Aku kembali ke rumah ibu, melihat wanita berhati tulus itu sedang menggendong cucunya di teras membuat hati ini terenyuh pilu, rasanya ada yang teriris sakit dan mengeluarkan luka berdarah.
"Ibu ...." Aku mendekat, menjatuhkan diri di kursi lalu menangis dengan suara tertahan. Ibu yang heran langsung mendekat, dan bertanya, "Nak, ada apa Nak?" "Mas Arga, Bu ...." "Kenapa?" "Mas Arga, Bu, di-dia menjalin hubungan dengan orang lain, dia p-pacaran dengan pegawai kargo, Bu," ucapku terbata bata, tak tertahan rasanya sesak, hingga aku tak tahu harus memulai penuturanku dari mana. "Apa? Ngomong yang jelas Nak ... tenang dulu." "Aku habis memergoki dia di cafe, Bu, mereka mesra sekali dan sikap Mas Arga seakan bukan pria beristri." "Lalu apa yang sudah kau lakukan, Nak?" "Marah dan menyiramkan segelas jus pada wanita itu," jawabku sambil menyeka air mata. "Sebagai ibu yang bijak, aku ingin kau bersabar, tapi jika menuruti kehendak pribadi, aku ingin kau menghajar keduanya, dan membuat mereka jera, pukul sampai berdarah dan setelah terluka, siramkan cabai pada mereka," ujar ibu dengan geramnya. "Aku bahkan punya fotonya, Bu," ucapku. "Masak, coba lihat!" Ibu mulai tersulut emosi, ketika kuperlihatkan, alangkah marahnya dia, wajahnya sampai merah padam menahan emosinya. "Kurang ajar, bisa-bisanya dia, mau kusantet apa?!" ujar ibu dengan napas naik turun. "Tidak Bu, aku berencana melaporkan ini pada ibu mertuaku," ucapku. "Kau masih ingin bersama pria menjijikkan ini?" "Jika dia masih bisa memperbaiki diri, mungkin dia hanya khilaf, Bu, tapi jika suamiku sudah lupa anak istri, maka aku akan meninggalkannya." "Pilihan pertama lebih sulit daripada pilihan kedua, sekali pria berbohong maka akan terbiasa bohong!" "Kecuali jika dia diberi pelajaran keras," jawabku sambil menatap dengan mata menerawang. "Lalu pelajaran keras seperti apa yang ingin kau tunjukkan?" tanya ibu. "Aku akan menemui mertuaku dan biarkan keluarga dia sendiri yang bicara pada anaknya." Aku hendak beranjak dan membuatkan susu anak. "Bagaimana jika keluarganya malah membela suamimu dan menganggap bahwa kaulah yang salah, biasanya seperti itu ... masing-masing keluarga akan mendukung anak mereka," sanggah Ibu sambil memicingkan matanya. "Sejauh ini mertuaku sangat baik dia pengertian dan tidak pernah mengecewakan Irma, Bu. Mereka akan memarahi Mas Arga jika aku kebetulan sebal pada suamiku," jawabku sambil memberikan botol susu pada anakku yang digendong ibu. "Aku berharap mereka konsisten membelamu anakku," harap ibu sambil memeluk cucunya. "Mudah mudahan, Bu, iparku yang sangat baik dan pengertian, kupikir untuk kali ini mereka akan mendukungku." "Kalau begitu jika perasaanmu sudah agak tenang, pergilah mandi dan temuilah mertuamu." "Baik Bu." Tak mengambil waktu panjang aku segera ganti pakaian dan meluncur ke tempat mertua. Motorku sampai di depan pintu rumah orang tua Mas Arga tepat dua puluh menit setelah berkendara. Kuketuk pintu rumah mereka dengan hati berdebar, kuucapkan Bissmillah agar apa yang kusampaikan saat ini dimengerti oleh kedua orang tua suamiku, serta harapanku atas dukungan mereka bisa tercapai. Daun pintu bergerak, kuucapkan salam