya meminta Irene ke ruangannya, bukan hanya sekedar berbincang masalah itu. Namun, ada hal yang lebih mendesak yang ingin dia pastikan. Hanya saja, sedari tadi dia sedang menunggu momen yang tepat. Saat Irene memutuskan untuk pergi. Juna rasa-rasanya agak gelisah. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Dia sudah ingin memastikan perasaan yang tak biasa, yang ia rasakan ketika bersama dengan Irene. “… Lain kali nanti saya yang traktir Bapak, sekaligus saya juga ingin meminta maaf dengan pantas,” ucap Irene yang sedang berpamitan pada Juna. Gadis itu pun beranjak, hendak pergi meninggalkan ruang kerjanya. Juna yang sedang memperhatikan punggung Irene. Langsung berdiri dari sofa yang sedang ia duduki. Perasaan aneh itu harus Juna pastikan sekarang juga. Karena Juna tak ingin berlarut-larut dalam kebimbangan yang tak pasti. Kalau memang dengan ini, sisi lain dalam diri Juna bisa kembali bangkit. Apakah ada kesempatan bagi Juna
Irene baru saja keluar dari kamar mandi, setelah satu jam dia di sana. Ia segera duduk di depan cermin, hendak mengeringkan rambutnya yang basah. Jangan ditanya bagaimana wajahnya sekarang. Sudah jelas, bengkak, karena sedari tadi menangis. Sedetik kemudian, matanya itu tiba-tiba fokus menatap bibirnya.“Ayolah, Irene. Sudah jangan dipikirin lagi. Itu cuman bikin kamu sakit hati,” ucapnya pada pantulan diri yang ada di hadapannya.Saat di kamar mandi dan menenangkan diri di sana, Irene menenggelamkan tubuhnya di bak mandi. Ia sudah bertekad, untuk melupakan kejadian barusan. Walau pasti tidak semudah membalikan telapak tangan.Sebisa mungkin, Irene juga akan menghindari Juna di kampus. Jika sampai dia melihat ujung rambut Juna, Irene akan langsung pergi. Rasanya tak sudi melihat wajah seorang pencuri yang tidak sopan dan tidak tahu diri.“Pendidikan aja tinggi, tapi minus akhlak juga. Dasar setan!” umpat Irene, ketika bayangan wajah Juna melintah di benaknya.Hairdryer yang baru saja
“Apa? Ada anak laki-laki yang menggoda anak perempuan Papa?” Tiba-tiba saja Juna datang dengan pakaian yang sudah lengkap. Dia langsung menghampiri anak dan istrinya. “Siapa dia, Nathan?” tanya Juna lagi. Nathan menoleh ke arah sang ayah, dia merasa memiliki teman sekarang. “Ada, Pa. Dia anak laki-laki di kelas sebelah. Nathan tidak suka Freya dekat dengan Farrel, karena laki-laki itu sering kali memberikan anak perempuan ikat rambut. Sudah jelas dia bukan laki-laki baik, kan, Pa?” ucap Nathan. “Wah, jelas. Dia bukan laki-laki yang baik. Dia dekat dengan semua perempuan. Bagus, Sayang, kamu harus melindungi adikmu.” Juna langsung mengelus puncak kepala Nathan. Sedangkan anak laki-lakinya itu tersenyum penuh kemenangan. Berbeda dengan Nathan yang merasa dibela oleh sang ayah. Freya terlihat matanya berkaca. “Papa kok membela Kak Nathan?” ucap Freya dengan suaranya yang bergetar, “padahal Papa bilang kalau kita harus menerima pemberian dan niat baik dari orang lain. Freya tahu kal
“Pa, sebaiknya Papa di rumah saja. Nanti Jessica akan mengirim kabar secepatnya,” ucap Jessica pada ayah mertuanya.Kini mereka sedang di rumah sakit. Tidak, tidak ada yang sakit, hanya saja ada seseorang yang hendak melahirkan.“Tidak, Papa tidak bisa menunggu di rumah dengan tenang. Papa sudah sangat menantikan cicit dari Juna,” jawab Jodi yang sedang duduk di kursi roda dan di temani dengan asisten pribadinya.Kesehatan Jodi tidak seprima sebelumnya. Namun, begitu dia sangat mengayomi Irene. Bahkan hampir setiap minggu Jodi selalu mendatangi kediaman Jessica. Karena selama Irene hamil, perempuan itu tinggal dengan ibu mertuanya.Kehadiran anak Juna dan Irene sangat ditunggu-tunggu oleh semua orang, bukan hanya ibu bapaknya saja. Hampir seluruh keluarga besar Juna dan Irene menantikan kelahiran mereka. Bahkan tak sedikit dari mereka yang bertaruh, anaknya akan mirip seperti Juna atau Irene.“Suami Bu Irene apa sudah
