Share

3. bicara padanya

Sesudah menidurkan Hafiz, kuhampiri suamiku di kursi depan Tivi, dia tersenyum melihatku datang dan langsung meraih kepalaku, membawanya ke pelukan bidang itu.

"Terima kasih sudah setia mengurusi anakku," bisiknya.

"Sama sama, Mas."

"Oh, ya, aku boleh bertanya tidak," tanyaku sambil menahan napas.

"Boleh, Sayang."

"Apakah belakangan kamu menemui atau menghubungi seseorang tapi tidak menceritakannya padaku?"

"Emangnya kenapa kok kamu tiba-tiba bertanya seperti itu?" Dia langsung melepaskan pelukan dan menatap wajahku.

Agaknya aku salah langkah, sebab jika dia mendesak ku akan ketahuan bahwa diri ini sudah membuka ponselnya.

"Tidak, aku hanya heran, sebab tadi, selagi kau mandi suara ponsel terus berdering. Kemarin aku melihat sebuah nomor yang tidak terdaftar di ponselmu dia menghubungimu pagi-pagi, aku lupa memberitahu karena begitu sibuknya aku, apa ada nama kontak yang tidak kau simpan?"

"Ah, ti-tidak juga, itu pasti nomor yang kesasar," jawabnya tertawa gugup.

"Ah, begitu ya."

"Tapi, kamu yakin kamu gak pernah tahu itu nomor siapa?"

"Gak tahu." Dia mengangkat bahu seakan ingin meyakinkan bahwa dia tidak bohong.

"Baiklah ...."Aku ingin sekali bertanya jika dia memang tidak mengenal nomor itu, mengapa durasi bicaranya sangat panjang. Aku ingin sekali bertanya mengapa dia sampai mengobrol satu jam tapi aku yakin itu akan memetik pertengkaran karena Mas Arga dia tidak akan mengaku.

"Daripada membahas itu sebaiknya mari berbaring dalam pelukanku," ucapnya sambil mengajakku rebahan di atas sofa minimalis kami.

Aku tak punya alasan untuk menolaknya sehingga kuturuti saja daripada nanti dia heran.

Mas Arga mulai memeluk erat dan mencumbu diriku.

"Mas ... Eh, aku geli tahu gak, ah."

Aku menggeliat sejenak menikmati sentuhan dan melupakan wanita yang bernama Gita di ponselnya.

"Biarin aja, aku rindu," jawabnya.

Tiba-tiba dari atas meja ponsel yang sudah diambil Mas Arga bergetar, suamiku yang sibuk mencumbu istrinya tidak menyadari bahwa nomor itu menghubungi lagi.

Kuraih benda itu dan menggeser tombol hijau lalu meletakkannya kembali di atas meja, sambil mengeraskan suaraku.

"Ah, Mas, apaan sih, jangan cium disitu, aku geli," ucapku sengaja membuat wanita itu kesal, aku yakin ekspresinya saat ini sedang diuji dan sakit hati, dengan catatan, jika dia memang selingkuhan suamiku.

"Kamu mau melakukannya di sini?" bisik Mas Arga.

"Iya, Mas, aku mau .... aku rindu padamu ...," jawabku sambil melingkarkan tangan di lehernya.

Rupanya suamiku yang sibuk menciumi diri ini tidak melihat ponselnya. Sekarang panggilan tadi sudah ditutup oleh si penelpon. Mungkin. Dia tak tahan mendengar desahan fiktifku.

Tapi sekali lagi,

Drrrrtt ... Drtttt ....

Sekarang ponselnya berdering lagi, bedanya Mas Arga melihatnya. Sontak saja priaku langsung menghentikan aktivitasnya. Dia bangun, menatap benda itu sambil menelan ludahnya.

"Angkat Mas ...," ucapku menguji suamiku.

"Gak usah, salah sambung pastinya." Dia menekan tombol merah dan mengajakku beranjak ka kamar.

"Ayo, Sayang, aku ingin melanjutkan ...."

"Maaf, Mas. Tiba tiba aku sakit perut sekarang ," tampikku menghindar.