sebelum aku tahu siapa yang membuka. "Walaikum salam," ucap Ibu mertua, dengan kacamata dan mukenanya, nampak habis salat magrib dan sedang mengaji. "Irma? Magrib-magrib ... mana Hafiz?" tanya mertuaku sambil mengernyit. "Maaf jika kedatangan saya salah waktu, tapi , saya harus membicarakan sesuatu," ucapku pelan. "Tapi ... kamu kok tiba tiba gini?" tanyanya dengan ekspresi heran dan aneh, kurasa, dia juga tak siap dengan kedatanganku, dia nampak kurang nyaman dengan itu. "Aku harus bicara Bu, a-aku harus mengatakan yang sebenarnya," ucapku sambil melirik ke ruang keluarga berharap ayah mertua ada di sana. "Kamu cari siapa?" "Ayah." "Di masjid," jawab ibu. "Lalu siapa yang ada di rumah? Mbak Feni dan suaminya ada gak Bu?" "Uhm, ada sih, tapi lagi di kamar mereka?" "Boleh bicara?" "Nampaknya mereka lelah, Irma. Mereka baru aja kembali dar Cirebon," jawab ibu menggeleng. "Aku ingin membicarakan masalah Mas Arga, Bu," ujarnya hendak menuturkan kelakukan anggota keluarga bungsu mereka. "Arga kenapa?" "Mas Arga tengah menjalin hubungan dengan seorang gadis, Bu. Kelihatannya hubungan mereka sudah serius, namanya Gita dan kerja di kargo," jawabku. "Ah, masak sih, ini pasti salah paham," ucap Ibu mertua menggeleng. "Sore tadi kupergoki mereka sedang berkencan Bu, tak sanggup kutahan sehingga aku langsung marah," jawabku sedih. "Sekarang kamu pulang aja dulu, nanti kita bicarakan," suruh ibu, setengah mengusirku. "Tapi, Bu ... aku sungguh gak bohong, Bu, aku putus asa atas nasib pernikahan ini, tolong bicarakan ini pada Mas Arga." Aku turun dan bersimpuh di kaki Ibu mertua, kuraih punggung tangannya dan membiarkan dahiku di sana, aku menangis sesenggukan tak sanggup menahan perasaan. "Hahaha ... ya ampun lucunya," ucap seorang wanita sambil tertawa. Kelihatannya itu dari meja makan yang terhubung ke dapur bersih mertuaku. Tanpa berpikir panjang, ditambah rasa penasaran sekaligus tersinggung pada orang yang menertawaiku tangisanku, aku segera ke dalam, ibu mencegah, tapi aku tak memperdulikannya. Kusibak gorden besar dan tampaknya pemandangan luar biasa. Ada Gita, Suamiku, Mbak Feni dan anak balitanya yang berumur dua tahun. Mereka tengah bercanda dan nampak akrab bagai satu keluarga. "Mas Arga?!" tanyaku, berteriak dan terbelalak. Bisa bisanya setelah pertengkaran tadi dia membawa calon gundiknya kemari. "Irma ...?" Pria itu juga tak kalah terkejut dan wajahnya seketika pias. "Ternyata kalian semua mengkhianatiku," gumamku dengan suara yang tercekat di tenggorokan. Aku berdiri menyaksikan mereka semua bergantian, hatiku nyeri, seakan ada sesuatu yang melesat dan menusuk keras, lalu melubangi rongga dadaku dengan robekan besar, darahnya mengalir perih tak terperi. Kupandangi wajah wajah gugup itu dengan perasaan seakan dijalari es, hatiku beku. Bagaimana bisa mereka semua menipuku, menyembunyikan sesuatu yang begitu besar. "Kami bisa jelaskan ...." "Menjelaskan setelah semuanya terjadi?" Tiba tiba air mataku tumpah, napasku berat seakan ditimpa bongkahan batu besar. Aku ingin berteriak, mengoceh dan menumpahkan emosi yang kini membuat tenggorokanku seakan ditumbuhi duri-duri. Tapi tak sepatah katapun bisa terucap, bibirku