Usir aja nggak sih?
‘Mau apalagi dia datang? Kalau hanya sekedar permohonan maaf, maka itu tidak akan diperlukan.’ Aku menimbang ragu. Bukankah semuanya berubah dalam seratus delapan puluh derajat sejak tadi pagi. Sikap Yohanes saat berdiri untuk membela Meylani sangat berbeda dengan apa yang pernah kuingat tentangnya. “Buka aja, Mbak. Saya nggak mau Yohanes berdiri lama di depan pintu dan menjadi masalah lain nantinya.” Aku berdiri dari sofaku yang nyaman. Melihat pada Anaya untuk memastikan gadis kecil itu tidak terpengaruh oleh kekesalanku. Anaya tampak masih asyik menulis di sebuah buku. Dia tidak tahu kejadian menyesakkan tadi sore. Sehingga kedatangan Yohanes yang didengarnya menjadi hal biasa bagi Anaya. Dia sama sekali tidak peduli pada pembicaraanku dan Mbak Pia. “Baik, Nyonya.” Mbak Pia bergegas keluar. Aku mengikuti dari belakang. Yohanes tidak perlu masuk ke rumahku atau bahkan ke halaman. Sekedar ingin tahu apa maksud kedatangannya kali ini. Mbak Pia bersamaku untuk memastikan semua aman
“Aku akan turun untuk melihatnya.” Mataku masih terasa sepat karena belum waktunya untuk bangun. Sambil berjalan menyusuri tangga, aku melirik jam di dinding. Ah, pantas saja, masih jam tiga pagi. Kenapa ada suara tangis bayi yang kecang di jam begini? Ketika kakiku melangkah dari anak tangga terakhir dan menapak di lantai, mataku enggan percaya. Seorang bayi menangis sambil merangkak di dekat sofa rumahku. Aku mencoba mengenali siapa bayi itu. Ingatanku berputar untuk mencari tahu, tapi gagal. Mataku memindai sekeliling untuk menemukan siapa pun yang bisa memberiku penjelasan. Pintu rumah dalam keadaan terbuka. Semilir angin malam menjelang pagi masuk ke ruangan. Semua terlihat sepi. Sementara bayi itu terus menangis. Melihat dari tampilannya, bayi itu sepertinya berusia dua tahun. Seorang anak laki-laki dengan wajah menggemaskan dan rambut ikal serupa milik Anaya. “Nyonya!” Mbak Pia muncul di ambang pintu. Nafasnya tersengal, wajahnya panik. Terlihat bintik-bintik keringat di d
“Surat?” Aku berbalik dan segera mendekati Mbak Pia. Pembantuku itu sedang sibuk menggenong Jafar dan menenangkan anak lelaki itu. Dia mendekap erat ke dadanya dengan tangan kanan. Sementara tangan kirinya sibuk mengambil sesuatu di kantong Jafar. Beberapa percobaan sebelum akhirnya dia menarik sesuatu keluar. Selembar kertas tanpa amlop yang terlipat kusut karena tertekuk di dalam jaket. Mbak Pia mengulurkan padaku. Tanpa berkata-kata kami bertukar pandang. Semua mengarah pada kebingungan yang sama. Kertas itu pun beralih ke tanganku. Dipenuhi sapuan ombak di dalam perutku, aku mulai membuka dan membacanya. ‘Tante, seperti yang tante minta, aku pergi dari kota ini selamanya. Bahkan dari negara ini. Aku akan menyusul ayahku ke Arab. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan karena di sana pun tidak tahu seperti apa keadaan ayahku. Aku hanya memikirkan sebuah tempat yang nyaman. Sayangnya aku tidak bisa dan tidak ingin membawa Jafar. Aku tidak siap untuk bertanggung jawab pada hidupn
“Fattan? Kalian sudah gila!” Badai menerjang perutku. Aku urung mengemudikan mobil untuk meninggalkan rumah mewah yang berdiri di depanku ini. Saat Fattan di sambungan telepon, rumah ini kembali bersaksi atas semua yang pernah terjadi. Ingatan ketika pertama kali Fattan membawaku masuk ke rumah ini setelah ijab kabul pernikahan. Lalu bahagia kami dengan kelahiran Anaya. Indahnya rumah tangga yang mewakili surga untuk diimpikan. Hingga semuanya terpaksa hancur seperti kepingan. Alam melakukan seleksi tentang siapa yang haru bertahan dan pergi. “Kenapa kau menghubungiku? Jangan bilang kau tidak tahu apa yang sedang terjadi.” Suaraku tertahan. Sedalam mungkin aku berusaha terdengar tenang. Hembusan nafas Fattan terdengar di ujung sambungan. “Terlalu naif jika kukatakan aku tidak tahu. Aku tahu semuanya, Adina. Kalila mengirim pesan ke emailku.” Senyum miringku timbul, “suami istri berkirim pesan dengan email? Kalian dalam hubungan bisnis atau rumah tangga?” “Aku mengganti nomor tele
