Gimana pertemuan mereka nanti malam, ya?
‘Jangan terlalu malam. Kau tidak boleh menginap di rumahku.’ Aku membalas pesan Mas Fattan. ‘Apa-apaan ini, Adina. Ingat, kau masih istriku.’ ‘Tidak, sejak aku memutuskan keluar dari rumah suamiku, maka aku bukan istri siapa-siapa lagi.’ Tidak ada balasan setelahnya. Aku menganggap Mas Fattan setuju dengan aturanku. Meski berat, tapi aku perlu mulai membuat batasan tegas dengan Mas Fattan. Mereka harus melihat bahwa aku bukan lagi Adina yang bisa diremehkan dan diperlakukan seperti sebuah mainan. Lalu, aku mulai memanggil satu per satu staff yang menjadi bawahanku. Mereka memperkenalkan diri dan menjelaskan pekerjaan. Aku sedikit banyak mulai mengerti alur kerja dan lingkup pekerjaan yang harus kujalankan. Ini tidak terlalu sulit, karena pada dasarnya aku sudah mengetahui negara-negara yang akan menjadi destinasi tujuan keberangkatan para mahasiswa itu. Saat aku masih menempuh pendidikan di Madinah, kami juga melakukan perjalanan ke wilayah Timur Tengah. Negara-negara maju seperti
“Om Aslan akan selalu menjaga Bunda Anaya,” ujar Aslan sambil mengusap kepala gadis kecilku. Jawaban Aslan membuat Anaya tersenyum lebar. Entah apa yang ada di pikirannya. Di usianya yang ke lima, dia tentu belum mengerti apa arti hubungan pria dan wanita. Selama ini hidup kami bersama Mas Fattan baik-baik saja, tanpa konflik yang berarti. Tentu saja, Anaya bahkan tidak mengerti bahwa antara ibu dan ayahnya ada masalah yang sangat serius. Aku mengendarai mobil dan kembali ke kantor. Aslan duduk tenang di sebelahku sambil mengutak atik ponselnya. Sebaiknya aku mulai bicara dengan Aslan sebelum kami tiba di kantor. Walau Aslan berniat baik, tapi perasaan tidak nyaman ini tetap harus kusampaikan. “Maaf, Aslan. Saat ini aku belum menjadi wanita bebas. Tentu tidak baik jika kau sering berkunjung ke rumahku. Ehm, maksudnya rumahmu yang aku tempati. Bisa menimbulkan fitnah dan prasangka orang lain.” “Aku mengerti. Aku hanya ingin memastikan Anaya baik-baik saja dan bisa beradaptasi dengan
“Sekarang atau nanti, aku tetap harus bertemu dengannya.” “Kau masih mencintai Fattan?” tanya Marissa. Aku memilih diam untuk tidak mengakui sesuat yang kuanggap sebagai kebodohan. Walau aku sudah tahu semua yang terjadi, tetap saja aku masih berharap semua akan kembali baik-baik saja. Perasaan dan hatiku masih terombang ambing di orang yang sama. “Doakan saja aku akan tetap pada pendirianku. Demi diri dan hidupku,” ucapku sambil tersenyum sebelum turun dari mobil Risa. Setelah mandi, makan malam, aku menemani Anaya di meja belajar. Gadis kecilku itu sedang sibuk mewarnai sebuah gambar yang ingin dia tunjukkan jika nanti ayahnya datang. Aku mengerti kerinduan Anaya pada Mas Fattan pasti sangat dalam. Selama ini hubungan mereka begitu dekat. Kadangkala aku bahkan merasa bahwa Mas Fattan tidak bisa hidup tanpa Anaya. Itulah sebabnya, aku dan Anaya tidak pernah meninggalkan rumah tanpa Mas Fattan. Kenyatataan bahwa Mas Fattan bisa membiarkan aku dan Anaya keluar dari rumah demi memb