Aku menolak dirinya karena tahu dia membohongiku. Bagiku kepercayaan adalah segalanya, jika dia tak menjaga kepercayaanku, percuma kuserahkan diri ini padanya

Aku ini istri, bukan wanita bayaran yang setelah puas dipakai, ditinggalkan.

"Kok kamu jadi aneh sih?"

"Kamu itu yang aneh, Mas, sejak tadi ponsel itu berdering, anehnya hanya nomor dia yang kamu setting getar saja, sementara nomor lain berdering," ujarku sambil meraih handphoneku untuk membuktikannya.

Kupencet nomor suami dan ternyata benda itu berdering dengan kencang. Mas Arga yang merasa dipermalukan dan dirobek kebohongan masih berkelit. Dia masih berusaha membuat alasan.

"Hei, Sayang, ini hanya kebetulan...."

"Kalau begitu angkat telponnya!" Sampai di situ aku masih merasa sabar, aku berharap bahwa dia sendiri yang akan mengaku pemilik nomor siapa dan apa keperluannya.

Karena sudah merasa terdesak Mas Arga meraih ponsel itu lalu mematikannya. Tapi itu bukan jawaban bagiku.

"Sudah kubilang, aku lihat nomornya, kenapa nomor yang sama menghubungimu? Mengapa kamu tidak coba mengangkatnya, bisa jadi itu adalah keluarga?"

"Aku rasa ini cuma nomor yang coba menggangguku aku tidak ingin mengangkatnya," jawabnya.

"Kalau begitu biar aku yang bicara akan ku tegaskan padanya agar tidak menghubungimu."

"Tidak perlu aku akan memblokirnya nanti."

Suamiku yang tadinya ingin berbagi kasih denganku kini nampak berubah pikiran. Dia menjadi tegang sambil bangun dan menghindar dariku. Saat kemudian ponsel tadi berdering lagi dan dia mengangkatnya namun posisinya keluar dari rumah ini.

"Iya, ini siapa?"

"Oh maaf, ya, salah sambung, tolong jangan hubungi nomor ini lagi," sambung Mas Arga, tapi ekspresi wajahnya sangat khawatir dan pucat. Sepertinya aku tahu jika lawan bicaranya akan tersinggung dan merajuk.

Aku bisa bayangkan bagaimana susahnya Mas Arga menenangkan wanita itu.

Namun di sisi lain, aku masih berusaha menghibur diriku jangan-jangan bahwa itu memang nomor teman lama atau sepupunya. Mudah-mudahan aku hanya salah paham, mudahan dia tidak pernah menghianati, meski aku berusaha membohongi diriku tapi fakta bahwa wanita itu pernah menanyakan bahwa keberadaanku, jelas itu adalah hal yang mencurigakan.

"Sayang, aku pergi sebentar ya, aku harus menemu ya Mas Iqbal rekan kantorku karena ada proposal yang tertinggal di rumahnya," ucap suamiku terburu-buru mengambil jaket dan kunci motornya.

"Uhm, bukannya tadi kita akan ...?"

Maksudku, akan bercinta. Biasanya seorang pria yang sudah ingin melakukan sesuatu, pasti tidak mampu menahannya, sampai hasrat tersebut tersalurkan.

"Maaf, ini darurat sayang, jika aku tidak menyelesaikannya malam ini maka posisiku akan terancam."

"Bukan posisi di kantor mau tapi hubunganmu akan berakhir dengan wanita itu," batinku sendiri.

"Jangan membohongiku, Mas!" Aku menatapnya dengan tajam.

"Ju-jujur a-aku tida membohongimu, aku bersumpah demi anak kita."

"Jangan jual sumpah, lakukan saja apa yang kau inginkan aku tidak akan berdaya mencegah walau aku tidak tahu apa yang sebenarnya."

"Kenapa tiba-tiba kamu bicara seperti itu?"

"Sampai saat ini aku terus meyakinkan pada hatiku untuk mempercayaimu." Tiba-tiba perasaan dalam hatiku bergejolak dengan kesedihan, entah kenapa tapi aku tidak sanggup menahannya, airmataku tumpah begitu saja.

"Aku terus yakin dan berusaha menenangkan diriku bahwa aku percaya padamu," lanjutku dengan suara parau. Paham bahwa dirinya tersindir, pria itu hanya menatapku sedang bibirnya terlihat kelu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status