So Sweet...
“Tolong jangan berlebihan. Kita masing-masing punya batasan yang harus dihormati. Selamat tinggal, Rasyid. Terima kasih!” ujarku menutup pembicaraan. Lalu aku pun bergegas menjauh. Langkahku cepat dan panjang semabri menarik dua tas troli besar yang tidak terlalu berat. Aku meninggalkan Rasyid yang tidak sempat mengucapkan salam perpisahan. Pria itu terlihat obsesif dan ambisius. Sikap yang mambuatku merasa ingin segera menghindar. Tidak sekali pun aku menoleh ke belakang. Aku tahu sepasang mata hazel Rasyid masih mengikuti langkahku sampai menghilang di belakang gate keberangkatan. Setelah pesawat lepas landas, aku bahkan mulai melupakan Rasyid. Selain ketampanannya, tidak ada hal yang aku sukai dari pria muda itu. Dia bahkan membuatku sesekali merasa terintimidasi. Pikiranku melayang ke Indonesia untuk bisa segera menemui Anaya. Gadis kecilku itu tidak pernah terlihat sedih saat kami melakukan video call. Marissa dan Mbak Pia menjaganya dengan sangat baik. Dia adalah gadis yang ta
“Waktunya untuk berhenti berlari, Adina. Cukuplah sudah lelahmu karena bertahan dalam kondisi yang tidak selayaknya kau dapatkan.” “Tapi, Aslan. Aku tidak tahu apakah aku sekuat itu untuk menghadapi merek berdua di pelaminan. Ini terlalu cepat.” Aslan menghentikan mobilnya di tempat parkir yang berbentuk sebuah lift di basement bangunan apartment. Lift itu membawa kami dan mobil yang kami kendarai langsung menuju ke lantai delapan puluh. Sehingga Aslan tidak perlu mengemudikan mobilnya dengan susah payah dan aku juga tidak perlu keluar dari mobil. Sebuah fasilitas luar biasa dari apartement yang sangat mewah. Lagi pula sebagai penghuni penthouse, Aslan pasti mendapatkan fasilitas VVIP. Lift berhenti dan pintu terbuka. Kami ternyata sudah berada di dalam ruangan penthouse yang mewah. Saat aku melangkah keluar pintu mobil. Hanya sebuah pintu kaca yang membatasi tempat parkir itu dan ruang tamu. Design penthouse yang sangat bagus dan mewah. Dindingnya berwarna putih, interiornya didom
“Tetaplah di sampingku. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk selalu menjagamu.” Aslan mengatakan sebaris kalimat yang terdengar bagai mantra sakti di kepalaku. “Kita tidak punya hubungan apa pun. Kau tidak punya kewajiban untuk menjagaku.” “Itu adalah janji hatiku, Adina. Lebih dari sepuluh tahun lalu. Janji yang tidak pernah berhasil aku wujudkan. Sekarang mungkin Sang Pencipta berbaik hati memberikan aku kesempatan lagi.” Kata-kata Aslan terus terngiang di telingaku. Itu seperti perisai yang membuatku yakin untuk menghadapi apa pun. Aku tahu, dalam kondisiku yang sedag terpuruk saat ini, seseorang selalu siap menangkap kapan pun aku jatuh. Tidak banyak orang yang mau berada di dekat seseorang ketika dia dalam kondisi sulit. Bahkan dengan alasan cinta sekali pun. Tiga hari kemudian, aku dan Aslan benar-benar menghadiri undangan pesta pernikahan Fattan dan Kalila. Pesta itu diselenggarakan di sebuah hotel yang sangat mewah di selatan kota Jakarta. Hotel bintang lima dan dih
