Maksudnya? Eh gimana... gimana?
“Hi, Ndre. Kapan kau datang?” Aku memberikan Jafar pada Mbak Pia. Perlahan berjalan menuju Andre. Pria itu memasang wajah yang sangat tidak bersahabat. Tampaknya dia sedang marah. Bahkan Andre tidak mengucapkan salam atau menyapa Anaya saat dia tiba di depan pintu rumah. Matanya sama sekali tidak beralih padaku. Dia tetap melihat pada Jafar dengan sejuta kemurkaan. “Sejak tadi aku berdiri di sini. Kau tidak menyadari itu karena sibuk dengan anak laki-laki itu.” Itu terdengar ketus. Aku menoleh ke arah yang sama, “Maksudmu Jafar? Kamis sedang bermain sambil menunggu datang. Anaya kelihatan bahagia sejak Jafar ada di rumah ini.” “Aku heran padamu, Din. Bagaimana kau bisa menyayangi Jafar seperti anakmu? Dia adalah anak wanita yang pernah menyakitimu. Juga pria yang pernah mencampakkanmu.” Keningku tak ayal berkerut mendengar pernyataan itu. “Ya, memang. Tapi, dia sekarang ada di rumah ini. Dia bagian dari kami. Setiap detik tentu mengubah banyak hal. Lagi pula anak itu tidak bersala
“Siapa ya? Mami nggak bilang akan ada tamu lain.” Andre mengernyitkan kening. Perlahan dia melepaskan gandengan tangannya dari tanganku ketika kami masuk ke ruang makan. Aku melangkah perlahan di belakang Andre. Ketika mami Andre menyadari kedatangan kami, dia menolah dan melebarkan senyuman. “Adina! Ayo sini, masuk!” Wanita yang masih tetap cantik di usia matang itu berdiri menyambutku. Bukan hanya menyambut, dia juga membentangkan tangan untuk menawarkan pelukan. Sambutannya membuat suasana hatiku membaik. Itu sangat berubah jika dibandingkan dengan terakhir kali kami bertemu, saat Mami Andre mentah-mentah menolakku di akhir cerita. Mungkin Andre sudah menjelaskan banyak hal. Atau dia mengalah pada keinginan putranya. Tidak ingin mengecewakan, aku juga menyambut pelukan Mami Andre. “Apa kabar, Tante?” tanyaku. “Baik. Sangat baik. Apalagi ketika Andre mengatakan kalian ingin menemuiku. Aku senang sekali. Ayo duduk.” Dia membalikkan badan untuk kemudian kembali ke kursi tempatnya
“Setelah kami meminta untuk pertemuan malam ini, Mami tahu bahwa kamu tidak bisa dihentikan. Jika pun Mami tidak setuju kamu memilih Adina, kalian tentu tidak akan peduli dan tetap dalam rencana. Bukan begitu?” Mami Andre meletakkan sendok di atas piringnya. Lestari yang masih sibuk makan pun bergegas menghentikan kegiatannya karena melihat hal itu. Kami semua tidak lagi menikmati hidangan termasuk aku. Sekarang waktunya untuk fokus bicara. “Aku memang sudah memilih Adina. Itu sudah kukatakan pada Mami.” Andre kembali menegaskan. Mami Andre melihatku sambil tersenyum dan menggeser pandangannya pada Lestari. “Tentu, dan Mami tidak akan menghalangi. Kau boleh menentukan siapa calon istri yang kau inginkan. Di sini Mami hanya ingin memberikanmu pilihan yang lebih mudah. Menikah dengan Adina, artinya bukan hanya tentangmu dan Adina. Itu juga tentang masa lalunya, anaknya dan bagian hidupnya yang lain. Orang yang pernah bersama dalam pernikahan dengan pria lain tentu berbeda dengan oran
“Fattan?” Andre tidak kalah terkejutnya. Suasana di antara kami menjadi lebih canggung. Ini menjadi kejutan yang melengkapi hari. Semua menjadi semakin tidak terkendali. Ketika pria yang pernah menjadi suamiku bertahun lalu hadir di depan mata sebagai sesuatu yang nyata. Tidak, luka itu tidak lagi kurasakan. Hal pertama yang muncul karena melihat Fattan adalah kekhawatiran. Apalagi dia ada di rumahku saat aku sedang tidak berada di sana. Ini benar-benar membuatku memikirkan sesuatu yang buruk. Kemungkinan yang terburuk. “Sedang apa kau di rumahku?” Aku mendekatinya. Tampaknya dia juga sama terkejutnya denganku. Fattan pasti tidak menyangka aku ada di depan rumah ketika dia baru saja akan meninggalkan rumahku. “Aku… aku ingin menemui Jafar. Dan Anaya,” jawabnya singkat sembari melihat pada Andre. “Bagaimana kau bisa menemukan alamatku? Oh, tentu saja Kalila memberitahumu kan? Kalian masih saling berhubungan tapi memberikan Jafar padaku?” Ini kesempatanku untuk mengembalikan tangg
