Sapa dah?!
“Ehh… Bu Meylani, nggak boleh gitu, ah.” Bu Rt menarik perlahan lengan Meylani yang mencoba menghalangi jalanku untuk masuk ke rumah Bu Rt. Tidak ingin begitu saja diam, aku mendekat pada Meylani. “Apa maksudmu?” “Lho, kamu merasa sebagai penggoda suami orang? Kalau kamu nggak merasa, ya nggak usah marah donk!” Meylani memutar bola mata. Tampaknya dia sengaja bersikap menjengkelkan untuk memancing amarahku. Jika terjai keributan antara kami berdua, hampir bisa dipastikan, akulah orang yang akan dipermalukan. Meylani pasti tidak segan mengeluarkan hinaan dan cacian. Aku merasa banyak mata yang memandang ke arahku. Ruangan besar rumah Bu Rt yang semula riuh berubah sepi. Ya, aku menjadi pusat perhatian. Dari cara mereka bersikap dan melihatku, hampir bisa dipastikan bahwa banyak pembicaraan tentangku telah terjadi di ruangan ini. Atau bahkan di tempat lain yang tidak ada aku di sana. Melihat tabiat ibu-ibu cluster yang sebagian punya banyak waktu untuk berbicara satu sama lain, aku
“Beraninya, kamu!” Meylani mengulurkan tangan untuk menjangkauku. Dia ingin menyerangku seperti yang pernah dia lakukan sebelumnya. Aku melangkah mundur dengan cepat. Beberapa orang wanita yang ada di dekat Mey segera memegangi tangannya. “Bu Mey, sabar. Sudah, Bu… sudah!” Sementara Mey mencoba untuk memberontak. Matanya merah melotot ke arahku. Aku berdiri lebih jauh tanpa menunjukkan rasa takut. Kali ini aku akan membela harga diriku. “Kamu pantas mendapatkan itu. Jika kamu pikir aku tidak tahu apa yang kamu katakan pada mereka, kamu salah. Aku diam karena aku enggan memulai keributan.” Aku melihat sekeliling untuk memastikan semua orang mendengar apa yang aku katakan. Beberapa orang wanita tampak menghidari bertatap mata denganku. Wajah mereka terlihat menyiratkan sedikit ketakutan. Terutama mereka yang mungkin pernah terlibat pembicaraan dengan Meylani tentangku. Alih-laih mereda, Mey justru semakin kuat mempertahankan pendapatnya. “Kenapa kamu menolak kenyataan? Kan kamu mem
“Apa?!” Wanita-wanita yang berdiri di di ruangan itu melotot tidak percaya. Serempak mereka menujukkan pandangan ke arahku. Meylani menjadi orang yang akhirnya memecah keheningan. Tawanya terengar nyaring. Dia meletakkan kotak perhiasan yang ada di tangannya ke atas meja. Senyum sinisnya muncul ke permukaan wajah. “Terima kasih sudah memberikan kami lelucon yang bagus, Adina. Kami mengerti bahwa kau sangat menginginkan perhiasan itu. Tenang saja, Bu Mira akan membawa koleksi lain yang lebih murah lain waktu.” Anggukan Meylani setelah menyelesaikan kalimatnya menjadi sebuah isyarat bagi Mira. “Oh, iya. Tentu saja. Selain yang bernilai ratusan juta, saya juga punya beberapa perhiasan yang lebih murah. Nilainya hanya beberapa puluh juta. Saya rasa itu masih layak untuk dimiliki oleh Bu Adina.” Bu Rt yang sejak tadi mencoba memperlihatkan sikap netral pun ikut angkat bicara, “Terima kasih, lho Bu Mira. Dia ini memang pebisnis yang sangat baik,” ucapnya sambil tersenyum ke arahku. “Nah,
“Hi, Ndre. Kapan kau datang?” Aku memberikan Jafar pada Mbak Pia. Perlahan berjalan menuju Andre. Pria itu memasang wajah yang sangat tidak bersahabat. Tampaknya dia sedang marah. Bahkan Andre tidak mengucapkan salam atau menyapa Anaya saat dia tiba di depan pintu rumah. Matanya sama sekali tidak beralih padaku. Dia tetap melihat pada Jafar dengan sejuta kemurkaan. “Sejak tadi aku berdiri di sini. Kau tidak menyadari itu karena sibuk dengan anak laki-laki itu.” Itu terdengar ketus. Aku menoleh ke arah yang sama, “Maksudmu Jafar? Kamis sedang bermain sambil menunggu datang. Anaya kelihatan bahagia sejak Jafar ada di rumah ini.” “Aku heran padamu, Din. Bagaimana kau bisa menyayangi Jafar seperti anakmu? Dia adalah anak wanita yang pernah menyakitimu. Juga pria yang pernah mencampakkanmu.” Keningku tak ayal berkerut mendengar pernyataan itu. “Ya, memang. Tapi, dia sekarang ada di rumah ini. Dia bagian dari kami. Setiap detik tentu mengubah banyak hal. Lagi pula anak itu tidak bersala