“Tuan Aslan Abadurrahman! Apakah wanita ini kekasih baru anda?” “Kenapa anda datang bersamaan?” “Apakah kalian sedang berkencan?” “Kalian berencana untuk menikah?” Rentetan pertanyaan wartawan segera muncul ketika aku dan Aslan menginjak karpet biru yang menjadi jalan utama menuju ke ruang pesta. Mereka bisa berteriak dari jarak kurang lebih empat meter di sisi kanan dan kiri karpet. Tempat wartawan itu berdiri dan jalan menuju ruang pesta dibatasi oleh sebuah rantai besi dan penjagaan ketat pasukan keamanan gedung. Pesta itu rupanya sudah dirancang untuk show case para pejabat, artis dan pengusaha kondang. Wartawan yang berbaris di sisi karpet bisa melihat dan mengambil gambar, tapi mereka tidak bisa mendekat. Sehingga setiap tamu yang hadir bisa merasa nyaman sambil tetap menebarkan pesona mereka tentunya. Itu juga yang terjadi padaku dan Aslan. Ketika pertanyaan wartawan itu memberondong, Aslan tetap tenang. Dia justru menoleh padaku dan memastikan aku baik-baik saja. Bagiku y
“Tentu Aslan, itu yang paling utama. Memberikan ucapan selamat pada kedua pasangan yang berbahagia,” jawabku sambil tersenyum sadis melihat ke arah panggung. Kami berjalan meninggalkan Hisyam yang ternganga. Dia pasti tidak menduga bahwa aku memiliki kedekatan dengan Aslan. Bahkan aku hanya memanggil namanya saja saat berbicara. Sementara aku meminta Hisyam memanggilku dengan gelar kehormatan. Dia tampak panik karena tidak bisa memberitahu semua orang yang berada di pelaminan untuk bersiap denga kedatangan kami. Seorang kolega lain keburu datang mengajak Hisyam berbincang. Dia menanggapi kolega itu seadanya sementara tatapannya terus mengikuti aku dan Aslan. “Kenapa Fattan meninggalkan wanita itu? Dia sangat cantik.” “Jadi itu pemilik El Khairi Company yang sebenarnya. Lalu Fattan hanya pekerja?” “Sungguh tidak sebanding istrinya yang sekarang kudengar hanyalah seorang pramugari.” “Wanita yang sangat berkelas dan terihat cerdas.” “Dia lebih cocok dengan Aslan Abdurrahman.” Berb
“Berhenti!” Aslan menggertak Kak Zahra. Telapak tangan yang nyaris mengenai pipiku itu pun mendadak berhenti. Dengan mata bulat khas wanita arab, Kak Zahra melotot ke arah Aslan. Wajahnya memerah karena menahan marah. Suara Aslan terdengar mengejutkan semua orang. Fattan dan Kalila yang sejak tadi tersenyum bahagia menatap ke area pesta pun seketika menoleh. Keduanya tidak kalah terkejut dari Kak Zahra ketika menyadari bahwa aku sudah berdiri di dekat mereka. Keduanya bertukar pandang. Keduanya pasti tidak menyadari kehadiranku. Mereka terlalu sibuk menikmati kebahagiaan. Kalila terlihat kesal dan marah. Dia meremas bucket bunga yang ada di dalam genggamannya. Sementara Fattan terlihat sangat khawatir. Semua tamu undangan melihat ke arah kami. Pemain musik pun menghentikan semua suara. Suasana mendadak hening. Seolah mereka menunggu apa yang akan terjadi. Aku tetap berdiri tenang di depan Kak Zahra. Aslan menggeser berdirinya dan mengambil tempat untuk berada di sebelahku. Kami berh
“Omong kosong apa ini?!” Hisyam berteriak dari area pesta yang berada di depan panggung pelaminan. Mata Aslan mengerling tajam pada Hisyam. Sementara ayah Kalila itu berjalan cepat menuju atas pelaminan. Dia menghampiri Aslan yang masih berdiri tenang sambil memegang mic di tangannya. Hisyam tiba di depan Aslan dengan wajah kacau. Kulitnya merah karena menahan marah. Nafasnya tersenggal karena berjalan cepat dan menaiki panggung pelaminan. Dia juga pucat karena cemas mendengar apa yang Aslan katakan. Aku pun tidak kalah terkejut. Walau sejak awal aku tahu, Aslan akan melakukan sesuatu di tempat ini. Tapi, apa yang dia katakan sama sekali tidak pernah aku pikirkan. Aku harap ini hanyalah bagian skenario yang Aslan lakukan untuk memulai rencana berikutnya. Melibatkan hubungan persaudaraan untuk kepentingan balas dendam, bukan sebuah ide bagus yang bisa kusetujui. “Aslan….” Aku bergumam sambil menggelengkan kepala perlahan. Bagaimana pun sikapnya terlihat berlebihan. Dia membawa keboh