“Dia masih suamiku. Aku tidak ingin kau mempermalukannya.” “Adina, kau tidak tahu betapa suamimu telah mempermalukanmu tanpa kau tahu.” Hatiku mengatakan bahwa Aslan menyampaikan hal yang benar. Entah kenapa aku masih saja belum bisa menerima kenyataan. Rasanya, semua ini seperti mimpi. Aku serasa sedang pergi untuk bertempur dengan suamiku sendiri. Pria yang telah enam tahun menjadi imam dan cinta dalam hidupku. Mobil yang Aslan kendarai berhenti di dalam lahan parkir sebuah gedung perkantoran. Di sana terlihat tulisan ‘VIP&VVIP Parking’ itu artinya hanya orang-orang tertentu saja yang boleh memarkirkan kendaraan di sana. Bagian parkir ini pun terlihat bersih, lantainya berkilauan. Mobil-mobil mewah berbaris rapi. Saat keluar dari mobil, udaranya terasa sejuk. Bukan seperti lahan parkir basement mall yang biasa aku kunjungi. Di sana biasanya terasa panas dan pengap. “Ayo,” ajak Aslan memecah kekagumanku. “Aku sedikit gugup.” Aslan melihat padaku. Dia memindai penampilanku dari
“Kalila?” Sebuah kejutan aku bertemu dengan Kalila di tempat ini. Aku sudah tahu kemungkinan bahwa mas Fattan akan datang. Tidak kusangka Kalila akan ada di tempat yang sama. Dari kejauhan kulihat Aslan memandangiku. Dia pasti ingin melihat apa yang akan kulakukan setelah bertemu dengan Kalila. Apa yang sudah dia katakan padaku ternyata benar. Mas Fattan telah mempublikasikan Kalila sebagai pasangan. Bahkan saat kami masih tinggal bersama. Di belakangku, Kalila tenyata telah menggantikan posisi yang seharusnya aku tempati. Kulihat wajah Kalila segera pulih dari ekspresi terkejut. Dia pasti sama sekali tidak menyangka aku akan ada di tempat ini. Dia memandangku sinis dari atas ke bawah. Penampilanku dan Kalila memang seperti langit dan bumi. Gadis yang masih belia dengan tubuh sintal menggoda itu menggunakan baju warna marun berbelahan dada rendah. Dipadu padan dengan sepatu hak tinggi warna senada. Perhiasan berlian menghias di leher dan telinganya. Penampilan yang terlalu tua untu
“Tuan Aslan?” “Apa kabar, Fattan. Sudah lama sejak terakhir kali kita bertemu, bukan?” “Ah, iya. Betul, Tuan. Kalau tidak salah beberapa bulan lalu di acara yang sama.” Aslan tersenyum dan menggeser berdirinya di sampingku. Dia berdiri tepat di belakang bahuku. Aroma wangi parfumnya bisa tercium olehku dengan jelas. Seperti sebuah keajaiban, hanya dengan berdiri di dekatku, Aslan seolah telah memberiku kekuatan. Dengan tatapan ringan, mata Aslan sudah cukup membuat Fattan menciut. Aslan adalah salah satu klien penting di perusahaan Fattan. Delapan puluh persen pekerjaan El Khairi berasal dari Abdurahman Company Group. Tentu saja dia tidak ingin memiliki masalah dengan Fattan yang dapat mengganggu hubungan bisnis mereka. “Saya mendengar keributan dan pengusiran pada Adina. Apa yang terjadi?” tanya Aslan tenang. “Wanita ini masuk ke dalam pertemuan penting kita. Saya pikir dia masuk tanpa izin. Ternyata Tuan Aslan yang mengajaknya?” “Benar, Adina datang bersama saya. Apa kau keber
“Mantan istrimu itu yang jadi masalah! Rencana kita harus berhasil!” Kalila berkata cukup keras. Mungkin dia sengaja agar aku mendengarnya. “Diamlah, Kalila. Ini bukan tempat yang tepat untuk melampiaskan emosimu.” Suara perdebatan Kalila dan Fattan masih kudengar saat aku mulai berjalan menjauh untuk mengikuti langkah Aslan. Sejak kejadian itu, Aslan tidak pernah menjauh dariku. Dia selalu berdiri di sebelahku. Aslan menjagaku dan memperkenalkan aku pada banyak orang. Dia sama sekali tidak pernah menyebutkan bahwa aku adalah karyawannya. Dia memperkenalkan aku pada kolega dan relasinya sebagai partner bisnis. Aku merasa sangat terhormat dan berkelas dengan cara Aslan membawaku sepanjang acara. Percaya diriku pun perlahan terbangun dengan sempurna. Aku tidak ragu lagi untuk menyapa orang-orang dalam acara itu. Dari kejauhan aku lihat sudut mata Fattan selalu mengikuti langkahku. Dia memandangku dengan tatapan heran, emosi dan benci. Fattan tentu tidak menyangka bahwa aku bisa hadir
