"Suka gimana maksudmu?""Ya sejak awal aku tunjukkan foto kamu, dia kaya langsung tertarik gitu. Dia kan masih single, kamu cantik.""Memangnya Aslan tahu ya masalah rumah tanggaku?" "Lho bukannya kamu yang cerita sama Pak Aslan?" tanya Marissa.Aku menggeleng. Bagaimana pun aku masih berstatus sebagai istri Mas Fattan. Bagiku melindungi nama baiknya dan juga keluarga adalah kewajiban. Lagi pula untuk apa aku menceritakan tentang masalah rumah tanggaku pada Aslan Dia orang yang baru kukenal beberapa waktu lalu. Kami bahkan tidak pernah melakukan pembicaraan pribadi. Entah kenapa, aku merasa Aslan tahu tentang banyak hal. Semula kupikir Marissa yang memberinya informasi."Ya sudahlah, Adina. Sebaiknya kamu mulai fokus pada pekerjaanmu. Lupakan saja hal-hal kecil yang tidak penting."Marissa benar. Ini adalah hari pertamaku bekerja. Aku tidak ingin disibukkan dengan memikirkan masalah lain."Yuk aku tunjukkan ruangan kamu."Aku mengikuti langkah Marissa. Sepanjang jalan, sahabatku itu
“Aku bukan orang yang suka mencampuri urusan orang lain. Tapi, aku tidak bisa hanya diam ketika melihat seorang wanita direndahkan.” “Aku baik-baik saja. Bagaimana kau bisa mengambil kesimpulan seperti itu?” “Apa kau sedang coba menyelamatkan mereka yang sudah menghancurkanmu?” “Aku tidak mengerti maksudmu,” ujarku sembari berpura-pura sibuk mencari sesuatu di laci meja. Aku tidak ingin fokus pada Aslan. Semua itu hanya akan membuatku mengatakan banyak hal pada orang yang tidak seharusnya. Aku baru mengenal Aslan beberapa hari, tidak mungkin aku membicarakan keburukan suami dan keluargaku padanya. Bahkan pada Marissa sekali pun aku tidak menceritakan secara utuh. Ini adalah aib yang memalukan. “Saat aku melihat layar ponselmu ketika kita terlibat kecelakaan, aku melihat foto Fattan di sana.” “Dia memang suamiku,” “Tapi kau bukan istrinya,” Aku menghentikan kegiatanku yang tidak berguna. Entah apa yang aku cari di laci meja yang baru ketempati beberapa jam lalu. Aslan tentu tahu
“Apa kau sedang mengancamku, Mas?” tiba-tiba aku berani mengeluarkan suara dengan nada tinggi. “Kau yang memaksaku begitu!” Mas Fattan menyahut dengan nada yang tidak kalah tinggi. “Jadi aku harus bagaimana? Mengikuti keinginanmu? Membuat aku dan Kalila tinggal di satu rumah yang sama? Begitu?” “Sebagai Tante dari Kalila, seharusnya kau bisa bersikap lebih dewasa, Adina.” “Dengan menerima Kalila sebagai maduku?” “Kalila sedang hamil.” “Dia hamil karena apa? Karena perbuatan bejat kalian di belakangku. Lalu setelah itu, aku juga yang harus ikut bertanggung jawab? Begitu maksudmu? Di mana pikiran warasmu, Mas?” “Adina! Berani sekali kau berkata seperti itu padaku! Ingat, bagaimana pun kau masih istriku.” “Oh ya, kau benar. Tenang saja, akan aku tanggalkan gelar itu segera. Dengan senang hati gelar itu akan kuberikan pada keponakanku itu.” Aku kagum pda keberanianku sendiri. Bagaimana bisa aku bersuara lantang dan membela diriku di depan Mas Fattan. Selama menjadi istrinya, janga
‘Jangan terlalu malam. Kau tidak boleh menginap di rumahku.’ Aku membalas pesan Mas Fattan. ‘Apa-apaan ini, Adina. Ingat, kau masih istriku.’ ‘Tidak, sejak aku memutuskan keluar dari rumah suamiku, maka aku bukan istri siapa-siapa lagi.’ Tidak ada balasan setelahnya. Aku menganggap Mas Fattan setuju dengan aturanku. Meski berat, tapi aku perlu mulai membuat batasan tegas dengan Mas Fattan. Mereka harus melihat bahwa aku bukan lagi Adina yang bisa diremehkan dan diperlakukan seperti sebuah mainan. Lalu, aku mulai memanggil satu per satu staff yang menjadi bawahanku. Mereka memperkenalkan diri dan menjelaskan pekerjaan. Aku sedikit banyak mulai mengerti alur kerja dan lingkup pekerjaan yang harus kujalankan. Ini tidak terlalu sulit, karena pada dasarnya aku sudah mengetahui negara-negara yang akan menjadi destinasi tujuan keberangkatan para mahasiswa itu. Saat aku masih menempuh pendidikan di Madinah, kami juga melakukan perjalanan ke wilayah Timur Tengah. Negara-negara maju seperti
