Share

4. sudahlah

Tak mampu kucegah, pria itu bergegas pergi dari rumah, meski waktu telah menunjukkan jam sembilan malam dan dia terlihat nampak sangat lelah, tapi rasa bersalah dan takut kehilangan cinta seakan memberinya keberanian untuk berbuat lebih.

Mengapa aku sudah cepat mengambil kesimpulan bahwa dia sedang jatuh cinta? karena dia suamiku, sedikit tidak, aku mengenalnya dan tahu apa reaksinya pada sesuatu, setidaknya, aku tidak begitu naif dan bodoh.

Apa yang harus kulakukan sekarang untuk mencari bukti dan mengungkap apa yang sebenarnya terjadi, rencana apa yang harus kususun dan seperti apa. Nampaknya segala sesuatu membuatku gugup karena ini adalah pengalaman pertama kalinya.

Gita ... ya itu namanya, aku ingin tahu dia siapa.

Sebelum pergi mencari wanita itu, kuputuskan untuk bertanya terlebih dahulu temannya dan mertuaku. Mungkinkah mereka pernah dengar nama Gita atau bahkan mengenalnya? Aku penasaran, bisa saja suamiku punya pendukung sehingga ia berani sejauh itu mengkhianatiku.

"Uhm, Mas Dirga boleh saya tanya?" tanyaku pada salah satu teman Mas Arga. Dia kerap berkunjung dan sudah merupakan sahabat terdekat kami, apalagi sang istri yang bernama Mariana, dia juga baik padaku.

"Tanya apa Mbak?"

"Apa Mas Dirga punya teman kantor bernama Gita atau anggota keluarga atau siapa saja?"

"Tidak tahu, Mbak, memangnya kenapa?"

"Belakangan wanita yang bernama Gita terus menelpon dan menanyakan Mas Arga kupikir Mas Dirga mengenalnya," jawabku berdebar. Aku khawatir pria itu akan menyampaikan pertanyaan ini pada suamiku.

"Ah, Arga tidak pernah cerita, aku juga tak pernah mengenal seseorang bernama Gita."

"Baik, kalau begitu, Mas. Terima kasih." Kututup ponsel dan kembali menarik napas dalam.

"Agaknya wanita yang bernama Gita itu adalah misteri yang akan sulit dipecahkan, hanya ada satu jalan, mengikuti Mas Arga sampai mengetahui ke yang sebenarnya atau membayar seseorang," gumamku.

"Oh .. tapi bukankah aku punya nomor wanita itu? Kenapa aku tidak membeli kartu baru dan menghubungi dia via nomor itu? bukankah aku bisa pura-pura berkenalan dengannya dan mencari informasi?"

Setelah menyelesaikan tugas rumah dan membawa putraku terlelap ke peraduannya, aku segera bergegas menuju ke konter di depan jalan utama untuk membeli nomor baru. Kuregistrasikan kartu itu lalu pura pura menelpon nomor simpanan Mas Dirga.

"Halo, selamat pagi?" wanita itu terdengar merdu mendayu.

"Permisi ini nomor Mbak Gita?"

"Iya, Benar, ada apa ya?"

"Kami dari Roses florist, mau mengantarkan bunga hadiah dari klien kami, boleh saya minta alamatnya?"

"Hmm, klien yang mana?"

" Di kertas notenya, kami diminta menulis 'untuk seseorang yang selalu ada di hatimu," ucapku sambil menahan napas.

"Oh, itu ya, bunga apa, Mbak?" wanita itu terdengar senang.

"Sebuket besar mawar Mbak."

"Oh, baik, bawa saja ke kantor saya, pusat ekspedisi Jordan, jalan mangga nomor lima," jawabnya.

"Oh, siap, makasih ya, Mbak."

"Sama sama," jawabnya dengan nada senang tidak terkira.

Sekarang aku sudah tahu alamat kantornya, rencanaku yang selanjutnya adalah pura pura membeli bunga dan mengantarnya.

Aku ingin melihat langsung wanita itu.

*

Kutunggu wanita bernama Gita itu di depan kantornya sambil menahan nafasku, buket bunga yag kubeli dengan harga Rp.200.000 itu kugenggam dengan tangan gemetar, rasanya ada gatal tak tertahankan ingin menampar seseorang.