“Bagus! Kau harus memaafkan tapi tidak melupakan.” “Aku tidak sedang membalas dendam,” jawabku. “Memaafkan adalah untuk menyelesaikan luka dalam dirimu. Tidak melupakan akan membuatmu ingat siapa yang harus kau tinggalkan.” Aslan tersenyum padaku. Senyum yang cukup untuk bisa menguatkan hatiku untuk tetap melaju. Setiap kata-katanya terdengar bijak. “Kau hanya mengambil apa yang menjadi milikmu. Perusahaan itu sejak awal memang milikmu. Ayahmu telah melakukan banyak hal untuk membangun perusahaan itu.” Aku mengangguk tipis. Memang yang kulakukan adalah sebuah kesalahan. Aku telah memberikan perusahaan sebesar El Khairi Company pada orang lain. Sekali pun itu adalah suamiku sendiri. Pemikiran yang sangat sederhana, bahwa pernikahan adalah tentang cinta, setia, bahagia dan selamanya. Apa yang menjadi milik suamiku akan menjadi milikku dan apa yang menjadi milikku akan menjadi milik suamiku. Nyatanya apa yang pernah kubentuk di dalam kepala sebagai pola kehidupan berumah tangga, sem
“Betul, Adina. Maaf karena aku terlambat memberitahumu tentang hal ini. Atau bahkan sebenarnya aku tidak perlu memberitahumu.” Manaf tertunduk lesu. Berita kematian Vivian seperti tenggelam di telan oleh kabar yang Manaf berikan. Semua ini terjadi secara tiba-tiba. Aku bahkan tidak mengerti bagaimana seharunya berekspresi dengan semua ini. Jika aku adalah anak angkat El Khairi, maka artinya aku dan Tara sama sekali bukan saudara. Tidak ada darah yang sama diantara kami. Keesokan harinya, Maaf meninggalkan Indonesia dan kembali ke Turki. Tara tinggal di mansion yang sama denganku. Hubungan kami menjadi sangat canggung dan aneh, terutama ketika kami hanya berdua saja. Di depan Anaya, Rayyan dan Jafar semua terlihat normal. Namun saat itu hanya tentang aku dan Tara, maka kami menjadi dua orang asing yang sedang belajar saling mengenal. “Nyonya, malam ini akan ada pesta di Deluxe Building. Tuan Tara meminta anda bersiap untuk ikut bersamanya.” Harry menyampaikan pesan Tara saat aku seda
“Adina, maafkan aku. Aku sudah melakukan yang terbaik, tapi ini semua di luar kendaliku.” Kata-kata Tara semakin membuatku khawatir. Aku yakin ada hal buruk yang terjadi. “Tara, katakan dengan jelas. Jangan menganggapku terlalu lemah untuk mendengar apa pun. Aku lebih kuat dari yang kau bayangkan. Aku ingin tahu semuanya. Katakan!” Aku tidak bisa lagi menahan amarah karena Tara terlalu lama diam dan berusaha menahan tiap detik untuk berbicara “Vivian tewas tertembak.” Sebuah bom meledak di kepalaku. Ponsel di tanganku meluncur ke bawah dan mendarat di atas lantai batu taman. Tentu saja panggilan telepon dari Tara terputus. Aku membeku tanpa ekspresi. Berita ini terlalu sulit untuk diterima dan diidentifikasikan dengan kata. Dari kejauhan Harry berlari dan mendekatiku. Setelah sambungan telepon kami terputus, Tara pasti langsung menghubungi Harry. Karena itulah Harry datang untuk memastikan keadaanku baik-baik saja. Harry tertegun elihat ponselku yang hancur di atas tanah. Dia berl
