“Adina, aku tahu ini tidak mudah. Tapi, anak di kandungan Kalila adalah anakku.” Dia menghentikan kata-katanya dan berjalan mendekati Kalila. Lalu gadis itu bergelayut manja di lengan suamiku. Di sini, di depan mataku.
“Aku harus bertanggung jawab atas anak ini. Kau tentu tidak mau jika kehamilan Kalila menjadi aib bagi keluargamu,” sambungnya.
“Apa maksudmu, Mas? Katakan dengan jelas.” Walau aku meminta kejelasan namun hatiku bergetar hebat. Aku tidak siap dengan jawaban yang akan Mas Fattan berikan.
Senyum di wajah Kak Zahra dan Kalila, sama sekali tidak berkurang walau mereka melihat air mataku mulai berjatuhan. Bang Hasyim kembali duduk untuk menunggu jawaban tegas dari Mas Fattan.
“Aku akan menikahi Kalila. Dia akan menjadi istri keduaku.”
Seketika jiwaku hancur berserakan. Duniaku runtuh dan aku merasa tulang-tulang di tubuhku tidak mampu lagi menyangga berat badan. Kepalaku berkunang-kunang, aku merasa menjadi pecundang di tengah mereka semua. Tidak ada yang berpihak padaku. Di rumah ini, tidak ada yang berdiri untuk membelaku. Aku harus membela diriku sendiri.
“Tidak, Mas! Aku tidak sudi dimadu. Apalagi dia adalah keponakanku sendiri.”
“Adina! Apa kau lebih senang jika Kalila hamil tanpa suami?!” bentak kakakku.
Aku menguatkan diri dan berjalan perlahan mendekati Kakakku. Di sampingnya berdiri Kalila yang memeluk lengan Mas Fattan. Wajahnya penuh dengan ekspresi kemenangan.
“Bukankah kalian bilang, pergaulan bebas adalah hal yang biasa untuk Kalila. Seharusnya tidak masalah juga memiliki bayi tanpa seorang ayah, bukan?”
Wajah Kak Zahra memerah. Tampaknya dia cukup tertampar karena kata-katanya sendiri kini justru jadi bumerang. Melihat istrinya yang mulai kehabisan kata, Bang Hisyam pun tidak tinggal diam.
“Tapi, jika Fattan sendiri yang bersedia untuk bertanggung jawab, itu lebih baik. Lagi pula berbagi suami bukan masalah besar bagimu, bukan. Fattan akan tetap tinggal di rumah kalian dan melimpahimu dengan kemewahan seperti biasa.”
Aku membalikkan tubuh. Nyeri di dalam hatiku rasanya teramat dalam, membuat air mataku pun enggan turun. Sekarang yang ada di dalam diriku hanyalah amarah dan keinginan untuk mempertahankan diri.
“Aku tidak sudi berbagi suami. Kau boleh memilih, aku atau Kalila!” teriakku.
Senyum iblis muncul di wajah Kalila. Gadis mungil yang pernah menjadi kesayanganku. Sekarang aku bahkan tidak bia mengenalinya lagi. Dia telah menjadi musuh terbesarku.
“Tante, tentu saja Mas Fattan akan memilihku. Aku cantik, muda dan bisa membuat Mas Fattan bahagia.” Dengan percaya diri Kalila menghamburkan kata-kata.
Kugeser berdiriku. Kali ini aku berdiri tepat di depan Kalila dan Mas Fattan. Wajah penuh senyuman Kalila seperti meledekku atas kemenangan yang akan segera diraihnya. Dia begitu yakin bahwa Mas Fattan berada di pihaknya.
“Sebelum kau masuk di antara hubunganku dan Mas Fattan, kami bahagia. Kau mungkin lupa bahwa di rumah kami juga ada Anaya. Selama ini Mas Fattan adalah suami dan ayah yang baik. Sampai kau kemudian merusak semuanya.” Suaraku terdengar mirip dengan geraman. Ingin rasanya kutampar wajah cantik yang ada di hadapanku ini.
Aku melirik sekilas ke lengan Mas Fattan. Sambil bergelayut manja, Kalila menekan-nekankan Pay***ranya ke lengan suamiku. Menjijikkan, sejak kapan Kalila menjadi gadis yang tidak bermoral. Apakah pekerjaan sebagai pramugari dan memiliki banyak teman international telah mengubahnya?
Menyadari pandangan mataku, Kalila justru semakin merapat pada Mas Fattan. Dia tidak segan mengucapkan apa pun lagi demi menunjukkan kekalahanku.
“Memang ada Anaya, tapi buktinya Mas Fattan mudah saja jatuh ke pelukanku. Berarti ada yang salah dengan hubungan kalian, Tante.”
