“Bagaimana ini menjadi hal yang biasa? Kalila seorang gadis yang belum menikah dan berhubungan badan dengan seorang pria. Ini adalah kesalahan dan aib, Kak.” Emosiku nyaris tidak bisa dibendung lagi.
“Kalila ini memang sudah berada di dalam pergaulan internasional. Hal seperti bukan lagi sesuatu yang bisa kami kendalikan.” Kak Zahra menambahkan.
Untuk berhubungan badan dengan seorang pria? Kami adalah keluarga keturunan Arab Indonesia. Abi dan Umi mengajarkan kami untuk memegang teguh norma agama dan adat ketimuran. Pergaulan bebas bukan hal yang wajar untuk terjadi di keluarga kami.
Entah sejak kapan keluarga kakakku rupanya sudah menganut tradisi Eropa. Kalila yang baru melewati usia dua puluh tahun itu, bahkan telah hidup bebas tanpa batas. Tapi, sudahlah jika mereka memang memiliki cara hidup sendiri. Itu sama sekali bukan urusanku.
Tubuhku ini rasanya terlalu lelah. Rasa nyeri akibat kecelakaan tadi siang masih juga kurasakan. Aku tidak punya energi lagi untuk melayani debat panjang dengan mereka. Melihatku terdiam, Mas Hisyam dan Kak Zahra saling beradu pandang.
“Sudahlah, sebaiknya kamu kembali ke rumah dulu. Nanti kita bicarakan lagi jika Fattan sudah ada waktu.” Kak Zahra mengusirku secara halus.
Kalila duduk bak seorang anak yang teraniaya di kursi paling sudut. Seharusnya pertemuan ini dihadiri juga oleh Mas Fattan. Namun, sejak kejadian di hotel Erina, dia sama sekali tidak bisa dihubungi.
Tanpa kata-kata aku berdiri. Sebelum keluar, sekilas kulihat Kalila. Senyum tipis menghias wajahnya. Gadis kecil yang pernah kubelai manja itu, sedang menunjukkan kemenangan. Dia merasa menang karena telah berhasil menaklukkan suamiku sekaligus mendapat perlindungan dari orang tuanya.
Aku kehabisan kata, kutinggalkan rumah kakakku dengan rasa sesak di dada. Entah apa maksud Kak Zahra dengan membicarakan semuanya nanti. Memangnya apa yang bisa diharapkan dari hubungan seperti ini?
Setelah taksi online yang kupesan datang, aku segera menuju ke rumah. Terbayang wajah Anaya yang pasti sudah menungguku. Kulirik jam di tanganku, sudah hampir pukul tujuh malam. Aku meminta supir taksi untuk berhenti di barisan drive true restoran cepat saji. Lalu kupesan sekotak besar ayam goreng kesukaan Anaya.
Sesampainya aku di rumah, ternyata Mas Fattan sedang bermain dengan Anaya di ruang depan. Seolah tidak ada masalah, Anaya menyambut kedatanganku.
“Bunda!”
Kaki kecil itu berlari dan meyambutku.
“Bunda ndak bawa setir mobil?”
Rupanya dia penasaran karena tidak mendengar suara mobilku tapi tiba-tiba aku muncul di depan pintu.
“Mobil Bunda sedang di bengkel. Rusak.”
Lalu kuangkat tubuh Anaya dan memeluknya dalam gedonganku. Dari balik punggung Anaya kulihat Mas Fattan menatap kami berdua. Tidak ada yang berubah dalam tatapan matanya. Tatapan mata yang lebih dari enam tahun sudah bersamaku.
Dia yang selalu kuhormati sebagai kepala rumah tangga, suami dan ayah bagi anakku. Mas Fattan yang sempurna, tampan, pebisnis hebat dan penuh kasih sayang. Apa yang kulihat tadi pagi di kamar hotel Erina rasanya seperti mimpi buruk. Aku ingin segera terbangun!
Sayangnya itu adalah kenyataan yang tidak bisa begitu saja kulupakan.
“Bunda bawa apa itu?” tanya Anaya.
“Ayam goreng Kf* kesukaan Anaya,” aku tersenyum dan kuturunkan Anaya dari gendonganku.
“Wow! Ayam goreng.”
“Anaya bawa ke belakang, makan dulu sama Mbak Pia, ya. Nanti bunda menyusul. Mau mandi dulu, bau!” ujarku lucu sambil menutup hidungku dan tersenyum renyah menggoda Anaya.
Gadis kecil itu mengangguk, hatinya tampak bahagia menenteng ayam goreng dalam kotak dan berlari ke bagian belakang rumah. Mbak Pia pasti ada di dapur.
