Ibu Mertuanya... semoga ya...
“Dalam tiga bulan ke depan kau akan tetap di kantorku. Aku akan mengirimkan semua data perusahaan El Khairi yang perlu kau pelajari. Sampai kau siap untuk megambil alih perusahaan milikmu itu.” “Kau punya data El Khairi Company? Bukankah kalian hanya sekedar mitra bisnis?” “Memang. Tapi, aku bisa mendapatkan yang kuinginkan. Data-data seperti ini akan selalu bsia didapat selama masih ada orang yang tertarik dengan uang.” “Maksudmu kau membayar seseorang di dalam El Khairi Company untuk mengkhianati perusahaannya sendiri?” “Lebih tepatnya adalah sebuah barter tanda jasa. Orang itu tidak berniat buruk pada perusahaanmu. Dia tahu bahwa aku menggunakan semua data ini untuk membantumu.” “Tetap saja, kau akhirnya tahu semua rahasia perusahaanku,” ujarku bersikukuh. Cara Aslan mendapatkan semua data ini mengusikku. Membayangkan seseorang menjadi pengkhianat di dalam perusahaan ayahku, telah membuatku tidak nyaman. “Apakah kita akan memperdebatkan ini? Atau kau bisa mulai mempelajari se
“Kenapa semua aliran uang ini tidak ada keterangan lengkap. Di catat sebagai keperluan pribadi.” Sejak Abi meninggal, perusahaan El Khairi memang tidak dibagi dua. Perusahaan itu diberikan padaku secara utuh oleh Abi. Kak Zahra berhak atas pembagian keuntungan tapi tidak berhak atas management dan kepemilikan Kami berdua tidak pernah mempermasalahkan dan memperdebatkan keputusan Abi. Aku dan Kak Zahra tahu bahwa Abi selalu adil dan bijak dalam memperlakukan kami. Saat itu, suami Kak Zahra sudah sangat berhasil dengan bisnisnya. Sementara Fattan memiliki bisnis yang baru saja berkembang dan masih membutuhkan banyak bantuan modal. Mungkin inilah yang menjadi pertimbangan Abi memberikan El Khairi Company padaku. Di tangan Fattan El Khairi berkembang pesat dan luar biasa. Perusahaan pengelola tour dan sektor pariwisata dengan keuntungan milyaran rupiah setiap bulannya. Perusahaan yang akan segera kuambil alih sebagai mana mestinya. Kejanggalan laporan keuangan, membuatku berpikir keras
“Bukankah Fattan sendiri yang sejak awal meminta saya menjadi istri yang selalu berada di rumah?” “Ya, paling nggak kamu bisa donk meringankan beban suamimu. Jangan hanya tahunya belanja dan menikmati uang. Kamu harus tahu juga bagaimana membuat suamimu bisa berpikir tenang dalam menjalankan bisnisnya.” Perkataan ibu mertuaku itu benar-benar membuatku meradang. Fattan pasti tidak menceritakan masalah sebenarnya. Komitmentku untuk menjadi istri sesuai keinginan Fattan, justru sekarang menjadi menjadi senjata utama untuk memukulku. “Apakah Mamah tahu bahwa Fattan menceraikan aku bukan hanya karena aku tidak bisa membantunya mengelola perusahaan? Fattan mungkin tidak akan pernah mengatakan pada Mamah bahwa dia mengkhianatiku dengan keponakanku sendiri karena tidak mampu mengendalikan nafsu dalam dirinya.” Salama terlihat terkejut karena aku bisa mengatakan hal itu dengan jujur. Namun dia tetap berusaha membela diri. “Ya, apalagi kalau masalahnya itu. Bagaimana seorang wanita bisa mel
“Adina! Ini sudah keterlaluan. Berani sekali kau mengungkit kehidupan masa laluku!” teriak Salama. “Kenapa, Nyonya? Bukankah semua orang memiliki pengalaman hidup? Justru dengan pengalaman pahit itu, ita belajar untuk mengubah hidup orang lain. Kita bisa mencegah mereka untuk tenggelam ke lubang yang sama. Atau Nyonya berbeda? Anda ingin orang lain justru merasakan penderitaan yang ibu rasakan?” Salama terlihat terengah-engah menahan emosi dalam dirinya. Selama ini aku tidak peduli dengan latar belakang keluarga Fattan. Beberapa kali Fattan pernah menceritakan padaku bahwa saat dia kecil dulu, ayahnya pernah menduakan ibunya. Pernikahan kedua yang telah mengubah ibunya. Sejak saat itu Fattan kehilangan sosok ibu penyayang dan lembut. Ibunya lebih banyak di luar rumah untuk bersenang-senang dengan teman-teman sosialitanya. Dia bisa merasakan luka ibunya lebih dari apa pun. Saat di rumah, dia akan melihat ibunya lebih banyak menangis atau bertengkar dengan ayahnya. Kebodohan yang sam
