Dilema.Kira-kira satu kata itu yang bisa menjelaskan bagaimana perasaan Irene sekarang. Di satu sisi, dia ingin menceritakan pengalaman yang baru saja ia rasakan untuk pertama kalinya.Perasaan penasaran dan sensasi tak karuhan. Bahkan yang membuat Irene bingung—tapi merasa puas, adalah ketika intinya itu berdenyut. Malam itu, ia benar-benar merasa dipuaskan oleh seorang laki-laki untuk pertama kalinya.Bahkan saat terbangun di pagi hari, Irene terkejut melihat dirinya sendiri. Pasalnya dia terbangun dengan tidak menggunakan celana. Dan, otaknya langsung me-review kejadian semalam. Yang ternyata dia memainkan tubuhnya sendiri.“Irene?” Zee melambaikan tangan kanannya, tepat di depan wajah Irene. Sedetik kemudian, Irene pun tersadar dari lamunannya. “Kenapa? Kok bengong?” tanya Zee yang bingung melihat sahabatnya bagaikan patung. Bahkan mie ayam milik Irene pun sama sekali belum di sentuh.“Oh? Nggak papa,”
“Diam! Saya punya urusan sama kamu!” sentak seorang laki-laki yang menatap Irene dengan tatapan tajam.“P-pak J-juna?” Irene merasa terkejut saat mengetahui, bahwa orang yang menariknya secara paksa adalah musuh bebuyutannya di sini.Sedari tadi siang, Juna mencari keberadaan Irene. Namun, gadis itu tak terlihat di ruang kerjanya. Jadi, saat dia melihat Irene hendak pulang, Juna pun langsung menariknya ke tempat yang bisa dibilang sepi. Ada hal penting yang harus dibicarakannya sekarang juga.“Ada apa, sih, Pak?” tanya Irene. Dia mencoba menegakkan kepalanya.“Ada apa?” dengus Juna. “Kamu nggak merasa punya salah gitu sama saya?” Pria itu kini berkacak pinggang, sambil menatap Irene dengan tatapan kesal.Irene terdiam sejenal. Dia mencoba mengingat apa saja kesalahannya pada Juna. Ah … kalau diingat-ingat seperti ini, ternyata banyak juga kesalahan Irene pada sang dosen. Tapi, bukan
Juna merasa ada sesuatu yang aneh dengan tubuhnya. Dirinya masih diam, tak beranjak sedikit pun. Padahal Irene sudah meninggalkan sejak lima menit yang lalu.“Nggak mungkin,” gumamnya. Dia melirikkan mata ke bawah, tepat ke titik yang menjadi permasalahan hidupnya.Sebuah tragedi yang sama sekali tidak pernah dipikirkan oleh Juna terjadi. Dua bibir baru saja bertemu, walau hanya beberapa detik saja. Tragedi yang tak disengaja itu, malah memberikan kesan tersendiri untuk Juna. Dirinya seperti tersengat listrik yang seolah membangkitkan sisi lain dari diri Juna, yang selama ini tertidur pulas.Namun, Juna mencoba menampik semua dugaan yang saat ini sedang ada dalam benaknya. Karena saat terkahir dia mendapat sentuhan liar dari Rachel, dirinya tak merasakan apa pun.“Huh. Benar.” Juna langsung berdiri tegak. “Masa cuman kecupan doang, dia berdiri? Nggak mungkin banget!” tampiknya.Tidak ingin memikirkan hal ini terl
Ada urusan apa lagi? Sampai-sampai Juna harus mengirim pesan pada Irene. Padahal Irene sudah mencoba mengikhlaskan apa yang terjadi kemarin. Berharap dia tidak memiliki urusan apa pun dengan Juna lagi.Manusia memang hanya bisa berharap. Pada akhirnya semua tergantung takdir yang sudah dituliskan sang pencipta. Kalau sudah begini mau bagaimana lagi? Menghindar bukan sebuah solusi.Sesuai instruksi yang Juna kirim melalui pesan. Irene pun datang menuju ruangannya di lantai 3, tepat pukul 12 siang. Jadwal makan siangnya tentu saja sedikit terganggu.Tok. Tok. Tok “Permisi.”Irene baru saja tiba di depan ruang kerja Juna, yang sangat eksklusif itu.“Masuk.”Dari dalam terdengar Juna mempersilakannya masuk. Seolah tahu kalau yang baru saja mengetuk pintu itu Irene. Segera Irene mendorong daun pintu dan langsung memasuki ruangan. Ia langsung menutup kembali pintu tersebut dan berbalik badan.