Aku tidak menoleh lagi pada Mas Fattan. Kuteruskan langkah menuju ke lantai atas tempat kamar kami berada. Setelah meletakkan tas, dan membuka hijabku, aku melepaskan kasa dan plester yang menutup luka bekas infus di tanganku. Tidak perlu ada yang tahu tentang kecelakaan yang menimpaku hari ini.
Tiba-tiba Mas Fattan masuk, aku mengabaikannya begitu saja. Aku bersiap melangkah menuju ke kamar mandi. Mas Fattan meraih tanganku dan memelukku.
“Maafkan aku, Adina. Sungguh, Kalila yang menggodaku. Aku menyesal telah mengkhianatimu,” ujar Mas Fatan.
Biasanya aku sangat bahagia dengan pelukan dari suamiku. Suamiku telah menjadi candu bagiku. Tapi, adegan ranjang yang tadi pagi kulihat, telah membuat semua rasa itu pergi. Semua terasa hambar! Aku bahkan merasa mual dan ingin segera menyingkir darinya. Kulitku yang bersentuhan dengan kulitnya seketika terasa terbakar.
“Lepaskan aku. Aku jijik bersentuhan dengan pria yang telah disentuh oleh wanita lain.”
Mas Fattan yang biasanya lembut dan sabar menghadapi ngambek-ngambeknya aku, kali ini sangat berbeda.
“Adina! Tidak pantas kau berkata seperti itu! Bagaimana pun juga, aku adalah suamimu yang harus kau hormati!”
Dia mencengkeram kedua lenganku. Rasanya sakit! Memar akibat benturan kecelakaan tadi siang ditambah dengan tekanan tangan kekar Mas Fattan, membuat rasa nyeri itu semakin menjadi.
“Memang kau masih suamiku! Tapi, apakah kau masih layak dihormati? Pikirkan itu, Mas!”
Aku menghentakkan tangan dan melepaskan diriku dari Mas Fattan. Selama kami menikah, dia tidak pernah bersikap sekasar itu. Hatiku semakin teriris perih. Bukankah seharusnya aku yang marah? Tapi kenapa justru Mas Fattan yang bersikap beringas.
Aku meneruskan langkah menuju kamar mandi yang ada di sudut ruang tidur kami. Kamar mandi itu, adalah salah satu saksi bisu tempatku sesekali memadu cinta dengan suamiku. Dia adalah pria yang bisa memuaskan naluriku sebagai wanita. Aku tergila-gila pada Mas Fattan sejak malam pertama pernikahan kami.
Setelah berganti pakaian, aku meraih ponselku dan menuju pintu keluar kamar. Mas Fattan masih asik dengan gadgetnya dan merebahkan diri di sofa yang ada di kamar kami. Tampaknya, dia sama sekali tidak terlalu peduli dengan masalah yang terjadi hari ini.
“Besok Kak Zahra dan Bang Hisyam memintamu datang ke rumah mereka. Kita akan bicara bersama,” ujarku.
Tidak ada reaksi apa pun dari Mas Fattan. Aku mulai ragu apakah dia mendengar kata-kataku. Saat aku membuka handle pintu, Mas Fattan barulah menunjukkan reaksinya.
“Mau kemana?” kata-katanya terdengar kaku dan dingin.
Jauh berbeda dengan Mas Fattan yang biasa. Biasanya Mas Fattan pasti akan mengucapkan, ‘Mau kemana , Dek?’ dengan nada lembut dan halus. Entah bagaimana setelah enam tahun pernikahan kami, aku baru bisa melihat sifat aslinya sekarang. Mungkinkah kedekatan Mas Fattan dan Kalila telah mengubah segalanya? Atau aku yang sebenarnya buta.
“Aku mau tidur di kamar Anaya,” jawabku singkat.
Tidak menunggu jawaban, aku langsung keluar dan menutup pintu. Saat hampir mencapai kamar Anaya, ponsel di tanganku bergetar. Sebuah nomor asing tertera di layar.
“Halo,” aku memutuskan menerima panggilan, karena kulihat di layar jam belum menunjukkan pukul sepuluh malam.
“Assalamualaikum, Adina ya?” terdengar suara ceria seorang wanita di seberang sambungan.
“Waalaikumsalam, siapa ya?”
“Siapa hayo! Aduh, aku ternyata sudah dilupakan!” suara wanita itu terdengar merajuk.
Siapa itu....?
