Share

2. panggilan dari seorang wanita

Dia membuka pintu sementara aku masih memegang ponselnya, panggilan belum diakhiri dan aku telah panik dan membuang segera benda itu ke belakangku.

"Sayang ...."

Dia terkejut melihatku terkejut, nampaknya dia curiga sekaligus juga heran.

"A-ada apa Mas, Hafiz belum tidur ...." ucapku sambil melirik benda yang masih berjalan panggilannya sementara wanita di seberang terus memanggil dengan kata,

"Halo, Mas, kamu dengar gak sih?"

"Aku cuma mau nanya ada sambel gak? kok kamu kaget?"

"A-ada di kulkas."

Rasa takut membuatku gagap.

"Kamu kenapa Sayang?" Dia kini berjalan mendekatiku, memicingkan mata dan membuat hatiku makin tak karuan rasanya. Semakin dia mendekat aku semakin mundur, sambil menyunggingkan senyum.

"Kenapa gak lanjut makan?"

"Kamu itu ... aneh ...."

"Ah, tadi itu aku mikirin sesuatu, tiba-tiba kamu buka pintu bikin aku terkejut. Kenapa kamu gak segera lanjut makan, Sayang?" ucapku pura pura peduli.

"Uhm ... kamu lihat ponselku gak?"

"Ah, ti-tidak, tidak tahu," jawabku padahal aku sedang mendudukinya.

"Tadi di sini?" gumamnya sambil menggaruk kepalanya dan mencari benda itu sampai ke kolong tempat tidur.

"Makanlah dulu Mas, nanti aku yang cari hp-mu," ucapku.

"Aku ingin memeriksa pesan masuk siapa tahu ada yang penting?"

Dari Gitakah? sungguhlah sepenting itu?

"Uhm Sayang, pergilah makan, akan kucarikan benda itu untukmu," balasku sambil tersenyum.

"Baiklah, semoga ada," jawabnya dengan raut wajah sedikit gelisah.

Setelah memastikan dia keluar dari kamar dan kembali menutup pintu, buru-buru kuambil ponselnya dan menghapus log panggilanku barusan.

"Semoga wanita itu tidak mengirimkan pesan dan bertanya mengapa suamiku menghubunginya barusan. Bisa-bisa Mas Arga akan curiga."

*

Hafiz telah tertidur, kuselimuti dia lalu mengatur suhu ruangan di angka yang sejuk agar putraku bisa beristirahat dengan nyaman.

Kusisir rambut lalu beranjak ke ruang TV menemui suamiku yang terlihat santai menonton siaran sepak bola.

"Kemarilah," ucapnya sambil tersenyum dan menepuk sofa di sebelahnya. Kuhampiri dia dan kulabuhkan diri di dekatnya sambil membalas senyum itu.

"Apa harimu menyenangkan?" tanyanya sambil mengusap pucuk kepalaku.

Dia memang seperhatian itu, bukan karena kami pasangan muda yang baru memiliki satu anak, tapi tabiatnya memang demikian, hangat dan penuh cinta. Mungkin gadis yang bernama Gita itu salah paham dengan kelembutan dan kebaikan Mas Arga, karena dia memang terbiasa bersikap baik pada siapapun.

"Hariku menyenangkan, kubersihkan rumah selagi Hafiz bermain di dalam boxnya, dia tak rewel dan menyusahkanku, dia bayi yang pintar," jawabku mengacu pada putra kami yang baru berumur sepuluh bulan, dia lucu, gemuk dan menggemaskan.

"Alhamdulillah, Sayang," jawabnya sambil mendaratkan ungkapan cintanya di dahiku. Andai bukan karena log panggilan tadi, tentu akan kubalas ciuman atau memberinya bonus harian di atas sofa minimalis itu.

Tapi ... hatiku gundah gulana, aku jadi kehilangan selera untuk bercumbu mesra.

"Mas ... boleh tanya?"

"Iya?"

"Apakah belakangan ini kamu punya sesuatu yang tidak kamu katakan padaku?"

Dia yang tadinya tersenyum langsung menggelengkan pertanda bahwa dia gelisah.

"Oh, te-tentu tidak."

"Hmm, baiklah, kalo begitu aku percaya," ucapku melingkarkan tangan di lengannya.

"Kenapa tiba-tiba bertanya?"

"Tidak. Iseng saja."

"Btw, kamu lihat ponselku tidak?"

"Ada di rak susun dekat pintu kamar mandi," jawabku.

"Oh, sungguhkah aku sudah sepikun itu, pikirku ... Aku sudah meletakkannya di meja dekat tempat tidur."

"Makanya jangan terlalu banyak pikiran biar kamu tidak linglung, belum tiga puluh sudah jadi pelupa," balasku sambil melirik photo pernikahan kami yang terpampang besar di dinding.

Di sana kami terlihat bahagia dan begitu serasi, tidak punya beban dan saling mencintai. Di tahun kedua ini, aku sudah punya bayi, penampilanku tak secantik dulu. Aku resign dari pekerjaanku untuk fokus pada bayi juga mengurus suami. Jika hariku baik, aku bisa memasak dan berpenampilan cantik tapi jika Hafiz rewel dan selalu ingin digendong, maka Mas Arga hanya bisa menatapku dalam balutan jilbab bergo dan wajah yang masih pucat setiap pulang kerja. Mau bagaimana lagi me time bukan lagi prioritas utama ketika seorang wanita ingin mengabdikan waktu untuk rumah tangga dan anak mereka.

"Aku tak linglung, aku hanya bingung."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status