“Ke tempat dimana seharusnya anda berada, Nyonya.” Harry menyahut dari kursi penumpang depan tanpa menoleh ke arahku. Aku yang duduk bersama Anaya di kursi belakang memilih diam. Anaya tertidur nyenyak dengan kepala di pangkuanku sejak kami mulai meninggalkan cluster. Aku tidak pernah meragukan Tara atau Harry. Bahkan dengan menutup mata dan tanpa memberikan detail, aku akan mengikuti mereka dengan rasa percaya. Sebuah tempat yang Harry katakan itu akhirnya adalah sebuah mansion yang berada di perbatasan Jakarta-Bogor. Sesuatu yang tidak pernah aku bayangkan bahkan dengan sebuah imajinasi tentang Adina El Khairi. Pintu gerbang mansion itu berada sekitar dua kilometer dari bangunan utama. Gerbang emas tinggi dengan penjagaan beberapa security berbadan tegap. Saat tiba di depan pintu gerbang, para penjaga mansion berlarian dan bergegas membuka pintu. Mobil yang kami naiki dan empat mobil lain di belakang kami masuk dengan lancar. Jalanan menuju ke bangunan utama adalah sebuah taman de
“Ya kita berangkat.” Aku mengangguk. Harry mengangkat tangan dan memberikan instruksi pada beberapa orang pria yang berbaju hitam di luar gerbang. Mereka masuk ke dalam rumahku dan mulai berbicara dengan para pelayan dan pengasuh. Ibu-ibu tetangga yang melihat pemandangan itu mendadak diam. Mereka tentu saja bingung karena ini adalah hal berbeda dari yang biasa mereka saksikan. Sebaliknya, Meylani justru mencibir. “Oh! Jadi memang kamu sudah berniat tidak tinggal lama ya di cluster ini. Pantas saja kamu tidak peduli dengan ketentraman cluster ini,” ujar Meylani sinis. “Iya! Bener tuh! Baguslah dia pergi. Jadi cluster kita kembali aman dan damai!” “Dia memang tidak pantas tinggal di sini.” “Itu pasti orang-orang suruhan suaminya. Dia mungkin istri kedua atau simpanan seorang pejabat.” Suara-suara terdengar di sekitar telingaku. Para wanita itu bergumam dengn opini mereka sendiri. Satu hal yang pasti, tidak ada opini baik yang kudengar di sana. Aku hanya diam dan membiarkan semuan
“Kita akan menuju ke tempat seharusnya kita berada. Tempat ini bukan tempat seharusnya kita tinggal.” Aku menggeser berdiriku dan melihat keluar jendela. Tatapanu menyapa sekitar di mana sebelumnya kami berharap banyak pada kehidupan. Mbak Pia diam. Dia bingung dengan apa yang aku katakan. Pembantuku itu selalu percaya pad keputusan apa pun yang aku buat. Dia tidak bertanya lebih banyak. Setelah mengangguk tanda mengerti, dia beranjak ke dapur. Beberapa saat kemudian, rumah kami sedikit riuh karena pengasuh Jafar dan Rayyan mulai mengemas barang-barang pribadi dua bayi itu. Belum lagi sesekali tangisan muncul dri keduanya. Aku bahkan perlu sedikit beradaptasi mendengar suara-suara yang tidak biasa aku dengar. Sejak Anaya beranjak dewasa, di rumah kami segalanya menjadi tenang. Nyaris tidak pernah terjadi keributan dan tangisan seperti yang terjadi saat ini. Aku menenangkan diri di dalam kamr setelah Anaya pulang dari sekolah dan menyelesaikan makan siangnya. Sebuah ketukan memaksa
“Banyak hal yang berjalan dan tidak bisa kita ubah.” Aku menegaskan pada Andre. Sejujurnya ini terasa seperti sedang membunuh harapan dalam diriku sendiri. Semua ini jauh lebih baik daripada terus tenggelam dalam mimpi. Harapan tentang hubungan mereka bagiku nyaris seperti hamparan pasir yang tidak ingin digenggamnya. Semakin erat aku merapatkan tangan, akan semakin banyak yang harus rela untuk kulepaskan. “Din, kita sudah jauh berjalan. Masa depan yang pernah aku bayangkan adalah bersamamu.” Andre menggenggam tanganku. Aku tersenyum dan menarik tanganku dari genggaman Andre. “Terima kasih sudah begitu percaya pada hubungan kita, Ndre. Keputusan ini aku ambil bukan murni karenamu. Ini juga tentang diriku sendiri.” “Apa maksudmu dengan tentang dirimu sendiri? Apakah kau memang tidak ingin bersamaku sejak awal? Lalu kenapa kita berdua harus membuang waktu jika kau memang tidak serius dengan semua ini sejak awal?” Andre memaksa agar arah angin berpihak padanya. Aku menggeleng ringan.