Tidak. Saat ini bukan saatnya bagi Juna untuk diam saja. Tujuannya meminta Irene ke ruangannya, bukan hanya sekedar berbincang masalah itu. Namun, ada hal yang lebih mendesak yang ingin dia pastikan. Hanya saja, sedari tadi dia sedang menunggu momen yang tepat. Saat Irene memutuskan untuk pergi. Juna rasa-rasanya agak gelisah. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Dia sudah ingin memastikan perasaan yang tak biasa, yang ia rasakan ketika bersama dengan Irene. “… Lain kali nanti saya yang traktir Bapak, sekaligus saya juga ingin meminta maaf dengan pantas,” ucap Irene yang sedang berpamitan pada Juna. Gadis itu pun beranjak, hendak pergi meninggalkan ruang kerjanya. Juna yang sedang memperhatikan punggung Irene. Langsung berdiri dari sofa yang sedang ia duduki. Perasaan aneh itu harus Juna pastikan sekarang juga. Karena Juna tak ingin berlarut-larut dalam kebimbangan yang tak pasti. Kalau memang dengan ini, sisi lain dalam diri Juna bisa kembali bangkit. Apakah ada kesempatan bagi Juna
Irene baru saja keluar dari kamar mandi, setelah satu jam dia di sana. Ia segera duduk di depan cermin, hendak mengeringkan rambutnya yang basah. Jangan ditanya bagaimana wajahnya sekarang. Sudah jelas, bengkak, karena sedari tadi menangis. Sedetik kemudian, matanya itu tiba-tiba fokus menatap bibirnya.“Ayolah, Irene. Sudah jangan dipikirin lagi. Itu cuman bikin kamu sakit hati,” ucapnya pada pantulan diri yang ada di hadapannya.Saat di kamar mandi dan menenangkan diri di sana, Irene menenggelamkan tubuhnya di bak mandi. Ia sudah bertekad, untuk melupakan kejadian barusan. Walau pasti tidak semudah membalikan telapak tangan.Sebisa mungkin, Irene juga akan menghindari Juna di kampus. Jika sampai dia melihat ujung rambut Juna, Irene akan langsung pergi. Rasanya tak sudi melihat wajah seorang pencuri yang tidak sopan dan tidak tahu diri.“Pendidikan aja tinggi, tapi minus akhlak juga. Dasar setan!” umpat Irene, ketika bayangan wajah Juna melintah di benaknya.Hairdryer yang baru saja
“Irene, apa kamu belum percaya dan merasa ragu sama aku?”Oh, sial. Kenapa Reno menatapnya seperti itu? Irene mendadak tak enak hati. Dia telah mengecewakan perhatian Reno padanya.“Bukan begitu, Ren. Hanya saja ….” Irene mencoba mencari alasan, yang membuat Reno tak menanyakan lagi. “Sebenarnya ini rahasia di tempat kerjaku. Aku nggak bisa memberitahu sembarang orang. Cuman … aku agak kesal sama salah satu dosen di sana.” Ucapan Irene tak sepenuhnya salah dan benar.“Karena?” tanya Reno lagi.“Mmm … biasalah, kadang ada orang yang berbuat seenaknya di tempat kerja. Apalagi aku itu staff termuda. Dan, akunya juga agak baper, tersinggungan, hehe,” jawab Irene sambil tersenyum pahit.“Terus kamu diem aja?” Benar saja, Reno terus menanyai Irene. Tapi entah kenapa Irene malah senang diperhatikan seperti ini. “Harusnya lawan, Ren. Kalau kamu diem aja, nant
“Ren, ini Pak Irsyad sama Bu Leli minta tolong buat input soal UTS-nya.” Mia memberikan sebuah flashdask berwarna hitam pada Irene.Minggu depan adalah jadwal pelaksanaan ujian tengah semester. Sudah sejak Irene berkuliah semester lima, pelaksanaan ujian di kampusnya selalu dilaksanakan secara daring. Namun, begitu, para mahasiswa tetap mengerjakan soalnya di dalam kelas dan diawasi oleh dosen pengampu.“Oh, boleh, Bu. Nanti selesai ini aku input soalnya ke web,” ucap Irene pada teman kerjanya itu. Ia pun segera mengamankan flashdisk-nya.“Oh ya, ini sekalian. Tolong masukin dokumentasi kegiatan pembelajaran Pak Juna, untuk pelaporan,” tambah perempuan tersebut. Kini dia memberikan flashdisk berwarna gold. Mia memang sedang sibuk dengan pekerjaan lain, sehingga dia tidak bisa meng-handle pekerjaan tambahan tersebut.Mendadak hati Irene panas, tatkala mendengar nama orang itu disebut. Ekspresi wajahnya yang tadi te