“Siapa ya? Mami nggak bilang akan ada tamu lain.” Andre mengernyitkan kening. Perlahan dia melepaskan gandengan tangannya dari tanganku ketika kami masuk ke ruang makan. Aku melangkah perlahan di belakang Andre. Ketika mami Andre menyadari kedatangan kami, dia menolah dan melebarkan senyuman. “Adina! Ayo sini, masuk!” Wanita yang masih tetap cantik di usia matang itu berdiri menyambutku. Bukan hanya menyambut, dia juga membentangkan tangan untuk menawarkan pelukan. Sambutannya membuat suasana hatiku membaik. Itu sangat berubah jika dibandingkan dengan terakhir kali kami bertemu, saat Mami Andre mentah-mentah menolakku di akhir cerita. Mungkin Andre sudah menjelaskan banyak hal. Atau dia mengalah pada keinginan putranya. Tidak ingin mengecewakan, aku juga menyambut pelukan Mami Andre. “Apa kabar, Tante?” tanyaku. “Baik. Sangat baik. Apalagi ketika Andre mengatakan kalian ingin menemuiku. Aku senang sekali. Ayo duduk.” Dia membalikkan badan untuk kemudian kembali ke kursi tempatnya
“Setelah kami meminta untuk pertemuan malam ini, Mami tahu bahwa kamu tidak bisa dihentikan. Jika pun Mami tidak setuju kamu memilih Adina, kalian tentu tidak akan peduli dan tetap dalam rencana. Bukan begitu?” Mami Andre meletakkan sendok di atas piringnya. Lestari yang masih sibuk makan pun bergegas menghentikan kegiatannya karena melihat hal itu. Kami semua tidak lagi menikmati hidangan termasuk aku. Sekarang waktunya untuk fokus bicara. “Aku memang sudah memilih Adina. Itu sudah kukatakan pada Mami.” Andre kembali menegaskan. Mami Andre melihatku sambil tersenyum dan menggeser pandangannya pada Lestari. “Tentu, dan Mami tidak akan menghalangi. Kau boleh menentukan siapa calon istri yang kau inginkan. Di sini Mami hanya ingin memberikanmu pilihan yang lebih mudah. Menikah dengan Adina, artinya bukan hanya tentangmu dan Adina. Itu juga tentang masa lalunya, anaknya dan bagian hidupnya yang lain. Orang yang pernah bersama dalam pernikahan dengan pria lain tentu berbeda dengan oran
“Fattan?” Andre tidak kalah terkejutnya. Suasana di antara kami menjadi lebih canggung. Ini menjadi kejutan yang melengkapi hari. Semua menjadi semakin tidak terkendali. Ketika pria yang pernah menjadi suamiku bertahun lalu hadir di depan mata sebagai sesuatu yang nyata. Tidak, luka itu tidak lagi kurasakan. Hal pertama yang muncul karena melihat Fattan adalah kekhawatiran. Apalagi dia ada di rumahku saat aku sedang tidak berada di sana. Ini benar-benar membuatku memikirkan sesuatu yang buruk. Kemungkinan yang terburuk. “Sedang apa kau di rumahku?” Aku mendekatinya. Tampaknya dia juga sama terkejutnya denganku. Fattan pasti tidak menyangka aku ada di depan rumah ketika dia baru saja akan meninggalkan rumahku. “Aku… aku ingin menemui Jafar. Dan Anaya,” jawabnya singkat sembari melihat pada Andre. “Bagaimana kau bisa menemukan alamatku? Oh, tentu saja Kalila memberitahumu kan? Kalian masih saling berhubungan tapi memberikan Jafar padaku?” Ini kesempatanku untuk mengembalikan tangg
“Pertanyaan macam apa itu, Ndre?” Aku menyahut sengit. Keadaan yang terjadi antara aku dan Andre semakin menyesakkan. Hubungan kami semakin tidak memiliki arah. Terlepas dari orang terpenting dalam hidup Andre yang tidak menyetujui hubungan kami, Andre juga menunjukkan banyak perubahan. Sebelah tangannya masuk ke satu smentara tangan yang lain mengusap wajahnya. Beberapa saat Andre memejamkan mata untuk menenangkan diri. Sementara aku berdiri bodoh memandangi ekspresinya sambil berpikir. Bagian mana yang salah dari kejadian barusan. Bukan hanya Andre yang bingung. Aku pun sama. Lantas kenapa pertanyaan yang datang justru seperti itu. “Kau bersikap terlalu lunak pada Fattan. Apakah itu karena kasihan atau karena kau masih mencintainya. Aku tidak tahu.” Andre menuduh dan bukan bertanya. “Tidak ada apa pun lagi antara aku dan Fattan. Entah kenapa kau bisa berpikir seperti itu.” “Harusnya kau berani lebih tegas agar dia membawa Jafar keluar dari rumah ini.” Suaranya mengeras. Kabut e