“Iblis kecil! Tahu apa kau tentang hubungan dan pernikahan?!” Aku mengangkat tangan dan bersiap menampar Kalila.
Mas Fattan dengan sigap memegang pergelangan tanganku. Matanya melotot menunjukkan kemarahan.
“Tidak, Adina. Mulai sekarang aku harus melindungi Kalila dan calon anak kami. Aku memberikan pilihan padamu. Jika kau mau, biarkan Kalila menjadi istri keduaku. Jika tidak, maka kau boleh memilih jalanmu sendiri.”
Mulutku ternganga. Kuturunkan tanganku dan menutup mulutku untuk menahan tangis yang akan meledak.
“Mas… ingat Anaya, Mas.”
“Anaya tetap anakku. Juga anak yang ada di dalam kandungan Kalila,” ujarnya sambil mengelus perut Kalila.
“Tidak, aku memilih untuk bercerai! Aku tidak sudi berbagi suami!”
“Pikirkan lagi, Adina. Kau tahu apa tentang bertahan hidup tanpa suami? Kamu mau Anaya hidup susah karena perceraian kalian. Selama ini kau kan hanya terima enak saja dari Fattan.” Kata-kata Kak Zahra terdengar seperti memandangku sebelah mata.
Aku muak berada di tempat ini. Segera kuraih tasku dan berjalan cepat untuk meninggalkan rumah Kak Zahra. Sebelum aku mencapai pintu, Mas Fattan mengatakan sesuatu yang melengkapi rasa sakitku.
“Nanti sore Kalila akan pulang ke rumahku. Dia sedang hamil dan perlu untuk selalu di dekatku.”
Aku memejamkan mata dan menahan rasa sakit teramat sangat di dadaku. Menguatkan kakiku dan terus melangkah keluar. Di dalam taksi yang kunaiki, air mata tidak berhenti mengalir. Walau pahit tapi, apa yang dikatakan Kak Zahra memang benar.
Bisa apa aku tanpa Mas Fattan. Meski aku punya perusahaan warisan dari orang tuaku, tapi itu tidak ada artinya. Aku sama sekali tidak mengerti cara mengelola sebuah perusahaan. Semua itu hanya akan hancur percuma di tanganku. Untuk bekerja di perusahaan lain, aku sangat ragu.
Selama ini aku hanya tahu menjadi ibu rumah tangga yang mengabdi pada suami. Selama semua kebutuhanku dan Anaya terpenuhi, aku tidak pernah mencari tahu atau mempertanyakan apa pun. Tapi, aku juga tidak mau berada satu atap dengan madu suamiku yang juga adalah keponakanku.
Tiba-tiba, aku teringat pada tawaran Marisa. Sesampainya di kamar, segera aku menghubungi sahabatku itu.
“Adina! Kau menghubungiku. Kau pasti mau menerima tawaranku, iya kan? Bagaimana? Sudah bicara dengan suamimu? Apakah dia setuju. Ayolah ini hanya mengajar di siang hari, saat suamimu juga sibuk dengan bisnisnya. Sebelum suamimu kembali, kau sudah duduk cantik di rumah.” Marisa mendesakku dengan berondongan pertanyaan.
Tidak ada waktu untuk menjelaskan semuanya pada Marissa. Kulirik jam di tangan menunjukkan pukul satu siang. Dalam beberapa jam lagi, Mas Fattan akan membawa Kalila masuk ke rumah ini. Aku tidak sudi lagi melihat wajah keduanya. Terutama, aku tidak ingin Anaya melihat pemandangan yang akan terekam dalam ingatannya.
Meski Kalila adalah keluargaku, aku tidak yakin jika mereka masih punya sedikit hati untuk menjaga perasaan Anaya. Cinta dan nafsu telah membuat mereka buta akan segalanya.
“Ya, aku memang menghubungimu untuk menerima tawaran itu. Tapi, sekarang aku butuh bantuanmu.”
“Katakan saja!” Marisa berteriak bahagia.
“Aku perlu tempat tinggal sementara untukku dan putriku. Sekarang juga.”
Yes! Bener banget Adina, tidak perlu bertahan dengan dia yang tidak bisa menghormatimu.