kelu dan tungkaiku gemetar. Mas Arga masih gugup, mungkin menunggu gerakanku, sedang si pelakor itu, seperti biasa, dengan gestur palsunya, selalu berusaha cari muka, pura pura takut. Kutarik napas dalam, menghimpun segenap kekuatan, dan ... dengan satu lompatan aku berhasil menarik jilbab wanita itu, menyeretnya hingga dia gelagapan menjerit tercekik, Mas Arga dan kakaknya berusaha menghalangiku tapi mereka seakan tak bisa mengimbangi tenagaku yang entah terdorong dari mana, mungkin rasa murka yang menggila. Kuseret wanita itu dari bagian depan hijabnya, berikut rambut poninya, kupukuli dia, dengan tinjuan di bagian manapun yang sanggup kuraih, di pipi, di kening, di bahu, di mata, di mana pun yang penting aku bisa memberinya pelajaran. "Auh ... Sayang ... tolong aku," jeritnya minta tolong pada kekasihnya. "Sayang katamu, orang yang kau panggil sayang adalah suami orang!" Bugh! Bugh! Mas Arga datang meleraiku, tapi aku juga tak mau kalah memukulnya, hingga dia muak dan mendorong tubuh ini. Aku menabrak meja makan dan sukses menjatuhkan semua piranti makan dari sana. Tapi aku juga tidak mau kalah aku ambil apa saja yang ada di depanku dan melemparnya ke wajah Mas arga. Kakak ipar dan ibu mertua panik dan menjerit-jerit minta tolong, mereka syok dan gugup tak tahu harus menyelamatkan siapa atau menghentikan yang mana. Sampai tiba tiba ayah mertua datang, dia berteriak menyuruh kami berhenti, sembari kaget melihatku yang masih murka dengan nafas naik turun dan Gita dengan wajah babak belur di mana jilbab sudah berpindah posisi ke lehernya."Apa ini?""Seperti yang ayah lihat, aku tak terima perselingkuhan," jawabku tanpa ekspresi.Ayah mertua yang tadinya nampak ingin berteriak lagi, langsung terdiam dan menghela napas."Pulanglah kamu, jangan bikin aku malu," usir mertua lelakiku."Apa ada penjelasan tentang yang baru saja kutemukan?" Tentu saja aku penasaran Apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa ada hubungan yang terjalin tanpa sepengetahuan ku sementara mereka sendiri juga tahu kalau Mas Arga sudah punya istri. Keluarga macam apa mereka."Tidak ada, yang pasti kami mengetahuinya," jawab beliau.Apa yang lebih mencabik-cabik hatiku lebih daripada perselingkuhan Mas Arga, ialah menyadari kenyataan bahwa mertua mendukung hal itu, lalu aku seperti orang bodoh yang tidak menyadari apapun."Mengapa Ayah membiarkannya? bukankah ayah adalah pemimpin keluarga, mengapa ayah membiarkan ketidak-adilan terjadi di sini?""Aku tidak melihat ada hal yang salah kenyataannya anakku memang lebih bahagia dengan perempuan itu. Kau bisa
Aku pulang, membawa hati dengan sejuta luka yang menyakitkan. Karena tak sanggup menahan kesedihan kuhentikan motor di salah satu tempat sepi, kutumpahkan tangis yang sejak tadi menggumpal di dada sepuasnya."Ah, ya Allah, kenapa harus sesakit ini?"Betapa teganya suamiku, teganya dia mengkhianati dan memperlihatkan hubungannya pada orang tuanya, sementara aku sama sekali tak tahu apa apa." Aku merutuk dan menangisi kemalanganku.Selepas melegakan hati dan mengusap air mataKutemui ibuku yang sejak tadi nampak gelisah menunggu di rumah."Bagaimana?" tanya beliau dengan ekspresi penuh penasaran."Hhmm, hubungan mereka sudah jauh Bu, seserahan sudah siap, mereka akan menikah." Kuhenyakkan diri di sofa sambil menyandar lesu dan menyeka air mataku."Apa?! kurang ajar ...." Ibu langsung memberingas dan memberikan Hafiz padaku."Biar Ibu yang menemui mereka, dasar kurang ajar!"Ibu menyinsingkan lengan baju dan mengambil dompetnya bersiap pergi."Tapi, Bu, pergi dan membuat keributan ak
