Huhuhu! Ada bawangnya...
“Kenapa kau terdengar sangat khawatir, Naya?” Gelengan kepalanya menjadi sebuah jawaban tanpa kata. Aku ibunya, dia hidup di dalam rahimku lebih dari sembilan bulan. Aku yang memberinya banyak cinta. Kami pernah bernafas dalam detak jantung yang sama. Aku tahu persis apa yang sedang dia rasakan. Bagaimana bisa Anaya mencoba menyembunyikan getar ketakutan itu dari kulitnya yang memerah karena menahan tangis. Bukankah dia pernah begitu percaya pada ayahnya? Lalu kemudian dia hanya menjadi sesuatu yang dikhianati tanpa rasa ampun. Jika kali ini dia harus menyayangi seseorang lagi, maka Anaya ingin memastikan bahwa itu adalah tentang selamanya. Keinginan dan pertanyaan yang aku juga tidak punya garansi. Di tahapan ini, aku bahkan hanya melakukan apa yang harusnya kulakukan. Aku tidak tahu kemana perjalanan ini sedang menuju. “Ah sudahhlah! Ayo, hari ini Bunda mau mengajak Naya dan Jafar main di luar. Kita ke mall, nanti bisa main di wahana permainan.” Aku mematahkan kesedihan yang mula
“Kayanya adanya di lantai dua deh!” celoteh wanita itu sambil menunjuk ke atas. Matanya melihat ke beberapa toko yang terlihat di lantai dua. Dia sama sekali tidak menyadari keberadaanku. Sedang aku menghentikan langkah untuk meihat ke arah Andre dan pemilik suara itu. Suara yang asing untuk dikenali namun bukan tidak pernah ditemui. Begitu pula dengan Andre, dia melihat ke arahku. Wajahnya tegang dan sulit untuk menyembunyikan bahwa dia sedang melakukan sebuah ‘kejahatan’. Entah kenapa mataku terasa panas. Sesuatu menusuk di dalam sana. Jauh di dalam hatiku. Dunia serasa tidak adil. Bagaimana hal seperti ini bisa terjadi berkali-kali? Apakah aku memang tidak dilahirkan untuk sebuah cinta sejati? Lestari. Ya, dia yang ada di sana bersama Andre. Mereka berdiri dalam jarak yang wajar. Bagi orang lain itu adalah hal yang biasa dan bisa dimengerti. Tapi bagiku? Andre menyadari pandanganku dan dia hanya diam tanpa berusaha memberikan penjelasan. Bahkan sejak awal dia memang tidak ingin
“Kita berdua sama-sama tidak punya jawaban, kan?” Aku dan Andre tenggelam dalam diam. Sungguh tidak ada yang bisa dipastikan dalam hubungan ini. Kami tidak ingin mundur, tapi juga tidak bisa maju. Setelah pertemuan dengan Andre di café, hubungan kami semakin hilang arah. Meski begitu, aku dan Andre masih belum menyerah. Kesabaranku sampai di batas ketika aku baru saja hendak mengistirahatkan badan di sofa. Mbak Pia tergopoh datang dari pintu luar. “Nyonya, ada tuan Fattan di depan gerbang. Boleh masuk?” “Fattan?” punggungku yang nyaris menyentuh empuknya sofa kembali menegak. “Kenapa dia datang lagi?” tanyaku entah pada siapa, karena suara yang keluar lebih mirip dengan gumaman. Wajah Mbak Pia terlihat tegang. “Katanya ingin ketemu anak-anak.” Anak-anak? Apakah Fattan akan terus menjadikan anak-anak alasan untuk datang ke rumahku. Walau tidak ada yang tahu maksud hati Fattan sebenarnya, tapi aku mengenal Fattan dengan baik. Dia bukanlah ayah yang akan senang hati meluangkan waktu
“Fattan, berhentilah mengatakan sesuatu yang mungkin bisa menyakiti kita berdua.” Wajahku membeku. Aku tahu Fattan tidak pernah tulus tentang apa pun bahkan yang berhubungan dengan anak-anaknya. Pertanyaan yang baru saja dia lontarkan tidak pernah ada dalam perdiksiku. Itu sangat mengejutkan. Kegelisahanku kian menggenang di dasar perut manakala Fattan justru memilih untuk terus memandangku. Dia berharap belas kasihan dan kelembutan? Aku tidak punya semua itu, khususnya untuk Fattan. Setelah dia melihat tidak ada peluang, Fattan pun keluar dan berlalu. Aku menghembuskan nafas lega dan segera menutup pintu gerbang. Lalu kembali ke dalam rumah. Semua masih aman. Keculia perasaanku yang berantakan. Setelah beberapa hari, aku dan Andre sama sekali tidak berkomunikasi. Aku pikir kami berdua butuh waktu untuk melakukan introspeksi tentang apa yang kami inginkan satu sama lain. Dan malam itu, ketika malam menanjak menuju tengah, tiba-tiba ponselku berbunyi. “Din, kau sudah tidur?” tanya
