Ganteng...
“Aku Adina,” “Aku Rasyid,” jawabnya tanpa kuminta. Sebenarnya aku tidak tertarik untuk berkenalan dengan pria ini. Tapi, menolak mentah-mentah dia yang sudah memberikan bantuan tentu bukanlah sesuatu yang sopan. Aku tersenyum tipis. Entah kenapa kami harus berkenalan dalam situasi seperti ini. Setibanya di klinik, seorang dokter segera melayani kami dan mengobati lukaku. Rasyid duduk di sudut ruangan dan memperhatikan dokter melakukan beberapa tindakan. “Lukanya tidak besar tapi cukup dalam. Saya memberikan tiga jahitan untuk menutup lukanya agar segera sembuh. Dua tiga hari ke depan sebaiknya jangan terlalu banyak bergerak agar tidak bengkak.” Pernyataan dokter membuatku jadi gelisah. Aku sedang di negara orang untuk melakukan pekerjaan, bagaimana mungkin tidak bergerak. Satu minggu di Turki, banyak agenda yang harus kuselesaikan. Rasyid rupanya membaca kegelisahanku dari pandangan mata hazelnya. Dia berdiri mendekati ranjang tempatku berbaring. Setelah memeriksa luka di kakiku
“Fattan? Apa yang sedang kau katakan?” “Aku pikir kau mengajukan gugatan cerai karena membenciku dan Kalila. Karena kau tidak ingin dimadu. Ternyata kau mengajukan gugatan cerai hanya untuk mendapatkan kebebasanmu sendiri. Kau bahkan meninggalkan Anaya bersama orang asing dan bukan pada keluargaku! Wanita jalang!” “Fattan! Tutup mulutmu! Sampai kapan kau akan terus berusaha melukaiku?” “Kau memang jalang! Kau keluar negeri untuk menjual diri? Karena kau tidak becus dalam bekerja dan menghasilkan uang? Jadi kau mencari jalan mudah. Begitu?!” “Kau menjijikkan, Fattan! Apakah hanya sex yang ada di kepalamu. Sehingga kau berpikir semua orang sama.” “Jangan munafik Adina. Kita semua tahu Aslan adalah pria Turki. Kau di sana bersenang-senang dengannya dan menterlantarkan Anaya. Ibu macam apa kau ini?! Aku akan tetap mengambil Anaya!” Aku menutup sambungan telepon. Hatiku bergejolak tidak karuan. Semua tuduhan Fattan kembali mengingatkan aku betapa bodohnya aku selama menjadi istrinya.
“Anaya dalam perlindunganku. Fattan tidak akan bisa menyentuh kalian berdua selama aku masih hidup.” Kalimat Aslan membuat hatiku terasa hangat. Sudah sejak lama saat Abi meninggal dan aku hanya berlindung kepada Fattan untuk menjagaku. Dia juga yang akhirnya menjadi pemberi luka terbesar dalam hidupku. Fattan juga yang menjadi ancaman nyata dalam hidupku. Ketika Aslan berdiri di depanku untuk menjaga aku dan Anaya, rasanya tidak ada yang perlu kutakutkan lagi di dunia ini. Kami memang tidak memiliki hubungan, tapi aku yakin Aslan berniat baik. Aku bahkan mulai berpikir membuka hatiku untuk Aslan setelah perceraianku dan Fattan selesai. “Terima kasih, Aslan. Baiklah, aku akan tetap di Turki sampai semua tugas selesai.” “Adina, tolong buatlah dirimu nyaman bersamaku. Jika kau menghadapi masalah yang tidak bisa kau selesaikan, katakan padaku dan jadikan aku orang pertama yang akan mengatasi masalah itu.” “Ya, Aslan. Maafkan aku. Sebenarnya aku berusaha untuk tidak merepotkanmu atau
“Tidak pantas kau mengatakan hal itu padaku. Setelah kau tahu bahwa aku adalah bagian dari management universitas. Aku juga mengatakan padamu bahwa aku memiliki seorang anak.” Aku berdiri dari kursi roda. Rasyid tampak terkejut dengan reaksiku. Sepasang mata hazel indah itu seolah tidak percaya bahwa aku baru saja mengatakan sesuatu untuk menolaknya. “Kenapa? Aku berhak menyukai siapa pun. Bahkan setelah kau menikah, kau juga berhak meyukai siapa pun. Menikah bukan berarti kau kehilangan hidupmu, bukan?” “Itu adalah pandangan dan pendapat pria muda sepertimu. Kau mungkin terbiasa playboy dengan mendekati banyak gadis. Harus kuingatkan lagi bahwa aku bukan gadis belia yang akan mabuk hanya dengan rayuan saja. Kau tidak perlu mengawal dan membantuku. Aku akan bicara dengan Miss Nadia untuk menghentikan tugasmu. Permisi!” Langkahku masih terpincang ketika aku menjauhi Rasyid yang berdiri terpaku. Dengan caranya berbicara dan mendekatiku, juga penampilannya yang rapi, aku yakin, Rasyid