Terima kasih sebelumnya karena kalian sudah berkenan mengikuti cerita ini , mohon maaf jika di sana sini terdapat banyak kekurangan. 🙏Kulangkahkan kaki sambil menahan buliran bola panas yang ingin jatuh dari sudut mataku. Aku duduk di hadapannya dengan tatapan datar sementara suamiku mendekat ke kursi yang sama denganku."Sebenarnya aku baru ingin bicara denganmu setelah aku menyiapkan diri dan keluargaku tetapi segalanya tidak berjalan sesuai rencana," ucapnya pelan.Mendengarnya aku hanya tertawa sinis menggelengkan kepala dan berusaha menyembunyikan air mata dengan memalingkan wajah."Jadi rahasiamu ketahuan lebih cepat dan rencana kalian tidak berjalan mulus, kan?""Aku tidak bermaksud untuk menyembunyikan kisah cintaku ...," ucapnya dengan suara tertahan, nampaknya Mas Arga ragu akan meneruskan ucapan atau tidak.Aku menunggu sambungan perkataannya tapi dia hanya menunduk."Jadi sejak kapan?""Dia mantan kekasihku, dia cinta pertamaku," balasnya lirih."Jadi ceritanya kau be
"Kamu kok berdiri aja sih, gak bantuin kita?" tanya Ibu mertua yang panik mencoba menyadarkan suaminya."Saya harus bagaimana?" Aku mematung sambil menatap matanya."Cobalah tunjukkan sedikit kepedulian atau pura puralah baik, kamu gak peka banget ya ... ya ampun ....""Selama ini aku sudah tulus dan bersikap baik, tapi balasan kalian sungguh luar biasa. Untuk apa sekarang aku mendorong diri untuk terperosok dan terus mengorbankan perasaan, Bu?" jawabku."Keterlaluan sekali kamu ya, karena kamu suamiku pingsan! Kalau terjadi apa apa padanya, lihatlah kamu!" Wanita itu mengancam sambil melotot padaku Tak banyak jawaban yang ingin aku berikan, situasinya juga sudah tidak memungkinkan untuk berdebat. Tanpa banyak bicara kubantu Mas Arga menaikkan ayahnya ke atas mobil mereka, sementara ibu mertua terus menangis sesenggukan, tak lama kemudian kendaraan itu meluncur pergi dari depan rumah kami.Menyaksikan mobil itu menghilang dari balik tembok pagar, aku hanya bisa menghela nafas be
Pagi baru saja bernapas, tetesan embun masih membasahi kelopak mawar dan anyelir, kubuka pintu, membiarkan hawa pagi memasuki rumah, aroma bunga dan tanah basah merebak seakan ingin mengajakku bersemangat dengan hari baru.Ketika sibuk menyapu suamiku pulang dan langsung memarkirkan motornya, ditemuinya aku yang hanya dia melihatnya datang."Mengapa kamu tidak menyusul ke rumah sakit?""Aku yakin kalian tidak menginginkan kedatanganku, tapi meski begitu, aku sudah menghubungi Mbak Feni tapi dia tidak mengangkatnya." Aku masih melanjutkan kegiatanku menyapu."Aku tidak menyangka bahwa kau akan mengeraskan hatimu dan menunjukkan permusuhan yang dalam pada keluargaku!""Jangan cari gara-gara pagi-pagi Mas, kamu tidak pernah mengerti perasaanku dan kekhawatiranku kepada ayah mertua juga sangat besar, tapi aku tahu diri!" jawabku dingin."Oh ya? Manis sekali ...." Dia mengejekku."Oh ya, apa kamu melaporkan perbuatanku ke kantorku?""Iya." Aku menjawab dengan lantang untuk mengetahui rea