“Apakah aku perlu memberikan alasan untuk bertemu denganmu?” tanyaku. Andre tertawa kecil di seberang sambungan. “Tentu saja tidak. Aku hanya terkejut kau ingin bertemu denganku setelah keributan kemarin. Aku pikir kau akan kesal atau marah padaku. Kau bahkan tidak mempersilahkan aku masuk. Kau juga tidak menghubungiku.” Aku diam. Marah dengan Andre? Tentu saja aku marah. Aku bahkan tidak ingin lagi berada di dalam kondisi di mana aku tidak punya kekuatan untuk mengendalikannya. Dua jam kemudian aku sudah duduk di sebuah café dan Andre ada di depanku. Aku lebih tenang meninggalkan rumah karena dua keponakan Mbak Pia sudah datang untuk membantunya mengasuh Jafar dan Rayyan. Seorang security sengaja ditempatkan di rumahku oleh Harry. Pria yang memakai baju security itu sebenarnya adalah salah satu bodyguard Tara dibawah kepemimpinan Harry. Kadang aku merasa takjub dengan hal-hal kecil yang seolah sudah disiapkan oleh Tara. Harry tidak mungkin mengambil keputusan tanpa perintah dari T
“Tuan Tara memberikan alamat ini padaku. Tolong buka pintunya, Tuan Muda Rayyan perlu istirahat segera.” Aku yakin itu adalah orang suruhan Harry yang membawa Rayyan. Ternyata Tara berhasil mengeluarkan Rayyan dari Singapura. Aku bergegas membuka pintu. Saat pintu terbuka seukuran tubuh, aku mundur ke belakang dengan cepat karena pria itu menerobos masuk. Seorang bayi laki-laki tertidur pulas di pelukannya. Pria dengan rambut coklat gelap dan tubuh tegap itu berdiri dengan wajah tegang. Beberapa kali dia menoleh ke belakang seolah sedang cemas jika sesuatu mengikutinya. Aku keluar dari pintu gerbang, menoleh ke kanan dan ke kiri. Entah apa yang aku cari. Aku hanya memastikan semuanya aman. “Kau tidak membawa mobil?” tanyaku ketika masuk kembali ke dalam gerbang. Pria itu menggeleng. Lalu dia melihat ke arah pintu gerbang yang terbuka. “Tolong cepat tutup pintunya,” ujar pria itu. Aku mengangguk dan segera menutup pintu gerbang. Tidak lupa aku kembali memasang gembok pengaman. Wa
“Kembali padamu? Apa kau serius dengan kata-katamu?” tanyaku menyelidik. Segumpal harapan seolah berhasil Fattan dapatkan. Dia terdengar antusias ketika menjawab pertanyaanku. “Tentu saja, aku serius. Aku sangat serius. Aku memang bukan pria yang baik untukmu, tapi aku akan berusaha memperbaiki semuanya.” Jantungku ingin meledak karena tawa yang tertahan di dalam sana. Hari ini benar-benar luar biasa. Begitu banyak kejutan dan kecemasan yang datang bersamaan. Bersama dengan senyum, butiran air mata berjatuhan di pipiku. “Kau bodoh, Fattan!” Aku mengucapkan dengan nada ketus yang pasti menusuk telinga siapa pun yang mendengarnya. “Kau pikir aku selugu dulu ketika masih menjadi istrimu?” “Apa maksudmu, Din? Buka pintunya. Biarkan aku masuk dan mari kita bicara.” Fattan memohon. “Tidak! Jika kau bilang kau bukanlah pria baik, lalu untuk apa aku harus memberikan lagi hidup, waktu dan hatiku untuk pria yang tidak baik? Lalu kau berjanji untuk memperbaiki diri. Kalau kau tidak berhasil