Hah?!
“Adina! Ini sudah keterlaluan. Berani sekali kau mengungkit kehidupan masa laluku!” teriak Salama. “Kenapa, Nyonya? Bukankah semua orang memiliki pengalaman hidup? Justru dengan pengalaman pahit itu, ita belajar untuk mengubah hidup orang lain. Kita bisa mencegah mereka untuk tenggelam ke lubang yang sama. Atau Nyonya berbeda? Anda ingin orang lain justru merasakan penderitaan yang ibu rasakan?” Salama terlihat terengah-engah menahan emosi dalam dirinya. Selama ini aku tidak peduli dengan latar belakang keluarga Fattan. Beberapa kali Fattan pernah menceritakan padaku bahwa saat dia kecil dulu, ayahnya pernah menduakan ibunya. Pernikahan kedua yang telah mengubah ibunya. Sejak saat itu Fattan kehilangan sosok ibu penyayang dan lembut. Ibunya lebih banyak di luar rumah untuk bersenang-senang dengan teman-teman sosialitanya. Dia bisa merasakan luka ibunya lebih dari apa pun. Saat di rumah, dia akan melihat ibunya lebih banyak menangis atau bertengkar dengan ayahnya. Kebodohan yang sam
“Fattan?” desisku. Sayup aku mendengar suara Mbak Pia. “Silahkan masuk, Tuan,” ujar Mbak Pia. Aku yang sedang menyelesaikan secangkir kopi di ruang kerja, segera berdiri dan keluar. Baru saja pintu kubuka, mataku langsung menangkap sosok tampan yang pernah menjadi segalanya bagiku enam tahun terakhir. Rambut ikal, mata lebar dengan bulu mata lentik dan hidung macung, perpaduan keindahan yang pernah kupuja dengan cara luar biasa. Seorang pria yang pernah menjadi canduk bagi hidupku. Ini adalah pertemuan pertama kami setelah aku keluar dari rumah karena semua tragedi yang terjadi. Hatiku berdegub kencang. Dia adalah pria yang sampai sekarang masih berstatus sebagai suamiku. Perasaan ini muncul bukan lagi karena cinta. Tapi, karena kekhawatiran dan rasa benci yang berlebihan. Fattan yang sedang berdiri dengan kedua tangan masuk ke dalam kantung celana, menoleh ke arahku. Senyum sinis muncul di wajahnya, bahkan sebelum dia mulai bicara. “Hebat Adina, kau sangat luar biasa. Tidak hera
“Kau sedang mengancamku?” Aku melangkah perlahan mendekati Fattan. Aku terlihat berani di depan Fattan. Jika sudah berkaitan dengan Anaya, semua rasa takut akan segera kusingkirkan. Fattan boleh saja mengusik dan merusak pernikahan kami tapi tidak dengan hati dan jiwa Anaya. “Aku tidak mengancam. Akan kuwujudkan jika kau benar-benar mengajukan gugatan cerai itu.” “Lihat Fattan, betapa egosinya dirimu. Kau membawa Kalila ke rumahmu, kau menikahinya tapi kau sama tidak mau melepaskan aku.” “Demi Anaya, aku melakukan semua demi Anaya. Jangan kau pikir aku melakukan ini karena masih menginginkanmu. Kalila sudah memberiku semua yang tidak kudapatkan darimu.” Fattan berkata dengan geraham terkatup di depan wajahku. Betapa teganya Fattan menyiram lukaku dengan air garam. Begitu bangga dia dengan hubungannya dan Kalila. Inilah Fatta degan sifat aslinya. Aku yakin bahwa selama ini Fattan tidak pernah mencintaiku. Semua yang dia lakukan selama pernikahan kami hanya palsu. Sekarang dia dan
“Hak atas El Khairi Company? Apa maksud, Kakak?” “Jangan berlagak bodoh, Adina. Perusahaan itu adalah peninggalan Abi. Sebagai anaknya tentu saja aku juga berhak atas perusahaan itu.” “Kak, Abi sudah memberikan perusahaan itu padaku lima tahun lalu. Kenapa baru sekarang semua ini kau permasalahkan?” “Jangan banyak bicara Adina. Datanglah ke rumah dan aku akan memberitahumu semuanya!’ Kak Zahra begitu saja mematikan sambungan telepon. Aku tercengang sambil menatap layar ponselku. “Telepon dari siapa? Kamu keliatan shock banget,” tanya Marissa. “Kak Zahra.” “Oh, kakakmu. Ibunya Kalila ya?” “Kenapa Kak Zahra tiba-tiba ingin bertemu denganku dan membicarakan tentang perusahaan? Ini aneh.” “Aneh gimana?” tanya Marissa. “Selama ini Kak Zahra tidak pernah peduli dengan El Khairi Company. Bahkan ketika dia tau bahwa namanya tidak tercantum dalam surat warisan Abi, Kak Zahra tetap diam dan tidak peduli.” “Kau tidak akan tahu jika kau tidak datang menemuinya. Lagi pula, di rumah itu t
