Ada apaan sih?
“Adina, maafkan aku. Aku sudah melakukan yang terbaik, tapi ini semua di luar kendaliku.” Kata-kata Tara semakin membuatku khawatir. Aku yakin ada hal buruk yang terjadi. “Tara, katakan dengan jelas. Jangan menganggapku terlalu lemah untuk mendengar apa pun. Aku lebih kuat dari yang kau bayangkan. Aku ingin tahu semuanya. Katakan!” Aku tidak bisa lagi menahan amarah karena Tara terlalu lama diam dan berusaha menahan tiap detik untuk berbicara “Vivian tewas tertembak.” Sebuah bom meledak di kepalaku. Ponsel di tanganku meluncur ke bawah dan mendarat di atas lantai batu taman. Tentu saja panggilan telepon dari Tara terputus. Aku membeku tanpa ekspresi. Berita ini terlalu sulit untuk diterima dan diidentifikasikan dengan kata. Dari kejauhan Harry berlari dan mendekatiku. Setelah sambungan telepon kami terputus, Tara pasti langsung menghubungi Harry. Karena itulah Harry datang untuk memastikan keadaanku baik-baik saja. Harry tertegun elihat ponselku yang hancur di atas tanah. Dia berl
“Betul, Adina. Maaf karena aku terlambat memberitahumu tentang hal ini. Atau bahkan sebenarnya aku tidak perlu memberitahumu.” Manaf tertunduk lesu. Berita kematian Vivian seperti tenggelam di telan oleh kabar yang Manaf berikan. Semua ini terjadi secara tiba-tiba. Aku bahkan tidak mengerti bagaimana seharunya berekspresi dengan semua ini. Jika aku adalah anak angkat El Khairi, maka artinya aku dan Tara sama sekali bukan saudara. Tidak ada darah yang sama diantara kami. Keesokan harinya, Maaf meninggalkan Indonesia dan kembali ke Turki. Tara tinggal di mansion yang sama denganku. Hubungan kami menjadi sangat canggung dan aneh, terutama ketika kami hanya berdua saja. Di depan Anaya, Rayyan dan Jafar semua terlihat normal. Namun saat itu hanya tentang aku dan Tara, maka kami menjadi dua orang asing yang sedang belajar saling mengenal. “Nyonya, malam ini akan ada pesta di Deluxe Building. Tuan Tara meminta anda bersiap untuk ikut bersamanya.” Harry menyampaikan pesan Tara saat aku seda
“Mas Fattan! Kalila! Dosa apa yang sedang kalian lakukan?” Sosok berambut hitam ikal dengan hidung tinggi dan wajah khas Arab itu bangkit dari ranjang. Dia sangat terkejut dan terlalu terkejut hingga lupa bahwa tidak selembar benang pun tertambat di tubuhnya. Dalam keadaan telanjang, dia berusaha menghampiriku. “Adina, apa… bagaimana… kenapa… kau ada di sini?” “Berapa banyak lagi kata tanya yang ingin kau ucapkan? Kau bahkan belum menjawab pertanyaanku.” Aku berharap mata ini sedang mengkhianatiku. Aku bahkan tidak mampu berkedip hanya untuk mempercayai bahwa yang kulihat itu nyata. Di sini! Di depan mataku! Mungkin, Mas Fattan baru menyadari bahwa ada orang lain di belakangku. Hal itu seketika membuatnya teringat bahwa dirinya tidak berbusana. Dia bergegas menyambar selembar celana panjang yang berserak di lantai. Sementara Mas Fattan sibuk membungkus auratnya sesosok wanita yang ada di atas ranjang yang sejak tadi mengamati kami tetap diam. Tidak ada rasa penyesalan atau takut
“Maksudmu, suamimu dan Kalila pergi bersama?” tanya Erina. “Suamiku adalah seorang pebisnis yang sibuk. Dia biasa pergi ke banyak kota dan negara. Jadwal kepergiannya yang sama dengan jadwal penerbangan Kalila tidak pernah membuatku curiga. Aku justru merasa aman karena Mas Fattan bersama Kalila.” “Apakah selama ini suamimu dekat dengan keponakanmu itu? Kalila.” “Kalila bertugas sebagai pramugari di salah satu maskapai. Entah bagaimana, jadwal tugas Mas Fattan seringkali sama dengan jadwal tujuan pesawat tempat Kalila bertugas. Bodohnya aku sama sekali tidak mencium gelagat busuk mereka.” Aku menumpahkan semua perasaanku saat tiba di ruang kerja Erina. Dia duduk di sampingku dan berusaha memberiku dukungan kekuatan. “Maafkan aku ya, Din. Aku tidak bermaksud membuatmu sedih,” ucap Erina penuh penyesalan. “It’s ok, Erin. Seandainya kau tidak memberitahuku, mungkin aku akan selamanya buta. Aku tidak bisa melihat apa yang terjadi di depan mataku.” Air mataku jatuh bercucuran. Rasa s