“Fattan?” desisku. Sayup aku mendengar suara Mbak Pia. “Silahkan masuk, Tuan,” ujar Mbak Pia. Aku yang sedang menyelesaikan secangkir kopi di ruang kerja, segera berdiri dan keluar. Baru saja pintu kubuka, mataku langsung menangkap sosok tampan yang pernah menjadi segalanya bagiku enam tahun terakhir. Rambut ikal, mata lebar dengan bulu mata lentik dan hidung macung, perpaduan keindahan yang pernah kupuja dengan cara luar biasa. Seorang pria yang pernah menjadi canduk bagi hidupku. Ini adalah pertemuan pertama kami setelah aku keluar dari rumah karena semua tragedi yang terjadi. Hatiku berdegub kencang. Dia adalah pria yang sampai sekarang masih berstatus sebagai suamiku. Perasaan ini muncul bukan lagi karena cinta. Tapi, karena kekhawatiran dan rasa benci yang berlebihan. Fattan yang sedang berdiri dengan kedua tangan masuk ke dalam kantung celana, menoleh ke arahku. Senyum sinis muncul di wajahnya, bahkan sebelum dia mulai bicara. “Hebat Adina, kau sangat luar biasa. Tidak hera
“Kau sedang mengancamku?” Aku melangkah perlahan mendekati Fattan. Aku terlihat berani di depan Fattan. Jika sudah berkaitan dengan Anaya, semua rasa takut akan segera kusingkirkan. Fattan boleh saja mengusik dan merusak pernikahan kami tapi tidak dengan hati dan jiwa Anaya. “Aku tidak mengancam. Akan kuwujudkan jika kau benar-benar mengajukan gugatan cerai itu.” “Lihat Fattan, betapa egosinya dirimu. Kau membawa Kalila ke rumahmu, kau menikahinya tapi kau sama tidak mau melepaskan aku.” “Demi Anaya, aku melakukan semua demi Anaya. Jangan kau pikir aku melakukan ini karena masih menginginkanmu. Kalila sudah memberiku semua yang tidak kudapatkan darimu.” Fattan berkata dengan geraham terkatup di depan wajahku. Betapa teganya Fattan menyiram lukaku dengan air garam. Begitu bangga dia dengan hubungannya dan Kalila. Inilah Fatta degan sifat aslinya. Aku yakin bahwa selama ini Fattan tidak pernah mencintaiku. Semua yang dia lakukan selama pernikahan kami hanya palsu. Sekarang dia dan
“Hak atas El Khairi Company? Apa maksud, Kakak?” “Jangan berlagak bodoh, Adina. Perusahaan itu adalah peninggalan Abi. Sebagai anaknya tentu saja aku juga berhak atas perusahaan itu.” “Kak, Abi sudah memberikan perusahaan itu padaku lima tahun lalu. Kenapa baru sekarang semua ini kau permasalahkan?” “Jangan banyak bicara Adina. Datanglah ke rumah dan aku akan memberitahumu semuanya!’ Kak Zahra begitu saja mematikan sambungan telepon. Aku tercengang sambil menatap layar ponselku. “Telepon dari siapa? Kamu keliatan shock banget,” tanya Marissa. “Kak Zahra.” “Oh, kakakmu. Ibunya Kalila ya?” “Kenapa Kak Zahra tiba-tiba ingin bertemu denganku dan membicarakan tentang perusahaan? Ini aneh.” “Aneh gimana?” tanya Marissa. “Selama ini Kak Zahra tidak pernah peduli dengan El Khairi Company. Bahkan ketika dia tau bahwa namanya tidak tercantum dalam surat warisan Abi, Kak Zahra tetap diam dan tidak peduli.” “Kau tidak akan tahu jika kau tidak datang menemuinya. Lagi pula, di rumah itu t
“Bukankah aku sudah katakan padamu, bahwa gugatan cerai yang kau layangkan hanya akan menambah panjang daftar masalah di antara kita.” Dua sosok yang telah menghancurkan hidupku beberapa bulan terakhir, muncul di depan pintu. Aku menoleh dan menatap tajam pada mereka. Beberapa bulan lalu, melihat pemandangan seperti ini pasti akan membuat mataku berlinangan air. Sekarang, aku tidak merasakan apa pun ketika Kalila bergelayut manja di lengan Fattan. Dia memang sengaja melakukan itu untuk memancing emosiku. Kalila selalu merasa bersaing denganku. Saatini dia sedang menunjukkan kemenangannya. Kemenangan yang bagiku tidak ada artinya lagi. Fattan hanyalah seonggok sampah yang layak dibuang. Bahkan, aku akan bersedia membuang Kak Zahra dan keluarganya dari hidupku jika mereka hanya akan menjadi duri yang menyakitkan. “Apa kau pikir caramu mengintimidasiku akan berhasil?” jawabku dengan nada tenang. “Aku tidak sedang mengintimiasimu. Ini hanya sebuah cara agar kau sadar bahwa tindakanmu