Tiba tiba seorang wanita cantik dengan jilbab dusty pink menghampiriku, senyumnya mengembang hangat, binar matanya bening sempurna dengan bulu mata lentik membuatku terpana sekaligus kecil hati. Inikah wanita yang sedang dicinta suamiku.

"Ini Mbak, bunganya," ucapku menyerahkan buket itu, tadi, aku ingin menamparnya tapi sekarang aku ingin menangis karena aku tahu aku dikalahkan oleh wanita lajang itu.

Dia memang mempesona, dibanding denganku yang sudah rusak badan karena melahirkan, dia sangat sempurna.

"Mbak, kok, Mbaknya termenung?"

"Ah, enggak saya permisi Mbak," ujarku menjauh.

"Tunggu dulu!" Wanita itu menahanku membuat diri ini makin kita berdebar.

Dia mendatangiku, menghampiri, sementara aku khawatir bahwa dia akan mengenali diri ini.

"Ada apa lagi, Mbak?"

"Pengirimnya siapa ya? Saya tahu tapi saya ingin memastikan agar tebakan Saya tidak salah."

Dia nampak sangat bahagia dengan cara mencuri kebahagiaanku.

"Kalau gak salah, Pak Arga namanya Mbak."

Senyum wanita itu kembali tersungging lebar, dipeluknya buket bunga berukuran besar itu lalu diciumnya dengan penuh haru.

"Kelihatannya itu pacar Mbaknya ya, soalnya Mbak nampak berbunga-bunga," ucapnya tetap menguatkan hati untuk tersenyum.

"Ah, iya, sebenarnya hubungan kami belum begitu, lama, dia pria yang baik," jawabnya tanpa berpikir panjang untuk mencurahkan perasaan pada orang asing.

"Selamat ya, Mbak."

"Oh, ya, ini uang tipnya," ucap wanita itu sambil menyerahkan selembar uang biru padaku.

"Tidak Mbak, Saya tidak menerima hadiah nanti Bos saya akan marah," tolakku dengan bola mata memanas, air mataku ingin tumpah.

"Saya tidak akan memberi tahu siapa-siapa," ujarnya memaksa meletakkan uang itu ke dalam tasku.

"Tapi ...."

"Angggap Mbak turut bahagia atas kebahagiaan saya, mohon doakan ya, bahwa dia adalah pria terbaik untuk saya."

"A-amin, se-semoga saja," jawabku segera pergi, air mataku luruh di sepanjang trotoar jalan. Meski wanita itu masih terdengar mengucapkan terima kasih tapi aku tidak lagi membalasnya, rasanya aku tak kuasa, aku tak sanggup menahan betapa hancurnya perasaan saat harus mendoakan wanita yang sudah membuat suamiku berpindah ke hatinya.

Tadi, sungguh aku ingin memukulnya, mempermalukan di hadapan semua teman kantornya dan pengguna jalan. Tapi itu terlalu ceroboh, karena aku akan berakhir di kantor polisi dengan tuduhan penganiayaan dan pencemaran nama baik. Aku yakin aku punya cara yang lebih baik dari itu.

Selagi kupacu motor untuk bergegas pulang, ponselku berdering, kuhentikan kendaraan di bawah pohon rindang dan mengangkat panggilan.

Ternyata itu Mas Arga.

"Sayang, sepertinya nanti aku harus pulang telat, karena nganterin Pak Kepala ke pertemuan," ujarnya.

Apapun alasan itu aku sudah tidak peduli.

"Pertemuan di mana sayang?"

"Aku kurang tahu nanti dia akan memberitahuku. Kalau kamu repot tidak perlu masa fokuslah pada Hafiz Yang penting dia bisa tenang dan ceria."

"Ya Mas, Insya Allah a-aku akan menjaganya. Kau juga jaga dirimu, a-aku percaya padamu dan menunggumu di rumah," jawabku dengan tenggorokan tercekat.

"Kamu kenapa sih, kok kayak nangis?"

"Enggak ... pilek," jawabku asal.

"Ya udah ya .... Dah." Kututup panggilan, mengemas air mata lalu kembali ke rumah dengan hati remuk redam.

Akankah kuikuti dia sore nanti, akankah? tapi dengan siapa? Aku harus bagaimana? dan bagaimana jika Mas Arga malah mempermalukanku di depan wanita itu? aku harus apa?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status