Sesudah menidurkan Hafiz, kuhampiri suamiku di kursi depan Tivi, dia tersenyum melihatku datang dan langsung meraih kepalaku, membawanya ke pelukan bidang itu.
"Terima kasih sudah setia mengurusi anakku," bisiknya. "Sama sama, Mas." "Oh, ya, aku boleh bertanya tidak," tanyaku sambil menahan napas. "Boleh, Sayang." "Apakah belakangan kamu menemui atau menghubungi seseorang tapi tidak menceritakannya padaku?" "Emangnya kenapa kok kamu tiba-tiba bertanya seperti itu?" Dia langsung melepaskan pelukan dan menatap wajahku. Agaknya aku salah langkah, sebab jika dia mendesak ku akan ketahuan bahwa diri ini sudah membuka ponselnya. "Tidak, aku hanya heran, sebab tadi, selagi kau mandi suara ponsel terus berdering. Kemarin aku melihat sebuah nomor yang tidak terdaftar di ponselmu dia menghubungimu pagi-pagi, aku lupa memberitahu karena begitu sibuknya aku, apa ada nama kontak yang tidak kau simpan?" "Ah, ti-tidak juga, itu pasti nomor yang kesasar," jawabnya tertawa gugup. "Ah, begitu ya." "Tapi, kamu yakin kamu gak pernah tahu itu nomor siapa?" "Gak tahu." Dia mengangkat bahu seakan ingin meyakinkan bahwa dia tidak bohong. "Baiklah ...."Aku ingin sekali bertanya jika dia memang tidak mengenal nomor itu, mengapa durasi bicaranya sangat panjang. Aku ingin sekali bertanya mengapa dia sampai mengobrol satu jam tapi aku yakin itu akan memetik pertengkaran karena Mas Arga dia tidak akan mengaku. "Daripada membahas itu sebaiknya mari berbaring dalam pelukanku," ucapnya sambil mengajakku rebahan di atas sofa minimalis kami. Aku tak punya alasan untuk menolaknya sehingga kuturuti saja daripada nanti dia heran. Mas Arga mulai memeluk erat dan mencumbu diriku. "Mas ... Eh, aku geli tahu gak, ah." Aku menggeliat sejenak menikmati sentuhan dan melupakan wanita yang bernama Gita di ponselnya. "Biarin aja, aku rindu," jawabnya. Tiba-tiba dari atas meja ponsel yang sudah diambil Mas Arga bergetar, suamiku yang sibuk mencumbu istrinya tidak menyadari bahwa nomor itu menghubungi lagi. Kuraih benda itu dan menggeser tombol hijau lalu meletakkannya kembali di atas meja, sambil mengeraskan suaraku. "Ah, Mas, apaan sih, jangan cium disitu, aku geli," ucapku sengaja membuat wanita itu kesal, aku yakin ekspresinya saat ini sedang diuji dan sakit hati, dengan catatan, jika dia memang selingkuhan suamiku. "Kamu mau melakukannya di sini?" bisik Mas Arga. "Iya, Mas, aku mau .... aku rindu padamu ...," jawabku sambil melingkarkan tangan di lehernya. Rupanya suamiku yang sibuk menciumi diri ini tidak melihat ponselnya. Sekarang panggilan tadi sudah ditutup oleh si penelpon. Mungkin. Dia tak tahan mendengar desahan fiktifku. Tapi sekali lagi, Drrrrtt ... Drtttt .... Sekarang ponselnya berdering lagi, bedanya Mas Arga melihatnya. Sontak saja priaku langsung menghentikan aktivitasnya. Dia bangun, menatap benda itu sambil menelan ludahnya. "Angkat Mas ...," ucapku menguji suamiku. "Gak usah, salah sambung pastinya." Dia menekan tombol merah dan mengajakku beranjak ka kamar. "Ayo, Sayang, aku ingin melanjutkan ...." "Maaf, Mas. Tiba tiba aku sakit perut sekarang ," tampikku menghindar. Aku menolak dirinya karena tahu dia membohongiku. Bagiku kepercayaan adalah segalanya, jika dia tak menjaga kepercayaanku, percuma kuserahkan diri ini padanya Aku ini istri, bukan wanita bayaran yang setelah puas dipakai, ditinggalkan. "Kok kamu jadi aneh sih?" "Kamu itu yang aneh, Mas, sejak tadi ponsel itu berdering, anehnya hanya nomor dia yang kamu setting getar saja, sementara nomor lain berdering," ujarku sambil meraih handphoneku untuk membuktikannya. Kupencet nomor suami dan ternyata benda itu berdering dengan