“Manusia-manusia menyedihkan. Harta telah membuat kalian mengorbankan hati nurani kalian sendiri.” Suaraku bergetar, tapi aku tidak ingin menangis. Tidak sekarang! Aku tidak ingin terlihat lemah di depan mereka. Melihat keberanian Aslan membelaku, aku tidak akan membiarkan itu sia-sia. Aku akan memberikan keberanian yang sama untuk membuat wajah kami berdua tetap tegak menghadap ke depan. Mendengar perkataanku, Fattan yang sejak tadi memilih diam akhirnya angkat bicara. Dia melepaskan gandengan Kalila di lengannya dan melangkah mendekati aku juga Aslan. Tamu undangan semua melihat kami di atas pelaminan. Ini seperti menyaksikan sebuah pertunjukan panggung boneka. Mereka diam untuk menunggu adegan selanjutnya. “Adina, kau mengatakan hal buruk tentang kami. Lalu bagaimana denganmu? Apa kau lupa, bahwa kau juga sama menyedihkannya?” tanya Fattan. “Apa maksudmu?” “Kau bahkan sudah tinggal di rumah Aslan sebelum kita resmi bercerai. Aku tidak heran kenapa kau begitu berani memutuskan b
“Betul, Adina. Maaf karena aku terlambat memberitahumu tentang hal ini. Atau bahkan sebenarnya aku tidak perlu memberitahumu.” Manaf tertunduk lesu. Berita kematian Vivian seperti tenggelam di telan oleh kabar yang Manaf berikan. Semua ini terjadi secara tiba-tiba. Aku bahkan tidak mengerti bagaimana seharunya berekspresi dengan semua ini. Jika aku adalah anak angkat El Khairi, maka artinya aku dan Tara sama sekali bukan saudara. Tidak ada darah yang sama diantara kami. Keesokan harinya, Maaf meninggalkan Indonesia dan kembali ke Turki. Tara tinggal di mansion yang sama denganku. Hubungan kami menjadi sangat canggung dan aneh, terutama ketika kami hanya berdua saja. Di depan Anaya, Rayyan dan Jafar semua terlihat normal. Namun saat itu hanya tentang aku dan Tara, maka kami menjadi dua orang asing yang sedang belajar saling mengenal. “Nyonya, malam ini akan ada pesta di Deluxe Building. Tuan Tara meminta anda bersiap untuk ikut bersamanya.” Harry menyampaikan pesan Tara saat aku seda
“Adina, maafkan aku. Aku sudah melakukan yang terbaik, tapi ini semua di luar kendaliku.” Kata-kata Tara semakin membuatku khawatir. Aku yakin ada hal buruk yang terjadi. “Tara, katakan dengan jelas. Jangan menganggapku terlalu lemah untuk mendengar apa pun. Aku lebih kuat dari yang kau bayangkan. Aku ingin tahu semuanya. Katakan!” Aku tidak bisa lagi menahan amarah karena Tara terlalu lama diam dan berusaha menahan tiap detik untuk berbicara “Vivian tewas tertembak.” Sebuah bom meledak di kepalaku. Ponsel di tanganku meluncur ke bawah dan mendarat di atas lantai batu taman. Tentu saja panggilan telepon dari Tara terputus. Aku membeku tanpa ekspresi. Berita ini terlalu sulit untuk diterima dan diidentifikasikan dengan kata. Dari kejauhan Harry berlari dan mendekatiku. Setelah sambungan telepon kami terputus, Tara pasti langsung menghubungi Harry. Karena itulah Harry datang untuk memastikan keadaanku baik-baik saja. Harry tertegun elihat ponselku yang hancur di atas tanah. Dia berl