“Aku… Ini….” Semua kata teronggok di tenggorokanku. Gumpalan kebingungan berbalut dengan keraguan menjadi penghalang terbesar. Semua yang ada di pikiranku tiba-tiba saja menghilang. Aku tidak menyangka Andre akan mengucapkan lamaran bahkan saat dia sendiri sedang berisi banyak kekesalan. “Kau tidak harus menjawabnya sekarang. Setidaknya aku perlu tahu bahwa kau masih ingin bersamaku. Apakah kita masih di jalan yang sama, Din?” Suara Andre pilu. Pertanyaan yang sebenarnya juga kutanyakan pada diriku sendiri. Apakah masa depan yang pernah kuinginkan bersama Andre sampai hari ini masih dalam bentuk yang sama. Apakah semua masih sama? “Aku tidak bisa memberimu jawaban, Ndre. Kita perlu mencari dalam diri kita masing-masing. Hubungan kita tampaknya terlalu rumit untuk bisa disederhanakan dalam sebuah ikatan.” Bagaimana pun aku perlu jujur dengan apa yang aku rasakan, bukan? Andre harus tahu kan kedukaan dan ketakutanku. Melihat gelap malam di depanku, dalam jajaran lampu kota yang berk
“Ada sebuah perusahaan besar yang tiba-tiba mendominasi bisnis serupa El Khairi. Besok pagi akan ada tender bernilai ratusan milyar. Itu tidak akan diberikan kepada kita.” Kesadaranku kembali seketika karena mendengar penjelasan Andre. Kesedihan yang kehancuran yang aku rasakan menyatu di dalam sana menjadi kekuatan baru. Informasi yang menghempaskan tangisku untuk pergi menjauh. Tampaknya, Tuhan juga tidak ingin melihatku berduka terlalu dalam. Informasi Yudha sangat janggal dalam analisaku. Tender ratusan milyar tidak jatuh ke tangan El Khairi Company? Ini terdengar sangat aneh. Karena dilihat dari segi mana pun dalam industri ini, El Khairi adalah perusahaan yang tidak perlu diragukan lagi keredibilitasnya. Perusahaan peninggalan Abi ini bahkan telah dipercaya untuk menyelesaikan banyak proyek milik negara. Tiba-tiba ada perusahaan baru yang sanggup menggulingkannya, ini terdengar sangat tidak masuk akal. Di seberang sambungan Yudha terdiam menunggu aku memberikan reaksi atau p
“Maaf, Pak. Saya ada-“ “Ayo, cepat! Lihat di belakangmu ada mobil Pak Yudha mendekat. Dia adalah direktur di perusahaan ini. Jangan sampai mobil jelekmu ini menghalangi beliau untuk berhenti tepat di depan lobby!” Security gedung yang masih berusia muda itu tampaknya tidak mengenaliku. Dia pasti orang baru di tempat ini. Karena beberapa security lain yang sudah cukup lama bekerja di tempat ini pasti bisa mengenali wajahku. Mereka berada agak jauh dari security yang sedang mengatur arus kendaraan di depan lobby utama gedung El Khairi Company. Karena aku masih berada di dalam mobil dan di belakang kemudi, mereka mungkin sama sekali tidak menyangka bahwa akulah yang sedang dibentak oleh security muda itu. “Hey! Kau tidak mendengarku? Ayolah, cepat jalankan mobilmu. Jangan sampai Pak Yudha memecatku hanya karena kau terlalu lama berhenti.” Suaranya kembali terdengar nyaring. Itu memancing perhatian beberapa orang. Keadaan lobby di gedung El Khairi memang padat saat pagi. Karyawan yan
“Silahkan turun, Nyonya.” Supir Yudha membuka pintu dan membungkuk sopan. Supir itu adalah karyawan El Khairi yang telah bekerja cukup lama di perusahaan ini. Dia adalah supir perusahaan yang dipekerjakan untuk memfasilitasi jajaran petinggi El Khairi Company. Beberapa kali dia juga bersamaku saat aku masih menjadi bagian resmi dari El Khairi. Security muda yang ada di antara kami mendadak membeku. Mulutnya menganga tidak percaya bahwa supir Yudha melakukan hal seperti yang dilihatnya. Dia terlihat gemetar. Tangannya perlahan menurunkan topi security yang dia kenakan dan memeluk di dadanya. “Selamat Pagi, Nyonya. Maaf saya terlambat datang.” Yudha meletakkan tangan kanan ke dada kiri dan sedikit membungkuk. Aku mengangguk perlahan. “It’s ok. Tidak ada masalah. Satu-satunya masalah di sini adalah kurangnya staff di bagian vallet parking.” “Saya akan bicara dengan bagian HRD untuk menambahnya.” Lalu Yudah berpaling pada security muda yang sejak tadi diam menundukkan kepala. Wajahya