“Pertanyaan macam apa itu, Ndre?” Aku menyahut sengit. Keadaan yang terjadi antara aku dan Andre semakin menyesakkan. Hubungan kami semakin tidak memiliki arah. Terlepas dari orang terpenting dalam hidup Andre yang tidak menyetujui hubungan kami, Andre juga menunjukkan banyak perubahan. Sebelah tangannya masuk ke satu smentara tangan yang lain mengusap wajahnya. Beberapa saat Andre memejamkan mata untuk menenangkan diri. Sementara aku berdiri bodoh memandangi ekspresinya sambil berpikir. Bagian mana yang salah dari kejadian barusan. Bukan hanya Andre yang bingung. Aku pun sama. Lantas kenapa pertanyaan yang datang justru seperti itu. “Kau bersikap terlalu lunak pada Fattan. Apakah itu karena kasihan atau karena kau masih mencintainya. Aku tidak tahu.” Andre menuduh dan bukan bertanya. “Tidak ada apa pun lagi antara aku dan Fattan. Entah kenapa kau bisa berpikir seperti itu.” “Harusnya kau berani lebih tegas agar dia membawa Jafar keluar dari rumah ini.” Suaranya mengeras. Kabut e
“Iya nyonya. Sekali lagi saya minta maaf.” Wajah Mbak Pia tertunduk bersalah. Aku hanya bisa diam menunggu penjelasan. Dalam banyak hal aku percaya Mbak Pia tidak akan ceroboh. Selama ini dia telah menjaga Anaya dan Jafar dengan sangat baik. Apa yang dilakukannya pasti atas desakan yang sangat besar. “Waktu saya sedang berbicara dengan Tuan Fattan, Nona Anaya dan Tuan Jafar keluar dari dalam rumah. Lalu mereka berbicara degan tuan Fattan. Mengulurkan tangan dari celah-celah tralis pintu gerbang. Mereka terlihat sangat merindukan Tuan Fattan.” Tangis Mbak Pia pecah. Bahkan sudut mataku mulai basah. Aku membayangkan kejadian itu. Pastilah Anaya dan Jafar ingin memeluk ayahnya. Mereka telah cukup lama tidak saling bertemu. Begitu juga dengan Fattan. Seburuk apa pun pria itu, dia tidak pernah melakukan hal buruk pada anak-anaknya. Masih ada nilai baik yang kudengar bahwa Fattan tidak memaksa Mbak Pia membuka pintu. Wlau keadaan sudah saling menyesakkan. “Saya… saya tidak bisa melihat
“Mey! Kenapa?!” Suara Yohanes terdengar dari balik pagar. Aku kembali membuka sedikit celah gerbang. Yohanes mengangkat tangan Meylani dan memeriksanya. Dia terlihat sangat khawatir. Beberapa kali dia meniup tangan yang kulitnya tampak memerah itu. Terlihat bekas luka terjepit menyeplak di tangan Meylani, tapi sama sekali tidak berdarah. Aku rasa tidak ada yang serius dengan kejadian barusan. Namun, Yohanes terlihat sangat panik. Sementara Meylani terus mengaduh seolah merasa sangat kesakitan. “Yo… ini sakit banget. Adina sengaja tuh pengen aku celaka!” Meylani memonyongkan bibir sambil melihat ke arahku. Mataku melotot tidak percaya bahwa wanita berparas Tionghoa dan cantik itu bisa begitu kejam menyampaikan tuduhan. Sebagai seorang pria, Yohanes tentu bisa bersikap bijak dan melihat segala sesuatunya lebih realistis. Aku melihat pada Yohanes untuk melihat tanggapannya. Terakhir kali dia membela Meylani dan datang menemuiku untuk meminta maaf setelahnya. Kali ini Yohanes terdiam.
“Kenapa kau terdengar sangat khawatir, Naya?” Gelengan kepalanya menjadi sebuah jawaban tanpa kata. Aku ibunya, dia hidup di dalam rahimku lebih dari sembilan bulan. Aku yang memberinya banyak cinta. Kami pernah bernafas dalam detak jantung yang sama. Aku tahu persis apa yang sedang dia rasakan. Bagaimana bisa Anaya mencoba menyembunyikan getar ketakutan itu dari kulitnya yang memerah karena menahan tangis. Bukankah dia pernah begitu percaya pada ayahnya? Lalu kemudian dia hanya menjadi sesuatu yang dikhianati tanpa rasa ampun. Jika kali ini dia harus menyayangi seseorang lagi, maka Anaya ingin memastikan bahwa itu adalah tentang selamanya. Keinginan dan pertanyaan yang aku juga tidak punya garansi. Di tahapan ini, aku bahkan hanya melakukan apa yang harusnya kulakukan. Aku tidak tahu kemana perjalanan ini sedang menuju. “Ah sudahhlah! Ayo, hari ini Bunda mau mengajak Naya dan Jafar main di luar. Kita ke mall, nanti bisa main di wahana permainan.” Aku mematahkan kesedihan yang mula