“Tolong jangan berlebihan. Kita masing-masing punya batasan yang harus dihormati. Selamat tinggal, Rasyid. Terima kasih!” ujarku menutup pembicaraan. Lalu aku pun bergegas menjauh. Langkahku cepat dan panjang semabri menarik dua tas troli besar yang tidak terlalu berat. Aku meninggalkan Rasyid yang tidak sempat mengucapkan salam perpisahan. Pria itu terlihat obsesif dan ambisius. Sikap yang mambuatku merasa ingin segera menghindar. Tidak sekali pun aku menoleh ke belakang. Aku tahu sepasang mata hazel Rasyid masih mengikuti langkahku sampai menghilang di belakang gate keberangkatan. Setelah pesawat lepas landas, aku bahkan mulai melupakan Rasyid. Selain ketampanannya, tidak ada hal yang aku sukai dari pria muda itu. Dia bahkan membuatku sesekali merasa terintimidasi. Pikiranku melayang ke Indonesia untuk bisa segera menemui Anaya. Gadis kecilku itu tidak pernah terlihat sedih saat kami melakukan video call. Marissa dan Mbak Pia menjaganya dengan sangat baik. Dia adalah gadis yang ta
“Waktunya untuk berhenti berlari, Adina. Cukuplah sudah lelahmu karena bertahan dalam kondisi yang tidak selayaknya kau dapatkan.” “Tapi, Aslan. Aku tidak tahu apakah aku sekuat itu untuk menghadapi merek berdua di pelaminan. Ini terlalu cepat.” Aslan menghentikan mobilnya di tempat parkir yang berbentuk sebuah lift di basement bangunan apartment. Lift itu membawa kami dan mobil yang kami kendarai langsung menuju ke lantai delapan puluh. Sehingga Aslan tidak perlu mengemudikan mobilnya dengan susah payah dan aku juga tidak perlu keluar dari mobil. Sebuah fasilitas luar biasa dari apartement yang sangat mewah. Lagi pula sebagai penghuni penthouse, Aslan pasti mendapatkan fasilitas VVIP. Lift berhenti dan pintu terbuka. Kami ternyata sudah berada di dalam ruangan penthouse yang mewah. Saat aku melangkah keluar pintu mobil. Hanya sebuah pintu kaca yang membatasi tempat parkir itu dan ruang tamu. Design penthouse yang sangat bagus dan mewah. Dindingnya berwarna putih, interiornya didom
“Tetaplah di sampingku. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk selalu menjagamu.” Aslan mengatakan sebaris kalimat yang terdengar bagai mantra sakti di kepalaku. “Kita tidak punya hubungan apa pun. Kau tidak punya kewajiban untuk menjagaku.” “Itu adalah janji hatiku, Adina. Lebih dari sepuluh tahun lalu. Janji yang tidak pernah berhasil aku wujudkan. Sekarang mungkin Sang Pencipta berbaik hati memberikan aku kesempatan lagi.” Kata-kata Aslan terus terngiang di telingaku. Itu seperti perisai yang membuatku yakin untuk menghadapi apa pun. Aku tahu, dalam kondisiku yang sedag terpuruk saat ini, seseorang selalu siap menangkap kapan pun aku jatuh. Tidak banyak orang yang mau berada di dekat seseorang ketika dia dalam kondisi sulit. Bahkan dengan alasan cinta sekali pun. Tiga hari kemudian, aku dan Aslan benar-benar menghadiri undangan pesta pernikahan Fattan dan Kalila. Pesta itu diselenggarakan di sebuah hotel yang sangat mewah di selatan kota Jakarta. Hotel bintang lima dan dih
“Tuan Aslan Abadurrahman! Apakah wanita ini kekasih baru anda?” “Kenapa anda datang bersamaan?” “Apakah kalian sedang berkencan?” “Kalian berencana untuk menikah?” Rentetan pertanyaan wartawan segera muncul ketika aku dan Aslan menginjak karpet biru yang menjadi jalan utama menuju ke ruang pesta. Mereka bisa berteriak dari jarak kurang lebih empat meter di sisi kanan dan kiri karpet. Tempat wartawan itu berdiri dan jalan menuju ruang pesta dibatasi oleh sebuah rantai besi dan penjagaan ketat pasukan keamanan gedung. Pesta itu rupanya sudah dirancang untuk show case para pejabat, artis dan pengusaha kondang. Wartawan yang berbaris di sisi karpet bisa melihat dan mengambil gambar, tapi mereka tidak bisa mendekat. Sehingga setiap tamu yang hadir bisa merasa nyaman sambil tetap menebarkan pesona mereka tentunya. Itu juga yang terjadi padaku dan Aslan. Ketika pertanyaan wartawan itu memberondong, Aslan tetap tenang. Dia justru menoleh padaku dan memastikan aku baik-baik saja. Bagiku y