“Aduh… Maaf deh… Siapa donk….” “Aku Marisa!” “Marisa! Apa kabar? Lama sekali tidak bertemu!” “Iya, habis kamu sih bertapa melulu!” ujar Marisa. Aku tersenyum mendengar perkataan Marisa. Senyum sinis untuk meledek diriku sendiri. Semua teman-temanku tahu, bahwa sejak aku menikah, aku bagai ditelan bumi. Hanya sibuk mengurus anak dan suami. Jika sesekali keluar rumah atau berlibur, pasti bersama Mas Fattan dan Anaya. Tidak pernah terselip dalam agenda untuk bertemu dengan teman-temanku. Mas Fattan tidak suka jika aku terlalu banyak kegiatan di luar rumah. Sebagai istri aku tidak pernah membantah kata-kata suamiku. Walau aku adalah alumni S2 salah satu universitas terkemuka di Madinah, namun ketika aku menikah, semua itu aku tanggalkan begitu saja. Suara Marisa di telepon terdengar penuh semangat saat dia menyampaikan maksudnya menghubungiku. “Adina, aku ingin menawarkanmu sesuatu. Sekarang aku bekerja di sekolah International milik seorang warga negara Turki.” “Wah, keren betul!”
“Siapa yang harusnya malu, Mas? Sebagai istri yang telah dikhianati, apakah aku tidak berhak marah?” “Kalila itu hanya anak-anak, Adina. Dia mungkin melakukan kesalahan menurutmu. Tapi, menurut Kalila itu mungkin hal yang biasa.” Aku menoleh dan memandang wajah Mas Fattan. Bukan, bukan karena aku mencintainya. Aku hanya sedang berusaha menemukan ekspresi bercanda atau salah bicara. Keduanya sama sekali tidak kutemukan di wajah suamiku. “Anak-anak katamu? Perempuan yang sudah mengerti hubungan suami istri. Tahu caranya memancing dan memuaskan hasrat seorang pria, bukan anak-anak lagi. Dia adalah wanita dewasa. Mungkin Kalila sudah biasa tidur dengan berbagai pria karena pemikiran modern yang dia banggakan itu, tapi kenapa harus kamu Mas? Kenapa harus suamiku? Suami dari adik kandung ibunya sendiri?” rentetan pertanyaan yang merupakan ungkapan kekesalan. Mendengar nada bicaraku yang mulai meninggi, Mas Fattan memutuskan untuk diam. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil teru
“Adina, aku tahu ini tidak mudah. Tapi, anak di kandungan Kalila adalah anakku.” Dia menghentikan kata-katanya dan berjalan mendekati Kalila. Lalu gadis itu bergelayut manja di lengan suamiku. Di sini, di depan mataku. “Aku harus bertanggung jawab atas anak ini. Kau tentu tidak mau jika kehamilan Kalila menjadi aib bagi keluargamu,” sambungnya. “Apa maksudmu, Mas? Katakan dengan jelas.” Walau aku meminta kejelasan namun hatiku bergetar hebat. Aku tidak siap dengan jawaban yang akan Mas Fattan berikan. Senyum di wajah Kak Zahra dan Kalila, sama sekali tidak berkurang walau mereka melihat air mataku mulai berjatuhan. Bang Hasyim kembali duduk untuk menunggu jawaban tegas dari Mas Fattan. “Aku akan menikahi Kalila. Dia akan menjadi istri keduaku.” Seketika jiwaku hancur berserakan. Duniaku runtuh dan aku merasa tulang-tulang di tubuhku tidak mampu lagi menyangga berat badan. Kepalaku berkunang-kunang, aku merasa menjadi pecundang di tengah mereka semua. Tidak ada yang berpihak padaku
“Din, aku baru saja menghubungi pemilik sekolah International itu dan dia meminta sekilas datamu. Kuberikan saja fotomu, aku bilang surat lamaran dan CV akan menyusul kemudian. Lalu kuceritakan juga rencanamu untuk tinggal di rumahku, dia justru menawarkanmu untuk tinggal di rumahnya yang ada di dalam komplek sekolah.” “Di rumahnya? Maksudnya tinggal bersama pemilik sekolah itu?” “Bukan, pemilik sekolah itu tinggal di apartement. Dia memiliki sebuah rumah di dalam komplek sekolah. Rumah itu hanya sesekali dia singgahi jika sedang melakukan kunjungan. Semua perabotan sudah ada di sana. Jadi kau bisa menempati dengan nyaman’ Entah kenapa aku merasa pertolongan Allah begitu cepatnya datang. Seolah DIA mendukung keputusanku dengan memberikan kemudahan. Aku yang tadinya limbung setelah mendengar keputusan Mas Fattan, sekarang lebih kuat. Aku percaya Allah tidak akan membiarkan aku dan Anaya sengsara. “Adina! Kenapa kau diam saja? Mau nggak? Atau kau mau ke rumahku dulu? Besok baru kita