Tanpa merekam video dan menyebarkan ke sosial media, ternyata unggahan nitizen ketika aku menyambangi kafe dan menyirami Gita dengan jus, sudah ramai bahkan sudah ditonton jutaan kali oleh pemirsa. Aku tak menyangka atas reaksi publik dengan video berdurasi beberapa detik itu. Banyak komentar pro dan kontra yang tertuju di video yang diunggah pengunjung cafe itu.Sebagian mendukungku, sebagian lagi menyalahkanku.'Kasihan istrinya, kuat ya, Mbak.'Begitu tulisan di sosial media.'Semoga istrinya bisa menata hidup mandiri bersama putra mereka.' begitu unggahan komentar dari seorang wanita.Namun komentar sumbang yang menyakitkan hati juga diarahkan padaku,'Mungkin istrinya yang kurang pelayanan terhadap suami. Makanya suami nikah lagi.''Mbaknya cerewet atau bisa jadi lupa mengurus diri, makanya Masnya kabur ke pelukan pelakor cantik.'Tapi banyak komentar yang membalas komentar pedas tersebut mungkin karena solidaritas wanita sesama pengguna sosial media, jadi mereka seolah merasaka
Pukul lima sore hari suamiku pulang, diparkirkannya motor seperti biasa lalu tanpa kuduga, dihempasnya helm dengan kasar di depan pelataran rumah.Prak!Sangat keras, sampai aku dan Hafiz terkejut.Lama dia menunggu di depan, tatapan matanya liar, nanar menghadap ke pintu rumah, mungkin dia menunggu aku keluar dan bertanya padanya mengapa kiranya dia membanting pelindung kepala.Tapi, ya, kubiarkan saja, aku sudah paham mengapa kemarahannya demikian."Apa perlumu, sampai kau harus pergi ke kantor Gita dan mempermalukan dia di depan bosnya?""Seorang pelakor harus dipermalukan agar mereka kapok dan tidak mengulangi perbuatan!""Heh, kau tak tahu malu apa, kau tak sadar bahwa kau yang memaksa dirimu padaku," celanya dengan jari telunjuk yang diarahkan ke mata kiriku."Kalau kamu merasa begitu, kenapa tidak jatuhkan talakmu, agar kepalamu tak pusing ... Tinggalkan anak istrimu dan bahagialah dengan wanita itu.""Kau menantangku?!""Ayo lakukan, sekarang kau ucapkan talakmu, besoknya
Lepas ibu mertua mengakhiri panggilan di ponselnya, kedua anak beranak itu menjauh dari rumahku."Ayo pergi, Feni," ajaknya pada kakak ipar. Wanita yang dipanggil hanya menatapku sekilas lalu melenggang begitu saja melewatiku."Aku berikan waktu seminggu, kemasi barangmu dan pergi dari tempat ini.""Saya tidak akan kemana-mana!""Bertahan saja, kalau kau bisa," balasnya sambil menjauh.Aku terduduk sedih, aku terdiam melihat bagaimana mertua menyakiti hati ini. Tentang suami, teganya dia menceraikan diri ini lewat telepon. Tidak bisakah ia pulang lalu menyudahi urusan denganku? ternyata posisi diri ini sudah direbut. Cinta pertama dalam hidup suamiku kembali muncul dan menimbulkan petaka di antara kami. Pun keluarganya, teganya mereka mencampakkanku begitu saja, padahal sebelum ini, kami tidak pernah bermasalah, cenderung harmonis dan bahagia.*Dua hari kutunggu Mas Dirga untuk pulang, kutunggu itikad baik untuk menyudahi hubungan ini dan membereskan tentang rumah yang harus dibagi.