“Om Aslan akan selalu menjaga Bunda Anaya,” ujar Aslan sambil mengusap kepala gadis kecilku. Jawaban Aslan membuat Anaya tersenyum lebar. Entah apa yang ada di pikirannya. Di usianya yang ke lima, dia tentu belum mengerti apa arti hubungan pria dan wanita. Selama ini hidup kami bersama Mas Fattan baik-baik saja, tanpa konflik yang berarti. Tentu saja, Anaya bahkan tidak mengerti bahwa antara ibu dan ayahnya ada masalah yang sangat serius. Aku mengendarai mobil dan kembali ke kantor. Aslan duduk tenang di sebelahku sambil mengutak atik ponselnya. Sebaiknya aku mulai bicara dengan Aslan sebelum kami tiba di kantor. Walau Aslan berniat baik, tapi perasaan tidak nyaman ini tetap harus kusampaikan. “Maaf, Aslan. Saat ini aku belum menjadi wanita bebas. Tentu tidak baik jika kau sering berkunjung ke rumahku. Ehm, maksudnya rumahmu yang aku tempati. Bisa menimbulkan fitnah dan prasangka orang lain.” “Aku mengerti. Aku hanya ingin memastikan Anaya baik-baik saja dan bisa beradaptasi dengan
“Sekarang atau nanti, aku tetap harus bertemu dengannya.” “Kau masih mencintai Fattan?” tanya Marissa. Aku memilih diam untuk tidak mengakui sesuat yang kuanggap sebagai kebodohan. Walau aku sudah tahu semua yang terjadi, tetap saja aku masih berharap semua akan kembali baik-baik saja. Perasaan dan hatiku masih terombang ambing di orang yang sama. “Doakan saja aku akan tetap pada pendirianku. Demi diri dan hidupku,” ucapku sambil tersenyum sebelum turun dari mobil Risa. Setelah mandi, makan malam, aku menemani Anaya di meja belajar. Gadis kecilku itu sedang sibuk mewarnai sebuah gambar yang ingin dia tunjukkan jika nanti ayahnya datang. Aku mengerti kerinduan Anaya pada Mas Fattan pasti sangat dalam. Selama ini hubungan mereka begitu dekat. Kadangkala aku bahkan merasa bahwa Mas Fattan tidak bisa hidup tanpa Anaya. Itulah sebabnya, aku dan Anaya tidak pernah meninggalkan rumah tanpa Mas Fattan. Kenyatataan bahwa Mas Fattan bisa membiarkan aku dan Anaya keluar dari rumah demi memb
“Dia masih suamiku. Aku tidak ingin kau mempermalukannya.” “Adina, kau tidak tahu betapa suamimu telah mempermalukanmu tanpa kau tahu.” Hatiku mengatakan bahwa Aslan menyampaikan hal yang benar. Entah kenapa aku masih saja belum bisa menerima kenyataan. Rasanya, semua ini seperti mimpi. Aku serasa sedang pergi untuk bertempur dengan suamiku sendiri. Pria yang telah enam tahun menjadi imam dan cinta dalam hidupku. Mobil yang Aslan kendarai berhenti di dalam lahan parkir sebuah gedung perkantoran. Di sana terlihat tulisan ‘VIP&VVIP Parking’ itu artinya hanya orang-orang tertentu saja yang boleh memarkirkan kendaraan di sana. Bagian parkir ini pun terlihat bersih, lantainya berkilauan. Mobil-mobil mewah berbaris rapi. Saat keluar dari mobil, udaranya terasa sejuk. Bukan seperti lahan parkir basement mall yang biasa aku kunjungi. Di sana biasanya terasa panas dan pengap. “Ayo,” ajak Aslan memecah kekagumanku. “Aku sedikit gugup.” Aslan melihat padaku. Dia memindai penampilanku dari
“Kalila?” Sebuah kejutan aku bertemu dengan Kalila di tempat ini. Aku sudah tahu kemungkinan bahwa mas Fattan akan datang. Tidak kusangka Kalila akan ada di tempat yang sama. Dari kejauhan kulihat Aslan memandangiku. Dia pasti ingin melihat apa yang akan kulakukan setelah bertemu dengan Kalila. Apa yang sudah dia katakan padaku ternyata benar. Mas Fattan telah mempublikasikan Kalila sebagai pasangan. Bahkan saat kami masih tinggal bersama. Di belakangku, Kalila tenyata telah menggantikan posisi yang seharusnya aku tempati. Kulihat wajah Kalila segera pulih dari ekspresi terkejut. Dia pasti sama sekali tidak menyangka aku akan ada di tempat ini. Dia memandangku sinis dari atas ke bawah. Penampilanku dan Kalila memang seperti langit dan bumi. Gadis yang masih belia dengan tubuh sintal menggoda itu menggunakan baju warna marun berbelahan dada rendah. Dipadu padan dengan sepatu hak tinggi warna senada. Perhiasan berlian menghias di leher dan telinganya. Penampilan yang terlalu tua untu