“Good evening, My Honey.”Irene masih diam bagaikan patung. Dia merasa sangat sangat terkejut dengan kedatangan Juna. Ya, benar Juna suaminya, kini ada di hadapan Irene.“Kaget, ya?” goda Juna.“Kamu kok ada di sini? Kapan berangkatnya?” tanya Irene dengan mulut sedikit menganga.“Kemarin kalau waktu Indonesia,” jawab Juna cepat, “aku nggak dipersilakan masuk?” tanyanya lagi.Irene mengerejap, dia benar-benar dibuat ternganga oleh kedatangan Juna yang sangat tiba-tiba.“Ah, iya. Ayok masuk, tapi kamar apartemenku kecil. Cuman tipe studio,” ucap Irene.Juna menggeleng. “Tidak apa. Asal bersamamu, tempat sekecil lemari pun aku merasa nyaman,” gombalnya.Irene mendengus, lalu sedikit mendelik. Karena tak banyak bahan makanan yang tersedia. Irene hanya memasak mie instan untuk suaminya.“Maaf aku cuman bisa kasih ini. Kalau kamu bilang, aku bisa prepare,” ucap Irene.“No problem, Honey. Kalau aku bilang, bukan surprise namanya.”Irene menghela napas, lalu memberikan semangkuk mie instan p
Atmosfer di kamar itu terasa sangat panas. Bahkan peluh dua insan manusia itu sudah melebur menjadi satu. Suara napas mereka saling berderu satu sama lain. Tak ketinggalan suara desahan demi desahan terdengar jelas keluar dari mulut sang perempuan muda.“Tahan, ini akan terasa sakit di awal,” ucap Juna sambil menatap kedua mata cokelat milik istrinya.Setelah pemanasan di kamar mandi, mereka pun kembali ke kamar, sesuai dengan permintaan Irene. Pasalnya Irene merasa tidak nyaman dan tidak leluasa. Apalagi dengan nol pengalaman yang dimiliki Irene.“Jun, aku takut,” rintih Irene. Namun, begitu rintihan itu terdengar seperti seseorang yang sedang menikmati nikmatnya dunia.“Tenang, kamu percayakan saja padaku,” kata Juna meyakinkannya. Kemudian dia mengecup kening istrinya.Irene pun mengangguk, walau perasaan takut kini mulai bisa ia rasakan. Dia sedikit ngeri ketika membayangkan sesuatu masuk ke dalam tubuhnya. Apalagi milik Juna terlihat sangat besar dan juga gagah. Apa bisa miliknya
“Silakan, Mas Juna kita sudah sampai,” ucap seorang sopir yang duduk di balik kemudi. Setelah acara pesta selesai, Juna dan Irene menuju sebuah hotel mewah di ibu kota. Mereka belum sempat menyusun acara bulan madu, karena besok Juna ada agenda penting yang tidak bisa ia tinggalkan. Ya, wajarlah, mereka menikah itu the power of dadakan. Ketika Irene sudah mengatakan bahwa dia akan kembali pada Juna. Hanya berselang satu minggu, Juna langsung mempersunting Irene. Bahkan untuk momen tunangan saja mereka melewati hal tersebut. Juna merasa sedikit khawatir, kalau saja Irene kembali berubah pikiran. Atau sebenarnya memang Juna sendiri sudah merasa tidak tahan dengan statusnya sebagai duda loyo? Tak hanya Juna yang memiliki agenda penting, Irene pun sama demikian. Dia harus kembali ke Inggris untuk sementara waktu. Menyelesaikan apa yang seharusnya dia selesaikan terlebih dahulu. “Selamat datang Pak Juna Atmadjadarma dan juga istri,” sambut seorang pria jangkung dan mempunyai tubuh gagah