“Bukankah aku sudah katakan padamu, bahwa gugatan cerai yang kau layangkan hanya akan menambah panjang daftar masalah di antara kita.” Dua sosok yang telah menghancurkan hidupku beberapa bulan terakhir, muncul di depan pintu. Aku menoleh dan menatap tajam pada mereka. Beberapa bulan lalu, melihat pemandangan seperti ini pasti akan membuat mataku berlinangan air. Sekarang, aku tidak merasakan apa pun ketika Kalila bergelayut manja di lengan Fattan. Dia memang sengaja melakukan itu untuk memancing emosiku. Kalila selalu merasa bersaing denganku. Saatini dia sedang menunjukkan kemenangannya. Kemenangan yang bagiku tidak ada artinya lagi. Fattan hanyalah seonggok sampah yang layak dibuang. Bahkan, aku akan bersedia membuang Kak Zahra dan keluarganya dari hidupku jika mereka hanya akan menjadi duri yang menyakitkan. “Apa kau pikir caramu mengintimidasiku akan berhasil?” jawabku dengan nada tenang. “Aku tidak sedang mengintimiasimu. Ini hanya sebuah cara agar kau sadar bahwa tindakanmu
“Kenapa kau ada di sini malam-malam begini?” tanyaku pada Aslan setelah aku sampai di depan rumah. Alih-alih menjawab pertanyaanku, Aslan justru melihat ke arah dalam rumah. “Anaya sudah tidur?” “Ya, dia selalu tidur sebelum jam sembilan.” “Apakah Anaya bahagia berada di rumah ini?” Wajah Aslan terlihat dipenuhi dengan beban. Matanya begitu dalam dan gelap menembuskan pandangan ke dalam rumah yang berdinding kaca di hadapannya. Lampu dalamrumah sudah kami. Aku juga sedang bersiap untuk tidur ketika telepon dari Aslan masuk ke ponselku. “Anaya baik-baik saja. Dia bisa beradaptasi dengan mudah,” jawabku. “Ayo, akui ingin mengajakmu ke sebuah tempat.” “Sekarang? Di malam selarut ini?” “Kau tidak khawatir aku menculikmu, kan?” Aku tertawa kecil. Tentu saja aku tidak takut Aslan menculikku. Walau kami tidak banyak berinteraksi, tapi aku percaya pria itu tidak pernah punya niat buruk padaku. Selama ini Aslan juga tidak terlihat genit atau berusaha menggoda walau dia adalah orang ya
“Keinginanmu atasku? Maksudmu kau ingin menikah denganku?”“Kau adalah motivasiku untuk berhasil dan membangun sebuah bisnis. Kau tujuanku, agar aku diterima oleh pemilik El Khairi Company sebagai menantu. Ayahmu tidak akan menerimaku jika aku hanya pria biasa.”Dua butir air mata jatuh di pipiku. Selama ini tidak pernah ada orang yang memujaku sebanyak Aslan. Aslan selalu berada di sekitarku tanpa kutahu. Aku tidak tahu apa pun tentang pria sebelum menikah dengan Fattan. Dia adalah pria pertamaku.Bahkan jika Aslan menunjukkan wajah saat itu di depanku, aku mungkin tidak akan tertarik. Pemikiran konvensional yang dibuat oleh Abi dan Umi sangat kental dalam diriku. Bagiku, hidupku hanyalah bagaimana taat dan patuh pada orang tua. Lalu mengabdikan diri pada suami.Ternyata skenario Sang Pencipta tidak seindah harapan dan doa Abi Umi.“Kenapa kau tidak pernah mencoba? Apakah kekayaan ayahku membuatmu takut sebelum menemuinya?”Aslan memejamkan mata, menarik nafas sebelum dia mulai bicar
“Selamat datang, di Istanbul. Kami menyambut anda, Nyonya Adina.” Seorang gadis muda degan baju warna hitam dan hijab warna cream tersenyum dan mengulurkan tangan padaku. Aku menjabat tangannya dengan senyuman ramah. Ini adalah hari pertama aku tiba di Istanbul untuk memimpin rombongan mahasiswa yang akan melakukan pertukaran pelajar. Setelah banyak pertimbangan, akhirnya aku setuju untuk pergi. Marissa benar, aku perlu berlibur dan memiliki waktu untuk diriku sendiri. Setelah aku kembali ke Indonesia nanti, ‘perang besar’ telah menanti. Tugas mengantar mahasiswa ini kujadikan ajang untuk menyegarkan diri. Sementara Anaya dan Mbak Pia berada di bawah pengawasan orang tua Marissa. Mereka menyambut Anaya dengan gembira. Dalam hitungan menit, Anaya bahkan telah akrab dengan keluarga Marissa. Perjalanan ini bisa kulakukan dengan tenang. Istanbul, lebih dari tujuh tahun lalu ketika aku terakhir kali mengunjunginya. Sejak menikah dengan Fattan, aku tidak pernah berlibur sendiri atau bersa