“Ya, ini tentang kita dan juga bukan tentang kita.” Kata-kataku yang berbelit pasti membuat Andre semakin berpikir. Alih-alih mencari tahu, Andre yang mendengar suaraku yang sedang gelisah, mengakhiri pembicaraan. “Baiklah, Din. Sampai ketemu jam satu siang, ya.” Setelah menutup sambungan telepon. Aku melemparkan ponselku ke sembarang arah di kasur. Tidak pernah terpikirkan bahwa masa lalu bisa kembali menjadi bagian dari masa depan. Serealistis bahwa sebuah cerita hidup tidak bisa dipisahkan dari cerita hidup berikutnya. Sampai sekarang, hubungan kami masih juga sulit untuk dimengerti. Tidak ada keterikata yang pasti menjadi masa depan, namun juga tidak bisa diabaikan. Jika Andre adalah bagian dari masa depan yang kurindukan, penting baginya untuk tahu apa yang akan kami hadapi bersama. “Mbak Pia, saya keluar dulu.” Mataku berkeliling mencari sesuatu saat aku keluar kamar dan berpamitan pada Mbak Pia yang sedang sibuk di dapur. Mbak Pia tersenyum tipis, “Tuan Jafar sedang tidur,
“Ndre! Apa kamu pikir aku mau anak itu bersamaku? Aku sudah berusaha mengembalikan dia pada orang tuanya.” Emosiku menjadi sulit untuk kuredam. Kata-kata Andre terdengar seperti perintah dan tuduhan. “Bagaimana kau berusaha mengembalikan anak itu?” Sama sekali tidak ada keramahan dan sikap sabar dalam diri Andre yang selama ini kukenal. “Aku mendatangi rumah Fattan tadi pagi.” “Dengan membawa anak itu?” tanyanya cepat. “Aku pergi sendiri. Karena di suratnya Kalila ingin meninggalkan Indonesia. Aku harus memastikan bahwa dia memang masih tinggal di sana?” Wajah Andre seketika berkerut menunjukkan bahwa dia tidak senang, “Aku rasa kau ke sana untuk bertemu Fattan.” Itu terdengar seperti tuduhan. Apa yang terjadi pada Andre? Kata-katanya membuatku terkejut, begitu jauh dengan apa yang bisa kupikirkan tentang bertukar pikiran. Andre justru melihat sesuatu dari sudut pandangnya sendiri. Berada di depan Andre dengan masalahku, aku justru merasa Andre sedang membuat masalahku semakin
“Ok. Aku akan datang sendiri. Langsung melibatkan Anaya rasanya terlalu berisiko,” jawabku setelah memikirkan beberapa saat. Jawabanku tampaknya membuat Fattan tidak terlalu senang. Wajah Fattan terlihat muram. Sepertinya, Fattan tidak setuju dengan ideku. Di sisni lain, aku tidak bisa melibatkan Anaya dalam suatu peristiwa yang belum kuketahui akan berlangsung seperti apa. Bagaimana ibu Andre akan menanggapiku, penerimaannya dan sikapnya. Jika yang terburuk yang harus terjadi, Anaya tidak perlu menjadi bagian yang tidak menyenangkan itu. Aku harus memastikan Anaya tetap aman secara mental. Andre beberapa saat terdiam, sambil menggaruk alis kanan, “baiklah. Terserah kau saja.” “Terima kasih. Aku harus pergi untuk menjemput Anaya.” Aku bersiap berdiri untuk pergi. Kali ini lebih tenang. Berharap tidak ada lagi keributan dan ketegangan di antara kami. “Hati-hati, ya.” Andre mengelus pundakku. Aku tersenyum lalu mengangguk. Lalu berjalan menuju ke pintu keluar restaurant. Ada perasa
“Ehh… Bu Meylani, nggak boleh gitu, ah.” Bu Rt menarik perlahan lengan Meylani yang mencoba menghalangi jalanku untuk masuk ke rumah Bu Rt. Tidak ingin begitu saja diam, aku mendekat pada Meylani. “Apa maksudmu?” “Lho, kamu merasa sebagai penggoda suami orang? Kalau kamu nggak merasa, ya nggak usah marah donk!” Meylani memutar bola mata. Tampaknya dia sengaja bersikap menjengkelkan untuk memancing amarahku. Jika terjai keributan antara kami berdua, hampir bisa dipastikan, akulah orang yang akan dipermalukan. Meylani pasti tidak segan mengeluarkan hinaan dan cacian. Aku merasa banyak mata yang memandang ke arahku. Ruangan besar rumah Bu Rt yang semula riuh berubah sepi. Ya, aku menjadi pusat perhatian. Dari cara mereka bersikap dan melihatku, hampir bisa dipastikan bahwa banyak pembicaraan tentangku telah terjadi di ruangan ini. Atau bahkan di tempat lain yang tidak ada aku di sana. Melihat tabiat ibu-ibu cluster yang sebagian punya banyak waktu untuk berbicara satu sama lain, aku