Yes! Sang Pembela sejati, akhirnya turun tangan.
“Tuan Aslan?” “Apa kabar, Fattan. Sudah lama sejak terakhir kali kita bertemu, bukan?” “Ah, iya. Betul, Tuan. Kalau tidak salah beberapa bulan lalu di acara yang sama.” Aslan tersenyum dan menggeser berdirinya di sampingku. Dia berdiri tepat di belakang bahuku. Aroma wangi parfumnya bisa tercium olehku dengan jelas. Seperti sebuah keajaiban, hanya dengan berdiri di dekatku, Aslan seolah telah memberiku kekuatan. Dengan tatapan ringan, mata Aslan sudah cukup membuat Fattan menciut. Aslan adalah salah satu klien penting di perusahaan Fattan. Delapan puluh persen pekerjaan El Khairi berasal dari Abdurahman Company Group. Tentu saja dia tidak ingin memiliki masalah dengan Fattan yang dapat mengganggu hubungan bisnis mereka. “Saya mendengar keributan dan pengusiran pada Adina. Apa yang terjadi?” tanya Aslan tenang. “Wanita ini masuk ke dalam pertemuan penting kita. Saya pikir dia masuk tanpa izin. Ternyata Tuan Aslan yang mengajaknya?” “Benar, Adina datang bersama saya. Apa kau keber
“Mantan istrimu itu yang jadi masalah! Rencana kita harus berhasil!” Kalila berkata cukup keras. Mungkin dia sengaja agar aku mendengarnya. “Diamlah, Kalila. Ini bukan tempat yang tepat untuk melampiaskan emosimu.” Suara perdebatan Kalila dan Fattan masih kudengar saat aku mulai berjalan menjauh untuk mengikuti langkah Aslan. Sejak kejadian itu, Aslan tidak pernah menjauh dariku. Dia selalu berdiri di sebelahku. Aslan menjagaku dan memperkenalkan aku pada banyak orang. Dia sama sekali tidak pernah menyebutkan bahwa aku adalah karyawannya. Dia memperkenalkan aku pada kolega dan relasinya sebagai partner bisnis. Aku merasa sangat terhormat dan berkelas dengan cara Aslan membawaku sepanjang acara. Percaya diriku pun perlahan terbangun dengan sempurna. Aku tidak ragu lagi untuk menyapa orang-orang dalam acara itu. Dari kejauhan aku lihat sudut mata Fattan selalu mengikuti langkahku. Dia memandangku dengan tatapan heran, emosi dan benci. Fattan tentu tidak menyangka bahwa aku bisa hadir
“Bagus! Kau harus memaafkan tapi tidak melupakan.” “Aku tidak sedang membalas dendam,” jawabku. “Memaafkan adalah untuk menyelesaikan luka dalam dirimu. Tidak melupakan akan membuatmu ingat siapa yang harus kau tinggalkan.” Aslan tersenyum padaku. Senyum yang cukup untuk bisa menguatkan hatiku untuk tetap melaju. Setiap kata-katanya terdengar bijak. “Kau hanya mengambil apa yang menjadi milikmu. Perusahaan itu sejak awal memang milikmu. Ayahmu telah melakukan banyak hal untuk membangun perusahaan itu.” Aku mengangguk tipis. Memang yang kulakukan adalah sebuah kesalahan. Aku telah memberikan perusahaan sebesar El Khairi Company pada orang lain. Sekali pun itu adalah suamiku sendiri. Pemikiran yang sangat sederhana, bahwa pernikahan adalah tentang cinta, setia, bahagia dan selamanya. Apa yang menjadi milik suamiku akan menjadi milikku dan apa yang menjadi milikku akan menjadi milik suamiku. Nyatanya apa yang pernah kubentuk di dalam kepala sebagai pola kehidupan berumah tangga, sem
“Aku tidak bermaksud menyeretmu dalam drama rumah tanggaku,” ujarku di antara isak tangis. “Aku tahu. Aku yang ingin masuk dan membantumu. Apa yang pernah terjadi di masa lalu, tidak akan kubiarkan terjadi di masa depan.” Nada suara Aslan terdengar berat dan dalam. Aku bahkan bisa merasakan dadanya bergemuruh karena menahan amarah. Ada sesuatu yang Aslan pendam dan tahan dalam dirinya. Tidak ingin berlarut dan terbawa suasana, aku segera mengangkat wajahku dari dada Aslan. “Maaf,” ujarku lirih sambil membenahi jilbabku yang berantakan. “Jadilah wanita yang lebih kuat. Demi dirimu dan Anaya. Dalam bada yang sedang berkecamuk ini, kau akan menjadi role model untuk Anaya.” Kata-kata Aslan terdengar kuat. Dia memberikan energi sekaligus menyampaikan perasaannya yang terdalam. Kuberanikan diri melihat kedua matanya. Mata itu menatapku lurus. Entah kenapa, aku melihat luka di mata Aslan. Ada kepedihan yang sulit untuk diobati. Hubungan pertemanan kami yang baru sebentar membuatku tidak