kencang. Mas Arga yang merasa dipermalukan dan dirobek kebohongan masih berkelit. Dia masih berusaha membuat alasan. "Hei, Sayang, ini hanya kebetulan...." "Kalau begitu angkat telponnya!" Sampai di situ aku masih merasa sabar, aku berharap bahwa dia sendiri yang akan mengaku pemilik nomor siapa dan apa keperluannya. Karena sudah merasa terdesak Mas Arga meraih ponsel itu lalu mematikannya. Tapi itu bukan jawaban bagiku. "Sudah kubilang, aku lihat nomornya, kenapa nomor yang sama menghubungimu? Mengapa kamu tidak coba mengangkatnya, bisa jadi itu adalah keluarga?" "Aku rasa ini cuma nomor yang coba menggangguku aku tidak ingin mengangkatnya," jawabnya. "Kalau begitu biar aku yang bicara akan ku tegaskan padanya agar tidak menghubungimu." "Tidak perlu aku akan memblokirnya nanti." Suamiku yang tadinya ingin berbagi kasih denganku kini nampak berubah pikiran. Dia menjadi tegang sambil bangun dan menghindar dariku. Saat kemudian ponsel tadi berdering lagi dan dia mengangkatnya namun posisinya keluar dari rumah ini. "Iya, ini siapa?" "Oh maaf, ya, salah sambung, tolong jangan hubungi nomor ini lagi," sambung Mas Arga, tapi ekspresi wajahnya sangat khawatir dan pucat. Sepertinya aku tahu jika lawan bicaranya akan tersinggung dan merajuk. Aku bisa bayangkan bagaimana susahnya Mas Arga menenangkan wanita itu. Namun di sisi lain, aku masih berusaha menghibur diriku jangan-jangan bahwa itu memang nomor teman lama atau sepupunya. Mudah-mudahan aku hanya salah paham, mudahan dia tidak pernah menghianati, meski aku berusaha membohongi diriku tapi fakta bahwa wanita itu pernah menanyakan bahwa keberadaanku, jelas itu adalah hal yang mencurigakan. "Sayang, aku pergi sebentar ya, aku harus menemu ya Mas Iqbal rekan kantorku karena ada proposal yang tertinggal di rumahnya," ucap suamiku terburu-buru mengambil jaket dan kunci motornya. "Uhm, bukannya tadi kita akan ...?" Maksudku, akan bercinta. Biasanya seorang pria yang sudah ingin melakukan sesuatu, pasti tidak mampu menahannya, sampai hasrat tersebut tersalurkan. "Maaf, ini darurat sayang, jika aku tidak menyelesaikannya malam ini maka posisiku akan terancam." "Bukan posisi di kantor mau tapi hubunganmu akan berakhir dengan wanita itu," batinku sendiri. "Jangan membohongiku, Mas!" Aku menatapnya dengan tajam. "Ju-jujur a-aku tida membohongimu, aku bersumpah demi anak kita." "Jangan jual sumpah, lakukan saja apa yang kau inginkan aku tidak akan berdaya mencegah walau aku tidak tahu apa yang sebenarnya." "Kenapa tiba-tiba kamu bicara seperti itu?" "Sampai saat ini aku terus meyakinkan pada hatiku untuk mempercayaimu." Tiba-tiba perasaan dalam hatiku bergejolak dengan kesedihan, entah kenapa tapi aku tidak sanggup menahannya, airmataku tumpah begitu saja. "Aku terus yakin dan berusaha menenangkan diriku bahwa aku percaya padamu," lanjutku dengan suara parau. Paham bahwa dirinya tersindir, pria itu hanya menatapku sedang bibirnya terlihat kelu.Tak mampu kucegah, pria itu bergegas pergi dari rumah, meski waktu telah menunjukkan jam sembilan malam dan dia terlihat nampak sangat lelah, tapi rasa bersalah dan takut kehilangan cinta seakan memberinya keberanian untuk berbuat lebih. Mengapa aku sudah cepat mengambil kesimpulan bahwa dia sedang jatuh cinta? karena dia suamiku, sedikit tidak, aku mengenalnya dan tahu apa reaksinya pada sesuatu, setidaknya, aku tidak begitu naif dan bodoh.Apa yang harus kulakukan sekarang untuk mencari bukti dan mengungkap apa yang sebenarnya terjadi, rencana apa yang harus kususun dan seperti apa. Nampaknya segala sesuatu membuatku gugup karena ini adalah pengalaman pertama kalinya.Gita ... ya itu namanya, aku ingin tahu dia siapa.Sebelum pergi mencari wanita itu, kuputuskan untuk bertanya terlebih dahulu temannya dan mertuaku. Mungkinkah mereka pernah dengar nama Gita atau bahkan mengenalnya? Aku penasaran, bisa saja suamiku punya pendukung sehingga ia berani sejauh itu mengkhianatiku."U
