"Darimana Sayang?" tanya Mas Adit ketika aku baru saja masuk ke kamar."Menemui tamu yang tidak diharapkan," jawabku sambil tersenyum padanya."Apa ada tamu yang tidak diharapkan?""Ya, ada, jenis tamu pengganggu yang akan merusak segalanya.""Siapa orangnya?""Istri mantan suamiku.""Ada apa dengannya?" suamiku langsung mengerjab dan bangkit dari pembaringannya."Dia merasa bahwa Mas Arga masih denganku dan terobsesi pada diri ini. Aku sangat tidak nyaman dengan itu," balasku."Kemarilah," ujarnya memberi isyarat, kuhampiri dia, kubawa diriku ke dalam rangkulannya serta kuletakkan kepala di atas bahunya."Dengar sayang, di rumah tangga kita hanya kita yang bisa menentukan bahagia atau tidaknya, mereka orang luar hanya segelintir gangguan yang tidak perlu dianggap serius.""Aku setuju dengan ucapanmu, Mas.""Jika istri mantanmu merasa risih tapi kau sama sekali tidak berhubungan dengan suaminya, maka kau tidak perlu khawatir dengan semua tuduhan itu. Selagi tidak ada bukti, anggap sa
Prang!Prak!Suara sepatuku memukul helm Mas Arga dengan kencang. Pria itu nyaris terjatuh dari motornya andai tidak menahan keseimbangan. "Astaga ... kamu kenapa Irma.""Kamu yang kenapa ngikutin aku terus? kamu dah gila ya Mas?""Aku gak ngikutin kamu, kamunya aja yang kepedean," jawabnya sambil melepas helm dan mengusap kepalanya yang kupukul tadi."Arah kantor kamu gak di sini Mas, tapi di jalur berbeda kamu gak malu mas dengan baju dinas keliling ngikutin aku dan suami, kamu gak malu pada keluargamu dan keluarga mertuamu?""Hei, aku gak ikutin kamu, aku cuma mau ke toko sparepart yang ada di jalan Ahmad Yani, kepedean kamu," balasnya."Kamu pikir aku gak lihat kamu ngikutin dari arah rumah? Awas ya Mas, kalau masih ngikutin aku, kulaporkan kamu ke polisi.""Lapor saja, aku ga takut polisi!""Hah, percuma bicara," balasku sambil membalikkan badan dan kembali ke mobil."Sombong sekali kamu, mentang mentang punya suami baru," ucapnya berteriak."Biarin!"" ... nanti juga kamu mento
"Nomor siapa ini?" gumamku sambil memperhatikan deretan nomor yang tidak tersimpan di kontak tapi punya dua puluh lebih panggilan dari rentang jam tujuh pagi sampai delapan malam di ponsel Mas Arga, suamiku.Banyak sekali!"Mungkin ada keperluan penting, tapi apa ya?" Aku masih bersenandika, sementara pemilik ponsel terdengar bersiul di kamar mandi, baru ingin membersihkan dirinya.Kuperhatikan sekali lagi, durasi panggilan tercatat beragam, ada yang semenit di jam tujuh pagi, ada yang lima menit, ada yang dua puluh menit, dan ada yang durasinya satu jam penuh yakni di jam makan siang."Oh, jadi dia habiskan waktu istirahat kantor untuk menelpon? tidakkah dia tersedak jika makan sambil bicara?" batinku lagi.Kutelaah lagi, dan mengambil kesimpulan bahwa nomor tersebut melakukan panggilan ke ponsel Mas Arga tiap satu jam sekali. Pertanyaannya, siapa yang bisa melakukannya? mengapa sesering itu, apa ada masalah? aku kenal nomor mertua dan ipar-iparku, lantas ini nomor siapa?!Ra
Dia membuka pintu sementara aku masih memegang ponselnya, panggilan belum diakhiri dan aku telah panik dan membuang segera benda itu ke belakangku."Sayang ...."Dia terkejut melihatku terkejut, nampaknya dia curiga sekaligus juga heran."A-ada apa Mas, Hafiz belum tidur ...." ucapku sambil melirik benda yang masih berjalan panggilannya sementara wanita di seberang terus memanggil dengan kata, "Halo, Mas, kamu dengar gak sih?" "Aku cuma mau nanya ada sambel gak? kok kamu kaget?""A-ada di kulkas." Rasa takut membuatku gagap."Kamu kenapa Sayang?" Dia kini berjalan mendekatiku, memicingkan mata dan membuat hatiku makin tak karuan rasanya. Semakin dia mendekat aku semakin mundur, sambil menyunggingkan senyum."Kenapa gak lanjut makan?""Kamu itu ... aneh ....""Ah, tadi itu aku mikirin sesuatu, tiba-tiba kamu buka pintu bikin aku terkejut. Kenapa kamu gak segera lanjut makan, Sayang?" ucapku pura pura peduli."Uhm ... kamu lihat ponselku gak?""Ah, ti-tidak, tidak tahu," jawabku pa