“Dalam tiga bulan ke depan kau akan tetap di kantorku. Aku akan mengirimkan semua data perusahaan El Khairi yang perlu kau pelajari. Sampai kau siap untuk megambil alih perusahaan milikmu itu.” “Kau punya data El Khairi Company? Bukankah kalian hanya sekedar mitra bisnis?” “Memang. Tapi, aku bisa mendapatkan yang kuinginkan. Data-data seperti ini akan selalu bsia didapat selama masih ada orang yang tertarik dengan uang.” “Maksudmu kau membayar seseorang di dalam El Khairi Company untuk mengkhianati perusahaannya sendiri?” “Lebih tepatnya adalah sebuah barter tanda jasa. Orang itu tidak berniat buruk pada perusahaanmu. Dia tahu bahwa aku menggunakan semua data ini untuk membantumu.” “Tetap saja, kau akhirnya tahu semua rahasia perusahaanku,” ujarku bersikukuh. Cara Aslan mendapatkan semua data ini mengusikku. Membayangkan seseorang menjadi pengkhianat di dalam perusahaan ayahku, telah membuatku tidak nyaman. “Apakah kita akan memperdebatkan ini? Atau kau bisa mulai mempelajari se
“Kenapa semua aliran uang ini tidak ada keterangan lengkap. Di catat sebagai keperluan pribadi.” Sejak Abi meninggal, perusahaan El Khairi memang tidak dibagi dua. Perusahaan itu diberikan padaku secara utuh oleh Abi. Kak Zahra berhak atas pembagian keuntungan tapi tidak berhak atas management dan kepemilikan Kami berdua tidak pernah mempermasalahkan dan memperdebatkan keputusan Abi. Aku dan Kak Zahra tahu bahwa Abi selalu adil dan bijak dalam memperlakukan kami. Saat itu, suami Kak Zahra sudah sangat berhasil dengan bisnisnya. Sementara Fattan memiliki bisnis yang baru saja berkembang dan masih membutuhkan banyak bantuan modal. Mungkin inilah yang menjadi pertimbangan Abi memberikan El Khairi Company padaku. Di tangan Fattan El Khairi berkembang pesat dan luar biasa. Perusahaan pengelola tour dan sektor pariwisata dengan keuntungan milyaran rupiah setiap bulannya. Perusahaan yang akan segera kuambil alih sebagai mana mestinya. Kejanggalan laporan keuangan, membuatku berpikir keras
“Bukankah Fattan sendiri yang sejak awal meminta saya menjadi istri yang selalu berada di rumah?” “Ya, paling nggak kamu bisa donk meringankan beban suamimu. Jangan hanya tahunya belanja dan menikmati uang. Kamu harus tahu juga bagaimana membuat suamimu bisa berpikir tenang dalam menjalankan bisnisnya.” Perkataan ibu mertuaku itu benar-benar membuatku meradang. Fattan pasti tidak menceritakan masalah sebenarnya. Komitmentku untuk menjadi istri sesuai keinginan Fattan, justru sekarang menjadi menjadi senjata utama untuk memukulku. “Apakah Mamah tahu bahwa Fattan menceraikan aku bukan hanya karena aku tidak bisa membantunya mengelola perusahaan? Fattan mungkin tidak akan pernah mengatakan pada Mamah bahwa dia mengkhianatiku dengan keponakanku sendiri karena tidak mampu mengendalikan nafsu dalam dirinya.” Salama terlihat terkejut karena aku bisa mengatakan hal itu dengan jujur. Namun dia tetap berusaha membela diri. “Ya, apalagi kalau masalahnya itu. Bagaimana seorang wanita bisa mel
“Adina! Ini sudah keterlaluan. Berani sekali kau mengungkit kehidupan masa laluku!” teriak Salama. “Kenapa, Nyonya? Bukankah semua orang memiliki pengalaman hidup? Justru dengan pengalaman pahit itu, ita belajar untuk mengubah hidup orang lain. Kita bisa mencegah mereka untuk tenggelam ke lubang yang sama. Atau Nyonya berbeda? Anda ingin orang lain justru merasakan penderitaan yang ibu rasakan?” Salama terlihat terengah-engah menahan emosi dalam dirinya. Selama ini aku tidak peduli dengan latar belakang keluarga Fattan. Beberapa kali Fattan pernah menceritakan padaku bahwa saat dia kecil dulu, ayahnya pernah menduakan ibunya. Pernikahan kedua yang telah mengubah ibunya. Sejak saat itu Fattan kehilangan sosok ibu penyayang dan lembut. Ibunya lebih banyak di luar rumah untuk bersenang-senang dengan teman-teman sosialitanya. Dia bisa merasakan luka ibunya lebih dari apa pun. Saat di rumah, dia akan melihat ibunya lebih banyak menangis atau bertengkar dengan ayahnya. Kebodohan yang sam