Kutiitipkan anakku pada neneknya, dengan alasan aku punya urusan mendesak, sebenarnya ibu agak curiga melihat gelagatku tapi kupastikan bahwa aku baik baik saja."Aku gak akan lama Bu, sejam aja," ucapku pamit."Ya, hati-hati.""Botol susu dan termosnya sudah ada di dalam tas bayi Bu.""Iya, pergilah, Nak, ibu akan menjaga Hafiz."Kukendarai motorku, menuju kantor suami, diam diam mengintai dan menunggu di keluar, aku juga sudah mengganti pakaian dengan baju milik ibu, baju yang tak pernah dilihat Mas Arga sebelumnya. Setengah jam kemudian suamiku terlihat keluar, masih dengan baju dinas dan tas kerja yang dia sampirkan di bahu. Sebenarnya aku terkesan, di jam empat sore dia masih terlihat rapi dan tampan, entah dia menjaga penampilan atau apa yang dia lakukan pada wajahnya, yang pasti suamiku terlihat cerah.Dia terlihat mengambil motor, tapi tidak seperti ucapannya yang ingin mengantar bosnya, dia hanya sendirian. "Oh, dia membohongiku, aku harus mengambil gambar agar tidak memb
Aku kembali ke rumah ibu, melihat wanita berhati tulus itu sedang menggendong cucunya di teras membuat hati ini terenyuh pilu, rasanya ada yang teriris sakit dan mengeluarkan luka berdarah."Ibu ...." Aku mendekat, menjatuhkan diri di kursi lalu menangis dengan suara tertahan. Ibu yang heran langsung mendekat, dan bertanya,"Nak, ada apa Nak?""Mas Arga, Bu ....""Kenapa?""Mas Arga, Bu, di-dia menjalin hubungan dengan orang lain, dia p-pacaran dengan pegawai kargo, Bu," ucapku terbata bata, tak tertahan rasanya sesak, hingga aku tak tahu harus memulai penuturanku dari mana."Apa? Ngomong yang jelas Nak ... tenang dulu.""Aku habis memergoki dia di cafe, Bu, mereka mesra sekali dan sikap Mas Arga seakan bukan pria beristri.""Lalu apa yang sudah kau lakukan, Nak?""Marah dan menyiramkan segelas jus pada wanita itu," jawabku sambil menyeka air mata."Sebagai ibu yang bijak, aku ingin kau bersabar, tapi jika menuruti kehendak pribadi, aku ingin kau menghajar keduanya, dan membuat mere
"Apa ini?""Seperti yang ayah lihat, aku tak terima perselingkuhan," jawabku tanpa ekspresi.Ayah mertua yang tadinya nampak ingin berteriak lagi, langsung terdiam dan menghela napas."Pulanglah kamu, jangan bikin aku malu," usir mertua lelakiku."Apa ada penjelasan tentang yang baru saja kutemukan?" Tentu saja aku penasaran Apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa ada hubungan yang terjalin tanpa sepengetahuan ku sementara mereka sendiri juga tahu kalau Mas Arga sudah punya istri. Keluarga macam apa mereka."Tidak ada, yang pasti kami mengetahuinya," jawab beliau.Apa yang lebih mencabik-cabik hatiku lebih daripada perselingkuhan Mas Arga, ialah menyadari kenyataan bahwa mertua mendukung hal itu, lalu aku seperti orang bodoh yang tidak menyadari apapun."Mengapa Ayah membiarkannya? bukankah ayah adalah pemimpin keluarga, mengapa ayah membiarkan ketidak-adilan terjadi di sini?""Aku tidak melihat ada hal yang salah kenyataannya anakku memang lebih bahagia dengan perempuan itu. Kau bisa