“Siapa kamu?” tanyaku lemah. “Oh, Nyonya Adina. Anda sudah bangun.” “Bagaimana kau bisa tahu namaku?” Tubuhku terasa ngilu, kepalaku berdenyut dan pandanganku berkunang-kunang. Ada rasa nyeri di tangan kiriku. Saat aku mengangkatnya, ternyata tanganku terhubung dengan sebuah selang infus. Baru kusadari, bahwa aku sedang terbaring di rumah sakit. Aku melihat sosok pria duduk di sofa yang terletak tidak jauh dari kaki ranjang. “Oh, maaf. Saya terpaksa membuka tas dan dompat anda untuk menemukan identitas anda,” pria itu berjalan mendekati ranjang. “Apa yang terjadi?” aku semakin linglung. “Mobil anda menabrak mobil saya dengan sangat keras. Balon penyelamat di mobil gagal mengembang sehingga kepala anda terbentur cukup keras.” Aku baru mulai mengingat semuanya. Saat itu tentu saja aku sedang dalam perjalanan kembali dari hotel tempat Erina bekerja menuju ke rumah. Setelah kejadian menyakitkan yang kulihat, ternyata aku tidak sekuat yang kuinginkan. Kalutnya pikiran membuatku hil
“Bagaimana ini menjadi hal yang biasa? Kalila seorang gadis yang belum menikah dan berhubungan badan dengan seorang pria. Ini adalah kesalahan dan aib, Kak.” Emosiku nyaris tidak bisa dibendung lagi. “Kalila ini memang sudah berada di dalam pergaulan internasional. Hal seperti bukan lagi sesuatu yang bisa kami kendalikan.” Kak Zahra menambahkan. Untuk berhubungan badan dengan seorang pria? Kami adalah keluarga keturunan Arab Indonesia. Abi dan Umi mengajarkan kami untuk memegang teguh norma agama dan adat ketimuran. Pergaulan bebas bukan hal yang wajar untuk terjadi di keluarga kami. Entah sejak kapan keluarga kakakku rupanya sudah menganut tradisi Eropa. Kalila yang baru melewati usia dua puluh tahun itu, bahkan telah hidup bebas tanpa batas. Tapi, sudahlah jika mereka memang memiliki cara hidup sendiri. Itu sama sekali bukan urusanku. Tubuhku ini rasanya terlalu lelah. Rasa nyeri akibat kecelakaan tadi siang masih juga kurasakan. Aku tidak punya energi lagi untuk melayani debat
“Aduh… Maaf deh… Siapa donk….” “Aku Marisa!” “Marisa! Apa kabar? Lama sekali tidak bertemu!” “Iya, habis kamu sih bertapa melulu!” ujar Marisa. Aku tersenyum mendengar perkataan Marisa. Senyum sinis untuk meledek diriku sendiri. Semua teman-temanku tahu, bahwa sejak aku menikah, aku bagai ditelan bumi. Hanya sibuk mengurus anak dan suami. Jika sesekali keluar rumah atau berlibur, pasti bersama Mas Fattan dan Anaya. Tidak pernah terselip dalam agenda untuk bertemu dengan teman-temanku. Mas Fattan tidak suka jika aku terlalu banyak kegiatan di luar rumah. Sebagai istri aku tidak pernah membantah kata-kata suamiku. Walau aku adalah alumni S2 salah satu universitas terkemuka di Madinah, namun ketika aku menikah, semua itu aku tanggalkan begitu saja. Suara Marisa di telepon terdengar penuh semangat saat dia menyampaikan maksudnya menghubungiku. “Adina, aku ingin menawarkanmu sesuatu. Sekarang aku bekerja di sekolah International milik seorang warga negara Turki.” “Wah, keren betul!”
“Siapa yang harusnya malu, Mas? Sebagai istri yang telah dikhianati, apakah aku tidak berhak marah?” “Kalila itu hanya anak-anak, Adina. Dia mungkin melakukan kesalahan menurutmu. Tapi, menurut Kalila itu mungkin hal yang biasa.” Aku menoleh dan memandang wajah Mas Fattan. Bukan, bukan karena aku mencintainya. Aku hanya sedang berusaha menemukan ekspresi bercanda atau salah bicara. Keduanya sama sekali tidak kutemukan di wajah suamiku. “Anak-anak katamu? Perempuan yang sudah mengerti hubungan suami istri. Tahu caranya memancing dan memuaskan hasrat seorang pria, bukan anak-anak lagi. Dia adalah wanita dewasa. Mungkin Kalila sudah biasa tidur dengan berbagai pria karena pemikiran modern yang dia banggakan itu, tapi kenapa harus kamu Mas? Kenapa harus suamiku? Suami dari adik kandung ibunya sendiri?” rentetan pertanyaan yang merupakan ungkapan kekesalan. Mendengar nada bicaraku yang mulai meninggi, Mas Fattan memutuskan untuk diam. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil teru