Sesudah menidurkan Hafiz, kuhampiri suamiku di kursi depan Tivi, dia tersenyum melihatku datang dan langsung meraih kepalaku, membawanya ke pelukan bidang itu."Terima kasih sudah setia mengurusi anakku," bisiknya."Sama sama, Mas.""Oh, ya, aku boleh bertanya tidak," tanyaku sambil menahan napas."Boleh, Sayang.""Apakah belakangan kamu menemui atau menghubungi seseorang tapi tidak menceritakannya padaku?""Emangnya kenapa kok kamu tiba-tiba bertanya seperti itu?" Dia langsung melepaskan pelukan dan menatap wajahku.Agaknya aku salah langkah, sebab jika dia mendesak ku akan ketahuan bahwa diri ini sudah membuka ponselnya."Tidak, aku hanya heran, sebab tadi, selagi kau mandi suara ponsel terus berdering. Kemarin aku melihat sebuah nomor yang tidak terdaftar di ponselmu dia menghubungimu pagi-pagi, aku lupa memberitahu karena begitu sibuknya aku, apa ada nama kontak yang tidak kau simpan?""Ah, ti-tidak juga, itu pasti nomor yang kesasar," jawabnya tertawa gugup."Ah, begitu ya.""Ta
Tak mampu kucegah, pria itu bergegas pergi dari rumah, meski waktu telah menunjukkan jam sembilan malam dan dia terlihat nampak sangat lelah, tapi rasa bersalah dan takut kehilangan cinta seakan memberinya keberanian untuk berbuat lebih. Mengapa aku sudah cepat mengambil kesimpulan bahwa dia sedang jatuh cinta? karena dia suamiku, sedikit tidak, aku mengenalnya dan tahu apa reaksinya pada sesuatu, setidaknya, aku tidak begitu naif dan bodoh.Apa yang harus kulakukan sekarang untuk mencari bukti dan mengungkap apa yang sebenarnya terjadi, rencana apa yang harus kususun dan seperti apa. Nampaknya segala sesuatu membuatku gugup karena ini adalah pengalaman pertama kalinya.Gita ... ya itu namanya, aku ingin tahu dia siapa.Sebelum pergi mencari wanita itu, kuputuskan untuk bertanya terlebih dahulu temannya dan mertuaku. Mungkinkah mereka pernah dengar nama Gita atau bahkan mengenalnya? Aku penasaran, bisa saja suamiku punya pendukung sehingga ia berani sejauh itu mengkhianatiku."U
Kutiitipkan anakku pada neneknya, dengan alasan aku punya urusan mendesak, sebenarnya ibu agak curiga melihat gelagatku tapi kupastikan bahwa aku baik baik saja."Aku gak akan lama Bu, sejam aja," ucapku pamit."Ya, hati-hati.""Botol susu dan termosnya sudah ada di dalam tas bayi Bu.""Iya, pergilah, Nak, ibu akan menjaga Hafiz."Kukendarai motorku, menuju kantor suami, diam diam mengintai dan menunggu di keluar, aku juga sudah mengganti pakaian dengan baju milik ibu, baju yang tak pernah dilihat Mas Arga sebelumnya. Setengah jam kemudian suamiku terlihat keluar, masih dengan baju dinas dan tas kerja yang dia sampirkan di bahu. Sebenarnya aku terkesan, di jam empat sore dia masih terlihat rapi dan tampan, entah dia menjaga penampilan atau apa yang dia lakukan pada wajahnya, yang pasti suamiku terlihat cerah.Dia terlihat mengambil motor, tapi tidak seperti ucapannya yang ingin mengantar bosnya, dia hanya sendirian. "Oh, dia membohongiku, aku harus mengambil gambar agar tidak memb
Aku kembali ke rumah ibu, melihat wanita berhati tulus itu sedang menggendong cucunya di teras membuat hati ini terenyuh pilu, rasanya ada yang teriris sakit dan mengeluarkan luka berdarah."Ibu ...." Aku mendekat, menjatuhkan diri di kursi lalu menangis dengan suara tertahan. Ibu yang heran langsung mendekat, dan bertanya,"Nak, ada apa Nak?""Mas Arga, Bu ....""Kenapa?""Mas Arga, Bu, di-dia menjalin hubungan dengan orang lain, dia p-pacaran dengan pegawai kargo, Bu," ucapku terbata bata, tak tertahan rasanya sesak, hingga aku tak tahu harus memulai penuturanku dari mana."Apa? Ngomong yang jelas Nak ... tenang dulu.""Aku habis memergoki dia di cafe, Bu, mereka mesra sekali dan sikap Mas Arga seakan bukan pria beristri.""Lalu apa yang sudah kau lakukan, Nak?""Marah dan menyiramkan segelas jus pada wanita itu," jawabku sambil menyeka air mata."Sebagai ibu yang bijak, aku ingin kau bersabar, tapi jika menuruti kehendak pribadi, aku ingin kau menghajar keduanya, dan membuat mere