Aku pulang, membawa hati dengan sejuta luka yang menyakitkan. Karena tak sanggup menahan kesedihan kuhentikan motor di salah satu tempat sepi, kutumpahkan tangis yang sejak tadi menggumpal di dada sepuasnya."Ah, ya Allah, kenapa harus sesakit ini?"Betapa teganya suamiku, teganya dia mengkhianati dan memperlihatkan hubungannya pada orang tuanya, sementara aku sama sekali tak tahu apa apa." Aku merutuk dan menangisi kemalanganku.Selepas melegakan hati dan mengusap air mataKutemui ibuku yang sejak tadi nampak gelisah menunggu di rumah."Bagaimana?" tanya beliau dengan ekspresi penuh penasaran."Hhmm, hubungan mereka sudah jauh Bu, seserahan sudah siap, mereka akan menikah." Kuhenyakkan diri di sofa sambil menyandar lesu dan menyeka air mataku."Apa?! kurang ajar ...." Ibu langsung memberingas dan memberikan Hafiz padaku."Biar Ibu yang menemui mereka, dasar kurang ajar!"Ibu menyinsingkan lengan baju dan mengambil dompetnya bersiap pergi."Tapi, Bu, pergi dan membuat keributan ak
Terima kasih sebelumnya karena kalian sudah berkenan mengikuti cerita ini , mohon maaf jika di sana sini terdapat banyak kekurangan. 🙏Kulangkahkan kaki sambil menahan buliran bola panas yang ingin jatuh dari sudut mataku. Aku duduk di hadapannya dengan tatapan datar sementara suamiku mendekat ke kursi yang sama denganku."Sebenarnya aku baru ingin bicara denganmu setelah aku menyiapkan diri dan keluargaku tetapi segalanya tidak berjalan sesuai rencana," ucapnya pelan.Mendengarnya aku hanya tertawa sinis menggelengkan kepala dan berusaha menyembunyikan air mata dengan memalingkan wajah."Jadi rahasiamu ketahuan lebih cepat dan rencana kalian tidak berjalan mulus, kan?""Aku tidak bermaksud untuk menyembunyikan kisah cintaku ...," ucapnya dengan suara tertahan, nampaknya Mas Arga ragu akan meneruskan ucapan atau tidak.Aku menunggu sambungan perkataannya tapi dia hanya menunduk."Jadi sejak kapan?""Dia mantan kekasihku, dia cinta pertamaku," balasnya lirih."Jadi ceritanya kau be
"Kamu kok berdiri aja sih, gak bantuin kita?" tanya Ibu mertua yang panik mencoba menyadarkan suaminya."Saya harus bagaimana?" Aku mematung sambil menatap matanya."Cobalah tunjukkan sedikit kepedulian atau pura puralah baik, kamu gak peka banget ya ... ya ampun ....""Selama ini aku sudah tulus dan bersikap baik, tapi balasan kalian sungguh luar biasa. Untuk apa sekarang aku mendorong diri untuk terperosok dan terus mengorbankan perasaan, Bu?" jawabku."Keterlaluan sekali kamu ya, karena kamu suamiku pingsan! Kalau terjadi apa apa padanya, lihatlah kamu!" Wanita itu mengancam sambil melotot padaku Tak banyak jawaban yang ingin aku berikan, situasinya juga sudah tidak memungkinkan untuk berdebat. Tanpa banyak bicara kubantu Mas Arga menaikkan ayahnya ke atas mobil mereka, sementara ibu mertua terus menangis sesenggukan, tak lama kemudian kendaraan itu meluncur pergi dari depan rumah kami.Menyaksikan mobil itu menghilang dari balik tembok pagar, aku hanya bisa menghela nafas be
Pagi baru saja bernapas, tetesan embun masih membasahi kelopak mawar dan anyelir, kubuka pintu, membiarkan hawa pagi memasuki rumah, aroma bunga dan tanah basah merebak seakan ingin mengajakku bersemangat dengan hari baru.Ketika sibuk menyapu suamiku pulang dan langsung memarkirkan motornya, ditemuinya aku yang hanya dia melihatnya datang."Mengapa kamu tidak menyusul ke rumah sakit?""Aku yakin kalian tidak menginginkan kedatanganku, tapi meski begitu, aku sudah menghubungi Mbak Feni tapi dia tidak mengangkatnya." Aku masih melanjutkan kegiatanku menyapu."Aku tidak menyangka bahwa kau akan mengeraskan hatimu dan menunjukkan permusuhan yang dalam pada keluargaku!""Jangan cari gara-gara pagi-pagi Mas, kamu tidak pernah mengerti perasaanku dan kekhawatiranku kepada ayah mertua juga sangat besar, tapi aku tahu diri!" jawabku dingin."Oh ya? Manis sekali ...." Dia mengejekku."Oh ya, apa kamu melaporkan perbuatanku ke kantorku?""Iya." Aku menjawab dengan lantang untuk mengetahui rea