Perih hatiku....
“Manusia-manusia menyedihkan. Harta telah membuat kalian mengorbankan hati nurani kalian sendiri.” Suaraku bergetar, tapi aku tidak ingin menangis. Tidak sekarang! Aku tidak ingin terlihat lemah di depan mereka. Melihat keberanian Aslan membelaku, aku tidak akan membiarkan itu sia-sia. Aku akan memberikan keberanian yang sama untuk membuat wajah kami berdua tetap tegak menghadap ke depan. Mendengar perkataanku, Fattan yang sejak tadi memilih diam akhirnya angkat bicara. Dia melepaskan gandengan Kalila di lengannya dan melangkah mendekati aku juga Aslan. Tamu undangan semua melihat kami di atas pelaminan. Ini seperti menyaksikan sebuah pertunjukan panggung boneka. Mereka diam untuk menunggu adegan selanjutnya. “Adina, kau mengatakan hal buruk tentang kami. Lalu bagaimana denganmu? Apa kau lupa, bahwa kau juga sama menyedihkannya?” tanya Fattan. “Apa maksudmu?” “Kau bahkan sudah tinggal di rumah Aslan sebelum kita resmi bercerai. Aku tidak heran kenapa kau begitu berani memutuskan b
“Aslan Abdurrahman!” Fattan berteriak hendak menyerang Aslan. Teriakan yang sama sekali tidak dihiraukan oleh Aslan. Dia menggandeng tanganku untuk menuruni panggung pelaminan. Kami sama sekali tidak menoleh ke belakang. Walau tanpa melihat, aku yakin wajah-wajah yang ada di belakang kami adalah wajah penuh kemarahan dan kemalangan. Hisyam segera menahan menantunya itu. Aku dengar Hisyam mengatakan sesuatu pada Fattan. “Biarkan dia pergi. Kita akan mengurus semuanya besok. Kita selesaikan dulu pesta kita malam ini.” Aslan menggenggam erat tanganku. Kami berjalan menuju ke lobby. Ratusan pasang mata memandang kagum dan takjub pada kami. Pasangan ideal yang baru saja memenangkan pertarungan. Begitulah yang aku rasakan saat ini. Aku merasa puas karena telah memukul telak mereka yang bertahun-tahun menjadikanku sebagai bahan mainan. Aku harus berterima kasih pada pria yang sedang menggandengku ini. Dia sungguh seperti malaikan penyelamat. Saat kami tiba di depan lobby, kamera wartawan
“Baik, Tuan.” “Tunggu! Setelah Fattan masuk ke ruangan ini, tidak boleh ada gangguan. Jangan ada tamu atau telepon.” Suara Aslan begitu dominan dan tidak memberikan kesempatan siapa pun untuk menolak perintahnya. “Tentu, Tuan. Permisi.” Gadis sekretaris itu pun keluar dari ruangan. Beberapa menit kemudian dia kembali bersama Fattan. Ketika Fattan melihat aku di dalam ruangan Aslan, dia terlihat terkejut. Keningnya seketika berkerut dan dia berusaha mengalihkan pandangan. Dia berpikir kenapa aku ada di ruangan itu. Pemandangan yang membuat Fattan berpikir aku dan Aslan adalah pasangan yang tidak bisa terpisahkan. Tentu saja itu membuat emosinya seketika bergejolak. Aku melihat jelas bagaimana Fattan berusaha menahan diri dan mengalihkan pandangan dariku. “Selamat Pagi, Tuan Aslan,” ucapnya. “Silahkan duduk, Fattan,” ucap Aslan dingin. Dia menyandarkan tubuhnya ke punggung kursi. Tatapannya begitu mengintimidasi pada Fattan. Sementara Fattan mulai duduk di kursi hitam yang ada di
“Apakah dia akan takut pada ancamanmu?” tanyaku pada Aslan setelah Fattan meninggalkan ruangan. “Dia tidak punya pilihan. Jika dia menolak sekali pun, maka aku bisa menendang Fattan keluar. Surat itu hanyalah bagian dari balas dendammu padanya.” “Surat itu akan melukai harga dirinya,” ujarku perlahan. Aku kenal baik Fattan. Dalam urusan bisnis, dia selalu penuh dengan ambisi. Sekarang tiba-tiba dia harus mengakui posisi sebenarnya an meletakkan bisnis yang selama ini dia akui. Pria itu akan sangat terpukul. “Adina, kadang manusia perlu belajar bagaimana rasanya jatuh. Agar dia mengerti untuk tidak menjatuhkan orang lain. Orang yang hebat bukanlah orang yang bisa menjatuhkan lawan. Orang hebat adalah dia yang bisa membuat orang lain bangkir dari keterpurukan.” Aslan mengucapkan semua kata-katanya tanpa menoleh ke arahku. Dia sibuk memeriksa beberapa berkas. Sikapnya itu justru mebuatku merasa bahwa kata-kata Aslan mengalir dari hatinya. Apa yang dia ucapkan senada dengan apa yang d