“Din, aku baru saja menghubungi pemilik sekolah International itu dan dia meminta sekilas datamu. Kuberikan saja fotomu, aku bilang surat lamaran dan CV akan menyusul kemudian. Lalu kuceritakan juga rencanamu untuk tinggal di rumahku, dia justru menawarkanmu untuk tinggal di rumahnya yang ada di dalam komplek sekolah.” “Di rumahnya? Maksudnya tinggal bersama pemilik sekolah itu?” “Bukan, pemilik sekolah itu tinggal di apartement. Dia memiliki sebuah rumah di dalam komplek sekolah. Rumah itu hanya sesekali dia singgahi jika sedang melakukan kunjungan. Semua perabotan sudah ada di sana. Jadi kau bisa menempati dengan nyaman’ Entah kenapa aku merasa pertolongan Allah begitu cepatnya datang. Seolah DIA mendukung keputusanku dengan memberikan kemudahan. Aku yang tadinya limbung setelah mendengar keputusan Mas Fattan, sekarang lebih kuat. Aku percaya Allah tidak akan membiarkan aku dan Anaya sengsara. “Adina! Kenapa kau diam saja? Mau nggak? Atau kau mau ke rumahku dulu? Besok baru kita
“Sejak Marissa memberikan fotomu padaku, aku sudah tahu apa yang terjadi,” ujar Aslan. “Maksudmu?” “Duduklah.” Aku memandang Aslan dengan kening berkerut. Tangan Marissa meraih pundakku dan memintaku untuk mengikuti Aslan masuk ke dalam rumah. Design rumah itu sangat eksklusif. Semua barang yang ada di sana di pilih dengan selera dan kualitas tinggi. Tirai-tirai panjang berwarna keemasan berpadu putih tinggi menjuntai sampai ke lantai. Sebagian besar dinding terbuat dari kaca. Bagian bawah rumah ini tampaknya memang diperuntukkan sebagai kantor kedua bagi Si Pemilik rumah. Sehingga hanya dengan duduk di sana, dia bisa memantau kegiatan di area universitas. “Adina, duduklah,” pinta Aslan. “Oh, iya.” Aku yang sedang berdiri termangu mengagumi keindahan rumah itu pun sedikit tergagap. Mata Aslan berpaling pada Mbak Pia yang sedang menggendong Anaya yang masih tertidur. “Di atas ada empat kamar tidur. Aku sudah meminta pelayan untuk membereskan. Salah satunya sudah disesuaikan untu
“Bagaimana kau bisa tahu? Bukankah kita baru bertemu dan kau bahkan tidak tahu siapa suamiku.” Aslan melihat tajam ke arahku. Di balik pandangannya dia berpikir aku wanita yang polos dan lugu. Aku bahkan tidak bisa menghubungkan peristiwa satu dan peristiwa lainnya. “Aku akan menjelaskan padamu, nanti. Fattan bukan orang baru bagiku,” ujar Aslan. “Maksudmu, kau sudah mengenal Mas Fattan sebelum kita bertemu?” aku semakin bingung dengan pernyataan Aslan. “Benar. Akan kujelaskan semua padamu, nanti. Aku harus pergi, kau bisa mulai merapikan barang-barangmu.” Dia berdiri dan memandang ke lantai atas. Marissa belum juga kembali setelah mengantar Anaya dan Mbak Pia ke kamar. “Jika kau sudah siap bekerja, katakan saja pada Marissa. Dia akan mengatur semua untukmu.” “Apa Marissa sudah mengatakan padamu bahwa aku tidak punya pengalaman kerja. Aku butuh waktu untuk beradaptasi.” “Aku tidak butuh penjelasan apa pun dari siapa pun. Jika kau perlu sesuatu, hubungi aku.” Bagiku, sikap Asla
“Kami bekerja dengan sistem tentang hal ini, Nyonya. Sejak El Khairi Company mulai bekerja sama dengan bank kami sebagai nasabah prioritas, sejak itu pula kami mengenal otoritas perusahaan ini adalah atas nama Tuan Fattan Hilabi.” Sebuah kabut hitam melintas di pikiranku. Tentu saja, aku sendiri yang telah setuju untuk memberikan Mas Fattan otoritas penuh menjalankan perusahaan ayahku. Setelah kami menikah, dan ayah meninggal aku telah menandatangani surat pengalihan kewenangan perusahaan. Itu artinya Mas Fattan bebas melakukan apa pun atas perusahaan dan urusan keuangannya tentu saja. “Ada yang bisa kami bantu lagi, Nyonya?” Suara customer service bank memecah lamunanku. “Oh, tidak. Terima kasih.” Tepat saat aku menutup sambungan telepon, bel pintu rumah berbunyi. Mbak Pia bergegas turun keluar dari kamar Anaya dan bersiap turun ke bawah. “Mau ke mana Mbak?” “Itu pasti pengantar makanan online, Bu.” “Kan ada pelayan lain di rumah ini.” “Oh, pelayan yang tadi itu hanya datang