“Sejak Marissa memberikan fotomu padaku, aku sudah tahu apa yang terjadi,” ujar Aslan. “Maksudmu?” “Duduklah.” Aku memandang Aslan dengan kening berkerut. Tangan Marissa meraih pundakku dan memintaku untuk mengikuti Aslan masuk ke dalam rumah. Design rumah itu sangat eksklusif. Semua barang yang ada di sana di pilih dengan selera dan kualitas tinggi. Tirai-tirai panjang berwarna keemasan berpadu putih tinggi menjuntai sampai ke lantai. Sebagian besar dinding terbuat dari kaca. Bagian bawah rumah ini tampaknya memang diperuntukkan sebagai kantor kedua bagi Si Pemilik rumah. Sehingga hanya dengan duduk di sana, dia bisa memantau kegiatan di area universitas. “Adina, duduklah,” pinta Aslan. “Oh, iya.” Aku yang sedang berdiri termangu mengagumi keindahan rumah itu pun sedikit tergagap. Mata Aslan berpaling pada Mbak Pia yang sedang menggendong Anaya yang masih tertidur. “Di atas ada empat kamar tidur. Aku sudah meminta pelayan untuk membereskan. Salah satunya sudah disesuaikan untu
“Bagaimana kau bisa tahu? Bukankah kita baru bertemu dan kau bahkan tidak tahu siapa suamiku.” Aslan melihat tajam ke arahku. Di balik pandangannya dia berpikir aku wanita yang polos dan lugu. Aku bahkan tidak bisa menghubungkan peristiwa satu dan peristiwa lainnya. “Aku akan menjelaskan padamu, nanti. Fattan bukan orang baru bagiku,” ujar Aslan. “Maksudmu, kau sudah mengenal Mas Fattan sebelum kita bertemu?” aku semakin bingung dengan pernyataan Aslan. “Benar. Akan kujelaskan semua padamu, nanti. Aku harus pergi, kau bisa mulai merapikan barang-barangmu.” Dia berdiri dan memandang ke lantai atas. Marissa belum juga kembali setelah mengantar Anaya dan Mbak Pia ke kamar. “Jika kau sudah siap bekerja, katakan saja pada Marissa. Dia akan mengatur semua untukmu.” “Apa Marissa sudah mengatakan padamu bahwa aku tidak punya pengalaman kerja. Aku butuh waktu untuk beradaptasi.” “Aku tidak butuh penjelasan apa pun dari siapa pun. Jika kau perlu sesuatu, hubungi aku.” Bagiku, sikap Asla
“Kami bekerja dengan sistem tentang hal ini, Nyonya. Sejak El Khairi Company mulai bekerja sama dengan bank kami sebagai nasabah prioritas, sejak itu pula kami mengenal otoritas perusahaan ini adalah atas nama Tuan Fattan Hilabi.” Sebuah kabut hitam melintas di pikiranku. Tentu saja, aku sendiri yang telah setuju untuk memberikan Mas Fattan otoritas penuh menjalankan perusahaan ayahku. Setelah kami menikah, dan ayah meninggal aku telah menandatangani surat pengalihan kewenangan perusahaan. Itu artinya Mas Fattan bebas melakukan apa pun atas perusahaan dan urusan keuangannya tentu saja. “Ada yang bisa kami bantu lagi, Nyonya?” Suara customer service bank memecah lamunanku. “Oh, tidak. Terima kasih.” Tepat saat aku menutup sambungan telepon, bel pintu rumah berbunyi. Mbak Pia bergegas turun keluar dari kamar Anaya dan bersiap turun ke bawah. “Mau ke mana Mbak?” “Itu pasti pengantar makanan online, Bu.” “Kan ada pelayan lain di rumah ini.” “Oh, pelayan yang tadi itu hanya datang
“Kalila! Berani sekali kau mengangkat ponsel Mas Fattan.” “Lho, Tante lupa ya, aku sudah menjadi istri Mas Fattan. Mas Fattan dan ayah sudah mengucapkan ijab kabul sebelum aku pindah ke rumah Tante. Ups! Maksudku ke rumahku.” “Kau sudah tinggal di rumah itu?” “Iya, Tante. Kan Mas Fattan sudah kasih tahu sebelum Tante pergi dari rumahku. Sayang ya, tidak ada Tante di rumah ini.” Hatiku bergemuruh karena ucapan-ucapan Kalila yang seolah meledek. Gadis itu sungguh tahu bagaimana caranya menyakiti orang lain. Menikah dengan Fattan tampaknya menjadi kemenangan besar yang ingin dia pamerkan. Walau tanpa kata, dalam hatiku tetap terucap sumpah serapah agar Allah membalas kekejaman mereka. Aku pernah mencintai Kalila seperti putriku sendiri. Aku juga mengabdi pada Mas Fattan layaknya istri solehah. Balasan atas semua yang telah kulakukan sungguh tidak adil. “Tante, sebulan lagi kami akan menggelar pesta besar. Nanti Tante dan Anaya bisa datang kan ya? Agar semua orang bisa membandingkan