“Itu adalah kartu edisi terbatas dari bank. Kartu itu hanya bisa dimiliki oleh pemilik perusahaan dengan batas kekayaan tertentu.” “Apakah kartu ini milikmu?” tanyaku pada Aslan. “Aku tahu, kau tidak ingin mengambil pemberianku. Anggap saja aku sedang meminjamkan kartu ini padamu. Kau bisa menggunakannya. Setelah El Khairi besar, kau akan memiliki kartumu sendiri.” Aku melihat kartu yang ada di tanganku. Kartu itu tampaknya sangat sakti untuk bisa membeli apa pun. Aku pernah mendengar jenis kartu seperti itu dan sekarang kartu itu ada di tanganku. Menerima banyak kebaikan dari Aslan membuatku merasa sangat berhutang budi. Aslan memang melakukan dengan tulus dan tidak berharap apa pun. Pengakuan perasaannya padaku menjadi sebuah dinding tinggi untukku merasa nyaman dengan semua uluran tangannya. Aku tidak tahu, apakah di masa depan aku bisa menerima cinta Aslan. Saat ini tidak ada ruang di pikiran dan hatiku untuk hal itu. Walau kemungkinan itu sudah pernah kukatakn, tampaknya tidak
“Ok. Aku akan selesaikan semua serah terima dengan Fatih hari ini.” Aslan lalu keluar meninggalkan ruangan, Marissa mengikuti di belakangnya. Sebelum pergi Marissa melirikku dengan pandangan mata penuh arti. Marissa tampaknya tau bahwa selama ini Fatih berusaha mendekatiku. Setelah pintu kantor tertutup, tinggallah aku dan Fatih di dalam ruangan. Pria yang biasanya banyak bicara dan hangat itu sekarang hanya terdiam. Dia memandangku dengan tatapan bingung dan sedih. Seperti menunggu sebuah penjelasan. Bagi Fatih pengangkatan jabatannya pasti terlalu mengejutkan. Selama ini Fatih sudah bekerja maksimal. Ketika manager lama dari divisi student Exchage universitas abdurrahman mengundurkan diri, Fatih percaya diri bahwa dialah yang akan menggantikan. Berharap dapat promosi, Fatih justru menemukan aku yang masuk ke divisi ini dan menjadi manager baru. Dia menerima keputusan Aslan dengan hati ringan. Dalam perjalanannya ternyata aku tidak melakukan fungsiku sebagai manager dengan baik. It
“Heh! Tunggu! Siapa kamu? Main masuk aja. Mau ngapain ke sini? Mau ketemu siapa?” Seorang wanita muda dengan headset di kepala dan memakai baju resmi berwarna hitam berteriak dari balik meja resepsionis. Wanita itu melihatku dengan tatapan curiga. Beberapa orang yang ada di lobby gedung El Khairi menoleh ke arah kami. Keributan yang membuat langkah kaki mereka yang sedang melangkah berhenti. Aku melihat ke arah wanita itu. Saat itu aku sudah berdiri di depan sebuah lift untuk masuk ke bagian dalam gedung. Tadi malam, Aslan sudah mengatakan padaku dengan siapa dan di ruangan mana aku harus menuju pagi ini. Melihatku berusaha menaiki lift, gadis resepsionis itu rupanya merasa curiga. Kuputuskan untuk mendekatinya. “Maaf, apa maksud anda, Nona.” “Lho, kok malah balik tanya. Kan tadi saya tanya, kamu siapa dan mau apa di sini? Jangan dikira dengan pakai baju bagus, kamu bisa keluar masuk sembaragan di perusahaan ini ya. Ini tuh perusahaan elit, setiap tamu yang datang harus melalui pe
“Maafkan saya, Nyonya. Saya datang terlambat ke kantor sehingga membuat anda mengalami kejadian tidak menyenangkan.” Yuda meletakkan tangan kanannya ke dada kiri dan sedikit membungkuk. “Hmm…,” jawabku singkat. Dia melirik resepsionis yang berbicara banyak padanya. Juga ada dua security yang berdiri di sana. Tatapan tajamnya membuat mereka diam. Yuda ingin rasanya menenggelamkan ketiga orang itu ke dasar lautan. Mendengar nama belakangku, ketiga orang itu dan juga mereka yang ada di sekitar kami ternganga. Nama yang sama dengan nama gedung dan nama perusahaan tempat kami berada sekarang. Mereka langsung bisa memastikan siapa aku sebenarnya. Skandal yang terjadi di pernikahan Fattan, pastilah sudah menyebar ke semua orang. Beberapa dari mereka mungkin juga hadir di pesta itu. Namun, karena suasana yang kacau, banyak yang tidak melihat jelas wajahku. Sampai aku hari ini datang pun, tidak ada yang mengenaliku sebagai Adina El Khairi. “Saya pastikan anda tidak akan melihat orang-orang