“Kalila! Berani sekali kau mengangkat ponsel Mas Fattan.” “Lho, Tante lupa ya, aku sudah menjadi istri Mas Fattan. Mas Fattan dan ayah sudah mengucapkan ijab kabul sebelum aku pindah ke rumah Tante. Ups! Maksudku ke rumahku.” “Kau sudah tinggal di rumah itu?” “Iya, Tante. Kan Mas Fattan sudah kasih tahu sebelum Tante pergi dari rumahku. Sayang ya, tidak ada Tante di rumah ini.” Hatiku bergemuruh karena ucapan-ucapan Kalila yang seolah meledek. Gadis itu sungguh tahu bagaimana caranya menyakiti orang lain. Menikah dengan Fattan tampaknya menjadi kemenangan besar yang ingin dia pamerkan. Walau tanpa kata, dalam hatiku tetap terucap sumpah serapah agar Allah membalas kekejaman mereka. Aku pernah mencintai Kalila seperti putriku sendiri. Aku juga mengabdi pada Mas Fattan layaknya istri solehah. Balasan atas semua yang telah kulakukan sungguh tidak adil. “Tante, sebulan lagi kami akan menggelar pesta besar. Nanti Tante dan Anaya bisa datang kan ya? Agar semua orang bisa membandingkan
"Nah, Ibu Adina, silahkan memperkenalkan diri." Marissa tersenyum sambil melihat ke arahku. Rasanya aku ingin melarikan diri dari tatapan semua orang. Sebagai atasan mereka yang baru, tentu saja semua orang tersenyum padaku. Perlu beberapa detik untuk mengumpulkan kekuatan dan berbicara di depan belasan pasang mata. Bukan hanya karena kejutan yang Marissa berikan tapi juga karena ini adalah hal baru bagiku."Ayo, Bu Adina. Silahkan!"Sekali lagi Marissa mempersilahkan sambil mengedipkan sebelah mata untuk memberi kode agar aku melakukan apa yang dia katakan. Marissa tahu persis bahwa dia memberiku kejutan tentang jabatan yang akan kupegang di perusahaan ini.Tidak ingin mengecewakan Aslan dan Marissa yang telah memberiku kepercayaan, aku pun berusaha tenang dan berdiri. Aku pernah sekali menjabat sebagai ketus senat di kampus dulu. Kuingat masa itu untuk menumbuhkan percaya diriku."Selamat Pagi, saya Adina dan mulai hari ini saya akan menjabat sebagai manager di divisi ini. Semoga
"Suka gimana maksudmu?""Ya sejak awal aku tunjukkan foto kamu, dia kaya langsung tertarik gitu. Dia kan masih single, kamu cantik.""Memangnya Aslan tahu ya masalah rumah tanggaku?" "Lho bukannya kamu yang cerita sama Pak Aslan?" tanya Marissa.Aku menggeleng. Bagaimana pun aku masih berstatus sebagai istri Mas Fattan. Bagiku melindungi nama baiknya dan juga keluarga adalah kewajiban. Lagi pula untuk apa aku menceritakan tentang masalah rumah tanggaku pada Aslan Dia orang yang baru kukenal beberapa waktu lalu. Kami bahkan tidak pernah melakukan pembicaraan pribadi. Entah kenapa, aku merasa Aslan tahu tentang banyak hal. Semula kupikir Marissa yang memberinya informasi."Ya sudahlah, Adina. Sebaiknya kamu mulai fokus pada pekerjaanmu. Lupakan saja hal-hal kecil yang tidak penting."Marissa benar. Ini adalah hari pertamaku bekerja. Aku tidak ingin disibukkan dengan memikirkan masalah lain."Yuk aku tunjukkan ruangan kamu."Aku mengikuti langkah Marissa. Sepanjang jalan, sahabatku itu
“Aku bukan orang yang suka mencampuri urusan orang lain. Tapi, aku tidak bisa hanya diam ketika melihat seorang wanita direndahkan.” “Aku baik-baik saja. Bagaimana kau bisa mengambil kesimpulan seperti itu?” “Apa kau sedang coba menyelamatkan mereka yang sudah menghancurkanmu?” “Aku tidak mengerti maksudmu,” ujarku sembari berpura-pura sibuk mencari sesuatu di laci meja. Aku tidak ingin fokus pada Aslan. Semua itu hanya akan membuatku mengatakan banyak hal pada orang yang tidak seharusnya. Aku baru mengenal Aslan beberapa hari, tidak mungkin aku membicarakan keburukan suami dan keluargaku padanya. Bahkan pada Marissa sekali pun aku tidak menceritakan secara utuh. Ini adalah aib yang memalukan. “Saat aku melihat layar ponselmu ketika kita terlibat kecelakaan, aku melihat foto Fattan di sana.” “Dia memang suamiku,” “Tapi kau bukan istrinya,” Aku menghentikan kegiatanku yang tidak berguna. Entah apa yang aku cari di laci meja yang baru ketempati beberapa jam lalu. Aslan tentu tahu