“Ke tempat dimana seharusnya anda berada, Nyonya.” Harry menyahut dari kursi penumpang depan tanpa menoleh ke arahku. Aku yang duduk bersama Anaya di kursi belakang memilih diam. Anaya tertidur nyenyak dengan kepala di pangkuanku sejak kami mulai meninggalkan cluster. Aku tidak pernah meragukan Tara atau Harry. Bahkan dengan menutup mata dan tanpa memberikan detail, aku akan mengikuti mereka dengan rasa percaya. Sebuah tempat yang Harry katakan itu akhirnya adalah sebuah mansion yang berada di perbatasan Jakarta-Bogor. Sesuatu yang tidak pernah aku bayangkan bahkan dengan sebuah imajinasi tentang Adina El Khairi. Pintu gerbang mansion itu berada sekitar dua kilometer dari bangunan utama. Gerbang emas tinggi dengan penjagaan beberapa security berbadan tegap. Saat tiba di depan pintu gerbang, para penjaga mansion berlarian dan bergegas membuka pintu. Mobil yang kami naiki dan empat mobil lain di belakang kami masuk dengan lancar. Jalanan menuju ke bangunan utama adalah sebuah taman de
“Ya kita berangkat.” Aku mengangguk. Harry mengangkat tangan dan memberikan instruksi pada beberapa orang pria yang berbaju hitam di luar gerbang. Mereka masuk ke dalam rumahku dan mulai berbicara dengan para pelayan dan pengasuh. Ibu-ibu tetangga yang melihat pemandangan itu mendadak diam. Mereka tentu saja bingung karena ini adalah hal berbeda dari yang biasa mereka saksikan. Sebaliknya, Meylani justru mencibir. “Oh! Jadi memang kamu sudah berniat tidak tinggal lama ya di cluster ini. Pantas saja kamu tidak peduli dengan ketentraman cluster ini,” ujar Meylani sinis. “Iya! Bener tuh! Baguslah dia pergi. Jadi cluster kita kembali aman dan damai!” “Dia memang tidak pantas tinggal di sini.” “Itu pasti orang-orang suruhan suaminya. Dia mungkin istri kedua atau simpanan seorang pejabat.” Suara-suara terdengar di sekitar telingaku. Para wanita itu bergumam dengn opini mereka sendiri. Satu hal yang pasti, tidak ada opini baik yang kudengar di sana. Aku hanya diam dan membiarkan semuan
“Kita akan menuju ke tempat seharusnya kita berada. Tempat ini bukan tempat seharusnya kita tinggal.” Aku menggeser berdiriku dan melihat keluar jendela. Tatapanu menyapa sekitar di mana sebelumnya kami berharap banyak pada kehidupan. Mbak Pia diam. Dia bingung dengan apa yang aku katakan. Pembantuku itu selalu percaya pad keputusan apa pun yang aku buat. Dia tidak bertanya lebih banyak. Setelah mengangguk tanda mengerti, dia beranjak ke dapur. Beberapa saat kemudian, rumah kami sedikit riuh karena pengasuh Jafar dan Rayyan mulai mengemas barang-barang pribadi dua bayi itu. Belum lagi sesekali tangisan muncul dri keduanya. Aku bahkan perlu sedikit beradaptasi mendengar suara-suara yang tidak biasa aku dengar. Sejak Anaya beranjak dewasa, di rumah kami segalanya menjadi tenang. Nyaris tidak pernah terjadi keributan dan tangisan seperti yang terjadi saat ini. Aku menenangkan diri di dalam kamr setelah Anaya pulang dari sekolah dan menyelesaikan makan siangnya. Sebuah ketukan memaksa
“Banyak hal yang berjalan dan tidak bisa kita ubah.” Aku menegaskan pada Andre. Sejujurnya ini terasa seperti sedang membunuh harapan dalam diriku sendiri. Semua ini jauh lebih baik daripada terus tenggelam dalam mimpi. Harapan tentang hubungan mereka bagiku nyaris seperti hamparan pasir yang tidak ingin digenggamnya. Semakin erat aku merapatkan tangan, akan semakin banyak yang harus rela untuk kulepaskan. “Din, kita sudah jauh berjalan. Masa depan yang pernah aku bayangkan adalah bersamamu.” Andre menggenggam tanganku. Aku tersenyum dan menarik tanganku dari genggaman Andre. “Terima kasih sudah begitu percaya pada hubungan kita, Ndre. Keputusan ini aku ambil bukan murni karenamu. Ini juga tentang diriku sendiri.” “Apa maksudmu dengan tentang dirimu sendiri? Apakah kau memang tidak ingin bersamaku sejak awal? Lalu kenapa kita berdua harus membuang waktu jika kau memang tidak serius dengan semua ini sejak awal?” Andre memaksa agar arah angin berpihak padanya. Aku menggeleng ringan.