Juna merasa gelisah, karena dirinya khawatir tidak sempat untuk bertemu dengan Irene. Dirinya langsung keluar dari mobil SUV hitam dan langsung berlari memasuki bandara. Beberapa kali Juna harus menyalip beberapa kerumunan, dan dia terus meminta maaf. “Please, Tuhan. Semoga sempat,” batin Juna, yang tak pernah memperlambat langkahnya. Sampai di suatu titik di mana Juna melihat gadis yang sedang dicarinya sedang berlari dari arah yang berlawanan. Entah apa yang sedang gadis itu lakukan, tapi Juna merasa bersyukur karena masih diberikan kesempatan untuk bertemu dengannya. Juna rela meninggalkan rapat penting demi menyusul Irene. Dia tidak ingin kehilangan gadis itu untuk kesekian kalinya. Juna tidak bisa membiarkan Irene pergi meninggalkannya sendiri. Walau Juna siap menunggu Irene sampai kapan pun, tapi jika masih bisa untuk menahannya maka akan Juna lakukan. Gadis itu semakin dekat dengannya. Juna bisa melihat kalau Irene pun ikut memandangnya. Sedetik kemudian, Juna melihat kalau
Padang rumput yang sangat hijau kini menghiasi pandangan Irene. Bunga butercup terlihat menghiasi di atasnya. Kombinasi warna hijau dan hiasan berwarna kuning, begitu menyejukkan mata.Irene sedang berdiri di tengah-tengah padang rumput itu. Angin sepoi-sepoi sesekali menyibak rambutnya. Ia sesekali menyisir rambut hitamnya itu. Kemudian, tiba-tiba di ujung sana, Irene melihat sebuah objek yang membuat matanya menyipit untuk mengamati objek tersebut.“Mama? Papa?” gumam Irene kecil.Objek itu semakin jelas. Irene bisa melihat sosok kedua orang tuanya sedang memandang Irene dari kejauhan. Terlihat mereka tersenyum lebar, sembari tangannya terulur.“Mama! Papa!” teriak Irene, saat dirinya sudah yakin bahwa yang dilihatnya adalah sosok kedua orang tuanya.Dalam hitungan detik, Irene pun berlari mendekati kedua orang tuanya. Tanpa berpikir panjang, dia langsung memeluk mereka berdua.“Ma, Pa, aku kangen,” lirih Irene. Air matanya pun tumpah ruah seketika.“Kamu sudah besar, ya, Sayang,” b
Irene sedikit terkejut dengan apa yang baru saja terjadi padanya. Saat dirinya sedang berjalan mundur, tanpa sengaja dia menabrak nenek yang sudah tua dan renta, yang sedang membawa kayu bakar di punggungnya. Seketika kayu yang dibawa sang nenek berjatuhan. Dengan cepat Irene langsung berjongkok dan membantu sang nenek merapikan ranting dan juga kayu tersebut. “Nek, sekali lagi maafkan saya. Saya tidak sengaja,” ucap Irene dengan perasaan sangat bersalah. “Ndak papa, Nduk,” balas sang nenek yang sudah renta tersebut sambil menatap Irene dan tersenyum. “Biar saya yang bawa saja, Nek. Nenek tinggal di mana? Biar saya antarkan.” Merasa sangat bersalah, Irene pun berinsiatif menawarkan bantuan. “Tidak usah. Tidak apa-apa, rumah Nenek masih jauh,” balas sang Nenek. Irene mendesah, “Apalagi rumah Nenek jauh. Biar saya yang batu, ya, Nek. Nenek jangan menolak,” paksa Irene. Saking tidak mau ditolak bantuanya, Irene langsung menggendong kayu tersebut di punggungnya. Dia sedikit merin
Entah sejak kapan Jessica ada di tempat itu. Namun, sekarang wanita yang sudah terlihat tua itu duduk di hadapan Irene. Mau tidak mau, Irene harus meluangkan waktu untuk sekedar mengobrol dengannya.“Apa kabar?” tanya Jessica membuka pembicaraan.“Baik, Tante,” jawab Irene sambil tersenyum canggung.Jessica pun balas melemparkan senyumannya. “Kamu tambah cantik saja. Gimana kerjaan di sana?” Wanita itu masih berbasa-basi.“Terima kasih banyak, Tante. Lumayan nyaman. Tante dan Om Justin bagaimana kabarnya?” tanya Irene.“Kabar kami baik, Ren.”“Tante, kenapa harus repot-repot datang ke mari?” tanya Irene dengan raut wajah yang sedikit kurang nyaman.Bukan, Irene bukan merasa kurang nyaman dengan Jessica. Melainkan, dia merasa sedikit tidak nyaman karena tiba-tiba saja Jessica ada di sini. Kota yang bisa dibilang lumayan jauh dari tempat tinggalnya.“Tante dapat kabar dari Irgie, kalau kamu pulang ke Indonesia. Jadi, Tante menyempatkan hadir. Tadinya Om Justin juga ingin datang, tapi ka