“Apakah aku perlu memberikan alasan untuk bertemu denganmu?” tanyaku. Andre tertawa kecil di seberang sambungan. “Tentu saja tidak. Aku hanya terkejut kau ingin bertemu denganku setelah keributan kemarin. Aku pikir kau akan kesal atau marah padaku. Kau bahkan tidak mempersilahkan aku masuk. Kau juga tidak menghubungiku.” Aku diam. Marah dengan Andre? Tentu saja aku marah. Aku bahkan tidak ingin lagi berada di dalam kondisi di mana aku tidak punya kekuatan untuk mengendalikannya. Dua jam kemudian aku sudah duduk di sebuah café dan Andre ada di depanku. Aku lebih tenang meninggalkan rumah karena dua keponakan Mbak Pia sudah datang untuk membantunya mengasuh Jafar dan Rayyan. Seorang security sengaja ditempatkan di rumahku oleh Harry. Pria yang memakai baju security itu sebenarnya adalah salah satu bodyguard Tara dibawah kepemimpinan Harry. Kadang aku merasa takjub dengan hal-hal kecil yang seolah sudah disiapkan oleh Tara. Harry tidak mungkin mengambil keputusan tanpa perintah dari T
“Tuan Tara memberikan alamat ini padaku. Tolong buka pintunya, Tuan Muda Rayyan perlu istirahat segera.” Aku yakin itu adalah orang suruhan Harry yang membawa Rayyan. Ternyata Tara berhasil mengeluarkan Rayyan dari Singapura. Aku bergegas membuka pintu. Saat pintu terbuka seukuran tubuh, aku mundur ke belakang dengan cepat karena pria itu menerobos masuk. Seorang bayi laki-laki tertidur pulas di pelukannya. Pria dengan rambut coklat gelap dan tubuh tegap itu berdiri dengan wajah tegang. Beberapa kali dia menoleh ke belakang seolah sedang cemas jika sesuatu mengikutinya. Aku keluar dari pintu gerbang, menoleh ke kanan dan ke kiri. Entah apa yang aku cari. Aku hanya memastikan semuanya aman. “Kau tidak membawa mobil?” tanyaku ketika masuk kembali ke dalam gerbang. Pria itu menggeleng. Lalu dia melihat ke arah pintu gerbang yang terbuka. “Tolong cepat tutup pintunya,” ujar pria itu. Aku mengangguk dan segera menutup pintu gerbang. Tidak lupa aku kembali memasang gembok pengaman. Wa
“Kembali padamu? Apa kau serius dengan kata-katamu?” tanyaku menyelidik. Segumpal harapan seolah berhasil Fattan dapatkan. Dia terdengar antusias ketika menjawab pertanyaanku. “Tentu saja, aku serius. Aku sangat serius. Aku memang bukan pria yang baik untukmu, tapi aku akan berusaha memperbaiki semuanya.” Jantungku ingin meledak karena tawa yang tertahan di dalam sana. Hari ini benar-benar luar biasa. Begitu banyak kejutan dan kecemasan yang datang bersamaan. Bersama dengan senyum, butiran air mata berjatuhan di pipiku. “Kau bodoh, Fattan!” Aku mengucapkan dengan nada ketus yang pasti menusuk telinga siapa pun yang mendengarnya. “Kau pikir aku selugu dulu ketika masih menjadi istrimu?” “Apa maksudmu, Din? Buka pintunya. Biarkan aku masuk dan mari kita bicara.” Fattan memohon. “Tidak! Jika kau bilang kau bukanlah pria baik, lalu untuk apa aku harus memberikan lagi hidup, waktu dan hatiku untuk pria yang tidak baik? Lalu kau berjanji untuk memperbaiki diri. Kalau kau tidak berhasil